[Kemana aja tukang kredit kita ini? Apa sudah jadi juragan, sekarang?] Emotikon tertawa mengeluarkan airmata. Kening Aliya berkerenyit. Jari telunjuknya lalu menekan gambar profil orang tersebut dan melihat foto itu dengan seksama. Seorang wanita. Pipinya yang agak tirus dengan hidung mancung sedikit bengkung dengan mata besar yang menarik. Rambut hitam bergelombang yang ditata ke sisi. Wanita ini cantik. [Ini benar Aliya? Hai Aliya saya Adam. Masih ingat kan? Save nomor saya ya] ‘Adam?’ Kening Aliya berkerut. [Ciee ciee yang ketemu mantannya CLBK doong] Tulisan itu berasal dari wanita cantik berwajah tirus tadi. Bianca. Aliya ingat sekarang. Wanita itu adalah Bianca. Sekelebat memori tak enak kemudian singgah dalam kepala Aliya. “Kau lihat apa?” “Astaga, Elang!” Aliya menoleh setelah hampir melonjak kaget. Kedua lengan Elang telah melingkari pinggangnya dengan dagu tepat di sisi telinga kanan Aliya, membuat ia tak bisa memutar tubuhnya untuk berbalik. “Kau sudah pulang?” “
Elang pergi untuk urusan bisnisnya ke Jakarta selama beberapa hari. Namun Ridwan tidak ikut bersama Elang. Ridwan ada di rumah Aliya dan Elang di Setrasari, membawa seorang wanita dan pria paruh baya untuk membantu pekerjaan rumah dan urusan halaman rumah. Elang memang pernah mengatakan pada Aliya bahwa ia akan mempekerjakan beberapa orang untuk membantu di rumah, namun Aliya menolak. Baginya, terlalu berlebihan memiliki lebih dari dua asisten rumah tangga, lalu pekerja kebun, lalu satpam, lalu supir. Berlebihan sekali. Setelah sedikit bernego dengan suaminya, akhirnya mereka sepakat mempekerjakan satu asisten rumah tangga, lalu satu yang merawat kebun depan dan belakang di rumah mereka. Mereka berdua pasangan suami istri. Tidak ada supir, karena Aliya bisa menyetir. Tidak ada satpam, karena Aliya merasa tak perlu. Aliya baru saja menutup telpon dengan Elang lalu menemui Ridwan yang duduk di ruang tengah. “Sudah Teh, izinnya? Mau berangkat sekarang?” tanya Ridwan begitu Aliya men
Dua hari berlalu dengan tenang dan diisi dengan kegiatan-kegiatan normal Aliya. Ridwan siang tadi mampir menyapa dan memastikan Aliya dalam keadaan baik, sementara kemarin Agni yang datang membawakan makanan kering untuk Aliya.Sore itu tidak ada hal aneh atau menyebalkan terjadi, kecuali isi chat dari grup WA teman-teman alumni Aryasatya.Seperti sebelumnya, Bianca menyindir Aliya. Dan seperti biasa pula, Hana langsung bereaksi dan memberikan sindiran yang tak kalah pedasnya. [Sumpah ya, tu mak lampir nyinyir amat sih. Apa dia se-nganggur itu jadi orang?]WA melalui jalur pribadi dari Hana, masuk. Aliya nyengir lebar. [Ya kamu juga ngapain ngurusin dia, coba? Apa kamu juga se-nganggur itu buat nanggepin orang seperti itu?] balas Aliya.[Ya gue sebel aja. Lagian nih ya, sesuatu yang ditahan-tahan itu, ga bagus. Gue sih mending langsung semprot aja.][Iya deh, iya… Makasih dear Hana…] emotikon cium dikirim Aliya.Aliya lalu beralih pada chat grup kembali.Putri : [Jangan pada lupa
Langkah kaki Aliya sempat tersendat, begitu ia berada di depan pintu masuk hotel tempat acara makan malam reuni itu diadakan. Entah betapa bercampur aduk perasaannya detik ini. Sungguh ia menyayangkan Hana yang tak bisa menghadiri acara ini, setidaknya jika Hana ada, ia tidak akan terlalu merasa canggung dan berpikir akan kesepian. Jika boleh jujur, memang saat kuliah dulu Aliya lebih banyak menyendiri. Bukan karena ia seorang introvert, namun ia lebih suka menghabiskan waktunya dengan kegiatan lain dibanding berkumpul atau nongkrong bersama teman-teman kampusnya. Satu-satunya teman yang terbilang dekat, adalah Emilia. Teman yang sering berpasangan dengannya saat mengerjakan tugas. Teman yang ia bantu dengan dagangannya dan teman yang juga menyelamatkan dirinya sendiri dibanding membantu Aliya menjelaskan kesalahpahaman saat itu. Aliya menghembus napas kuat-kuat. Ia mengeraskan tekad, lalu melanjutkan langkah memasuki area lobby lalu menuju restoran yang berada di sayap kanan gedun
“Ngga salah, Put??” “Berarti kita harus iuran berapa nih?” “Put, beneran ga salah?” “Iya, setahu saya, untuk pakai ruang VIP, jenis paket makanannya kan beda tuh. Kalau disini kita bisa pesan yang standar yang paling murah. Tapi kalau di ruang VIP, itu minimal yang gold.” “Emang berapa tuh jatuhnya per orang?” “Minimal kayanya masing-masing dari kita harus mengeluarkan enam ratus ribu.” “A-apa?!” “Kalau hanya dua ratus ribu per orang, kita sudah sanggupin. Tapi kalau enam ratus? Ini terlalu berlebihan hanya untuk makan malam!” Putri mengangkat tangannya meminta semua teman-temannya yang sudah panik itu, agar tenang. “Tenang, teman-teman. Aku belum selesai menyampaikan,” Putri berkata agak keras. Keributan memang mulai mereda, meski masih terdengar samar bisik-bisik keresahan dari beberapa orang. “Memang benar, kita dipindah ke ruang VIP. Tapi…” Putri menjeda kalimatnya. “Kita tetap dikenakan harga paket sesuai pesanan kita, yaitu harga paket standar.” “Serius Put??” “Wah!
