Mendengar suara teriakan Xavier, seluruh anggota kerajaan Norwegia datang menuju sumber suara, tepatnya di ruang tamu. Sesampainya di ruangan, Larisa dan Sisilia membelalakan mata dengan kedatangan anggota kerajaan Denmark berada di sini. "Apa-apaan ini Xavier?" Victor, raja yang masih menjabat menjadi pemegang kekuasaan di Norwegia langsung bertanya. Kerutan di keningnya mendadak muncul dengan kedatangan tamu yang tak diundang pada malam-malam begini. Xavier tak langsung menjawab, ada secuil kerinduan menjalar di hatinya. Dia sudah lama tidak bertatap muka dengan ayahnya. Terlebih, umur ayahnya sudah tak lagi muda sekarang, ada banyak keriput di wajah dan rambut hitamnya pun sebagian sudah memutih. Akan tetapi, Xavier menghapus cepat kerinduannya tersebut kala mengingat perlakuan Victor selama ini. "Atas nama kerajaan Denmark, aku minta maaf karena datang malam-malam begini ke istana bersama istriku dan Pangeran Xavier." Saat melihat Xavier terdiam, Frederick langsung angkat bica
"Diam kau! Kau juga sama seperti mamaku! Bedanya mamaku pelayan istana! Sementara kau jadi anak angkat bangsawan baik hati! Asal-usulmu juga tidak jelas. Jadi jangan menghina mamaku, wanita jalang!" seru Xavier dengan muka Xavier semakin memerah. Dia sudah tidak memikirkan lagi adab dan sopan santunnya di istana. Larisa masih saja menghina mendiang mamanya. Padahal mamanya sudah tidak ada lagi di dunia, Larisa berhati ular dan tidak pantas disebut manusia!"Xavier, cukup! Kau tidak boleh menghina Mamamu!" teriak Victor menggelegar tiba-tiba. Membuat kumpulan manusia di ruangan tertegun. Mereka tak berani membuka suara di antara ayah dan anak itu, memilih diam dan mendengarkan dengan seksama pertikaian yang terjadi di depan mata.Pemegang tinggi di istana, saat ini wajahnya sangat tak bersahabat. Kemarahannya membuat sebagian orang ketakutan, termasuk Grace yang saat ini meneguk ludah berkali-kali. Berbeda dengan Xavier tak ada rasa takut sedikit pun yang terpancar dari bola matanya.
"Apa kau lupa aku menikahimu karena terpaksa, sampai kapan pun nama Clara tidak akan hilang, kaulah yang membuat aku dan Clara tidak bisa bersama, aku muak dengan sikapmu Larisa!" seru Victor dengan mata berkobar-kobar. Larisa mendekat. "Oh ya? Tapi wanita itu sudah mati sekarang dan kau tidak bisa memilikinya! Akulah yang memilikimu sekarang Victor!" Victor menyeringai tipis. "Kau hanya memiliki ragaku tapi tidak dengan jiwaku!"serunya dengan lantang. Membuat Larisa mengepalkan kedua tangan. Meski Clara sudah meninggal tapi di hati Victor nama Clara masih terus terukir dan tak pernah memudar sekali pun. Dulu, sebelum menikah dengan Larisa. Victor dan Clara sudah terlebih dahulu menjalin hubungan. Kala itu status Victor masih menjadi pangeran, belum menjadi raja. Sementara Clara baru bekerja di istana dan menjadi pelayan pribadi Victor. Karena sering bertatap muka Victor mulai jatuh cinta dengan Clara. Keduanya pun menjalin hubungan tanpa sepengetahuan anggota kerajaan. Akan
Benda berbahan kaca itu langsung pecah, mengenai punggung Victor. Victor tak peduli malah makin mempercepat langkah kaki sambil tersenyum puas. Meninggalkan Larisa menjerit-jerit histeris. ...Keesokan harinya, pagi-pagi sekali istana gempar dengan kabar gembira dari Grace. Grace ternyata tengah mengandung. Bukan hanya Grace, Katherine pun juga, mengandung anak kedua. Keduanya sama-sama muntah tadi pagi. Sukacita menyelimuti hati Xavier, Frederick dan Victor. Saat ini mereka tengah sarapan bersama di ruang makan, ada Logan dan Robert juga terlihat duduk bersama. Sementara Larisa memilih sarapan di kamar karena hatinya dalam keadaan buruk sekarang. "Aku tidak sabar dengan kedatangan anakku, Grace. Semoga saja anakku perempuan dan anakmu laki-laki, jadi kalau sudah besar kita bisa menjodohkan mereka," celetuk Katherine setelah selesai menyantap roti. "Iya, amin, semoga saja anakku laki-laki, pasti lucu jika mereka sudah besar nanti," balas Grace tak kalah senang. "Aku setuju, maka
