Di suatu tempat, jauh dari keramaian. Satu bangunan bekas tempat penggilingan padi yang telah lama terbengkalai. Elang melangkah masuk dan menghampiri pemuda yang tengah berdiri menatap garang seorang lelaki yang tersungkur dan menunduk. Elang mendekati pemuda itu lalu menepuk bahunya. “What have you got?” (Apa yang sudah kau dapat?) Pemuda itu, Agni, menggeleng-gelengkan kepalanya. “Nothing. Buset keras kepala banget ni orang. Dah babak belur kaya gini, tetep kagak buka mulut, Bang.” Elang melempar pandangannya pada pria itu. Kondisinya benar-benar memprihatinkan. Wajahnya sudah seperti tak jelas lagi, dengan tonjolan bengkak di sana sini. Bibirnya pecah dengan darah menjejak di salah satu sudutnya. Tarikan dan hembusan napas panjang terdengar dari Elang. Ia lalu melangkah mendekati pria itu, lalu berjongkok. “Apa Anda benar-benar tidak mau membuatnya mudah?” tanya Elang pada pria itu tanpa ekspresi. Pria itu bergeming. Tak sedikitpun ia tampak tertarik untuk menanggapi kalima
“Kalian sudah menyiapkan semua untuk perpindahan ke Bandung?” Elang menatap Dean dan Agni bergantian.“Sudah,” jawab Dean.“Om, Bang, orangnya Daeva kenapa gak kita habisin aja trus kita tinggalkan petunjuk seolah yang melakukan itu adalah orang-orang Morana? Jadi mereka bakal sibuk ribut sendiri. Seru kan tuh?” Agni menggelontorkan usulan pada Dean dan Elang.Kedua pria tampan itu serta merta menatap Agni dengan pandangan rumit.“What? Ide gue bagus, kan?”Dean mengurut pangkal hidung, sementara Elang mengusap tengkuknya.“Apaan sih? Kenapa emang usulan gue itu?”“Ya, bagus,” ucap Dean. “Kalau kita dalam kondisi perang, mungkin itu akan kita lakukan. Apabila tidak ada jalan lain.”“Kita tidak perlu sampai menghilangkan nyawa orang, Agni. Kita pakai jalan yang masih bisa dilalui dengan tanpa menimbulkan korban jiwa.”“Kalian rese ah. Mereka juga kagak ada kata ampun buat ngabisin nyawa orang, kan?” protes Agni.“Ya kita bukan mereka, Agni,” sela Dean cepat.“Selama orang itu masih ada
Sosok jangkung dengan tubuh atletis terlihat berdiri di teras rumah, ketika Aliya membuka pintu rumahnya lebar-lebar.Tingginya yang mencapai 187 sentimeter tampak sempurna dengan balutan setelan jas single breastedhitam dan dipadu kemeja linen putih yang menonjolkan dada bidang pemiliknya.Aliya mengerjapkan mata. Mengagumi sosok pria gagah dan tampan yang berdiri di hadapannya itu.Tiada bosannya ia mengagumi Elang, karena memang ia seolah tak menemukan setitik cela ataupun kejenuhan setiap kali memandang wajah pria yang telah menjadi suaminya itu.“Maaf aku baru pulang, Liebling.”Aliya meraih tangan Elang dan mencium punggung tangan suaminya. Elang lalu mengecup kening Aliya sebagai balasan dan menggenggam tangan sang istri untuk di bawa masuk ke dalam rumah.“Dari Bogor kau langsung urus kerjaan dulu?” tanya Aliya sambil menoleh ke samping.Elang menghentikan langkah lalu tangan kirinya menu
“Bertemu papaku?” Elang kini menggeser tubuhnya demi melihat wajah sang istri lebih intens. Aliya mengangguk pelan. “Aku tahu. Papamu yang lebih dulu menentangmu dekat denganku. Meskipun aku memahami alasan beliau membenciku. Karena aku hanyalah berasal dari keluarga biasa.” “Bukan seperti itu, Liebling…” “Dengarkan aku dulu,” protes Aliya cepat. “Aku sangat memaklumi tindakan seorang ayah yang ingin semua terbaik untuk anaknya. Seperti halnya papaku menentangku dengan Bisma waktu dulu karena ingin yang terbaik untukku. Jadi aku tidak menyalahkan papamu.” Aliya mendesah pelan. “Hanya saja, bagaimanapun sekarang aku telah menjadi istrimu, Elang. Aku tetap harus menemui beliau dan meminta restunya. Sekalipun misal nanti aku diusir, aku akan siap menanggung itu.” “Daddy tidak akan melakukan itu padamu,” ujar Elang lembut. “Aku harap juga begitu. Aku hanya membayangkan seberapa besar rasa tidak suka beliau padaku, hingga membuatmu terpaksa pergi ke Jerman saat itu dan membuatku--” A
Rumah megah di bilangan cukup ternama di ibukota. Di satu ruang tertutup, duduk dua pria saling berhadapan.Bagi warga negara ini --terutama kaum muda-- tentu saja kedua pria itu dikenal baik. Kedua wajah yang sering muncul di layar televisi yang kehadirannya dibanjiri ribuan penonton untuk menonton aksinya.Mahakam dan Bara.Personel Band ternama di negara ini, Sound Of Delusion --SoD-- yang belasan albumnya selalu menjadi album yang paling diburu. Yang setiap kata dan style personel nya seketika menjadi trend mode di dalam negeri. Yang semua merchandise berbau band mereka, selalu menjadi lebih dulu sold out.Semua tentang SoD adalah keharusan yang wajib diketahui lebih dulu oleh para penggemarnya. Betapa mereka akan menjadi pasukan militan yang membabat habis komen negatif para haters, sehingga SoD adalah satu-satunya band yang paling dihindari untuk haters ikut nimbrung di dalamnya.“Kita tidak bisa menunggu Daeva dan Morana,” pria berambut tebal dan bergelombang itu membuka suara.
