Pangeran Frederick Abraham Edmund — pemilik mata biru itu memandang Katherine dengan tatapan datar.
Tetesan air dari rambutnya membuat kelopak mata Katherine enggan untuk berkedip. Bias cahaya mentari yang jatuh ke bawah rambut Pangeran semakin membuat silau pandangan Katherine.Hening melanda.Hanya terdengar deburan ombak di tepi laut, menyapa kembali telinga Katherine.'Pasti aku sedang di surga?'Katherine masih berpikir dirinya berada di surga.Mendadak kilasan balik masa lalu Katherine berputar-putar seperti sebuah kaset. Ia ingat pria malang di depannya ini memiliki kisah cinta yang amat tragis, Victoria, sang tunangan terjun ke lautan tepat di hari pernikahannya berlangsung.Dari kabar burung yang berhembus, sang ratu tidak menyukai Victoria karena status kedudukannya lebih rendah. Hanya itu saja yang Katherine tahu."Nona Brown, berdirilah. Papamu mengkhawatirkanmu."Frederick membuka suara kala Katherine hanya diam saja memandanginya dengan mata tak berkedip-kedip sejak tadi.Katherine melirik ke samping, di mana William Brown, papa Katherine, berdiri dengan raut wajah diterpa kecemasan.Manik Katherine mengerjap-erjap. Matanya membola, melihat sosok yang sangat dirindukannya."Papa!" Katherine bangkit berdiri dengan cepat kemudian mendekati William dan memeluknya dengan sangat erat.Katherine rindu, begitu rindu pada papanya tersebut. Meski hanyalah mimpi, ia tidak akan melewatkan mimpi yang terlalu indah menurutnya ini.William mengerutkan dahi melihat reaksi putrinya. Kendati demikian, dia balas juga pelukan Katherine."Ada apa dengan putriku ini?" tanyanya sambil melonggarkan sedikit pelukan.Katherine mendongak, menatap dalam manik William. "Pa, aku merindukanmu."Lelaki bertubuh gempal itu mengulum senyum sambil memegang kedua pundak Katherine."Putriku ini sepertinya sedang berbicara melantur, bukan kah dua jam yang lalu kita sudah bertemu, lihatlah gara-gara aku tinggalkan sebentar dia terjatuh ke laut," ungkap William sembari melirik Frederick.Sejak tadi Frederick hanya diam saja. Dari kejauhan ia memperhatikan dengan seksama interaksi antara William dan Katherine.Katherine tak menyahut, malah menenggelamkan wajahnya ke dada bidang William, menghirup aroma tubuh papanya dalam-dalam. Ada perasaan senang dan sedih bercampur menjadi satu di relung hatinya saat ini.Seminggu sebelumnya, setelah kematian William, dalam sekejap dunia Katherine jungkir balik menjadi gelap dan suram.Apalagi semalam dia melihat buah hatinya dibunuh oleh suaminya sendiri. Tak cukup sampai di situ, di ambang kematian dia melihat orang-orang yang disayanginya melakukan hal tak senonoh tepat di depan matanya.Tanpa permisi cairan bening pun mengalir perlahan dari sudut mata Katherine, ketika mengingat kembali kejadian tadi malam."Katherine, apa kau sudah mengucapkan terima kasih pada Pangeran?" tanya William tiba-tiba.Katherine balas dengan menggeleng cepat. Ada kerutan samar yang terlihat di keningnya juga. Dia heran mengapa ucapan William sangat persis dengan kejadian tempo lalu.Wiliam mengulum senyum. Kemudian mendorong pelan pundak Katherine. "Ayo kita menghadap Pangeran dan mengucapkan terima kasih padanya."Katherine mengangguk samar. Setelah itu William tuntun ia mendekati Frederick.Wiliam membungkuk dengan hormat sejenak sembari berkata,"Aku minta maaf, karena telah merepotkan Anda, Pangeran."Sebelum membalas, Frederick lirik sekilas Katherine."Tidak apa-apa, kebetulan aku juga sedang bersantai di sini."Katherine tak menyadari jika tengah diperhatikan. Wanita itu tengah tercenung, memikirkan