Kopenhagen, Denmark.Zaman modern ***"Sabarlah Karl." "Tapi, aku sudah tidak tahan lagi," kata Karl sembari menarik pinggang Lea seketika. "Astaga, lihatlah istrimu masih ada di sini."Karl malah tertawa rendah, tak mempedulikan sosok wanita yang tengah berusaha mendekati mereka sekarang. "Biadap kalian!" Dengan sekuat tenaga Katherine Brown merangkak di atas pasir, mencoba mengapai bayinya yang terbujur kaku, berjarak tiga meter darinya. Malam ini debur ombak di bibir lautan mengalun-alun lembut di telinga Katherine. Udara pun begitu dingin hingga menusuk-nusuk kulit pori-porinya.Katherine sedikit mengigil, menyeret kedua kakinya yang dipenuhi darah. Dia baru saja melahirkan tanpa bantuan siapa pun mengakibatkan perdarahan hebat. "Abaikan saja dia." Karl meraih tengkuk Lea dengan cepat kemudian melumat liar bibir kekasih gelapnya itu. "Mengapa kalian melakukan ini padaku?" tanya Katherine, mendekap tubuh anaknya yang masih merah sambil melabuhkan kecupan demi kecupan di pipi
Pangeran Frederick Abraham Edmund — pemilik mata biru itu memandang Katherine dengan tatapan datar. Tetesan air dari rambutnya membuat kelopak mata Katherine enggan untuk berkedip. Bias cahaya mentari yang jatuh ke bawah rambut Pangeran semakin membuat silau pandangan Katherine.Hening melanda. Hanya terdengar deburan ombak di tepi laut, menyapa kembali telinga Katherine. 'Pasti aku sedang di surga?' Katherine masih berpikir dirinya berada di surga. Mendadak kilasan balik masa lalu Katherine berputar-putar seperti sebuah kaset. Ia ingat pria malang di depannya ini memiliki kisah cinta yang amat tragis, Victoria, sang tunangan terjun ke lautan tepat di hari pernikahannya berlangsung. Dari kabar burung yang berhembus, sang ratu tidak menyukai Victoria karena status kedudukannya lebih rendah. Hanya itu saja yang Katherine tahu. "Nona Brown, berdirilah. Papamu mengkhawatirkanmu." Frederick membuka suara kala Katherine hanya diam saja memandanginya dengan mata tak berkedip-kedip se
Sebuah tamparan kuat mendarat tepat di pipi Zara. Kedua mata wanita bertubuh langsing tersebut lantas membola, amat terkejut. "Apa yang Kakak lakukan?!" Tak hanya Zara, Lea pun terkesiap. William gegas mendekati Zara. Gurat kepanikan dan kecemasan tergambar sangat jelas di wajahnya sekarang. Grace, sebagai seseorang yang ditugaskan menemani Katherine, sama terkejutnya. Buru-buru ia berdiri di samping Katherine."Katherine, mengapa kau menampar Mamamu?" tanya William sembari menyentuh pipi Zara, hendak memeriksa keadaan istrinya.Katherine tak langsung menjawab, malah memandangi tangan kanannya yang baru saja digunakan untuk menampar Zara. Ada rasa senang merasuk jiwanya kala dapat melampiaskan kemarahannya barusan. Namun, sekarang dia sedikit heran. Apakah sudah mati atau belum? Katherine merasa aneh. Jika ini mimpi, berarti tubuhnya terdampar di suatu tempat. Andaikan ini surga, mengapa dia terlempar ke kejadian setahun lalu. Sungguh aneh, pikir Katherine. 'Tempat ini keren seka
Pertanyaan yang diajukan Katherine malah membuat William mengeluarkan tawa cukup keras. Melihat hal itu Katherine langsung manyun. "Kenapa Papa tertawa?" Katherine bertanya tanpa mengubah ekspresi wajah. Saat ini ada kerutan sedikit di keningnya. Tatapannya nampak sangat serius membuat tawa William pun terhenti. "Ya bagaimana papa tidak tertawa, kau bertanya sesuatu yang tidak masuk diakal." William menangkup kedua pipi Katherine seketika. "Dear, papa tidak akan pernah menamparmu, meskipun kau membuat papa kesal tadi," ujarnya lalu memeluk Katherine. Katherine terdiam. Untuk kesekian kalinya, merasakan kehangatan pelukan William. Sebuah pelukan yang begitu hangat, mengalahkan sinar mentari di luar jendela sana. 'Jadi aku belum mati?' Katherine pun bertanya-tanya dalam benaknya tentang keadaannya saat ini. Detik selanjutnya, William mengurai pelukan. "Sebaiknya kau beristirahat, papa sudah menghubungi dokter untuk datang kemari, besok atau lusa kita kembali ke rumah." Ka