Setelah itulah, ajakan Diani itu terlontar. Menonton.
Menonton di bioskop sebenarnya dahulu pernah bahkan sering terungkapkan oleh Aliya pada suaminya, Bisma. Tapi Bisma tampaknya tidak pernah menganggap penting setiap permintaan Aliya.
Tak hanya soal menonton, tapi juga hal-hal lainnya. Banyak hal-hal yang dulu menjadi aktivitas menyenangkan bagi Aliya, hilang begitu saja setelah ia dinikahi Bisma.
Lalu setelah sekian waktu terlewati, Bisma bahkan tidak peduli pada apa yang diinginkan Aliya, Bisma juga telah menelantarkannya. Ia biarkan Aliya melaksanakan peran sebagai pencari nafkah, sementara Bisma berdiam di rumah.
Lalu terakhir, ia menemukan kelainan itu pada Bisma. Rahasia terbesar yang selama ini Bisma tutupi darinya.
“Hhh….” Aliya menghela nafas.
Minibus ini berjalan cepat, tapi beberapa kali ia hampir terantuk karena rem mendadak. Hari Minggu cukup lengang, bebas dari
Nuansa coklat tua, dinding abu muda dan paduan latar putih. Pantri. Ya, lagi-lagi Aliya berada di pantri itu. Mimpi yang sama lagi kah? Aliya berdiri di hadapan kitchen sink dengan tangan memegang piring porselen. ‘Apa ini….?’ Aliya menatap seputar kitchen sink itu. Dua mangkuk dan dua piring makan porselen, dua gelas Kristal dan dua pasang sendok beserta garpunya. Benar. “Ini bekas makan kami..” gumam Aliya lirih, lalu menambahkan, “di mimpiku sebelumnya. Ya Tuhan! Mimpiku terus bersambung…” Lalu dengan cepat mata dan kepala Aliya berputar mencari. Pria itu. Pria charming itu tidak ada di sini. ‘Di mana dia?’ Pria itu tak ada di manapun. Ruang makan, ruang tengah, taman. Tidak. Dia tidak ada. Tapi ini masih mimpi yang sama. ‘Kemana dia?’ Aliya mencuci piring yang tengah ia pegang. Tapi kemudian setelah piring itu ia letakkan di tempat pengeringan, ia menuju sofa di ruang yang bersebelahan dengan ruang makan itu. Aliya meraih tasnya dan mencari sesuatu. Dadanya berdetak lebi
Aliyamenghela napas panjang. “Aliya,” panggilnya.Tapi Aliyatak menjawab. Menunduk, itu yang ia lakukan. Entah apa namanya, dorongan untuk menghindari tatap mata pria itu sangatlah kuat.“Aliya,” sekali lagi pria itu memanggil.Mendapati Aliyatetap tak menjawab, ia bangkit dari duduknyakemudian duduk di sebelahAliya,meski tetap memberi jarak yang wajar.Aliya merasakan degup jantungnyakembali berpacu cepat. Tapi ini entah karena apa.“Aliya….”Aliyamemejamkan mata. Sepertisedikit rasa takut. Tidak, bukan takut.Cemas.Ya, cemas.Aliyamerasa tidak mau. Ingin berkata ‘tidak’, tapi ‘tidak’ untuk apa? Ia terus bertanya-tanya dalam hati.“Saifanah..”Deg.‘Bagaimana pria ini tahu nama belakangku? Aku…’Seketika
“Tolong miss, tell me the truth,” pinta Aliya pada Diani. Mereka berdua berada di ruang tamu rumah Diani. Setelah mimpi semalam, Aliya datang ke rumah Diani, karena ia yakin Diani mengetahui sesuatu tentang rentetan mimpi aneh yang Aliya alami. Kemudian alasan ia mengalami sakit kepala dan denyut nyeri di dada setiap kali berusaha mengingat sesuatu. Aliya yakin, Diani tahu jawabannya. “Miss,” Aliya memohon. Tampak Diani menarik nafas lalu menghembuskannya agak cepat. Sedikit keraguan sempat tertangkap mata Aliya. Dan Aliya tidak menyia-siakan kesempatan itu. “Miss, please…. Tell me,” kembali Aliya memohon dengan nada memelas. “Ya. Gue tau sesuatu. But I had promised not to talk about this. Tapi gue juga punya cara sendiri. Kalo pada saatnya gue mesti kasih tau sesuatu, gue pasti kasih tau.” Aliya menatap lurus pada Diani, dengan harapan Diani berbicara lebih dari itu. Betapa sesungguhnya ia bosan bertanya pada Diani dan mengeluh bahwa dirinya telah menjadi seorang pelupa yang p
Malam itu Aliya tengah bersantai di ruang tengah ketika ponselnya berdering nyaring. Aliya menggapai ponsel itu dan melihat ke layar. Keningnya berkerut mendapati sederetan nomor tak dikenal yang terpampang di layar.“Siapa ini?” gumamnya namun tetap menggeser panel jawab. “Hallo?”‘Halo.. Ini Aliya?’ Suara wanita.“Emm ya, betul. Dengan siapa ini?”‘Gue Hana…’“Hana?”‘Yup. Temen satu kampus waktu di Aryasatya Bandung.’Memori Aliya berputar sejenak. Ia memang mengingat ada teman seangkatan bernama Hana, namun mereka jarang sekali berkomunikasi meskipun satu kelas.“Hana yang suka bareng sama Tantri itu ya?” ujar Aliya.‘Yup. Bener. Gue emang suka bareng sama Tantri dan Emma,’ jawabnya.“Apa kabar Han?” kedua sudut bibir Aliya tertarik. Rasanya sudah lama ia tidak berkomunikasi dengan tem
