“I-Iyad? Ka-kamu seorang elemen??”
Iyad melangkah santai mendekati Aliya. Senyumnya tersungging dengan mata mengerling. “Yup. I am.”
“Ke-kenapa… Kok… Kok bisa?”
“Gue menerima sinyalmu, Aliya. Tapi pas lihat di akun FB, ternyata gue memang sudah kenal denganmu sebelumnya, jadi gue menunggu kesempatan kita bertemu secara langsung.”
“Sinyal? Sinyal apa?” Aliya menelan ludah. Ia menatap bingung pada Iyad.
Iyad memundurkan kepalanya sedikit. “Bukan kau yang mengirim sinyal itu?”
Kening Aliya melesak dalam. “Aku gak ngerti, Yad.”
“Oh astaga. Tapi kenapa kamu tau soal gue yang elemen? Kamu tau kan, dirimu juga elemen?”
“Soal itu…” Aliya terdiam sejenak, lalu menggeleng pelan. “Aku sendiri kurang paham, Yad. Ada yang bilang, kalau aku itu seorang elemen. Tapi aku gak bisa melakukan hal-hal sepert
Pria itu menangkap pandangan Aliya, lalu tersenyum. Ia melangkah tenang menuju tempat Aliya duduk. Setibanya di sisi Aliya, pria itu sedikit merunduk. “Liebling, maaf aku terlambat,” ujar pria itu lembut. Aliya menatap lurus kedua mata pria tampan di depannya. Siapa lagi jika bukan pria terkasihnya, Elang. Ingatannya kemudian melayang pada kejadian jamuan kantor di sebuah hotel bintang lima di Bogor sekian bulan yang lalu. Lucu sekali. Dulu kalimat serupa diucapkan Elang untuk menyelamatkan dirinya dari kalah taruhan dengan Milah. Namun saat ini, kalimat itu diucapkan Elang, karena benar-benar demikianlah kenyataannya. Dirinya telah menjadi istri Elang. Dan Elang terlambat karena ada urusan pekerjaan. “I-itu suamimu, Aliya??” Salah satu teman Bianca bersuara agak keras karena kaget. “Ah, maaf. Perkenalkan semuanya, ini suamiku. Einhard,” ujar Aliya memperkenalkan Elang. Elang menangkup kedua tangannya lalu memberikan senyuman tipis kepada semua teman-teman wanita Aliya di sisi
“A--” Sonny tergagap. Namun belum sempat ia mengatakan apapun, seorang teman Bianca berdiri dan berteriak keras. “Ayo teman-teman! Untuk menghargai kebaikan hati kang Sonny dan Bianca kita tersayang, ayo bersulang!” Bianca mendesah. “Tidak perlu seperti itu…” ujarnya hampir tak terdengar. Ia masih kaget, bahwa semua kemewahan ini bukanlah berasal dari suaminya. Suaminya bahkan tidak tahu menahu soal upgrade ruangan ini. Suaminya berpikir dirinya dan teman-temannya lah yang sengaja meminta ruang VIP dan membayar mandiri. “Jangan sungkan begitu, Bi! Kamu tuh dah kaya malaikat aja, tau ga sih. Baik hati, tapi juga begitu rendah hati. Kita gak akan bisa merasakan berada di ruangan ini kalau bukan karena kang Sonny dan kamu, Bi!” “Ngga, bukan apa-apa…” ujar Bianca sedikit malu. “Jangan gitu ah Bi!” “Iya, kami semua berterima kasih padamu.” Kalimat-kalimat pujian itu mengalir lagi membuat Bianca pun kembali lupa diri. Bibirnya tersungging senyuman manis yang penuh kebanggaan. ‘Seper
“Apa saat itu kau mencuri gelang dia?” tanya Elang lembut. Aliya menggeleng. “Tidak. Aku tidak mencurinya dan aku bukan pencuri.” Kini giliran Elang mengangguk. “Ok.” Ia mengambil tempat dan duduk di samping istrinya itu, setelah mengusap singkat punggung Aliya. “A-apa?” Bianca terbelalak. “Hanya begitu saja?!” Ia sampai berdiri dari duduknya. “Apa kau gila? Dia mencuri gelangku. Dan kau baik-baik saja seperti itu?!” serunya lagi. Sonny berani bersumpah, ia ingin menyumpal mulut istrinya dengan apapun yang ada di atas meja. “Mi-Mimih..” “Diam Pih. Ini Mimih keberatan soal ini!” dengan gusar Bianca menepis lagi raihan tangan Sonny. “Ini urusan saya, karena dia istri saya. Saya tidak peduli masa lalu dia, karena saya hidup dengannya di masa ini dan untuk masa depan. Mengapa Anda yang harus keberatan dengan hal itu?” kata Elang tenang. “I-itu.. Karena tidak adil buatmu. Kau dibohongi Aliya. Kau layak dapat wanita yang jauh lebih baik!” “Mimih!!” Sekuat tenaga Sonny bersuara. “Bi
Seruan demi seruan berisi kalimat penyesalan mengudara seketika. Beberapa orang langsung menghampiri Aliya dan meminta maaf dengan tulus, disusul oleh sisanya yang masih sempat ragu.“Kalo gue gak bolos hari itu, pasti gue duluan protes. Tapi apapun, bygones be bygones. Namamu sudah dibersihkan dengan cara yang epik…” Iyad mengerling pada Aliya. Namun seketika kembali bersikap kaku, ketika mendapati Elang yang ikut menatapnya.“Aku… sungguh sangat menyesal. Aku saat itu hanya diam melihatmu dituduh membabi buta seperti itu.” Adam ikut menunjukkan penyesalannya.Dan ia sungguh-sungguh menyesal. Jika saja dulu ia berdiri membela Aliya dan bukannya hanya diam sambil ikut meragukan Aliya, mungkin Aliya akan sedikit memiliki rasa untuk dirinya.Kini yang bisa ia lakukan adalah meminta maaf dengan sungguh-sungguh dan sadar diri, bahwa dirinya dan Aliya, tidaklah berjodoh.Ketika seluruh teman-teman --kecuali Bianca dan dua sahabatnya-- selesai bersalaman dengan Aliya, Emilia mendekat dan me
