Sebuah tamparan kuat mendarat tepat di pipi Zara. Kedua mata wanita bertubuh langsing tersebut lantas membola, amat terkejut.
"Apa yang Kakak lakukan?!" Tak hanya Zara, Lea pun terkesiap.William gegas mendekati Zara. Gurat kepanikan dan kecemasan tergambar sangat jelas di wajahnya sekarang.Grace, sebagai seseorang yang ditugaskan menemani Katherine, sama terkejutnya. Buru-buru ia berdiri di samping Katherine."Katherine, mengapa kau menampar Mamamu?" tanya William sembari menyentuh pipi Zara, hendak memeriksa keadaan istrinya.Katherine tak langsung menjawab, malah memandangi tangan kanannya yang baru saja digunakan untuk menampar Zara. Ada rasa senang merasuk jiwanya kala dapat melampiaskan kemarahannya barusan.Namun, sekarang dia sedikit heran. Apakah sudah mati atau belum? Katherine merasa aneh. Jika ini mimpi, berarti tubuhnya terdampar di suatu tempat. Andaikan ini surga, mengapa dia terlempar ke kejadian setahun lalu. Sungguh aneh, pikir Katherine.'Tempat ini keren sekaligus aneh, jadi ini rasanya berada di surga?' Katherine bertanya pada diri sendiri."Kak, mengapa Kakak menampar Mama?" Sedari tadi Lea menunggu jawaban sambil memeriksa keadaan Zara yang saat ini wajahnya nampak sendu."Nak, ada apa denganmu?" William pun menimpali. Lelaki bertubuh gempal itu masih memeriksa keadaan Zara. Takut bila sang istri terluka.Seringai tipis langsung terukir di wajah Katherine seketika. "Karena kau pantas mendapatkan tamparan."Amarah yang membuncah di hati Katherine, akhirnya menjadi sebuah dendam yang tak mampu lagi ditahan. Bukan kah ini mimpi atau bisa jadi surga. Jadi, ia bebas melakukan apa saja yang diinginkannya.Namun, Katherine tak menyadari jawaban yang dilontarkan barusan membuat William mulai tersulut emosi. Wajah lelaki tersebut mendadak berubah menjadi merah padam. Begitu pula dengan Lea, mengepalkan kedua tangannya erat-erat."Katherine, ada apa denganmu?! Lancang sekali kau!" seru William menggebu-gebu.Katherine hendak menyanggah. Tetapi, Zara tiba-tiba angkat suara."Sudahlah Sayang, mungkin karena terjatuh dari kapal, kepala Katherine terbentur." Zara langsung mengelus dada William, sedang berusaha menenangkan suaminya.Dalam sekejap ekspresi wajah William langsung berubah. Dia pun menoleh ke arah Zara. "Tapi Sayang, lihatlah pipimu merah."Zara mengulum senyum tipis seraya melirik Katherine sekilas.Katherine memilih diam dengan alis kanan terangkat sedikit."Tidak apa-apa kok, aku baik-baik saja," balas Zara kemudian.Membuat Lea terperangah sesaat, padahal jelas-jelas pipi Zara terlihat merah dan bekas jari-jari Katherine membekas. "Tapi Ma, Kakak sudah keterlaluan.""Iya lihatlah pipimu merah Sayang," timpal William.Zara menggeleng cepat sambil melempar senyum lebar. Sebuah senyuman yang tak memudar sejak tadi."Aku baik, sudahlah jangan diperpanjang, sebaiknya panggil dokter ke sini sekarang untuk memeriksa keadaan Katherine."William dan Lea membuang napas kasar bersamaan. Tak lagi menanggapi Zara.'Cih, benar-benar ular, lihatlah dia.' Katherine menyipitkan mata tatkala melihat sikap Zara yang ternyata selama ini hanyalah sandiwara."Katherine, apa kepalamu sakit Sayang?" Zara tiba-tiba mendekati Katherine lalu memegang kedua pundak anak sambungnya. Sebuah tatapan kasih sayang pun terpancar dari bola matanya. Akan tetapi, bagi Katherine tatapan itu adalah tipu daya semata.Katherine tentu saja agak terkejut saat ini. Namun, dengan cepat dia mundur beberapa langkah dan tak lupa melayangkan tatapan dingin juga.Riak muka Zara langsung sendu."Katherine, ada apa denganmu?!" Untuk kedua kalinya William menahan kesal, melihat sikap putri kandungnya tak seperti biasanya.Bukannya membalas perkataan William, Katherine mendengus lalu buru-buru menarik tangan Grace hendak pergi ke kamar."Katherine, papa belum selesai bicara!" panggil William dengan napas mulai memburu.Namun Katherine tak sedikit pun berniat menghentikan langkah kaki. Dia menarik-narik tangan Grace yang saat ini tengah ketakutan, karena William memandang ke arah mereka dengan tatapan tajam."Kakak berhenti!" Lea pun tak kesalnya hendak