Elang menggenggam erat jemari tangan Aliya ketika menuruni tangga lobby hotel. Udara dingin mulai terasa menghembus pipi halus Aliya.Aliya mendongak ke samping, memperhatikan seksama wajah suaminya dari sisi. Sinar dari lampu-lampu halogen teras depan hotel, menyinari Elang dan tubuhnya seakan diselimuti lapisan kehangatan.“Emm…” Aliya menggeser tubuh lebih merapat ke tubuh suaminya. “Kau benar-benar menolongku lagi. Bagaimana kau sempat melakukan semua itu?”“Untuk istriku, tentu saja aku akan melakukannya,” jawab Elang lalu mengecup lembut pelipis Aliya.Aliya tersipu. Perasaan terharu menyelinap cepat dan menghangatkan hatinya.Ia bisa melihat, Elang bergegas menuju tempat ini, padahal sebelumnya mengatakan ada pertemuan di petang hari yang tidak bisa dihindari. Suaminya itu tidak hanya datang, tapi dia juga memberikan kejutan-kejutan yang tak bisa Aliya duga sebelumnya.
“Bagaimana kondisinya?” Elang berjalan masuk saat pintu villa telah dibuka Dean. “Dua malam sudah lewat. Kondisi vital terpantau bagus. Intensitas energi meningkat,” jawab Dean sambil mengikuti di belakang Elang menuju kamar tempat Agni terbaring. “Agni mengikutinya dengan baik,” sambung Dean. Elang mengangguk. Ia lalu menarik sebuah kursi kayu yang berada dalam kamar itu ke sisi ranjang tempat Agni terlihat tidur lelap. “Saya sempat khawatir Agni akan menolak gemblengan ini,” kata Elang lalu melempar pandangannya ke arah Agni. “Dia sangat bertekad. Saya bisa melihat itu. Mungkin dia akan sedikit kaget dengan segala kesulitan dan tantangan di sana. Tapi dia akan bisa melalui dan benar-benar menyelesaikannya sempurna,” Dean menimpali. “Ya, benar.” Lalu mereka berdua terdiam dengan mata terarah pada Agni. “Kapan kau mendapat kultivasi kekuatanmu, Dean?” Tanpa menoleh Elang melempar tanya pada Dean yang berdiri di sebelahnya. “Setahun sebelum bertemu Aliya.” “Sebelum bertemu Ali
“Iya. Aku juga gak tau. Mungkin kalau suamiku senggang, aku akan coba tanya ya. Ya, ya. Ya, sama-sama…” Aliya menutup sambungan telepon. Sejak kemarin, ponselnya cukup sering berbunyi, panggilan yang berasal dari teman-temannya. Teman-teman yang sesungguhnya tidak terlalu dekat dan tidak begitu ia kenal. Kejadian reuni tempo hari sebelumnya, mendadak menjadikan Aliya bak selebriti. Begitu teman-teman kelasnya mengetahui bahwa ia istri dari Einhard, pemilik Hotel tempat mereka mengadakan reuni, mereka mencari tahu tentang keluarga pemilik hotel itu. Dalam pencarian apapun, memang tidak ditemukan nama Einhard. Namun mereka tahu, bahwa jaringan hotel Harper International adalah milik keluarga Aziz. Putra sulung Aziz, Radith Aziz tidak meneruskan bisnis keluarganya dan menjadi seorang politikus terkenal. Sehingga bisnis keluarganya itu dipegang oleh Rosaline Aziz, adik kandung Radith Aziz. Dan Rosaline Aziz memiliki seorang putra tunggal. Meskipun nama dari putra Rosaline tidak diseb
Tangan Elang menggantung di udara dengan cangkir teh masih dalam genggamannya. “Sound of Delusion?” Ia mengulang kalimat terakhir Aliya. Dengan perlahan ia turunkan cangkir itu lalu memutar duduknya hingga mengarah pada Aliya. Entah mengapa, dadanya terasa terhentak sesaat, ketika mendengar Aliya menyebutkan nama itu. “Tell me about Sound of Delusion itu,” pinta Elang akhirnya. “Kau tidak tahu?” Aliya membulatkan matanya pada sang suami. Serasa aneh bahwa Elang tidak tahu tentang SoD. “Itu grup band nomor satu di sini, Elang. Apa kau benar-benar tidak tahu?” ulang Aliya. Ia lalu melangkah mendekati tempat suaminya duduk, dengan tangan mengetik sesuatu di ponsel miliknya. “Ini. Lihat,” ujar Aliya begitu langkahnya terhenti tepat di depan Elang, sambil menyodorkan ponselnya ke hadapan Elang agar bisa terbaca oleh sang suami. Elang menatap layar ponsel Aliya dan tampak seksama membaca apapun itu yang ditunjukkan oleh Aliya melalui ponselnya. Ia kemudian bahkan mengambil ponsel Aliy
