Seruan demi seruan berisi kalimat penyesalan mengudara seketika. Beberapa orang langsung menghampiri Aliya dan meminta maaf dengan tulus, disusul oleh sisanya yang masih sempat ragu.“Kalo gue gak bolos hari itu, pasti gue duluan protes. Tapi apapun, bygones be bygones. Namamu sudah dibersihkan dengan cara yang epik…” Iyad mengerling pada Aliya. Namun seketika kembali bersikap kaku, ketika mendapati Elang yang ikut menatapnya.“Aku… sungguh sangat menyesal. Aku saat itu hanya diam melihatmu dituduh membabi buta seperti itu.” Adam ikut menunjukkan penyesalannya.Dan ia sungguh-sungguh menyesal. Jika saja dulu ia berdiri membela Aliya dan bukannya hanya diam sambil ikut meragukan Aliya, mungkin Aliya akan sedikit memiliki rasa untuk dirinya.Kini yang bisa ia lakukan adalah meminta maaf dengan sungguh-sungguh dan sadar diri, bahwa dirinya dan Aliya, tidaklah berjodoh.Ketika seluruh teman-teman --kecuali Bianca dan dua sahabatnya-- selesai bersalaman dengan Aliya, Emilia mendekat dan me
Elang menggenggam erat jemari tangan Aliya ketika menuruni tangga lobby hotel. Udara dingin mulai terasa menghembus pipi halus Aliya.Aliya mendongak ke samping, memperhatikan seksama wajah suaminya dari sisi. Sinar dari lampu-lampu halogen teras depan hotel, menyinari Elang dan tubuhnya seakan diselimuti lapisan kehangatan.“Emm…” Aliya menggeser tubuh lebih merapat ke tubuh suaminya. “Kau benar-benar menolongku lagi. Bagaimana kau sempat melakukan semua itu?”“Untuk istriku, tentu saja aku akan melakukannya,” jawab Elang lalu mengecup lembut pelipis Aliya.Aliya tersipu. Perasaan terharu menyelinap cepat dan menghangatkan hatinya.Ia bisa melihat, Elang bergegas menuju tempat ini, padahal sebelumnya mengatakan ada pertemuan di petang hari yang tidak bisa dihindari. Suaminya itu tidak hanya datang, tapi dia juga memberikan kejutan-kejutan yang tak bisa Aliya duga sebelumnya.
“Bagaimana kondisinya?” Elang berjalan masuk saat pintu villa telah dibuka Dean. “Dua malam sudah lewat. Kondisi vital terpantau bagus. Intensitas energi meningkat,” jawab Dean sambil mengikuti di belakang Elang menuju kamar tempat Agni terbaring. “Agni mengikutinya dengan baik,” sambung Dean. Elang mengangguk. Ia lalu menarik sebuah kursi kayu yang berada dalam kamar itu ke sisi ranjang tempat Agni terlihat tidur lelap. “Saya sempat khawatir Agni akan menolak gemblengan ini,” kata Elang lalu melempar pandangannya ke arah Agni. “Dia sangat bertekad. Saya bisa melihat itu. Mungkin dia akan sedikit kaget dengan segala kesulitan dan tantangan di sana. Tapi dia akan bisa melalui dan benar-benar menyelesaikannya sempurna,” Dean menimpali. “Ya, benar.” Lalu mereka berdua terdiam dengan mata terarah pada Agni. “Kapan kau mendapat kultivasi kekuatanmu, Dean?” Tanpa menoleh Elang melempar tanya pada Dean yang berdiri di sebelahnya. “Setahun sebelum bertemu Aliya.” “Sebelum bertemu Ali
“Iya. Aku juga gak tau. Mungkin kalau suamiku senggang, aku akan coba tanya ya. Ya, ya. Ya, sama-sama…” Aliya menutup sambungan telepon. Sejak kemarin, ponselnya cukup sering berbunyi, panggilan yang berasal dari teman-temannya. Teman-teman yang sesungguhnya tidak terlalu dekat dan tidak begitu ia kenal. Kejadian reuni tempo hari sebelumnya, mendadak menjadikan Aliya bak selebriti. Begitu teman-teman kelasnya mengetahui bahwa ia istri dari Einhard, pemilik Hotel tempat mereka mengadakan reuni, mereka mencari tahu tentang keluarga pemilik hotel itu. Dalam pencarian apapun, memang tidak ditemukan nama Einhard. Namun mereka tahu, bahwa jaringan hotel Harper International adalah milik keluarga Aziz. Putra sulung Aziz, Radith Aziz tidak meneruskan bisnis keluarganya dan menjadi seorang politikus terkenal. Sehingga bisnis keluarganya itu dipegang oleh Rosaline Aziz, adik kandung Radith Aziz. Dan Rosaline Aziz memiliki seorang putra tunggal. Meskipun nama dari putra Rosaline tidak diseb
