Langkah kaki Aliya sempat tersendat, begitu ia berada di depan pintu masuk hotel tempat acara makan malam reuni itu diadakan. Entah betapa bercampur aduk perasaannya detik ini. Sungguh ia menyayangkan Hana yang tak bisa menghadiri acara ini, setidaknya jika Hana ada, ia tidak akan terlalu merasa canggung dan berpikir akan kesepian. Jika boleh jujur, memang saat kuliah dulu Aliya lebih banyak menyendiri. Bukan karena ia seorang introvert, namun ia lebih suka menghabiskan waktunya dengan kegiatan lain dibanding berkumpul atau nongkrong bersama teman-teman kampusnya. Satu-satunya teman yang terbilang dekat, adalah Emilia. Teman yang sering berpasangan dengannya saat mengerjakan tugas. Teman yang ia bantu dengan dagangannya dan teman yang juga menyelamatkan dirinya sendiri dibanding membantu Aliya menjelaskan kesalahpahaman saat itu. Aliya menghembus napas kuat-kuat. Ia mengeraskan tekad, lalu melanjutkan langkah memasuki area lobby lalu menuju restoran yang berada di sayap kanan gedun
“Ngga salah, Put??” “Berarti kita harus iuran berapa nih?” “Put, beneran ga salah?” “Iya, setahu saya, untuk pakai ruang VIP, jenis paket makanannya kan beda tuh. Kalau disini kita bisa pesan yang standar yang paling murah. Tapi kalau di ruang VIP, itu minimal yang gold.” “Emang berapa tuh jatuhnya per orang?” “Minimal kayanya masing-masing dari kita harus mengeluarkan enam ratus ribu.” “A-apa?!” “Kalau hanya dua ratus ribu per orang, kita sudah sanggupin. Tapi kalau enam ratus? Ini terlalu berlebihan hanya untuk makan malam!” Putri mengangkat tangannya meminta semua teman-temannya yang sudah panik itu, agar tenang. “Tenang, teman-teman. Aku belum selesai menyampaikan,” Putri berkata agak keras. Keributan memang mulai mereda, meski masih terdengar samar bisik-bisik keresahan dari beberapa orang. “Memang benar, kita dipindah ke ruang VIP. Tapi…” Putri menjeda kalimatnya. “Kita tetap dikenakan harga paket sesuai pesanan kita, yaitu harga paket standar.” “Serius Put??” “Wah!
“I-Iyad? Ka-kamu seorang elemen??”Iyad melangkah santai mendekati Aliya. Senyumnya tersungging dengan mata mengerling. “Yup. I am.”“Ke-kenapa… Kok… Kok bisa?” “Gue menerima sinyalmu, Aliya. Tapi pas lihat di akun FB, ternyata gue memang sudah kenal denganmu sebelumnya, jadi gue menunggu kesempatan kita bertemu secara langsung.”“Sinyal? Sinyal apa?” Aliya menelan ludah. Ia menatap bingung pada Iyad.Iyad memundurkan kepalanya sedikit. “Bukan kau yang mengirim sinyal itu?”Kening Aliya melesak dalam. “Aku gak ngerti, Yad.”“Oh astaga. Tapi kenapa kamu tau soal gue yang elemen? Kamu tau kan, dirimu juga elemen?”“Soal itu…” Aliya terdiam sejenak, lalu menggeleng pelan. “Aku sendiri kurang paham, Yad. Ada yang bilang, kalau aku itu seorang elemen. Tapi aku gak bisa melakukan hal-hal sepert
Pria itu menangkap pandangan Aliya, lalu tersenyum. Ia melangkah tenang menuju tempat Aliya duduk. Setibanya di sisi Aliya, pria itu sedikit merunduk. “Liebling, maaf aku terlambat,” ujar pria itu lembut. Aliya menatap lurus kedua mata pria tampan di depannya. Siapa lagi jika bukan pria terkasihnya, Elang. Ingatannya kemudian melayang pada kejadian jamuan kantor di sebuah hotel bintang lima di Bogor sekian bulan yang lalu. Lucu sekali. Dulu kalimat serupa diucapkan Elang untuk menyelamatkan dirinya dari kalah taruhan dengan Milah. Namun saat ini, kalimat itu diucapkan Elang, karena benar-benar demikianlah kenyataannya. Dirinya telah menjadi istri Elang. Dan Elang terlambat karena ada urusan pekerjaan. “I-itu suamimu, Aliya??” Salah satu teman Bianca bersuara agak keras karena kaget. “Ah, maaf. Perkenalkan semuanya, ini suamiku. Einhard,” ujar Aliya memperkenalkan Elang. Elang menangkup kedua tangannya lalu memberikan senyuman tipis kepada semua teman-teman wanita Aliya di sisi