nasibnya sekarang."Iya Pangeran, meskipun begitu putriku ini telah membuat pakaian Anda basah," tutur William dengan mengulum senyum."Tidak masalah, Marquis William, lagipula cuaca pagi ini cukup panas." Sekali lagi Frederick melirik Katherine.Gelagat Frederick lantas dibaca oleh William. Pria berkepala putih itu pun menoleh ke samping."Katherine, berilah hormat dan ucapkan terima kasih pada Pangeran," ucap William kemudian.Tak ada tanggapan, Katherine masih melamun. Sejak tadi memandang pasir di bawah sana. Hal itu membuat William melempar senyum hambar pada Frederick. Dengan cepat lelaki bermata abu-abu tersebut menyenggol lengan Katherine."Katherine ucapkan terima kasih pada Pangeran." William mengulangi perkataannya kembali.Katherine menggeleng dan segera tersadar. Dia tampak gelagapan, secepat kilat menatap ke depan lalu membungkuk sedikit."Maaf Pangeran, um maksudku terima kasih karena telah menyelamatkan aku tadi," katanya sambil menyengir kuda hingga memperlihatkan gigi-gigi putihnya sedikit.Frederick tak langsung membalas, malah melangkah perlahan, mendekati Katherine.Katherine amat terkejut, iris mata kelabunya melebar sedikit saat Frederick mendekatkan bibir ke telinganya sekarang.Frederick menyeringai tipis."Sama-sama, tapi lain kali jangan melakukan hal bodoh untuk menarik perhatianku, kau lihat di belakang sana, tepatnya di balik pohon, ada seorang wanita menahan cemburu melihat aku menolongmu tadi."Katherine terperangah. Bukan karena ucapan Frederick, melainkan karena kalimat yang dilontarkan begitu persis dengan kejadian kala itu. Sebulan sebelum menikah dengan Karl, di saat sedang berdiri di tepi kapal. Ia terjatuh ke lautan karena tak mampu menahan rasa panas yang membuat kepalanya pusing.Katherine hendak membalas. Namun, Frederick tiba-tiba memutar badan kemudian melambaikan tangan sambil berkata-kata."Aku pulang dulu Marquis William!" seru Frederick tanpa menatap lawan bicara."Ya Pangeran berhati-hatilah," balas William sambil memandangi punggung Frederick."Apa-apan dia percaya diri sekali!" celetuk Katherine tiba-tiba dengan muka menahan sebal, "lagipula orang gila mana yang mau terjun ke lautan. Dia pikir aku sama dengan wanita yang selalu mengejar dia."Membuat William reflek menoleh ke samping dengan kening berkerut kuat."Nak, kau kenapa?" Untuk pertama kalinya, William mendengar Katherine mengumpat kesal.Netra Katherine membola, terkejut akan perkataannya barusan. Yang seharusnya dia ucapkan di dalam hati. Sebab tempo lalu kalimat yang diutarakan dia barusan adalah suara hatinya.'Astaga, ada apa denganku?' batin Katherine, matanya bergerak liar ke segala arah, heran sekaligus merasa aneh dengan sikapnya barusan.Katherine mendadak ling-lung."Katherine, sepertinya kepalamu terbentur sesuatu, ayo kita naik ke kapal, pasti mama dan adikmu mencarimu sekarang." Tanpa mendengarkan perkataan Katherine, William menarik tangannya dan menuntunnya menuju kapal pesiar yang saat ini terlihat di tengah lautan.Selang beberapa menit, Katherine dan William sudah tiba di atas kapal. Langsung disambut suara teriakan Grace."Astaga, pakaian Anda basah, maafkan saya Nona!" pekik Grace, panik.Maid yang ditugaskan menemani Katherine selama ini. Wanita berambut pendek itu pun mendekat, memindai tubuh Katherine dari atas hingga bawah, tengah memastikan sang majikan dalam keadaan baik-baik saja.Katherine diam, tenggelam dalam dunianya sendiri. Semakin merasa aneh dia sebab semuanya tampak sama. Hanya perkataannya tadi kepada Frederick yang berbeda. Sementara William mengulum