Kopenhagen, Denmark.
Zaman modern***"Sabarlah Karl.""Tapi, aku sudah tidak tahan lagi," kata Karl sembari menarik pinggang Lea seketika."Astaga, lihatlah istrimu masih ada di sini."Karl malah tertawa rendah, tak mempedulikan sosok wanita yang tengah berusaha mendekati mereka sekarang."Biadap kalian!" Dengan sekuat tenaga Katherine Brown merangkak di atas pasir, mencoba mengapai bayinya yang terbujur kaku, berjarak tiga meter darinya.Malam ini debur ombak di bibir lautan mengalun-alun lembut di telinga Katherine. Udara pun begitu dingin hingga menusuk-nusuk kulit pori-porinya.Katherine sedikit mengigil, menyeret kedua kakinya yang dipenuhi darah. Dia baru saja melahirkan tanpa bantuan siapa pun mengakibatkan perdarahan hebat."Abaikan saja dia." Karl meraih tengkuk Lea dengan cepat kemudian melumat liar bibir kekasih gelapnya itu."Mengapa kalian melakukan ini padaku?" tanya Katherine, mendekap tubuh anaknya yang masih merah sambil melabuhkan kecupan demi kecupan di pipi dengan penuh kasih sayang.Rasa sakit di bagian bawah perut, tak sebanding dengan rasa sakit tatkala melihat buah hatinya menghembuskan napas terakhir tepat di depan matanya tadi.Bayi mungil tak berdosa tewas mengenaskan di tangan suami, mama tiri dan adik tirinya. Dengan tega mereka menjatuhkan anak Katherine sampai tangisnya tak lagi terdengar di sekitar."Kau masih bertanya?" Lea Brown mendorong pelan dada Karl. Dengan mata melotot tajam ia menghampiri Katherine.Katherine mendongak, menatap tajam pemilik bola mata hitam itu."Aku benar-benar tidak tahu, cepat katakan apa salahku?" tanya Katherine kembali, cairan bening tak berhenti mengalir sejak tadi.Lea tertawa terbahak-bahak. Tak ada rasa iba sedikit pun yang terpancar dari bola matanya. Wanita bersurai hitam itu seakan-akan menikmati keadaan Katherine saat ini.Tawa Lea tiba-tiba berhenti, matanya pun mendadak melebar kembali. "Bodoh sekali Kakakku ini, semua itu karena ulah papamu yang tidak mau membagikan warisannya untukku dan Mamaku!"Netra kelabu Katherine lantas terbelalak hendak membalas namun Karl tiba-tiba menyela."Sudahlah Lea, wanita ini sangatlah bodoh, jangan buang-buang tenagamu untuk meladeni dia. Mari kita ke situ sebentar, aku sudah tidak tahan lagi."Dalam satu kali hentakan Karl berhasil menarik tangan Lea. Ia kembali mencumbu kekasih gelapnya di hadapan sang istri.Semakin pecah tangis Katherine. Lingkar matanya tampak merah, pandangannya pun mulai buram. Dadanya terasa sangat nyilu.Betapa hancur hati Katherine. Melihat Karl memasukkan kejantanan ke inti tubuh Lea dari belakang sekarang. Pakaian keduanya masih melekat di tubuh, hanya pakaian bagian bawahnya saja yang turun.Katherine mencoba menerka-nerka. Sejak kapan Karl dan Lea menjalin hubungan. Apa dia melewatkan sesuatu?Entahlah, namun yang jelas malam ini, semua kepalsuan yang ditampilkan, Zara, Karl dan Lea menyadarkan Katherine, bahwa ia adalah orang paling dungu selama ini.Kini Katherine mulai berspekulasi bila kematian mendadak papanya pasti ada sangkut pautnya dengan ketiga iblis tersebut.Karl dan Lea saling mendesah nikmat di dekat bebatuan besar, seolah-olah tak ada orang di sekitar dan mengabaikan jerit tangis Katherine semakin terdengar nyaring."Ah, Karl, ini sangatlah