“A--” Sonny tergagap. Namun belum sempat ia mengatakan apapun, seorang teman Bianca berdiri dan berteriak keras. “Ayo teman-teman! Untuk menghargai kebaikan hati kang Sonny dan Bianca kita tersayang, ayo bersulang!” Bianca mendesah. “Tidak perlu seperti itu…” ujarnya hampir tak terdengar. Ia masih kaget, bahwa semua kemewahan ini bukanlah berasal dari suaminya. Suaminya bahkan tidak tahu menahu soal upgrade ruangan ini. Suaminya berpikir dirinya dan teman-temannya lah yang sengaja meminta ruang VIP dan membayar mandiri. “Jangan sungkan begitu, Bi! Kamu tuh dah kaya malaikat aja, tau ga sih. Baik hati, tapi juga begitu rendah hati. Kita gak akan bisa merasakan berada di ruangan ini kalau bukan karena kang Sonny dan kamu, Bi!” “Ngga, bukan apa-apa…” ujar Bianca sedikit malu. “Jangan gitu ah Bi!” “Iya, kami semua berterima kasih padamu.” Kalimat-kalimat pujian itu mengalir lagi membuat Bianca pun kembali lupa diri. Bibirnya tersungging senyuman manis yang penuh kebanggaan. ‘Seper
“Apa saat itu kau mencuri gelang dia?” tanya Elang lembut. Aliya menggeleng. “Tidak. Aku tidak mencurinya dan aku bukan pencuri.” Kini giliran Elang mengangguk. “Ok.” Ia mengambil tempat dan duduk di samping istrinya itu, setelah mengusap singkat punggung Aliya. “A-apa?” Bianca terbelalak. “Hanya begitu saja?!” Ia sampai berdiri dari duduknya. “Apa kau gila? Dia mencuri gelangku. Dan kau baik-baik saja seperti itu?!” serunya lagi. Sonny berani bersumpah, ia ingin menyumpal mulut istrinya dengan apapun yang ada di atas meja. “Mi-Mimih..” “Diam Pih. Ini Mimih keberatan soal ini!” dengan gusar Bianca menepis lagi raihan tangan Sonny. “Ini urusan saya, karena dia istri saya. Saya tidak peduli masa lalu dia, karena saya hidup dengannya di masa ini dan untuk masa depan. Mengapa Anda yang harus keberatan dengan hal itu?” kata Elang tenang. “I-itu.. Karena tidak adil buatmu. Kau dibohongi Aliya. Kau layak dapat wanita yang jauh lebih baik!” “Mimih!!” Sekuat tenaga Sonny bersuara. “Bi
Seruan demi seruan berisi kalimat penyesalan mengudara seketika. Beberapa orang langsung menghampiri Aliya dan meminta maaf dengan tulus, disusul oleh sisanya yang masih sempat ragu.“Kalo gue gak bolos hari itu, pasti gue duluan protes. Tapi apapun, bygones be bygones. Namamu sudah dibersihkan dengan cara yang epik…” Iyad mengerling pada Aliya. Namun seketika kembali bersikap kaku, ketika mendapati Elang yang ikut menatapnya.“Aku… sungguh sangat menyesal. Aku saat itu hanya diam melihatmu dituduh membabi buta seperti itu.” Adam ikut menunjukkan penyesalannya.Dan ia sungguh-sungguh menyesal. Jika saja dulu ia berdiri membela Aliya dan bukannya hanya diam sambil ikut meragukan Aliya, mungkin Aliya akan sedikit memiliki rasa untuk dirinya.Kini yang bisa ia lakukan adalah meminta maaf dengan sungguh-sungguh dan sadar diri, bahwa dirinya dan Aliya, tidaklah berjodoh.Ketika seluruh teman-teman --kecuali Bianca dan dua sahabatnya-- selesai bersalaman dengan Aliya, Emilia mendekat dan me