senyum, melihat kepanikan Grace."Dia baik-baik saja, panggilkan dokter untuk memeriksanya nanti," ujar William.Grace menundukkan kepala sejenak dan sesekali melirik Katherine."Maafkan saya Tuan William, karena telah lalai menjalankan tugas.""Tidak apa-apa, lain kali ikuti Katherine kemana pun dia pergi, aku tidak mau dia kenapa-kenapa.""Baik Tuan.""Oh my God! Katherine!" jerit seseorang di ujung sana.Perhatian Katherine, William dan Grace tiba-tiba teralihkan. Mereka serempak menoleh ke sumber suara.Dada Katherine mendadak bergemuruh. Melihat Zara tengah berjalan cepat, mendekatinya sekarang.Bayangan Zara membunuh anaknya langsung berputar-putar di benaknya seketika. Tanpa sadar dengan raut wajah merah padam, dia pun melangkah maju ke depan."Nak, mengapa bajumu basah?" tanya Zara, panik.Plak!"Katherine! Nona!"Sebuah tamparan kuat mendarat tepat di pipi Zara. Kedua mata wanita bertubuh langsing tersebut lantas membola, amat terkejut. "Apa yang Kakak lakukan?!" Tak hanya Zara, Lea pun terkesiap. William gegas mendekati Zara. Gurat kepanikan dan kecemasan tergambar sangat jelas di wajahnya sekarang. Grace, sebagai seseorang yang ditugaskan menemani Katherine, sama terkejutnya. Buru-buru ia berdiri di samping Katherine."Katherine, mengapa kau menampar Mamamu?" tanya William sembari menyentuh pipi Zara, hendak memeriksa keadaan istrinya.Katherine tak langsung menjawab, malah memandangi tangan kanannya yang baru saja digunakan untuk menampar Zara. Ada rasa senang merasuk jiwanya kala dapat melampiaskan kemarahannya barusan. Namun, sekarang dia sedikit heran. Apakah sudah mati atau belum? Katherine merasa aneh. Jika ini mimpi, berarti tubuhnya terdampar di suatu tempat. Andaikan ini surga, mengapa dia terlempar ke kejadian setahun lalu. Sungguh aneh, pikir Katherine. 'Tempat ini keren seka
Pertanyaan yang diajukan Katherine malah membuat William mengeluarkan tawa cukup keras. Melihat hal itu Katherine langsung manyun. "Kenapa Papa tertawa?" Katherine bertanya tanpa mengubah ekspresi wajah. Saat ini ada kerutan sedikit di keningnya. Tatapannya nampak sangat serius membuat tawa William pun terhenti. "Ya bagaimana papa tidak tertawa, kau bertanya sesuatu yang tidak masuk diakal." William menangkup kedua pipi Katherine seketika. "Dear, papa tidak akan pernah menamparmu, meskipun kau membuat papa kesal tadi," ujarnya lalu memeluk Katherine. Katherine terdiam. Untuk kesekian kalinya, merasakan kehangatan pelukan William. Sebuah pelukan yang begitu hangat, mengalahkan sinar mentari di luar jendela sana. 'Jadi aku belum mati?' Katherine pun bertanya-tanya dalam benaknya tentang keadaannya saat ini. Detik selanjutnya, William mengurai pelukan. "Sebaiknya kau beristirahat, papa sudah menghubungi dokter untuk datang kemari, besok atau lusa kita kembali ke rumah." Ka
Setelahnya Katherine tersenyum hingga memperlihatkan gigi-gigi putihnya berjejer dengan sangat rapi. Dia lirik sekilas ke samping, di mana Grace memandangnya dengan tatapan terkejut. Sampai-sampai bola mata Grace hampir saja keluar. Katherine menggeser sedikit kakinya tiba-tiba."Grace, begitu caranya melamar, 'kan?" tanyanya agak pelan sambil lirik-lirik Frederick ke depan. Sedari tadi Frederick sedang duduk di atas kuda seraya memandanginya dengan tatapan yang sangat sulit diartikan. Grace tersenyum meringis hendak membalas. Namun dia urungkan tatkala melihat Frederick mulai turun dari kuda. Tak lupa Grace memberi bahasa isyarat pada Katherine.Katherine buru-buru memandang ke depan sambil melempar senyum lebar pada Frederick, yang saat ini melangkah dengan gagah dan tegap, menghampirinya. Frederick menghentikan langkah kaki tepat di depan Katherine. "Kau bilang apa tadi? Coba ulangi."Karena tinggi badan Frederick tinggi, alhasil Katherine mendongak. Ia membungkuk hormat kembal