Tangan Elang menggantung di udara dengan cangkir teh masih dalam genggamannya. “Sound of Delusion?” Ia mengulang kalimat terakhir Aliya. Dengan perlahan ia turunkan cangkir itu lalu memutar duduknya hingga mengarah pada Aliya. Entah mengapa, dadanya terasa terhentak sesaat, ketika mendengar Aliya menyebutkan nama itu. “Tell me about Sound of Delusion itu,” pinta Elang akhirnya. “Kau tidak tahu?” Aliya membulatkan matanya pada sang suami. Serasa aneh bahwa Elang tidak tahu tentang SoD. “Itu grup band nomor satu di sini, Elang. Apa kau benar-benar tidak tahu?” ulang Aliya. Ia lalu melangkah mendekati tempat suaminya duduk, dengan tangan mengetik sesuatu di ponsel miliknya. “Ini. Lihat,” ujar Aliya begitu langkahnya terhenti tepat di depan Elang, sambil menyodorkan ponselnya ke hadapan Elang agar bisa terbaca oleh sang suami. Elang menatap layar ponsel Aliya dan tampak seksama membaca apapun itu yang ditunjukkan oleh Aliya melalui ponselnya. Ia kemudian bahkan mengambil ponsel Aliy
Dean melangkah lebar saat instingnya mengatakan ada sesuatu yang terasa tidak enak. Ia bergegas meninggalkan dapur dan menuju kamar Agni terbaring. Tangannya memutar handel pintu dan mendorong pelan. Dengan langkah yang lebih lambat, ia mendekati tepian ranjang. Hari ini tepat hari ke empat dan tiga malam sudah Agni tertidur. Sejak kemarin Elang datang melihat keadaan Agni dan sekaligus pertemuan pertama mereka berdua dengan Guntur dan Iyad, hingga tadi pagi Elang kembali menengok untuk kedua kalinya, Agni masih belum terbangun. Dean melakukan pengecekan terhadap denyut nadi Agni dan melakukan screening pada tubuh Agni. Ia menghela napas cukup lega, saat semua tampaknya baik-baik saja. Secara jujur, ia sempat sedikit khawatir karena hingga menjelang petang di hari ke empat ini, Agni masih belum menunjukkan tanda-tanda akan terbangun. Ketika mengingat pengalaman dirinya sendiri dan juga pengalaman yang diceritakan Elang, mereka berdua sama-sama menyelesaikan proses kultivasi merek
“Agni…”Pemuda yang tengah berbaring itu bergeming. Namun bulu mata yang terbilang cukup lentik itu bergetar. Nampaknya ia mulai mendengar suara-suara di sekitarnya.“Agni…” panggil suara lembut seorang wanita muda. Aliya duduk di tepi ranjang dan memperhatikan pemuda bernama Agni yang masih dalam posisi telentang dengan kedua mata terpejam.“Emmh…” Kini suara erangan halus keluar dari mulut Agni.“Dean!” Aliya berseru memanggil Dean yang langsung masuk ke dalam kamar dan berdiri di dekat Aliya.“Kau benar, dia sepertinya akan terbangun…” ujar Aliya lagi.“Ya. Subuh tadi aku menangkap sinyal bahwa Agni akan kembali tak lama lagi,” ujar Dean pelan. Kedua netranya memperhatikan seksama gerak-gerak halus pada tubuh Agni.Aliya yang memang sengaja meminta izin pada Elang untuk datang menengok Agni pagi hari ini, masih duduk dan ikut memperh