Elang menggenggam erat jemari tangan Aliya ketika menuruni tangga lobby hotel. Udara dingin mulai terasa menghembus pipi halus Aliya.Aliya mendongak ke samping, memperhatikan seksama wajah suaminya dari sisi. Sinar dari lampu-lampu halogen teras depan hotel, menyinari Elang dan tubuhnya seakan diselimuti lapisan kehangatan.“Emm…” Aliya menggeser tubuh lebih merapat ke tubuh suaminya. “Kau benar-benar menolongku lagi. Bagaimana kau sempat melakukan semua itu?”“Untuk istriku, tentu saja aku akan melakukannya,” jawab Elang lalu mengecup lembut pelipis Aliya.Aliya tersipu. Perasaan terharu menyelinap cepat dan menghangatkan hatinya.Ia bisa melihat, Elang bergegas menuju tempat ini, padahal sebelumnya mengatakan ada pertemuan di petang hari yang tidak bisa dihindari. Suaminya itu tidak hanya datang, tapi dia juga memberikan kejutan-kejutan yang tak bisa Aliya duga sebelumnya.
Hai GoodReaders!! Akhirnya “Istri Ku Sang Ratu Bumi” telah sampai di penghujung cerita. Terima kasih banyak untuk seluruh GoodReaders yang dengan setia mengikuti kisah ini hingga akhir. Author mohon maaf jika pada tulisan yang GoodReaders baca dalam cerita ini, masih ditemukan banyak typo atau kata-kata rancu dan hal lain yang tanpa sadar Author lakukan. Author berharap GoodReaders dapat menikmati juga menyukai karya ini. Adakah kesan dan pesan kalian untuk Author? Would love to know it! Adakah tokoh favorit kalian? Aliya? Elang? Dean? Agni? Atau lainnya? Author dengan senang hati membaca kesan kalian dan pesan kalian untuk mereka :D Jangan lupakan untuk memberi review di luar buku ya… Bintang lima dari kalian akan menambah semangat author melanjutkan Session 2 buku ini. Sambil menunggu, kalian bisa buka karya on going Author dengan judul “Dibuang Mantan, Dikejar CEO Sultan”. Love-love yang banyak untuk kalian semua! Sampai Jumpa di karya-karya Author lainnya…. Luv U!!
Mereka semua telah menjadi bagian dari keluarga bagi Aliya. Keluarga kedua yang berbeda dunia. Dunia aneh penuh kejutan yang hidup berdampingan dengan manusia umumnya. Siapa yang pernah menyangka, ternyata sejak lama ada kehidupan seperti ini di tengah-tengah kehidupan normalnya dahulu? Kini tatapan Aliya membidik pada sang suami, Einhard Sovann Gauthier. Pria tampan yang tampak asyik mengajak putri mereka berbicara. Meski demikian, tak dapat dipungkiri, Aliya bisa merasakan sesuatu yang menekan kuat yang terpancar dari Elang. Meski pria tampan itu tengah bermain dengan bayi mungil, namun aura kekuasaan nan tenang dan terkendali, menyelimuti suaminya. Membuat siapapun tak kuasa menentang dan menghindari membuat masalah dengannya. Senyum di bibir Aliya kian merekah. Matanya berbinar menangkap pemandangan yang begitu menyejukkan hatinya itu. Fayza tampak tergelak ketika hidung Elang menyerbu perut mungil sang putri. Hatinya begitu damai melihat semua pemandangan yang ada di sekit
“Sekali lagi aku minta maaf, Dean. Sungguh…”Dean menghela napas pelan. “Apa yang kau bicarakan, Al?”Ia terhenti karena teko yang dipanaskan Aliya telah berbunyi.“Biar aku saja,” katanya sembari berjalan mendekat untuk mematikan kompor lalu mengangkat teko dan menuangkannya ke dua cangkir dan empat gelas belimbing yang telah diisikan kopi dan gula oleh Aliya sebelumnya.Tangannya mengaduk telaten setiap gelasnya. “Jika kau berpikir kepergianku karena berada di dekatmu itu menyakitkan untukku dan untuk menjauh darimu, kau keliru Aliya.”“Aku pergi karena memang ada sesuatu yang harus kulakukan. Dan itu baru bisa kulakukan saat ini, ketika situasi di sini telah kondusif. Einhard seorang elemen yang kini berada di ambang Level Satu. Einhard seorang diri, sudah bisa menakuti semua elemen yang ada di sini saat ini, Al.”Dean selesai mengaduk dan meletakkan sendok ke bak cuci piring dan melanjutkan. “Sekalipun aku pergi, kita sekarang punya Nawidi yang seorang Level Dua Tingkat Tertinggi.