Aliya menghela napas. Sedikit kelegaan terasa olehnya, seakan ada satu jenis beban yang terangkat dari pundaknya.Ia telah selesai menyampaikan yang harus disampaikan kepada mertuanya dan juga kepada orangtuanya.Jangan ditanya, respon sang mertua di telepon tadi. Seperti yang telah Aliya duga, kata-kata makian dan sumpah serapah itu diobral seperti yang sudah-sudah. Terlalu kenyang. Sehingga secara sepihak, Aliya menutup sambungan dan mengabaikan beberapa panggilan masuk dari mertuanya itu.Sementara orangtua Aliya, tentu saja mereka kaget dan shocked.Dengan sangat hati-hati Aliya jelaskan satu demi satu permasalahan yang ia hadapi. Insting melindungi kedua orangtuanya dari rasa sakit yang lebih jauh, Aliya tidak menceritakan kejadian terakhir saat Bisma berusaha menjual dirinya pada lelaki tua.Tak pernah mengira rumah tangga putrinya seburuk itu, sang mama lantas menangis pilu mendengar kisah dari Aliya dan bersikeras akan datang ke Bo
“Bu Aliya!! Pak Bisma!!” suara pria paruh baya terdengar kaget lalu bergegas menghampiri Bisma yang tengah menduduki tubuh Aliya dan melerainya. “Pak Bisma lepaskan bu Aliya!!”Pria lain yang lebih muda ikut mendekati Bisma dan memegangi lengan Bisma. “Lepasin bu Aliya Pak! Istighfar Pak!” serunya tak kalah kencang.Pria paruh baya berbaju koko itu adalah pak RW dan pria yang lebih muda itu adalah pak RT. Mereka berdua akhirnya berhasil menarik Bisma menjauh dari Aliya.Seorang wanita mengenakan bergo lebar pun tampak muncul dan tergopoh menghampiri Aliya yang terduduk dan diam membatu.“Nak Aliya… Tidak apa-apa kah?” tanya wanita itu khawatir. Ia adalah ustadzah yang pernah didatangi Aliya untuk konsultasi mengenai permasalahan rumah tangganya.Ustadzah itu mengelus punggung Aliya, saat melihat tatapan mata Aliya yang tampak kosong. Seketika bulu bulu halus di tangan sang ustadzah terasa berdi
“Tahan! Aku akan menarikmu.”Aliya menengadah ke arah suara rendah yang berseru di atasnya. Tertegun sesaat sebelum ia tersentak ketika tubuhnya ditarik naik ke permukaan kembali dalam sekali hentak.Kini tubuh Aliya berdiri dan berhadapan dengan sosok yang menariknya keluar dari dalam lubang. Tubuh sosok itu tinggi dan sangat atletis. Aliya lalu menaikkan pandangannya ke wajah sosok itu yang ia perkirakan memiliki tinggi lebih dari 189 senti.Aliya tertegun.Sepasang mata berwarna hazel kini tengah menatapnya. Pemilik manik mata itu pun sama terkejutnya. Bahkan mungkin sosok itu jauh terlihat lebih terkejut dari diri Aliya.Sosok itu terpaku melihat Aliya. Kedua bola mata berwarna hazel itu tampak bergerak-gerak begitu pula dengan bibirnya.“Light…” gumamnya lirih.Namun begitu kata itu selesai terucapkan, sosok itu tersentak ke belakang. Seseorang menarik lengannya dengan kuat sehingga menjauh dari Ali
“Aku….” kalimat Elang terhenti. Sorot matanya meredup. Tanpa aba-aba, Elang menaikkan tangannya, meraih tengkuk Aliya dan menariknya kuat. Elang merunduk dan detik selanjutnya ia mendaratkan bibirnya pada bibir Aliya.Ia mengecup bibir itu sekilas lalu detik berikutnya mengecup lagi sedikit lebih lama. Sama sekali tak mempedulikan kedua bola mata Aliya yang membelalak kaget akibat perbuatannya itu.“Apa yang kau lakukan!” pekik Aliya lalu mendorong dada Elang hingga menjauh.Muka Aliya memerah. Dadanya bergemuruh. Ia tak paham apa yang bergolak dalam hatinya saat ini. Namun satu hal yang pasti, rasa panas dalam dadanya ini bukanlah amarah.“Ka-kau!” Aliya menaikkan sebelah tangan dan menutup mulut dengan punggung tangannya. Ia menggeleng lemah dengan wajah yang memerah. Matanya kini tampak berkaca kaca.“Jika kau hanya berniat untuk pergi, sekalipun dalam mimpi, jangan pernah muncul lag