Elang menghela napas panjang. Ia meletakkan ponselnya ke atas nakas di samping ranjang besar kamarnya di Dramaga.
Hari ini ia memang pergi ke Bogor untuk menyelesaikan urusan kepindahan Aliya, dan tentu saja, menemui Dean dan Agni.
Aliya tidak ikut dengannya dan memilih tinggal di rumah orangtuanya untuk melepas rindu. Tentu saja Elang mengizinkannya.
Setelah ia melakukan pelapisan yang cukup untuk Aliya, ia pun meninggalkan Bandung menuju Bogor tadi pagi.
Urusan dengan Dean dan Agni telah dianggapnya clear. Seperti yang ia perkirakan dan harapkan, Dean dan Agni menyatakan akan ikut pindah dan tinggal di Bandung.
Elang tahu, mereka berdua akan mengesampingkan semua rasa sakit hati mereka, demi melindungi Aliya.
Urusan mereka dengan kaum Jure, belum lah selesai. Elang tidak ingin tinggi hati berpikir bahwa ia akan bisa sendiri saja menyelesaikan urusan itu.
Bagaimanapun, pengetahuannya tentang kaum Jure, sangat jauh diban
Elang menghela napas panjang kembali. Kini ia merebahkan dirinya ke atas tumpukan bantal. Ia melihat sekilas jam yang melingkar di tangannya.Ridwan masih di luar mengurus beberapa hal yang ia minta tadi. Sementara Rosaline, ibu kandung Elang, masih berada di rumah yang berada di Jakarta. Hingga Elang hanya sendiri dalam rumah ini, selain para pelayan yang ada.Tangan kanan Elang mengusap wajahnya. Ia merindukan Aliya. Rasa rindu pada istrinya menjalar cepat ke seluruh pikirannya kini.“Aliya…” bisiknya sebelum akhirnya kedua kelopak matanya menutup. * * *Ruang hampa yang hitam pekat di sekeliling.Elang berdiri menanti di sana. Hingga tak lama, muncul dengan perlahan sosok wanita yang sangat ia cintai itu di hadapannya.Aliya mengenakan dress panjang dengan cardigan biru muda yang melilit tubuh indahnya, memamerkan semua lekuk tubuhnya dan menyerahkan sisanya pada imajinasi mata yang memandang.
KRAAAKKK Lubang itu melebar dan keramik di sekitarnya retak lalu turut tersedot ke dalamnya. “Brengsek! Ada yang nyerang kita!” Agni bergegas bangun setelah Dean lebih dulu bangun. Dean berlari keluar diikuti Agni. Mereka berhenti tepat setelah keluar dari pintu dan mendapati tiga orang menghadang mereka. Dengan sigap Dean setengah melompat lalu melepaskan pukulan energi hingga mendorong ketiganya mundur. Agni pun bergerak cepat, ia melompat menerjang satu pria yang berposisi paling kiri. DHUAAR DHUUUARR Pukulan demi pukulan saling menghantam. Dean bergerak cepat mengendalikan tanah untuk menyerang dan juga menahan serangan. Pukulan kosong namun berisi energi dilepaskan untuk memukul ketiga orang itu kian mundur. Pada akhirnya Agni hanya menyaksikan dari tepi, karena Dean mengatasi ketiga penyusup dan penyerang itu secara ketat. Dean telah mendorong mereka bertiga hingga ke kebun yang cukup luas di seberang rumah sewaan Dean, sehingga membuat Dean leluasa bergerak tanpa khaw
Di suatu tempat, jauh dari keramaian. Satu bangunan bekas tempat penggilingan padi yang telah lama terbengkalai. Elang melangkah masuk dan menghampiri pemuda yang tengah berdiri menatap garang seorang lelaki yang tersungkur dan menunduk. Elang mendekati pemuda itu lalu menepuk bahunya. “What have you got?” (Apa yang sudah kau dapat?) Pemuda itu, Agni, menggeleng-gelengkan kepalanya. “Nothing. Buset keras kepala banget ni orang. Dah babak belur kaya gini, tetep kagak buka mulut, Bang.” Elang melempar pandangannya pada pria itu. Kondisinya benar-benar memprihatinkan. Wajahnya sudah seperti tak jelas lagi, dengan tonjolan bengkak di sana sini. Bibirnya pecah dengan darah menjejak di salah satu sudutnya. Tarikan dan hembusan napas panjang terdengar dari Elang. Ia lalu melangkah mendekati pria itu, lalu berjongkok. “Apa Anda benar-benar tidak mau membuatnya mudah?” tanya Elang pada pria itu tanpa ekspresi. Pria itu bergeming. Tak sedikitpun ia tampak tertarik untuk menanggapi kalima
“Kalian sudah menyiapkan semua untuk perpindahan ke Bandung?” Elang menatap Dean dan Agni bergantian.“Sudah,” jawab Dean.“Om, Bang, orangnya Daeva kenapa gak kita habisin aja trus kita tinggalkan petunjuk seolah yang melakukan itu adalah orang-orang Morana? Jadi mereka bakal sibuk ribut sendiri. Seru kan tuh?” Agni menggelontorkan usulan pada Dean dan Elang.Kedua pria tampan itu serta merta menatap Agni dengan pandangan rumit.“What? Ide gue bagus, kan?”Dean mengurut pangkal hidung, sementara Elang mengusap tengkuknya.“Apaan sih? Kenapa emang usulan gue itu?”“Ya, bagus,” ucap Dean. “Kalau kita dalam kondisi perang, mungkin itu akan kita lakukan. Apabila tidak ada jalan lain.”“Kita tidak perlu sampai menghilangkan nyawa orang, Agni. Kita pakai jalan yang masih bisa dilalui dengan tanpa menimbulkan korban jiwa.”“Kalian rese ah. Mereka juga kagak ada kata ampun buat ngabisin nyawa orang, kan?” protes Agni.“Ya kita bukan mereka, Agni,” sela Dean cepat.“Selama orang itu masih ada