“Agni, duduklah,” ujar Dean.“Eh Iyad? Kok bisa ada di sini?” Aliya bertanya terkejut.Agni menoleh cepat pada Aliya. “Moony kenal mereka?”“Yad, sini. Mas Guntur sini,” tukas Aliya sambil melambaikan tangan meminta keduanya mendekat.“Duduklah,” Dean berkata pada keduanya.Guntur dan Iyad akhirnya menarik kursi di kanan Aliya dan duduk berseberangan dengan Agni dan Dean.“Moony?” Agni menatap bingung pada Aliya, lalu beralih menatap tajam pada kedua pemuda di seberangnya. Ia tidak suka kedua pria yang tampak cukup menarik itu, duduk dekat-dekat Aliya.“Biar saya perkenalkan,” Dean buka suara saat melihat Agni telah duduk kembali, meski dengan tatapan tajam pada Iyad dan Guntur.Iyad dan Guntur sendiri sedikit terlihat salah tingkah dan merasa agak terintimidasi.Meskipun bertemu elemen dengan level tinggi sudah bukan merupakan hal baru l
Hai GoodReaders!! Akhirnya “Istri Ku Sang Ratu Bumi” telah sampai di penghujung cerita. Terima kasih banyak untuk seluruh GoodReaders yang dengan setia mengikuti kisah ini hingga akhir. Author mohon maaf jika pada tulisan yang GoodReaders baca dalam cerita ini, masih ditemukan banyak typo atau kata-kata rancu dan hal lain yang tanpa sadar Author lakukan. Author berharap GoodReaders dapat menikmati juga menyukai karya ini. Adakah kesan dan pesan kalian untuk Author? Would love to know it! Adakah tokoh favorit kalian? Aliya? Elang? Dean? Agni? Atau lainnya? Author dengan senang hati membaca kesan kalian dan pesan kalian untuk mereka :D Jangan lupakan untuk memberi review di luar buku ya… Bintang lima dari kalian akan menambah semangat author melanjutkan Session 2 buku ini. Sambil menunggu, kalian bisa buka karya on going Author dengan judul “Dibuang Mantan, Dikejar CEO Sultan”. Love-love yang banyak untuk kalian semua! Sampai Jumpa di karya-karya Author lainnya…. Luv U!!
Mereka semua telah menjadi bagian dari keluarga bagi Aliya. Keluarga kedua yang berbeda dunia. Dunia aneh penuh kejutan yang hidup berdampingan dengan manusia umumnya. Siapa yang pernah menyangka, ternyata sejak lama ada kehidupan seperti ini di tengah-tengah kehidupan normalnya dahulu? Kini tatapan Aliya membidik pada sang suami, Einhard Sovann Gauthier. Pria tampan yang tampak asyik mengajak putri mereka berbicara. Meski demikian, tak dapat dipungkiri, Aliya bisa merasakan sesuatu yang menekan kuat yang terpancar dari Elang. Meski pria tampan itu tengah bermain dengan bayi mungil, namun aura kekuasaan nan tenang dan terkendali, menyelimuti suaminya. Membuat siapapun tak kuasa menentang dan menghindari membuat masalah dengannya. Senyum di bibir Aliya kian merekah. Matanya berbinar menangkap pemandangan yang begitu menyejukkan hatinya itu. Fayza tampak tergelak ketika hidung Elang menyerbu perut mungil sang putri. Hatinya begitu damai melihat semua pemandangan yang ada di sekit
“Sekali lagi aku minta maaf, Dean. Sungguh…”Dean menghela napas pelan. “Apa yang kau bicarakan, Al?”Ia terhenti karena teko yang dipanaskan Aliya telah berbunyi.“Biar aku saja,” katanya sembari berjalan mendekat untuk mematikan kompor lalu mengangkat teko dan menuangkannya ke dua cangkir dan empat gelas belimbing yang telah diisikan kopi dan gula oleh Aliya sebelumnya.Tangannya mengaduk telaten setiap gelasnya. “Jika kau berpikir kepergianku karena berada di dekatmu itu menyakitkan untukku dan untuk menjauh darimu, kau keliru Aliya.”“Aku pergi karena memang ada sesuatu yang harus kulakukan. Dan itu baru bisa kulakukan saat ini, ketika situasi di sini telah kondusif. Einhard seorang elemen yang kini berada di ambang Level Satu. Einhard seorang diri, sudah bisa menakuti semua elemen yang ada di sini saat ini, Al.”Dean selesai mengaduk dan meletakkan sendok ke bak cuci piring dan melanjutkan. “Sekalipun aku pergi, kita sekarang punya Nawidi yang seorang Level Dua Tingkat Tertinggi.