“I-Iyad? Ka-kamu seorang elemen??”Iyad melangkah santai mendekati Aliya. Senyumnya tersungging dengan mata mengerling. “Yup. I am.”“Ke-kenapa… Kok… Kok bisa?” “Gue menerima sinyalmu, Aliya. Tapi pas lihat di akun FB, ternyata gue memang sudah kenal denganmu sebelumnya, jadi gue menunggu kesempatan kita bertemu secara langsung.”“Sinyal? Sinyal apa?” Aliya menelan ludah. Ia menatap bingung pada Iyad.Iyad memundurkan kepalanya sedikit. “Bukan kau yang mengirim sinyal itu?”Kening Aliya melesak dalam. “Aku gak ngerti, Yad.”“Oh astaga. Tapi kenapa kamu tau soal gue yang elemen? Kamu tau kan, dirimu juga elemen?”“Soal itu…” Aliya terdiam sejenak, lalu menggeleng pelan. “Aku sendiri kurang paham, Yad. Ada yang bilang, kalau aku itu seorang elemen. Tapi aku gak bisa melakukan hal-hal sepert
Pria itu menangkap pandangan Aliya, lalu tersenyum. Ia melangkah tenang menuju tempat Aliya duduk. Setibanya di sisi Aliya, pria itu sedikit merunduk. “Liebling, maaf aku terlambat,” ujar pria itu lembut. Aliya menatap lurus kedua mata pria tampan di depannya. Siapa lagi jika bukan pria terkasihnya, Elang. Ingatannya kemudian melayang pada kejadian jamuan kantor di sebuah hotel bintang lima di Bogor sekian bulan yang lalu. Lucu sekali. Dulu kalimat serupa diucapkan Elang untuk menyelamatkan dirinya dari kalah taruhan dengan Milah. Namun saat ini, kalimat itu diucapkan Elang, karena benar-benar demikianlah kenyataannya. Dirinya telah menjadi istri Elang. Dan Elang terlambat karena ada urusan pekerjaan. “I-itu suamimu, Aliya??” Salah satu teman Bianca bersuara agak keras karena kaget. “Ah, maaf. Perkenalkan semuanya, ini suamiku. Einhard,” ujar Aliya memperkenalkan Elang. Elang menangkup kedua tangannya lalu memberikan senyuman tipis kepada semua teman-teman wanita Aliya di sisi
“A--” Sonny tergagap. Namun belum sempat ia mengatakan apapun, seorang teman Bianca berdiri dan berteriak keras. “Ayo teman-teman! Untuk menghargai kebaikan hati kang Sonny dan Bianca kita tersayang, ayo bersulang!” Bianca mendesah. “Tidak perlu seperti itu…” ujarnya hampir tak terdengar. Ia masih kaget, bahwa semua kemewahan ini bukanlah berasal dari suaminya. Suaminya bahkan tidak tahu menahu soal upgrade ruangan ini. Suaminya berpikir dirinya dan teman-temannya lah yang sengaja meminta ruang VIP dan membayar mandiri. “Jangan sungkan begitu, Bi! Kamu tuh dah kaya malaikat aja, tau ga sih. Baik hati, tapi juga begitu rendah hati. Kita gak akan bisa merasakan berada di ruangan ini kalau bukan karena kang Sonny dan kamu, Bi!” “Ngga, bukan apa-apa…” ujar Bianca sedikit malu. “Jangan gitu ah Bi!” “Iya, kami semua berterima kasih padamu.” Kalimat-kalimat pujian itu mengalir lagi membuat Bianca pun kembali lupa diri. Bibirnya tersungging senyuman manis yang penuh kebanggaan. ‘Seper