Sosok jangkung dengan tubuh atletis terlihat berdiri di teras rumah, ketika Aliya membuka pintu rumahnya lebar-lebar.Tingginya yang mencapai 187 sentimeter tampak sempurna dengan balutan setelan jas single breastedhitam dan dipadu kemeja linen putih yang menonjolkan dada bidang pemiliknya.Aliya mengerjapkan mata. Mengagumi sosok pria gagah dan tampan yang berdiri di hadapannya itu.Tiada bosannya ia mengagumi Elang, karena memang ia seolah tak menemukan setitik cela ataupun kejenuhan setiap kali memandang wajah pria yang telah menjadi suaminya itu.“Maaf aku baru pulang, Liebling.”Aliya meraih tangan Elang dan mencium punggung tangan suaminya. Elang lalu mengecup kening Aliya sebagai balasan dan menggenggam tangan sang istri untuk di bawa masuk ke dalam rumah.“Dari Bogor kau langsung urus kerjaan dulu?” tanya Aliya sambil menoleh ke samping.Elang menghentikan langkah lalu tangan kirinya menu
“Bertemu papaku?” Elang kini menggeser tubuhnya demi melihat wajah sang istri lebih intens. Aliya mengangguk pelan. “Aku tahu. Papamu yang lebih dulu menentangmu dekat denganku. Meskipun aku memahami alasan beliau membenciku. Karena aku hanyalah berasal dari keluarga biasa.” “Bukan seperti itu, Liebling…” “Dengarkan aku dulu,” protes Aliya cepat. “Aku sangat memaklumi tindakan seorang ayah yang ingin semua terbaik untuk anaknya. Seperti halnya papaku menentangku dengan Bisma waktu dulu karena ingin yang terbaik untukku. Jadi aku tidak menyalahkan papamu.” Aliya mendesah pelan. “Hanya saja, bagaimanapun sekarang aku telah menjadi istrimu, Elang. Aku tetap harus menemui beliau dan meminta restunya. Sekalipun misal nanti aku diusir, aku akan siap menanggung itu.” “Daddy tidak akan melakukan itu padamu,” ujar Elang lembut. “Aku harap juga begitu. Aku hanya membayangkan seberapa besar rasa tidak suka beliau padaku, hingga membuatmu terpaksa pergi ke Jerman saat itu dan membuatku--” A
Rumah megah di bilangan cukup ternama di ibukota. Di satu ruang tertutup, duduk dua pria saling berhadapan.Bagi warga negara ini --terutama kaum muda-- tentu saja kedua pria itu dikenal baik. Kedua wajah yang sering muncul di layar televisi yang kehadirannya dibanjiri ribuan penonton untuk menonton aksinya.Mahakam dan Bara.Personel Band ternama di negara ini, Sound Of Delusion --SoD-- yang belasan albumnya selalu menjadi album yang paling diburu. Yang setiap kata dan style personel nya seketika menjadi trend mode di dalam negeri. Yang semua merchandise berbau band mereka, selalu menjadi lebih dulu sold out.Semua tentang SoD adalah keharusan yang wajib diketahui lebih dulu oleh para penggemarnya. Betapa mereka akan menjadi pasukan militan yang membabat habis komen negatif para haters, sehingga SoD adalah satu-satunya band yang paling dihindari untuk haters ikut nimbrung di dalamnya.“Kita tidak bisa menunggu Daeva dan Morana,” pria berambut tebal dan bergelombang itu membuka suara.
[Kemana aja tukang kredit kita ini? Apa sudah jadi juragan, sekarang?] Emotikon tertawa mengeluarkan airmata. Kening Aliya berkerenyit. Jari telunjuknya lalu menekan gambar profil orang tersebut dan melihat foto itu dengan seksama. Seorang wanita. Pipinya yang agak tirus dengan hidung mancung sedikit bengkung dengan mata besar yang menarik. Rambut hitam bergelombang yang ditata ke sisi. Wanita ini cantik. [Ini benar Aliya? Hai Aliya saya Adam. Masih ingat kan? Save nomor saya ya] ‘Adam?’ Kening Aliya berkerut. [Ciee ciee yang ketemu mantannya CLBK doong] Tulisan itu berasal dari wanita cantik berwajah tirus tadi. Bianca. Aliya ingat sekarang. Wanita itu adalah Bianca. Sekelebat memori tak enak kemudian singgah dalam kepala Aliya. “Kau lihat apa?” “Astaga, Elang!” Aliya menoleh setelah hampir melonjak kaget. Kedua lengan Elang telah melingkari pinggangnya dengan dagu tepat di sisi telinga kanan Aliya, membuat ia tak bisa memutar tubuhnya untuk berbalik. “Kau sudah pulang?” “