“Einhard, duduk di sini,” Dean beralih pada Elang yang berdiri di sebelah Aliya. Elang lalu menggamit pergelangan tangan Aliya dan menariknya untuk duduk di antara Dean dan Nawidi. Dengan patuh Aliya mengikuti suaminya dan membalas semua sapaan dari Agni dan teman-teman elemen lainnya dengan hangat. “Fayza di mana?” tanya Dean lagi setelah Elang dan Aliya duduk. “Kami tinggalkan di rumah dulu dengan bi Sumi dan Asih,” jawab Elang. Tangannya menerima sodoran jagung bakar dari Dean. “Thanks.” “Liebling, kau mau?” Elang mengoper jagung bakar itu ke Aliya. “Ngga, Liebe. Kau aja,” tolak Aliya. Ia melemparkan pandangan ke sekeliling, lalu beralih pada Dean. “Kau mau kemana? Pertanyaanku tadi belum di jawab.” Dean tersenyum. “Aku ada kerjaan di Botswana, Al.” “Apa?? Botswana? Afrika??” Mata Aliya membulat. “Jauh banget. Ada apa di sana?” “Emm… Kerjaan lama ku.” “Liebling, bisa tolong buatkan kopi untukku?” Elang menyentuh lengan istrinya itu. “Aku--” Tatapan Aliya beralih pada Elang
“Gung, dulu gimana si cewek itu. Lu buang kemana?” “Ya kali, dia barang. Main buang-buang aja.” Agung meringis. Bukan karena luka di tangan kiri yang ia derita setelah latihan tadi. Namun karena mendengar pertanyaan Agni. “Kok baru nanya sekarang?” tanyanya dengan tangan yang sibuk mengulur kain kasa panjang untuk membalut luka-luka di sela tangannya. “Gue baru kepo, Gung. Asli, waktu itu gue eneg banget denger nama tu cewek. Baru kali ini gue agak legaan,” tukas Agni sambil membantu Agung menggunting kasa tersebut, merobek ujungnya lalu mengikatnya kuat. “Ish! Pelan-pelan, Ni.” “Jangan cengeng lu.” Agni mengoles antiseptik pada bekas luka lain di tangan kanan Agung. Meski tidak sedalam luka di tangan kiri, namun tetap saja menggambarkan betapa keras latihan yang baru saja ditempuh Agung. “Lain kali lu perhitungkan ritme serangan si bang Nawi, Gung. Dia punya pola sendiri dengan alter variasinya. Pas bagian lu, itu pola yang dia gunain waktu nyerang gue latihan kemaren,” tutur
Angin semilir menghantarkan suasana yang begitu tenang dan damai. Beberapa dedaunan kering berjatuhan perlahan menyentuh tanah di tepian kolam renang dengan pantulan kilau terik mentari di atas air. Gerakan tangan Elang membelah air dan mendorong kuat tubuhnya meluncur. Sudah lima balik ia menggunakan gaya kupu-kupu, setelah enam balik sebelumnya menggunakan gaya bebas untuk membawa dirinya menyentuh tepian kolam renang sekian kali. Elang berhenti di pinggir dan memutuskan menyudahi kegiatan berenangnya siang itu. Kedua lengannya bertumpu pada tepian dan setengah melompat, membawa tubuhnya keluar dari dalam kolam. Ia duduk di tepian sambil mengusap wajah untuk menyingkirkan bulir air yang membasahi wajah tampannya. Mata coklat tua itu menerawang, membawa ingatannya kembali pada percakapannya dengan Dean semalam. “Saat itu ayahmu melalui Hecate mencari juga wanita elemen bumi dan sempat menyangka ibuku adalah salah satunya. Dia sebenarnya bukanlah seorang elemen bumi, Hecate salah