"Tuan, ada apa?" Teriakan Karl lantas mengagetkan tangan kanannya yang baru saja sampai dì depan pintu kamar saat ini. Bergegas lelaki muda itu masuk ke dalam. Melihat Karl meremas kuat secarik kertas. Karl mengalihkan pandangan. Dengan mata melotot tajam menatap Leon lalu berkata," Cari Katherine sekarang!" Kerutan di dahi Leon tampak samar. Ingin bertanya namun melihat reaksi Karl, dia urungkan. Dia pun melaksanakan perintah sang tuan. "Argh! Di mana kau!" Sekali lagi Karl memekik hingga membuat wajahnya semakin memerah. Gigi-giginya bergemelatuk menahan amarah yang berkobar-kobar di dalam dada. Pernikahan akan diadakan sebentar lagi. Namun, calon pengantin wanita pergi entah ke mana. Di dalam kertas hanya tertera permintaan maaf, yang mengatakan tidak bisa melanjutkan pernikahan. Hanya itu saja, Katherine tidak membeberkan alasannya. "Katherine, kau harus menjadi milikku! Jangan main-main denganku!" cicit Karl lagi kali ini dengan senyum miring di bibir. Baru semenit ber
'Bagaimana ini, aku harus melarikan diri!' Alih-alih menanggapi, Katherine bermonolog di dalam hati. Ia tengah berusaha memutar otak agar dapat terlepas dari jeratan Karl. Sembari mencari rencana, matanya berpendar ke segala arah, berharap seseorang menolongnya sekarang. Namun, keadaan di sekitar tampak sepi, bahkan para asisten yang biasanya ditugaskan membersihkan istana tidak terlihat sama sekali. "Cepat jawab!" bentak Karl seketika, membuat dada Katherine bergerak ke depan sesaat. Katherine terkejut, suara bariton Karl begitu menggelegar, hingga burung-burung mungil di sekitar keluar dari tempat persembunyian. Sebuah sikap yang tak pernah Katherine lihat dari seseorang yang pernah dia sayangi dahulu. Rasa was-was dan ketakutan mulai menjalar di hatinya apabila rencananya gagal total hari ini. "Lepaskan aku Karl!" Dalam hitungan detik, Katherine berusaha menggoyangkan tangannya. Tetapi, Karl bagaikan seekor ular besar yang tidak akan melepaskan mangsa. Karl malah menc
"Apa yang kau lakukan dengan calon pengantinku?" Frederick mendekat, matanya tampak biasa namun nada bicaranya terdengar sangat dingin. Bola mata Karl lantas melebar sejenak. Ia tatap Katherine yang kini tengah berusaha bangkit berdiri kemudian dia arahkan lagi pandangan kepada Frederick. "A—pa? Tid—ak mung—kin," ucapnya terbata-bata. Tadi, Karl mendapat kabar dari Leon bila Katherine akan menikah dengan seseorang di istana. Tanpa menaruh rasa curiga sedikit pun ia pergi ke tempat tujuan. Sebab aula yang akan didatangi Katherine adalah aula umum, yang biasanya dipakai untuk para bangsawan melangsungkan pernikahan. Karl lantas terdiam masih dengan tatapan terkejut. Sedari tadi kedua matanya melirik Frederick dan Katherine secara bergantian. "Kau tidak apa-apa 'kan?" tanya Frederick setelah melihat Katherine berdiri tepat di sampingnya sekarang. Katherine tak langsung menanggapi, malah melototkan mata sesaat tatkala menyadari keterlambatannya akibat gaun yang dikirim Frederick ta