Elang menggenggam erat jemari tangan Aliya ketika menuruni tangga lobby hotel. Udara dingin mulai terasa menghembus pipi halus Aliya.Aliya mendongak ke samping, memperhatikan seksama wajah suaminya dari sisi. Sinar dari lampu-lampu halogen teras depan hotel, menyinari Elang dan tubuhnya seakan diselimuti lapisan kehangatan.“Emm…” Aliya menggeser tubuh lebih merapat ke tubuh suaminya. “Kau benar-benar menolongku lagi. Bagaimana kau sempat melakukan semua itu?”“Untuk istriku, tentu saja aku akan melakukannya,” jawab Elang lalu mengecup lembut pelipis Aliya.Aliya tersipu. Perasaan terharu menyelinap cepat dan menghangatkan hatinya.Ia bisa melihat, Elang bergegas menuju tempat ini, padahal sebelumnya mengatakan ada pertemuan di petang hari yang tidak bisa dihindari. Suaminya itu tidak hanya datang, tapi dia juga memberikan kejutan-kejutan yang tak bisa Aliya duga sebelumnya.
“Bagaimana kondisinya?” Elang berjalan masuk saat pintu villa telah dibuka Dean. “Dua malam sudah lewat. Kondisi vital terpantau bagus. Intensitas energi meningkat,” jawab Dean sambil mengikuti di belakang Elang menuju kamar tempat Agni terbaring. “Agni mengikutinya dengan baik,” sambung Dean. Elang mengangguk. Ia lalu menarik sebuah kursi kayu yang berada dalam kamar itu ke sisi ranjang tempat Agni terlihat tidur lelap. “Saya sempat khawatir Agni akan menolak gemblengan ini,” kata Elang lalu melempar pandangannya ke arah Agni. “Dia sangat bertekad. Saya bisa melihat itu. Mungkin dia akan sedikit kaget dengan segala kesulitan dan tantangan di sana. Tapi dia akan bisa melalui dan benar-benar menyelesaikannya sempurna,” Dean menimpali. “Ya, benar.” Lalu mereka berdua terdiam dengan mata terarah pada Agni. “Kapan kau mendapat kultivasi kekuatanmu, Dean?” Tanpa menoleh Elang melempar tanya pada Dean yang berdiri di sebelahnya. “Setahun sebelum bertemu Aliya.” “Sebelum bertemu Ali
“Iya. Aku juga gak tau. Mungkin kalau suamiku senggang, aku akan coba tanya ya. Ya, ya. Ya, sama-sama…” Aliya menutup sambungan telepon. Sejak kemarin, ponselnya cukup sering berbunyi, panggilan yang berasal dari teman-temannya. Teman-teman yang sesungguhnya tidak terlalu dekat dan tidak begitu ia kenal. Kejadian reuni tempo hari sebelumnya, mendadak menjadikan Aliya bak selebriti. Begitu teman-teman kelasnya mengetahui bahwa ia istri dari Einhard, pemilik Hotel tempat mereka mengadakan reuni, mereka mencari tahu tentang keluarga pemilik hotel itu. Dalam pencarian apapun, memang tidak ditemukan nama Einhard. Namun mereka tahu, bahwa jaringan hotel Harper International adalah milik keluarga Aziz. Putra sulung Aziz, Radith Aziz tidak meneruskan bisnis keluarganya dan menjadi seorang politikus terkenal. Sehingga bisnis keluarganya itu dipegang oleh Rosaline Aziz, adik kandung Radith Aziz. Dan Rosaline Aziz memiliki seorang putra tunggal. Meskipun nama dari putra Rosaline tidak diseb
Tangan Elang menggantung di udara dengan cangkir teh masih dalam genggamannya. “Sound of Delusion?” Ia mengulang kalimat terakhir Aliya. Dengan perlahan ia turunkan cangkir itu lalu memutar duduknya hingga mengarah pada Aliya. Entah mengapa, dadanya terasa terhentak sesaat, ketika mendengar Aliya menyebutkan nama itu. “Tell me about Sound of Delusion itu,” pinta Elang akhirnya. “Kau tidak tahu?” Aliya membulatkan matanya pada sang suami. Serasa aneh bahwa Elang tidak tahu tentang SoD. “Itu grup band nomor satu di sini, Elang. Apa kau benar-benar tidak tahu?” ulang Aliya. Ia lalu melangkah mendekati tempat suaminya duduk, dengan tangan mengetik sesuatu di ponsel miliknya. “Ini. Lihat,” ujar Aliya begitu langkahnya terhenti tepat di depan Elang, sambil menyodorkan ponselnya ke hadapan Elang agar bisa terbaca oleh sang suami. Elang menatap layar ponsel Aliya dan tampak seksama membaca apapun itu yang ditunjukkan oleh Aliya melalui ponselnya. Ia kemudian bahkan mengambil ponsel Aliy