Dean melangkah lebar saat instingnya mengatakan ada sesuatu yang terasa tidak enak. Ia bergegas meninggalkan dapur dan menuju kamar Agni terbaring. Tangannya memutar handel pintu dan mendorong pelan. Dengan langkah yang lebih lambat, ia mendekati tepian ranjang. Hari ini tepat hari ke empat dan tiga malam sudah Agni tertidur. Sejak kemarin Elang datang melihat keadaan Agni dan sekaligus pertemuan pertama mereka berdua dengan Guntur dan Iyad, hingga tadi pagi Elang kembali menengok untuk kedua kalinya, Agni masih belum terbangun. Dean melakukan pengecekan terhadap denyut nadi Agni dan melakukan screening pada tubuh Agni. Ia menghela napas cukup lega, saat semua tampaknya baik-baik saja. Secara jujur, ia sempat sedikit khawatir karena hingga menjelang petang di hari ke empat ini, Agni masih belum menunjukkan tanda-tanda akan terbangun. Ketika mengingat pengalaman dirinya sendiri dan juga pengalaman yang diceritakan Elang, mereka berdua sama-sama menyelesaikan proses kultivasi merek
“Agni…”Pemuda yang tengah berbaring itu bergeming. Namun bulu mata yang terbilang cukup lentik itu bergetar. Nampaknya ia mulai mendengar suara-suara di sekitarnya.“Agni…” panggil suara lembut seorang wanita muda. Aliya duduk di tepi ranjang dan memperhatikan pemuda bernama Agni yang masih dalam posisi telentang dengan kedua mata terpejam.“Emmh…” Kini suara erangan halus keluar dari mulut Agni.“Dean!” Aliya berseru memanggil Dean yang langsung masuk ke dalam kamar dan berdiri di dekat Aliya.“Kau benar, dia sepertinya akan terbangun…” ujar Aliya lagi.“Ya. Subuh tadi aku menangkap sinyal bahwa Agni akan kembali tak lama lagi,” ujar Dean pelan. Kedua netranya memperhatikan seksama gerak-gerak halus pada tubuh Agni.Aliya yang memang sengaja meminta izin pada Elang untuk datang menengok Agni pagi hari ini, masih duduk dan ikut memperh
“Agni, duduklah,” ujar Dean.“Eh Iyad? Kok bisa ada di sini?” Aliya bertanya terkejut.Agni menoleh cepat pada Aliya. “Moony kenal mereka?”“Yad, sini. Mas Guntur sini,” tukas Aliya sambil melambaikan tangan meminta keduanya mendekat.“Duduklah,” Dean berkata pada keduanya.Guntur dan Iyad akhirnya menarik kursi di kanan Aliya dan duduk berseberangan dengan Agni dan Dean.“Moony?” Agni menatap bingung pada Aliya, lalu beralih menatap tajam pada kedua pemuda di seberangnya. Ia tidak suka kedua pria yang tampak cukup menarik itu, duduk dekat-dekat Aliya.“Biar saya perkenalkan,” Dean buka suara saat melihat Agni telah duduk kembali, meski dengan tatapan tajam pada Iyad dan Guntur.Iyad dan Guntur sendiri sedikit terlihat salah tingkah dan merasa agak terintimidasi.Meskipun bertemu elemen dengan level tinggi sudah bukan merupakan hal baru l
Elang datang bersama Ridwan untuk menjemput Aliya lewat siang hari. Elang terlibat obrolan sebentar dengan Guntur dan Iyad. Sementara Ridwan mencari Aliya yang tengah berkutat di dapur, membuat makanan malam untuk Agni, Dean dan Guntur nanti. Sedangkan Dean dan Agni masih belum kembali. Mereka berdua tengah pergi ke suatu tempat di sekitar vila itu untuk uji coba kekuatan Agni sekarang ini. Selang tiga puluh menit kemudian, Dean dan Agni datang dan langsung ikut bergabung di ruang tamu, berbicara dengan Elang, Iyad dan Guntur. Iyad dan Guntur langsung pamit ketika mendapat isyarat dari Agni untuk menjauh. Entah apa yang dibicarakan ketiganya yang begitu tampak serius. Yang jelas, pembicaraan mereka terhenti ketika Aliya datang membawakan minuman untuk mereka. “Kalian ngobrolin apa hayo? Kenapa langsung pada diem gini?” goda Aliya sembari tangannya meletakkan satu per satu gelas di depan Elang, Dean dan Agni. “Biasa, obrolan cowok, Moony… Gitu ajaa…” Agni merespon cepat. “Eh iya A