Untuk kedua kalinya seseorang mengulur-ulur waktu acara pernikahan Katherine dan membuat seluruh tamu undangan kembali berbincang-bincang kecil."Papa ...." Katherine reflek menoleh ke sumber suara, melihat William bersama Zara dan Lea menghampirinya. Terlihat pula di belakang, Karl mengekori mereka. Saat pandangannya dan Karl bertemu, hanya tatapan dingin yang ia dapatkan. Tetapi Katherine tak peduli. Kini dahi Katherine berkerut kuat, diterpa keheranan karena William menyela pernikahannya. Sebelum pergi ke istana dia sudah meminta pada Grace untuk memberitahu William tentang alasannya tidak mau melanjutkan pernikahan. 'Di mana Grace?' Katherine celingak-celinguk mencari Grace yang batang hidungnya tak terlihat di sekitar. Kini dapat dipastikan rencana yang sudah dipersiapkan berubah total semuanya. Katherine mulai khawatir. Namun, sebisa mungkin menampilkan sikap tenang. Meski jantungnya berdebar-debar sekarang. Mendadak atmosfer di sekitar semakin memanas. Raja dan ratu pun terl
Kepanikan Katherine bertambah berkali-kali lipat. Karl sudah sinting. Ternyata laki-laki di hadapannya ini sangatlah berbahaya. Sedikit lagi kulitnya dan kulit Karl bersentuhan.Katherine merasa jijik. Terlebih bayangan Lea dan Karl bercinta di depannya kemarin menari-nari di benaknya sekarang."Aku bilang lepaskan!" Dengan kekuatan penuh Katherine dorong kuat dada Karl kemudian tanpa pikir panjang mengangkat gaunnya sedikit dan melayangkan tendangan di kemaluan Karl."Ahk!" Karl memekik sangat nyaring. Dia reflek memegang kejantanannya yang terasa sakit seperti disentrum listrik, mukanya pun langsung merah padam. Dia merosot ke bawah pelan-pelan, menahan rasa sakit yang menjalar di seluruh selangkangannya sekarang."Haha, rasakan itu!" Katherine tertawa senang lantas mundur beberapa langkah sambil tak henti-hentinya mengeluarkan tawa, hingga dia tidak menyadari jika di belakangnya saat ini Frederick tengah melangkah cepat, menghampirinya. Mengakibatkan kepala bagian belakang Katheri
Benda berbahan kaca itu langsung pecah, mengenai punggung Victor. Victor tak peduli malah makin mempercepat langkah kaki sambil tersenyum puas. Meninggalkan Larisa menjerit-jerit histeris. ...Keesokan harinya, pagi-pagi sekali istana gempar dengan kabar gembira dari Grace. Grace ternyata tengah mengandung. Bukan hanya Grace, Katherine pun juga, mengandung anak kedua. Keduanya sama-sama muntah tadi pagi. Sukacita menyelimuti hati Xavier, Frederick dan Victor. Saat ini mereka tengah sarapan bersama di ruang makan, ada Logan dan Robert juga terlihat duduk bersama. Sementara Larisa memilih sarapan di kamar karena hatinya dalam keadaan buruk sekarang. "Aku tidak sabar dengan kedatangan anakku, Grace. Semoga saja anakku perempuan dan anakmu laki-laki, jadi kalau sudah besar kita bisa menjodohkan mereka," celetuk Katherine setelah selesai menyantap roti. "Iya, amin, semoga saja anakku laki-laki, pasti lucu jika mereka sudah besar nanti," balas Grace tak kalah senang. "Aku setuju, maka
"Apa kau lupa aku menikahimu karena terpaksa, sampai kapan pun nama Clara tidak akan hilang, kaulah yang membuat aku dan Clara tidak bisa bersama, aku muak dengan sikapmu Larisa!" seru Victor dengan mata berkobar-kobar. Larisa mendekat. "Oh ya? Tapi wanita itu sudah mati sekarang dan kau tidak bisa memilikinya! Akulah yang memilikimu sekarang Victor!" Victor menyeringai tipis. "Kau hanya memiliki ragaku tapi tidak dengan jiwaku!"serunya dengan lantang. Membuat Larisa mengepalkan kedua tangan. Meski Clara sudah meninggal tapi di hati Victor nama Clara masih terus terukir dan tak pernah memudar sekali pun. Dulu, sebelum menikah dengan Larisa. Victor dan Clara sudah terlebih dahulu menjalin hubungan. Kala itu status Victor masih menjadi pangeran, belum menjadi raja. Sementara Clara baru bekerja di istana dan menjadi pelayan pribadi Victor. Karena sering bertatap muka Victor mulai jatuh cinta dengan Clara. Keduanya pun menjalin hubungan tanpa sepengetahuan anggota kerajaan. Akan