enak, jangan berhenti!" Racau Lea bagai orang sakau."Sesuai permintaanmu!" Karl menghentak-hentakkan pinggul sambil melirik Katherine yang saat ini mencoba merangkak, mendekati mereka."Biadap! Apa kalian sudah gila?!" pekik Katherine sudah tak mampu lagi menahan sesak. Ini terlampau sakit, pria dan adik tirinya, yang sangat ia sayangi begitu tega mengkhianatinya."Berisik, kau mengganggu kegiatanku!" Karl semakin cepat memacu permainan hingga Lea mendesah penuh syahdu seraya mengeluarkan tawa keras.Katherine mulai lemah. Sekarang rasa sakit di bawah sana semakin menjadi-jadi, membuat ia tak mampu lagi menahan sakit. Sedetik kemudian matanya menutup perlahan-lahan."Lea, Karl, astaga, apa yang kalian lakukan?" Dari jarak empat meter, Zara Brown melangkah cepat, mendekati pasangan gila itu. Ia baru saja turun dari kapal.Mata hitamnya sedikit melebar, saat melihat menantu dan putri kandungnya bercinta di tempat terbuka.Buru-buru Karl menarik kejantanan kemudian menutup retsleting."Maaf Ma, biasalah Karl, dia sudah tidak mampu lagi," balas Lea dengan napas terengah-engah.Zara menggeleng samar-samar. Pandangannya langsung beralih pada Katherine, di mana anak tirinya tergolek tak berdaya sambil memeluk bayi. Seringai tajam pun membentang di wajah Zara."Naiklah ke kapal, sepertinya sebentar lagi akan turun hujan, buanglah mayat istri dan bayimu, Karl. Jangan sampai orang tahu!" titah Zara kemudian.Karl mengangguk.Setelah itu Zara berjalan cepat, menuju kapal pesiar yang terombang-ambing di bibir lautan akibat terkena terpaan angin kencang."Menyebalkan sekali Mama, padahal sedikit lagi." Usai melihat Zara telah menaiki kapal, Lea langsung memberi komentar. Wajahnya terlihat sebal karena kesenangannya diganggu barusan.Karl tiba-tiba mendekat kemudian melabuhkan kecupan singkat di pipi kanan Lea."Nanti kita main di kapal ya. Kita buang dulu mayat Katherine dan anaknya."Lea mengulum senyum lalu mengalungkan tangan di leher Karl. "Baiklah, puaskan aku sampai pagi, sekarang tidak ada lagi penganggu," sahutnya sembari melirik Katherine sekilas."Sesuai permintaanmu." Karl mengulas senyum lalu mencium bibir Lea lagi. Ia pun menyuruh sang kekasih untuk naik ke kapal terlebih dahulu.Sepeninggalan Lea, Karl menatap datar mayat Katherine. Tanpa menunjukkan ekspresi sama sekali ia menyeret Katherine dan anaknya, mendekati bibir pantai."Argh!" Karl tersentak ketika dari atas langit petir bersahut-sahut, menciptakan percikan kilatan cahaya yang bersiap-siap untuk menyambar seisi bumi.Sedikit takut dan memekik sesaat ia, sebab cuaca hari ini tak dapat diprediksi. Padahal tadi pagi panas terik menderik.Tak mau berlama-lama di luar, Karl mendorong kuat Katherine ke lautan hingga tak terlihat lagi mayat istrinya.Karl tidak tahu bila Katherine belum sepenuhnya menghembuskan napas terakhir. Wanita itu hanya menutup matanya saja tadi."Selamat tinggal Sayang, titipkan salam pada papamu," ucap Zara dari atas kapal, melihat Katherine hanyut dalam pusaran air laut.Senyum lebar terlukis di wajahnya seketika, sangat lebar, seolah-olah puas dengan kematian anak tirinya itu.Tak berselang lama, kapal yang ditumpangi Zara, Lea dan Karl mulai menjauh. Hujan turun pun dengan sangat lebat. Angin juga bergemuruh