“Liebling, sarapannya sudah kau makan habis?” “Iya,” jawab Aliya lalu mendongakkan kepalanya ke arah Elang yang baru keluar dari kamar mandi. Ia menatap suaminya dengan alis berkerut. “Kenapa?” “Asi ku masih sedikit keluarnya,” keluh Aliya. “Tadi perawat datang kesini untuk mengambil asi ku. Tadi gak bisa dapat banyak.” “Hm.” Elang melangkahkan kakinya mendekati brankar Aliya. “Itu hal wajar, Liebling. Untuk kelahiran pertama, seorang ibu agak kesulitan mengeluarkan asi-nya. Putri kita juga belum membutuhkan makanan yang banyak, Liebling. Kau tahu, ukuran usus dan lambungnya pun masih sangat kecil,” sambungnya lagi sambil menggerakkan ibu jari dan telunjuknya untuk menunjukkan betapa kecilnya ukuran tersebut. “Tapi--” “Aku tahu kau khawatir. It’s ok. Bahkan bayi baru lahir masih bisa tanpa diberikan asi atau susu dalam waktu dua kali dua puluh empat jam.” “Kau tahu dari mana?” “I read it somewhere (aku baca entah di mana).” “Elang--” “Aku sudah bicara dengan dokter, Lieblin
Arah pandang Aliya terpaku pada pintu ruang untuk beberapa saat. Meski sedikit bertanya-tanya, namun ia segera menepis itu dalam hatinya dan langsung beralih pada monitor di dinding sebelah kiri. Bibirnya seketika tertarik ke atas disertai pandangan yang melembut dan penuh kasih. Monitor itu menampilkan bayinya yang berada dalam inkubator di ruang NICU. Tubuh mungil yang masih berwarna merah dengan jemari kecil yang mengepal. Kedua manik mata Aliya lalu berkaca-kaca. Betapa ia ingin memeluk makhluk mungil itu. Betapa ia merasa semua bagai mimpi. Dari dalam dirinya bisa keluar makhluk luar biasa seperti itu. Ia hanya harus bersabar lagi, untuk bisa mendekap bayi mungilnya itu. “Isn’t she beautiful?” Sebuah suara mengagetkan Aliya. Ia mengusap titik air di sudut matanya lalu tersenyum pada dua orang yang datang itu. “Dean, kang Awi. Masuklah.” Kedua pria bertubuh tegap dan atletis itu kemudian duduk di kursi meja makan yang memang bersebelahan dengan brankar Aliya. “Bagaimana
“Ah ya Tuhan!” Agni mengerjap-kerjapkan kedua kelopak matanya. Menatap penuh haru sekaligus takjub dengan tangan menempel pada dinding kaca. Begitu pula ketiga teman-teman lainnya. Agung, Iyad, Guntur sama -sama menatap dengan mata berbinar penuh ketakjuban ke arah satu box bayi dari balik kaca besar pembatas ruang NICU. “Lakukan covering kalian, setiap kalian keluar.” Suara datar Nawidi mengingatkan empat pria yang terus menerus menatap tanpa berkedip ke arah bayi merah di dalam inkubator itu. Ia baru saja datang bersama Dean setelah melakukan pengecekan ulang di sekitar Rumah Sakit Bersalin tersebut, sebagai bentuk tindakan antisipatif standar mereka. Agni dan lainnya menoleh dan baru menyadari pengunjung wanita di sekitar mereka, tak hentinya menatap mereka seolah melihat artis terkenal yang membuat mata mereka tak berkedip mengagumi. Penampilan Agni dan kawan-kawan memang tidak bisa dibilang biasa, terutama Agni. Wajah tampan pria muda itu begitu menarik perhatian para pengunj