"Diam kau! Kau juga sama seperti mamaku! Bedanya mamaku pelayan istana! Sementara kau jadi anak angkat bangsawan baik hati! Asal-usulmu juga tidak jelas. Jadi jangan menghina mamaku, wanita jalang!" seru Xavier dengan muka Xavier semakin memerah. Dia sudah tidak memikirkan lagi adab dan sopan santunnya di istana. Larisa masih saja menghina mendiang mamanya. Padahal mamanya sudah tidak ada lagi di dunia, Larisa berhati ular dan tidak pantas disebut manusia!"Xavier, cukup! Kau tidak boleh menghina Mamamu!" teriak Victor menggelegar tiba-tiba. Membuat kumpulan manusia di ruangan tertegun. Mereka tak berani membuka suara di antara ayah dan anak itu, memilih diam dan mendengarkan dengan seksama pertikaian yang terjadi di depan mata.Pemegang tinggi di istana, saat ini wajahnya sangat tak bersahabat. Kemarahannya membuat sebagian orang ketakutan, termasuk Grace yang saat ini meneguk ludah berkali-kali. Berbeda dengan Xavier tak ada rasa takut sedikit pun yang terpancar dari bola matanya.
Mendengar suara teriakan Xavier, seluruh anggota kerajaan Norwegia datang menuju sumber suara, tepatnya di ruang tamu. Sesampainya di ruangan, Larisa dan Sisilia membelalakan mata dengan kedatangan anggota kerajaan Denmark berada di sini. "Apa-apaan ini Xavier?" Victor, raja yang masih menjabat menjadi pemegang kekuasaan di Norwegia langsung bertanya. Kerutan di keningnya mendadak muncul dengan kedatangan tamu yang tak diundang pada malam-malam begini. Xavier tak langsung menjawab, ada secuil kerinduan menjalar di hatinya. Dia sudah lama tidak bertatap muka dengan ayahnya. Terlebih, umur ayahnya sudah tak lagi muda sekarang, ada banyak keriput di wajah dan rambut hitamnya pun sebagian sudah memutih. Akan tetapi, Xavier menghapus cepat kerinduannya tersebut kala mengingat perlakuan Victor selama ini. "Atas nama kerajaan Denmark, aku minta maaf karena datang malam-malam begini ke istana bersama istriku dan Pangeran Xavier." Saat melihat Xavier terdiam, Frederick langsung angkat bica
"Ayolah Pangeran, keluarlah kami tidak akan mengigit!" Lagi pria itu berseru sambil mengeluarkan tawa keras hingga teman-temannya pun ikut tertawa. Xavier menahan geram. Dadanya bergemuruh kuat seakan-akan meledak juga saat ini. Sampai-sampai Grace menggerakkan sedikit kepalanya ke samping dan membuat salah satu rumput bergerak. Alhasil salah seorang pria yang tak sengaja melihat adanya pergerakkan dari salah satu rumput yang memanjang, mengalihkan pandangan. Dalam sepersekian detik dia pun langsung meloncat tepat di hadapan Grace dan Xavier. "Bah! Dapat kalian!" pekiknya sambil menodongkan pistol ke kepala Grace. Grace langsung memekik histeris,"Tolong!!!" Xavier tak diam, ikut juga menodongkan pistol ke arah kepala si pelaku. Kelima pria lainnya serempak mengarahkan mata ke arah pasangan suami istri itu sambil mengangkat pistol masing-masing. Suasana mendadak tegang. Baik Xavier maupun keenam pria lainnya tak ada yang mau mengalah. "Jangan bunuh kami!" pekik Grace,