di sekitar, pun bersamaan kilatan petir terdengar menggelegar.Jedar!Di tengah lautan ombak bergulung-gulung dan berkumpul menjadi satu. Menghantam tubuh Katherine, yang saat ini tengah berusaha menyelamatkan diri.Dengan sisa-sisa tenaga Katherine mengayunkan kaki. Namun, usahanya sia-sia. Sebab energinya sudah terkuras dan membuat napasnya mulai tersendat-sendat sekarang, karena air masuk dengan cepat memenuhi seluruh paru-parunya.Katherine sangat tersiksa, mencoba berenang. Akan tetapi, kakinya mendadak kaku.'Papa, Mama ....' Dalam keadaan sekarat Katherine memeluk tubuh anaknya erat-erat. Hingga pada akhirnya kakinya berhenti bergerak dan tubuhnya masuk ke dalam lautan lepas.***"Hei, bangun Nona Brown!"Katherine melenguh saat seseorang menepuk kuat kedua pipinya saat ini. Matanya masih menutup sempurna. Samar-samar gendang telinganya dapat mendengar suara debur ombak di sekitar."Katherine!" panggil seseorang.'Apa aku berada di surga sekarang?' Katherine bermonolog di dalam hati saat mendengar suara Wiliam, siapa lagi kalau bukan papanya yang sudah berpulang seminggu yang lalu."Katherine, Nak! Ya ampun Pangeran, maaf putriku membuat Pangeran basah kuyup."Kali ini, dahi Katherine berkerut amat kuat. Apa dia tidak salah mendengar barusan. Perkataan William sama persis dengan kejadian setahun lalu, di mana dia terjatuh dari atas kapal sebelum pernikahannya dan Karl berlangsung, apa benar dia berada di surga sekarang.Tak mau menerka-nerka, Katherine terpaksa membuka mata. Cahaya mentari langsung masuk ke pupil mata dan membuat pandangannya silau.Sepasang manik abu-abu itu mengerjap-erjap sesaat. Dalam sepersekian detik, mata Katherine membola kala melihat sosok tak asing di hadapannya."Pangeran Frederick," kata Katherine pelan.Pangeran Frederick Abraham Edmund — pemilik mata biru itu memandang Katherine dengan tatapan datar. Tetesan air dari rambutnya membuat kelopak mata Katherine enggan untuk berkedip. Bias cahaya mentari yang jatuh ke bawah rambut Pangeran semakin membuat silau pandangan Katherine.Hening melanda. Hanya terdengar deburan ombak di tepi laut, menyapa kembali telinga Katherine. 'Pasti aku sedang di surga?' Katherine masih berpikir dirinya berada di surga. Mendadak kilasan balik masa lalu Katherine berputar-putar seperti sebuah kaset. Ia ingat pria malang di depannya ini memiliki kisah cinta yang amat tragis, Victoria, sang tunangan terjun ke lautan tepat di hari pernikahannya berlangsung. Dari kabar burung yang berhembus, sang ratu tidak menyukai Victoria karena status kedudukannya lebih rendah. Hanya itu saja yang Katherine tahu. "Nona Brown, berdirilah. Papamu mengkhawatirkanmu." Frederick membuka suara kala Katherine hanya diam saja memandanginya dengan mata tak berkedip-kedip se