[Kemana aja tukang kredit kita ini? Apa sudah jadi juragan, sekarang?] Emotikon tertawa mengeluarkan airmata. Kening Aliya berkerenyit. Jari telunjuknya lalu menekan gambar profil orang tersebut dan melihat foto itu dengan seksama. Seorang wanita. Pipinya yang agak tirus dengan hidung mancung sedikit bengkung dengan mata besar yang menarik. Rambut hitam bergelombang yang ditata ke sisi. Wanita ini cantik. [Ini benar Aliya? Hai Aliya saya Adam. Masih ingat kan? Save nomor saya ya] ‘Adam?’ Kening Aliya berkerut. [Ciee ciee yang ketemu mantannya CLBK doong] Tulisan itu berasal dari wanita cantik berwajah tirus tadi. Bianca. Aliya ingat sekarang. Wanita itu adalah Bianca. Sekelebat memori tak enak kemudian singgah dalam kepala Aliya. “Kau lihat apa?” “Astaga, Elang!” Aliya menoleh setelah hampir melonjak kaget. Kedua lengan Elang telah melingkari pinggangnya dengan dagu tepat di sisi telinga kanan Aliya, membuat ia tak bisa memutar tubuhnya untuk berbalik. “Kau sudah pulang?” “
Elang pergi untuk urusan bisnisnya ke Jakarta selama beberapa hari. Namun Ridwan tidak ikut bersama Elang. Ridwan ada di rumah Aliya dan Elang di Setrasari, membawa seorang wanita dan pria paruh baya untuk membantu pekerjaan rumah dan urusan halaman rumah. Elang memang pernah mengatakan pada Aliya bahwa ia akan mempekerjakan beberapa orang untuk membantu di rumah, namun Aliya menolak. Baginya, terlalu berlebihan memiliki lebih dari dua asisten rumah tangga, lalu pekerja kebun, lalu satpam, lalu supir. Berlebihan sekali. Setelah sedikit bernego dengan suaminya, akhirnya mereka sepakat mempekerjakan satu asisten rumah tangga, lalu satu yang merawat kebun depan dan belakang di rumah mereka. Mereka berdua pasangan suami istri. Tidak ada supir, karena Aliya bisa menyetir. Tidak ada satpam, karena Aliya merasa tak perlu. Aliya baru saja menutup telpon dengan Elang lalu menemui Ridwan yang duduk di ruang tengah. “Sudah Teh, izinnya? Mau berangkat sekarang?” tanya Ridwan begitu Aliya men
Dua hari berlalu dengan tenang dan diisi dengan kegiatan-kegiatan normal Aliya. Ridwan siang tadi mampir menyapa dan memastikan Aliya dalam keadaan baik, sementara kemarin Agni yang datang membawakan makanan kering untuk Aliya.Sore itu tidak ada hal aneh atau menyebalkan terjadi, kecuali isi chat dari grup WA teman-teman alumni Aryasatya.Seperti sebelumnya, Bianca menyindir Aliya. Dan seperti biasa pula, Hana langsung bereaksi dan memberikan sindiran yang tak kalah pedasnya. [Sumpah ya, tu mak lampir nyinyir amat sih. Apa dia se-nganggur itu jadi orang?]WA melalui jalur pribadi dari Hana, masuk. Aliya nyengir lebar. [Ya kamu juga ngapain ngurusin dia, coba? Apa kamu juga se-nganggur itu buat nanggepin orang seperti itu?] balas Aliya.[Ya gue sebel aja. Lagian nih ya, sesuatu yang ditahan-tahan itu, ga bagus. Gue sih mending langsung semprot aja.][Iya deh, iya… Makasih dear Hana…] emotikon cium dikirim Aliya.Aliya lalu beralih pada chat grup kembali.Putri : [Jangan pada lupa