"Apa?" Celine melebarkan mata sampai-sampai membuat Frederick menoleh ke arahnya sekarang. Secepat kilat ia mengubah ekspresi wajah sambil sesekali melirik Frederick tengah menghampirinya perlahan. "Baiklah, terima kasih atas laporannya, kembalilah bekerja," kata Celine kemudian. Orang kepercayaan Celine itu pun berkata,"Baik Ratu." Sebelum melenggang pergi membungkuk dengan hormat kepada Celine dan Frederick. "Ada apa Ma?" Dalam jarak yang cukup dekat Frederick langsung bertanya. Dia tampak penasaran. Celine membuang napas pelan sejenak. Lalu memerintah asisten istana yang masih berada di ruangan untuk keluar. Asisten wanita itu mengangguk kemudian berlalu pergi. "Bukan apa-apa, hanya permasalahan di kota," balas Celine.Frederick tak menanggapi malah menatap Celine dengan tatapan menyelidik. Lelaki itu meninggalkan jahe yang sudah teriris di talenan dan saat ini menunggu air di panci agar hangat. Hal itu membuat Celine mulai cemas. Berharap Frederick tidak mengetahui kebohonga
Keadaan udara di sekitar mendadak dingin. Frederick tak segera menjawab. Memandangi Logan tanpa mengedipkan kelopak matanya sama sekali. Logan buru-buru menundukkan kepala. Baru saja menyadari kesalahannya karena telah membuat Frederick marah. Keringat dingin mulai mengalir di telapak tangannya sekarang."Maafkan aku Pangeran, aku tidak bermaksud membuat hati Anda terluka. Namun, tidak ada salahnya menerima kenyataan bila Victoria sudah tiada." Meski takut, Logan memberanikan diri membuka suara kembali. Dia tidak mau melihat sang tuan terlalu lama terjebak di masa lalu. Tak ada tanggapan. Frederick terdiam dengan sorot mata tajam, setajam elang, yang siap memangsa sang lawan."Aku tahu Anda masih mencintai Nona Victoria, tapi tidak salah mencoba membuka hati pada Putri Katherine." Lagi Logan berbicara. Biarlah, dia tak peduli lagi bagaimana reaksi Frederick. Sebagai tangan kanan, tak ada salahnya memberi nasihat sedikit. "Diamlah Logan! Masalah percintaanku biar aku urus sendiri.
Meski suara Frederick terdengar samar Katherine dapat mendengarnya dengan jelas saat ini. Secepat kilat dia mengikuti arah pandangan Frederick. Dari kejauhan melihat seorang wanita membelakangi mereka. Rambut wanita tersebut sangatlah panjang, mirip sepertinya. Wanita itu berdiri di tengah keramaian. Katherine menerka-nerka. Apa benar wanita di depan sana yang wajahnya sama sekali tak dapat dia lihat sekarang adalah Victoria, kekasih alias tunangan Frederick dulu. Memikirkan hal itu degup jantungnya bertambah dua kali lipat sekarang. Ada perasaan aneh menjalar dalam hatinya. Senang, sedih atau apa lah itu. Katherine tak dapat menjabarkan dengan benar. Dalam jarak beberapa meter wanita itu mulai berjalan ke depan. Katherine berpura-pura tidak tahu. Dengan cepat dia pun berkata,"Kau bilang apa tadi?"Frederick menoleh lalu menyambar cepat tangan Katherine. Dia melempar senyum kaku. "Bukan apa-apa, ayo kita ke depan sana."Katherine tersenyum kecut lantas mengangguk samar. Mengikuti la
"Hei, apa kau tidak punya mata hah?!" Suara seorang pria bertubuh gemuk itu terdengar nyaring hingga kumpulan manusia di sekitar memusatkan perhatian ke arah Frederick dan Katherine seketika.Pasangan suami istri itu tampak terkejut saat tak sengaja menabrak seorang pria. Frederick berdecak kesal sambil melirik ke depan sana, di mana wanita itu tak terlihat lagi. Dia ingin berlari namun pria di hadapannya sekarang menghalangi jalannya."Sialan, lihatlah pakaianku kotor!" Lagi dia berteriak. Belum menyadari bila pria dan wanita yang dibentak adalah pangeran dan putri. Karena Frederick dan Katherine memakai penutup kepala. "Aku minta maaf, bisakah minggir sebentar," ujar Katherine. Lalu tersenyum sumringah berharap pria gemuk itu memaafkan mereka. Pria itu malah melototkan mata dengan sangat tajam. "Enak saja, memangnya ini jalan milikmu!" bentaknya sambil berkacak pinggang, bersiap untuk menantang Frederick dan Katherine. Frederick lantas mendengus lalu membuka cepat topi. Berhasil,