Grace terbelalak ketika melihat enam orang pria keluar dari mobil sambil menodongkan pistol ke arah mereka sekarang. Pria-pria asing itu tampangnya sangat menyeramkan, seperti preman pasar, ada tato-tato di tangan dan muka, bahkan terlihat tindik pula di hidung. "Keluar kalian!" teriak salah seorang pria dari luar lalu melempar senyum smirk. Grace makin panik. Dengan cepat menoleh ke samping kembali. "Xavier, bagaimana ini?" Dia sedikit heran mengapa Xavier sama sekali tak panik. Suaminya itu hanya menampilkan ekspresi datar namun tanpa sepengetahuan Grace, mata elang Xavier memandang ke arah kumpulan pria tersebut dengan sorot mata tajam. Tanpa menoleh ke samping, Xavier pun berkata,"Jangan lepas sabuk pengamanmu."Grace hendak bertanya namun belum juga lidahnya bergerak, Xavier melajukan mobil dalam kecepatan di atas rata-rata. Alhasil enam orang pria tersebut melesatkan timah ke arah mereka. Akan tetapi, Xavier berhasil mengelak dan menabrak pula kedua mobil yang menjadi pengha
"Kenapa kalian ingin keluar istana? Apa ada seseorang yang menyakiti kalian?" Dengan sorot mata merah menyala, Katherine lantas beranjak dari kursi. Riak mukanya pun berubah tak enak pandang sekarang. Mendengar tanggapan Katherine, Xavier dan Grace saling lempar sesaat dengan dahi mengerut samar. "Tidak ada Putri, ini kulakukan karena kami ingin hidup tenang dan jauh dari hiruk pikuk,"jawab Xavier. Tadi malam Xavier dan Grace telah mempertimbangkan rencana dengan matang. Keduanya ingin hidup tenang dan menetap di desa terpencil, hanya berdua dan suatu saat nanti tinggal bersama buah hati mereka. Bukan hanya alasan itu, Xavier juga tak enak hati dengan kedatangan Robert dan Sisilia akhir-akhir ini. "Tidak bisa! Aku tidak mengizinkan kalian keluar istana!" seru Katherine kemudian. Xavier melebarkan mata, tampak terkejut dengan respons Katherine. "Tapi Putri, kami—""Aku bilang tidak, ya tidak–""Sayang, tenangkan dirimu dulu, hei duduklah." Frederick langsung menyela saat kondisi d
"Fred." Katherine merasa ada yang tidak beres lantas mendorong pelan dada Frederick. Frederick pun merasakan hal yang sama. Sungguh aneh, malam-malam begini malah terdengar bunyi pecahan kaca. Katherine dan Frederick serempak melirik jendela, memastikan apa jendelanya yang rusak. Akan tetapi, setelah diamati, jendela kamar dalam keadaan aman. Kerutan di kening Katherine dan Frederick makin bertambah. Pasangan suami istri tersebut menyudahi kegiatan panasnya lalu beringsut dari kasur dan memakai pakaian dengan tergesa-gesa. Begitu pula dengan Xavier dan Grace menghentikan kegiatannya, memilih keluar hendak memeriksa apa yang telah terjadi. Keduanya tanpa sengaja berpapasan dengan Frederick dan Katherine di lantai satu. "Ada apa ini Pangeran?" tanya Xavier dengan kening mengerut kuat. "Entahlah, aku juga tidak tahu, aku pikir dari jendela kamar kalian?" Frederick pun bertanya. Jika bukan berasal dari kamarnya bisa jadi bunyi pecahan dari kamar Grace. Sebab kamar Grace tepat berada
Katherine dan Frederick saling melirik satu sama lain, tengah menahan senyum sekaligus merasa bersalah atas perbuatan mereka tempo lalu. "Untuk apa meminta maaf Xavier?" Frederick memberi tanggapan terlebih dahulu, perasaan bersalah mulai memenuhi hatinya. Sebab demi egonya dia menjebak Xavier dengan obat perangsang kala itu. "Sudah seharusnya kami meminta maaf pada Pangeran dan Putri karena telah berbohong selama ini, aku juga minta maaf." Grace ikut menimpali. "Kalian tidak salah Grace, Xavier. Itu masalah kalian, dan setidaknya buah dari kebohongan kalian menghasilkan sebuah rasa, 'kan?" ujar Katherine, ikut berkomentar. Grace malah cengengesan. Merasa pasangan suami istri di hadapannya ini, terlampau baik. Hal yang wajar jika Katherine dan Frederick marah. Namun, reaksi keduanya di luar perkiraan. Xavier pun memiliki pikiran yang sama dengan Grace. Secara perlahan menatap kembali pasangan tersebut."Iy—a Putri, tapi terimalah permohonan maaf dari kami, hatiku rasanya mengganj