“Einhard, duduk di sini,” Dean beralih pada Elang yang berdiri di sebelah Aliya. Elang lalu menggamit pergelangan tangan Aliya dan menariknya untuk duduk di antara Dean dan Nawidi. Dengan patuh Aliya mengikuti suaminya dan membalas semua sapaan dari Agni dan teman-teman elemen lainnya dengan hangat. “Fayza di mana?” tanya Dean lagi setelah Elang dan Aliya duduk. “Kami tinggalkan di rumah dulu dengan bi Sumi dan Asih,” jawab Elang. Tangannya menerima sodoran jagung bakar dari Dean. “Thanks.” “Liebling, kau mau?” Elang mengoper jagung bakar itu ke Aliya. “Ngga, Liebe. Kau aja,” tolak Aliya. Ia melemparkan pandangan ke sekeliling, lalu beralih pada Dean. “Kau mau kemana? Pertanyaanku tadi belum di jawab.” Dean tersenyum. “Aku ada kerjaan di Botswana, Al.” “Apa?? Botswana? Afrika??” Mata Aliya membulat. “Jauh banget. Ada apa di sana?” “Emm… Kerjaan lama ku.” “Liebling, bisa tolong buatkan kopi untukku?” Elang menyentuh lengan istrinya itu. “Aku--” Tatapan Aliya beralih pada Elang
“Gung, dulu gimana si cewek itu. Lu buang kemana?” “Ya kali, dia barang. Main buang-buang aja.” Agung meringis. Bukan karena luka di tangan kiri yang ia derita setelah latihan tadi. Namun karena mendengar pertanyaan Agni. “Kok baru nanya sekarang?” tanyanya dengan tangan yang sibuk mengulur kain kasa panjang untuk membalut luka-luka di sela tangannya. “Gue baru kepo, Gung. Asli, waktu itu gue eneg banget denger nama tu cewek. Baru kali ini gue agak legaan,” tukas Agni sambil membantu Agung menggunting kasa tersebut, merobek ujungnya lalu mengikatnya kuat. “Ish! Pelan-pelan, Ni.” “Jangan cengeng lu.” Agni mengoles antiseptik pada bekas luka lain di tangan kanan Agung. Meski tidak sedalam luka di tangan kiri, namun tetap saja menggambarkan betapa keras latihan yang baru saja ditempuh Agung. “Lain kali lu perhitungkan ritme serangan si bang Nawi, Gung. Dia punya pola sendiri dengan alter variasinya. Pas bagian lu, itu pola yang dia gunain waktu nyerang gue latihan kemaren,” tutur
Angin semilir menghantarkan suasana yang begitu tenang dan damai. Beberapa dedaunan kering berjatuhan perlahan menyentuh tanah di tepian kolam renang dengan pantulan kilau terik mentari di atas air. Gerakan tangan Elang membelah air dan mendorong kuat tubuhnya meluncur. Sudah lima balik ia menggunakan gaya kupu-kupu, setelah enam balik sebelumnya menggunakan gaya bebas untuk membawa dirinya menyentuh tepian kolam renang sekian kali. Elang berhenti di pinggir dan memutuskan menyudahi kegiatan berenangnya siang itu. Kedua lengannya bertumpu pada tepian dan setengah melompat, membawa tubuhnya keluar dari dalam kolam. Ia duduk di tepian sambil mengusap wajah untuk menyingkirkan bulir air yang membasahi wajah tampannya. Mata coklat tua itu menerawang, membawa ingatannya kembali pada percakapannya dengan Dean semalam. “Saat itu ayahmu melalui Hecate mencari juga wanita elemen bumi dan sempat menyangka ibuku adalah salah satunya. Dia sebenarnya bukanlah seorang elemen bumi, Hecate salah