Mendengar perkataan Katherine. Pupil mata Victoria langsung melebar. Dengan cepat mengalihkan pandangan ke arah Frederick. Kini raut wajahnya mendadak muram. "Fred, siapa dia? Aku tidak salah mendengar kan barusan?" Frederick membuang napas kasar sejenak kemudia berkata,"Benar, kau tidak salah mendengar, dia memang istriku."Victoria sangat terkejut. Mendapati sang kekasih telah memiliki istri. "Apa? Tidak mungkin ...." Mata kelabu itu mulai berkabut sekarang. Sangking tidak percayanya dia. Victoria terlihat memundurkan langkah kaki, sembari melirik Katherine dan Frederick secara bergantian sekarang. Namun, Frederick dengan gesit meraih tangan Victoria. Membuat air mata Victoria akhirnya meluruh pula. Frederick tampak panik. "Tapi hanya istri kontrak saja, orang tuaku tidak tahu kalau dia istri kontrak, aku menikahinya karena terpaksa juga," papar Frederick kemudian sambil menggenggam erat tangan kanan Victoria. Victoria hendak melepaskan tangan Frederick. Tetapi Frederick menah
Celine berteriak dengan sangat lantang membuat seluruh manusia yang berada di istana memusatkan perhatian ke arah mereka. Bahkan asisten istana yang biasanya mengabaikan keributan di sekitar menghentikan kegiatan. Tatkala melihat Frederick, Katherine dan salah seorang wanita yang sangat mereka kenali dimarahi Celine. Ketiga orang tersebut tampak terkejut melihat reaksi Celine. "Kenapa aku tidak boleh membawa Victoria kemari, Ma? Apa salahnya?" ujar Frederick. Kali ini wajah lelaki itu terlihat mulai dingin.Celine tersenyum sinis. "Kau masih bertanya?! Dia wanita rendahan yang sudah lama meninggalkan kau!" serunya lalu mengalihkan pandangan ke arah Celine seketika. "Berani-beraninya kau datang kemari! Masih punya muka kau, pergi kau dari istana ini sekarang juga!"Victoria tersentak. Perlahan, air mata pun membasahi pipinya. Melihat hal itu Frederick mulai emosi. "Mama hentikan!" pekik Frederick. "Apa kau tidak terima?! Lihatlah wanita manja ini berpura-pura menangis, dia sengaja
"Frederick Abraham Edmund!" pekik Celine dengan mata melotot keluar. Nama lengkap putranya langsung disebut. Frederick tentu saja tahu bila sang ibu menyebutkan namanya dengan sangat lengkap. Menandakan Celine tengah marah besar. Namun, lelaki itu tak peduli. Masih menatap dingin Celine saat ini. Ketegangan kian terasa. Sejak tadi kumpulan manusia di sekitar terlihat syok dengan perdebatan ibu dan anak tersebut. Termasuk Katherine yang saat ini memandang Frederick."Kau keterlaluan, apa kau sadar akan tindakanmu barusan?!" sambung Celine kemudian. Sebab untuk pertama kalinya, Celine mendengar Frederick memanggilnya dengan sebutan 'kau'. Semakin mendidih darah Celine. "Aku sadar, dan aku tak peduli, karena kau wanita jahat yang berusaha memisahkan aku dan Victoria!" seru Frederick. "Astaga, kau masih menuduhku. Apa kau punya bukti jika aku yang memisahkan kalian?" Celine tak mau kalah. Dia melirik Victoria sejenak. Melihat wanita itu masih menangis. Celine terlihat mulai muak de