Sebuah tamparan kuat mendarat tepat di pipi Zara. Kedua mata wanita bertubuh langsing tersebut lantas membola, amat terkejut. "Apa yang Kakak lakukan?!" Tak hanya Zara, Lea pun terkesiap. William gegas mendekati Zara. Gurat kepanikan dan kecemasan tergambar sangat jelas di wajahnya sekarang. Grace, sebagai seseorang yang ditugaskan menemani Katherine, sama terkejutnya. Buru-buru ia berdiri di samping Katherine."Katherine, mengapa kau menampar Mamamu?" tanya William sembari menyentuh pipi Zara, hendak memeriksa keadaan istrinya.Katherine tak langsung menjawab, malah memandangi tangan kanannya yang baru saja digunakan untuk menampar Zara. Ada rasa senang merasuk jiwanya kala dapat melampiaskan kemarahannya barusan. Namun, sekarang dia sedikit heran. Apakah sudah mati atau belum? Katherine merasa aneh. Jika ini mimpi, berarti tubuhnya terdampar di suatu tempat. Andaikan ini surga, mengapa dia terlempar ke kejadian setahun lalu. Sungguh aneh, pikir Katherine. 'Tempat ini keren seka
Pertanyaan yang diajukan Katherine malah membuat William mengeluarkan tawa cukup keras. Melihat hal itu Katherine langsung manyun. "Kenapa Papa tertawa?" Katherine bertanya tanpa mengubah ekspresi wajah. Saat ini ada kerutan sedikit di keningnya. Tatapannya nampak sangat serius membuat tawa William pun terhenti. "Ya bagaimana papa tidak tertawa, kau bertanya sesuatu yang tidak masuk diakal." William menangkup kedua pipi Katherine seketika. "Dear, papa tidak akan pernah menamparmu, meskipun kau membuat papa kesal tadi," ujarnya lalu memeluk Katherine. Katherine terdiam. Untuk kesekian kalinya, merasakan kehangatan pelukan William. Sebuah pelukan yang begitu hangat, mengalahkan sinar mentari di luar jendela sana. 'Jadi aku belum mati?' Katherine pun bertanya-tanya dalam benaknya tentang keadaannya saat ini. Detik selanjutnya, William mengurai pelukan. "Sebaiknya kau beristirahat, papa sudah menghubungi dokter untuk datang kemari, besok atau lusa kita kembali ke rumah." Ka
Setelahnya Katherine tersenyum hingga memperlihatkan gigi-gigi putihnya berjejer dengan sangat rapi. Dia lirik sekilas ke samping, di mana Grace memandangnya dengan tatapan terkejut. Sampai-sampai bola mata Grace hampir saja keluar. Katherine menggeser sedikit kakinya tiba-tiba."Grace, begitu caranya melamar, 'kan?" tanyanya agak pelan sambil lirik-lirik Frederick ke depan. Sedari tadi Frederick sedang duduk di atas kuda seraya memandanginya dengan tatapan yang sangat sulit diartikan. Grace tersenyum meringis hendak membalas. Namun dia urungkan tatkala melihat Frederick mulai turun dari kuda. Tak lupa Grace memberi bahasa isyarat pada Katherine.Katherine buru-buru memandang ke depan sambil melempar senyum lebar pada Frederick, yang saat ini melangkah dengan gagah dan tegap, menghampirinya. Frederick menghentikan langkah kaki tepat di depan Katherine. "Kau bilang apa tadi? Coba ulangi."Karena tinggi badan Frederick tinggi, alhasil Katherine mendongak. Ia membungkuk hormat kembal
"Tuan, ada apa?" Teriakan Karl lantas mengagetkan tangan kanannya yang baru saja sampai dì depan pintu kamar saat ini. Bergegas lelaki muda itu masuk ke dalam. Melihat Karl meremas kuat secarik kertas. Karl mengalihkan pandangan. Dengan mata melotot tajam menatap Leon lalu berkata," Cari Katherine sekarang!" Kerutan di dahi Leon tampak samar. Ingin bertanya namun melihat reaksi Karl, dia urungkan. Dia pun melaksanakan perintah sang tuan. "Argh! Di mana kau!" Sekali lagi Karl memekik hingga membuat wajahnya semakin memerah. Gigi-giginya bergemelatuk menahan amarah yang berkobar-kobar di dalam dada. Pernikahan akan diadakan sebentar lagi. Namun, calon pengantin wanita pergi entah ke mana. Di dalam kertas hanya tertera permintaan maaf, yang mengatakan tidak bisa melanjutkan pernikahan. Hanya itu saja, Katherine tidak membeberkan alasannya. "Katherine, kau harus menjadi milikku! Jangan main-main denganku!" cicit Karl lagi kali ini dengan senyum miring di bibir. Baru semenit ber