“Liebling, sarapannya sudah kau makan habis?” “Iya,” jawab Aliya lalu mendongakkan kepalanya ke arah Elang yang baru keluar dari kamar mandi. Ia menatap suaminya dengan alis berkerut. “Kenapa?” “Asi ku masih sedikit keluarnya,” keluh Aliya. “Tadi perawat datang kesini untuk mengambil asi ku. Tadi gak bisa dapat banyak.” “Hm.” Elang melangkahkan kakinya mendekati brankar Aliya. “Itu hal wajar, Liebling. Untuk kelahiran pertama, seorang ibu agak kesulitan mengeluarkan asi-nya. Putri kita juga belum membutuhkan makanan yang banyak, Liebling. Kau tahu, ukuran usus dan lambungnya pun masih sangat kecil,” sambungnya lagi sambil menggerakkan ibu jari dan telunjuknya untuk menunjukkan betapa kecilnya ukuran tersebut. “Tapi--” “Aku tahu kau khawatir. It’s ok. Bahkan bayi baru lahir masih bisa tanpa diberikan asi atau susu dalam waktu dua kali dua puluh empat jam.” “Kau tahu dari mana?” “I read it somewhere (aku baca entah di mana).” “Elang--” “Aku sudah bicara dengan dokter, Lieblin
Arah pandang Aliya terpaku pada pintu ruang untuk beberapa saat. Meski sedikit bertanya-tanya, namun ia segera menepis itu dalam hatinya dan langsung beralih pada monitor di dinding sebelah kiri. Bibirnya seketika tertarik ke atas disertai pandangan yang melembut dan penuh kasih. Monitor itu menampilkan bayinya yang berada dalam inkubator di ruang NICU. Tubuh mungil yang masih berwarna merah dengan jemari kecil yang mengepal. Kedua manik mata Aliya lalu berkaca-kaca. Betapa ia ingin memeluk makhluk mungil itu. Betapa ia merasa semua bagai mimpi. Dari dalam dirinya bisa keluar makhluk luar biasa seperti itu. Ia hanya harus bersabar lagi, untuk bisa mendekap bayi mungilnya itu. “Isn’t she beautiful?” Sebuah suara mengagetkan Aliya. Ia mengusap titik air di sudut matanya lalu tersenyum pada dua orang yang datang itu. “Dean, kang Awi. Masuklah.” Kedua pria bertubuh tegap dan atletis itu kemudian duduk di kursi meja makan yang memang bersebelahan dengan brankar Aliya. “Bagaimana
“Ah ya Tuhan!” Agni mengerjap-kerjapkan kedua kelopak matanya. Menatap penuh haru sekaligus takjub dengan tangan menempel pada dinding kaca. Begitu pula ketiga teman-teman lainnya. Agung, Iyad, Guntur sama -sama menatap dengan mata berbinar penuh ketakjuban ke arah satu box bayi dari balik kaca besar pembatas ruang NICU. “Lakukan covering kalian, setiap kalian keluar.” Suara datar Nawidi mengingatkan empat pria yang terus menerus menatap tanpa berkedip ke arah bayi merah di dalam inkubator itu. Ia baru saja datang bersama Dean setelah melakukan pengecekan ulang di sekitar Rumah Sakit Bersalin tersebut, sebagai bentuk tindakan antisipatif standar mereka. Agni dan lainnya menoleh dan baru menyadari pengunjung wanita di sekitar mereka, tak hentinya menatap mereka seolah melihat artis terkenal yang membuat mata mereka tak berkedip mengagumi. Penampilan Agni dan kawan-kawan memang tidak bisa dibilang biasa, terutama Agni. Wajah tampan pria muda itu begitu menarik perhatian para pengunj