Usai itu Frederick melenggang pergi dari situ. Berlari kencang hendak menyusul Victoria. Sementara Katherine mematung di tempat. Bingung harus memberi bereaksi apa.Dalam hitungan detik. Mulailah terdengar suara-suara para bangsawan di sekitar. "Sebenarnya apa yang terjadi? Bukannya Victoria sudah meninggal beberapa tahun silam?" Salah seorang bangsawan pria, pertama kali memberi komentar. "Iya, aneh sekali dan mengapa Pangeran Frederick mengejar Victoria, bukannya mereka sudah menjadi mantan. Walau bagaimanapun status Pangeran adalah suami dari Putri Katherine." Pria lainnya ikut menimpali. "Entahlah, tapi yang jelas anggota kerajaan mempunyai skandal baru," ujar salah seorang wanita. Dan masih banyak lagi para bangsawan bersenandung kecil di sekitar. Katherine menjadi kian murung. Dia memilih menundukkan kepala. Entah mengapa kepalanya mendadak pusing dan berdenyut kuat sekarang. Hingga pada akhirnya Celine mulai angkat bicara. "Cukup, untuk hari ini istana tidak bisa dimasuki.
Benda berbahan kaca itu langsung pecah, mengenai punggung Victor. Victor tak peduli malah makin mempercepat langkah kaki sambil tersenyum puas. Meninggalkan Larisa menjerit-jerit histeris. ...Keesokan harinya, pagi-pagi sekali istana gempar dengan kabar gembira dari Grace. Grace ternyata tengah mengandung. Bukan hanya Grace, Katherine pun juga, mengandung anak kedua. Keduanya sama-sama muntah tadi pagi. Sukacita menyelimuti hati Xavier, Frederick dan Victor. Saat ini mereka tengah sarapan bersama di ruang makan, ada Logan dan Robert juga terlihat duduk bersama. Sementara Larisa memilih sarapan di kamar karena hatinya dalam keadaan buruk sekarang. "Aku tidak sabar dengan kedatangan anakku, Grace. Semoga saja anakku perempuan dan anakmu laki-laki, jadi kalau sudah besar kita bisa menjodohkan mereka," celetuk Katherine setelah selesai menyantap roti. "Iya, amin, semoga saja anakku laki-laki, pasti lucu jika mereka sudah besar nanti," balas Grace tak kalah senang. "Aku setuju, maka
"Apa kau lupa aku menikahimu karena terpaksa, sampai kapan pun nama Clara tidak akan hilang, kaulah yang membuat aku dan Clara tidak bisa bersama, aku muak dengan sikapmu Larisa!" seru Victor dengan mata berkobar-kobar. Larisa mendekat. "Oh ya? Tapi wanita itu sudah mati sekarang dan kau tidak bisa memilikinya! Akulah yang memilikimu sekarang Victor!" Victor menyeringai tipis. "Kau hanya memiliki ragaku tapi tidak dengan jiwaku!"serunya dengan lantang. Membuat Larisa mengepalkan kedua tangan. Meski Clara sudah meninggal tapi di hati Victor nama Clara masih terus terukir dan tak pernah memudar sekali pun. Dulu, sebelum menikah dengan Larisa. Victor dan Clara sudah terlebih dahulu menjalin hubungan. Kala itu status Victor masih menjadi pangeran, belum menjadi raja. Sementara Clara baru bekerja di istana dan menjadi pelayan pribadi Victor. Karena sering bertatap muka Victor mulai jatuh cinta dengan Clara. Keduanya pun menjalin hubungan tanpa sepengetahuan anggota kerajaan. Akan
"Diam kau! Kau juga sama seperti mamaku! Bedanya mamaku pelayan istana! Sementara kau jadi anak angkat bangsawan baik hati! Asal-usulmu juga tidak jelas. Jadi jangan menghina mamaku, wanita jalang!" seru Xavier dengan muka Xavier semakin memerah. Dia sudah tidak memikirkan lagi adab dan sopan santunnya di istana. Larisa masih saja menghina mendiang mamanya. Padahal mamanya sudah tidak ada lagi di dunia, Larisa berhati ular dan tidak pantas disebut manusia!"Xavier, cukup! Kau tidak boleh menghina Mamamu!" teriak Victor menggelegar tiba-tiba. Membuat kumpulan manusia di ruangan tertegun. Mereka tak berani membuka suara di antara ayah dan anak itu, memilih diam dan mendengarkan dengan seksama pertikaian yang terjadi di depan mata.Pemegang tinggi di istana, saat ini wajahnya sangat tak bersahabat. Kemarahannya membuat sebagian orang ketakutan, termasuk Grace yang saat ini meneguk ludah berkali-kali. Berbeda dengan Xavier tak ada rasa takut sedikit pun yang terpancar dari bola matanya.