'Bagaimana ini, aku harus melarikan diri!' Alih-alih menanggapi, Katherine bermonolog di dalam hati. Ia tengah berusaha memutar otak agar dapat terlepas dari jeratan Karl. Sembari mencari rencana, matanya berpendar ke segala arah, berharap seseorang menolongnya sekarang. Namun, keadaan di sekitar tampak sepi, bahkan para asisten yang biasanya ditugaskan membersihkan istana tidak terlihat sama sekali. "Cepat jawab!" bentak Karl seketika, membuat dada Katherine bergerak ke depan sesaat. Katherine terkejut, suara bariton Karl begitu menggelegar, hingga burung-burung mungil di sekitar keluar dari tempat persembunyian. Sebuah sikap yang tak pernah Katherine lihat dari seseorang yang pernah dia sayangi dahulu. Rasa was-was dan ketakutan mulai menjalar di hatinya apabila rencananya gagal total hari ini. "Lepaskan aku Karl!" Dalam hitungan detik, Katherine berusaha menggoyangkan tangannya. Tetapi, Karl bagaikan seekor ular besar yang tidak akan melepaskan mangsa. Karl malah menc
"Apa yang kau lakukan dengan calon pengantinku?" Frederick mendekat, matanya tampak biasa namun nada bicaranya terdengar sangat dingin. Bola mata Karl lantas melebar sejenak. Ia tatap Katherine yang kini tengah berusaha bangkit berdiri kemudian dia arahkan lagi pandangan kepada Frederick. "A—pa? Tid—ak mung—kin," ucapnya terbata-bata. Tadi, Karl mendapat kabar dari Leon bila Katherine akan menikah dengan seseorang di istana. Tanpa menaruh rasa curiga sedikit pun ia pergi ke tempat tujuan. Sebab aula yang akan didatangi Katherine adalah aula umum, yang biasanya dipakai untuk para bangsawan melangsungkan pernikahan. Karl lantas terdiam masih dengan tatapan terkejut. Sedari tadi kedua matanya melirik Frederick dan Katherine secara bergantian. "Kau tidak apa-apa 'kan?" tanya Frederick setelah melihat Katherine berdiri tepat di sampingnya sekarang. Katherine tak langsung menanggapi, malah melototkan mata sesaat tatkala menyadari keterlambatannya akibat gaun yang dikirim Frederick ta
Untuk kedua kalinya seseorang mengulur-ulur waktu acara pernikahan Katherine dan membuat seluruh tamu undangan kembali berbincang-bincang kecil."Papa ...." Katherine reflek menoleh ke sumber suara, melihat William bersama Zara dan Lea menghampirinya. Terlihat pula di belakang, Karl mengekori mereka. Saat pandangannya dan Karl bertemu, hanya tatapan dingin yang ia dapatkan. Tetapi Katherine tak peduli. Kini dahi Katherine berkerut kuat, diterpa keheranan karena William menyela pernikahannya. Sebelum pergi ke istana dia sudah meminta pada Grace untuk memberitahu William tentang alasannya tidak mau melanjutkan pernikahan. 'Di mana Grace?' Katherine celingak-celinguk mencari Grace yang batang hidungnya tak terlihat di sekitar. Kini dapat dipastikan rencana yang sudah dipersiapkan berubah total semuanya. Katherine mulai khawatir. Namun, sebisa mungkin menampilkan sikap tenang. Meski jantungnya berdebar-debar sekarang. Mendadak atmosfer di sekitar semakin memanas. Raja dan ratu pun terl