Mendengar suara teriakan Xavier, seluruh anggota kerajaan Norwegia datang menuju sumber suara, tepatnya di ruang tamu. Sesampainya di ruangan, Larisa dan Sisilia membelalakan mata dengan kedatangan anggota kerajaan Denmark berada di sini. "Apa-apaan ini Xavier?" Victor, raja yang masih menjabat menjadi pemegang kekuasaan di Norwegia langsung bertanya. Kerutan di keningnya mendadak muncul dengan kedatangan tamu yang tak diundang pada malam-malam begini. Xavier tak langsung menjawab, ada secuil kerinduan menjalar di hatinya. Dia sudah lama tidak bertatap muka dengan ayahnya. Terlebih, umur ayahnya sudah tak lagi muda sekarang, ada banyak keriput di wajah dan rambut hitamnya pun sebagian sudah memutih. Akan tetapi, Xavier menghapus cepat kerinduannya tersebut kala mengingat perlakuan Victor selama ini. "Atas nama kerajaan Denmark, aku minta maaf karena datang malam-malam begini ke istana bersama istriku dan Pangeran Xavier." Saat melihat Xavier terdiam, Frederick langsung angkat bica
"Ayolah Pangeran, keluarlah kami tidak akan mengigit!" Lagi pria itu berseru sambil mengeluarkan tawa keras hingga teman-temannya pun ikut tertawa. Xavier menahan geram. Dadanya bergemuruh kuat seakan-akan meledak juga saat ini. Sampai-sampai Grace menggerakkan sedikit kepalanya ke samping dan membuat salah satu rumput bergerak. Alhasil salah seorang pria yang tak sengaja melihat adanya pergerakkan dari salah satu rumput yang memanjang, mengalihkan pandangan. Dalam sepersekian detik dia pun langsung meloncat tepat di hadapan Grace dan Xavier. "Bah! Dapat kalian!" pekiknya sambil menodongkan pistol ke kepala Grace. Grace langsung memekik histeris,"Tolong!!!" Xavier tak diam, ikut juga menodongkan pistol ke arah kepala si pelaku. Kelima pria lainnya serempak mengarahkan mata ke arah pasangan suami istri itu sambil mengangkat pistol masing-masing. Suasana mendadak tegang. Baik Xavier maupun keenam pria lainnya tak ada yang mau mengalah. "Jangan bunuh kami!" pekik Grace,
Grace terbelalak ketika melihat enam orang pria keluar dari mobil sambil menodongkan pistol ke arah mereka sekarang. Pria-pria asing itu tampangnya sangat menyeramkan, seperti preman pasar, ada tato-tato di tangan dan muka, bahkan terlihat tindik pula di hidung. "Keluar kalian!" teriak salah seorang pria dari luar lalu melempar senyum smirk. Grace makin panik. Dengan cepat menoleh ke samping kembali. "Xavier, bagaimana ini?" Dia sedikit heran mengapa Xavier sama sekali tak panik. Suaminya itu hanya menampilkan ekspresi datar namun tanpa sepengetahuan Grace, mata elang Xavier memandang ke arah kumpulan pria tersebut dengan sorot mata tajam. Tanpa menoleh ke samping, Xavier pun berkata,"Jangan lepas sabuk pengamanmu."Grace hendak bertanya namun belum juga lidahnya bergerak, Xavier melajukan mobil dalam kecepatan di atas rata-rata. Alhasil enam orang pria tersebut melesatkan timah ke arah mereka. Akan tetapi, Xavier berhasil mengelak dan menabrak pula kedua mobil yang menjadi pengha
"Kenapa kalian ingin keluar istana? Apa ada seseorang yang menyakiti kalian?" Dengan sorot mata merah menyala, Katherine lantas beranjak dari kursi. Riak mukanya pun berubah tak enak pandang sekarang. Mendengar tanggapan Katherine, Xavier dan Grace saling lempar sesaat dengan dahi mengerut samar. "Tidak ada Putri, ini kulakukan karena kami ingin hidup tenang dan jauh dari hiruk pikuk,"jawab Xavier. Tadi malam Xavier dan Grace telah mempertimbangkan rencana dengan matang. Keduanya ingin hidup tenang dan menetap di desa terpencil, hanya berdua dan suatu saat nanti tinggal bersama buah hati mereka. Bukan hanya alasan itu, Xavier juga tak enak hati dengan kedatangan Robert dan Sisilia akhir-akhir ini. "Tidak bisa! Aku tidak mengizinkan kalian keluar istana!" seru Katherine kemudian. Xavier melebarkan mata, tampak terkejut dengan respons Katherine. "Tapi Putri, kami—""Aku bilang tidak, ya tidak–""Sayang, tenangkan dirimu dulu, hei duduklah." Frederick langsung menyela saat kondisi d
"Fred." Katherine merasa ada yang tidak beres lantas mendorong pelan dada Frederick. Frederick pun merasakan hal yang sama. Sungguh aneh, malam-malam begini malah terdengar bunyi pecahan kaca. Katherine dan Frederick serempak melirik jendela, memastikan apa jendelanya yang rusak. Akan tetapi, setelah diamati, jendela kamar dalam keadaan aman. Kerutan di kening Katherine dan Frederick makin bertambah. Pasangan suami istri tersebut menyudahi kegiatan panasnya lalu beringsut dari kasur dan memakai pakaian dengan tergesa-gesa. Begitu pula dengan Xavier dan Grace menghentikan kegiatannya, memilih keluar hendak memeriksa apa yang telah terjadi. Keduanya tanpa sengaja berpapasan dengan Frederick dan Katherine di lantai satu. "Ada apa ini Pangeran?" tanya Xavier dengan kening mengerut kuat. "Entahlah, aku juga tidak tahu, aku pikir dari jendela kamar kalian?" Frederick pun bertanya. Jika bukan berasal dari kamarnya bisa jadi bunyi pecahan dari kamar Grace. Sebab kamar Grace tepat berada
Katherine dan Frederick saling melirik satu sama lain, tengah menahan senyum sekaligus merasa bersalah atas perbuatan mereka tempo lalu. "Untuk apa meminta maaf Xavier?" Frederick memberi tanggapan terlebih dahulu, perasaan bersalah mulai memenuhi hatinya. Sebab demi egonya dia menjebak Xavier dengan obat perangsang kala itu. "Sudah seharusnya kami meminta maaf pada Pangeran dan Putri karena telah berbohong selama ini, aku juga minta maaf." Grace ikut menimpali. "Kalian tidak salah Grace, Xavier. Itu masalah kalian, dan setidaknya buah dari kebohongan kalian menghasilkan sebuah rasa, 'kan?" ujar Katherine, ikut berkomentar. Grace malah cengengesan. Merasa pasangan suami istri di hadapannya ini, terlampau baik. Hal yang wajar jika Katherine dan Frederick marah. Namun, reaksi keduanya di luar perkiraan. Xavier pun memiliki pikiran yang sama dengan Grace. Secara perlahan menatap kembali pasangan tersebut."Iy—a Putri, tapi terimalah permohonan maaf dari kami, hatiku rasanya mengganj