menggerakkan kaki. Tetapi, Zara menahannya seketika."Lea sudahlah, Kakakmu sepertinya sedang sakit, biarkan dia beristirahat," ujar Zara.Lea mengeluarkan decakan setelahnya."Tapi Ma, walaupun dia sedang sakit, Kakak sudah keterlaluan. Dia harus minta maaf sama Mama!""Lea benar Sayang, aku akan menemuinya nanti, sekarang kita masuk ke dalam, aku akan mengolesi pipimu ini agar tidak membekas." William membelai pelan pipi Zara sebentar."Benar Pa, temui Kakak, dia sudah membuat pipi Mama merah, sudahlah aku mau ke kamar dulu." Dengan tergesa-gesa Lea melenggang pergi. Meninggalkan Zara dan William saling lempar pandang."Sayang, kau jangan kasar dengan Katherine. Sepertinya kepalanya terbentur tadi, aku benar-benar minta maaf karena lalai menjaganya," ucap Zara setelah melihat punggung Lea menghilang di balik pintu kapal."Iya, tapi walau bagaimana pun sikapnya sangat keterlaluan, sudahlah ayo kita masuk, aku tidak bisa berlama-lama melihat kau terluka." Tanpa mendengarkan pendapat, William menarik tangan Zara dan menuntunnya menuju kamar mereka.Selagi William mengurusi Zara di dalam kamar. Katherine duduk di tepi ranjang dengan tatapan nelangsa. Dia begitu heran, apa dia benar-benar sudah mati atau belum.Tadi, sesudah membersihkan diri dan mengganti pakaian. Katherine meminta Grace mencubit tangannya tatkala mendengar perkataan tangan kanannya itu sama persis sewaktu itu.Katherine mulai ragu jika sedang bermimpi."Nona, apa mau aku ambilkan teh?" Berjarak dua meter Grace berdiri sambil menghadap ke arah Katherine sejak tadi.Katherine tak menjawab, masih tercenung dengan dunianya sendiri."No ...." Perkataan Grace seketika terhenti saat mendengar bunyi pintu kamar didorong dari luar. Dengan cepat dia menoleh, melihat William berdiri.Grace hendak menggerakkan bibir. Namun, William memberi bahasa isyarat untuk diam dan menyuruhnya keluar dari kamar Katherine sekarang.Grace mengangguk. Secara perlahan-lahan memundurkan langkah kemudian berlalu pergi, meninggalkan William mulai mendekati Katherine.Katherine tak menyadari keberadaan William. Dia bergeming."Katherine," panggil William seketika sambil memegang kedua pundak Katherine.Lamunan Katherine mendadak buyar. Dengan cepat dia mendongak kemudian beranjak dari kasur."Pa, coba Papa tampar aku, apa aku sudah mati atau belum saat ini?" tanya Katherine dengan mimik muka serius.Pertanyaan yang diajukan Katherine malah membuat William mengeluarkan tawa cukup keras. Melihat hal itu Katherine langsung manyun. "Kenapa Papa tertawa?" Katherine bertanya tanpa mengubah ekspresi wajah. Saat ini ada kerutan sedikit di keningnya. Tatapannya nampak sangat serius membuat tawa William pun terhenti. "Ya bagaimana papa tidak tertawa, kau bertanya sesuatu yang tidak masuk diakal." William menangkup kedua pipi Katherine seketika. "Dear, papa tidak akan pernah menamparmu, meskipun kau membuat papa kesal tadi," ujarnya lalu memeluk Katherine. Katherine terdiam. Untuk kesekian kalinya, merasakan kehangatan pelukan William. Sebuah pelukan yang begitu hangat, mengalahkan sinar mentari di luar jendela sana. 'Jadi aku belum mati?' Katherine pun bertanya-tanya dalam benaknya tentang keadaannya saat ini. Detik selanjutnya, William mengurai pelukan. "Sebaiknya kau beristirahat, papa sudah menghubungi dokter untuk datang kemari, besok atau lusa kita kembali ke rumah." Ka
Setelahnya Katherine tersenyum hingga memperlihatkan gigi-gigi putihnya berjejer dengan sangat rapi. Dia lirik sekilas ke samping, di mana Grace memandangnya dengan tatapan terkejut. Sampai-sampai bola mata Grace hampir saja keluar. Katherine menggeser sedikit kakinya tiba-tiba."Grace, begitu caranya melamar, 'kan?" tanyanya agak pelan sambil lirik-lirik Frederick ke depan. Sedari tadi Frederick sedang duduk di atas kuda seraya memandanginya dengan tatapan yang sangat sulit diartikan. Grace tersenyum meringis hendak membalas. Namun dia urungkan tatkala melihat Frederick mulai turun dari kuda. Tak lupa Grace memberi bahasa isyarat pada Katherine.Katherine buru-buru memandang ke depan sambil melempar senyum lebar pada Frederick, yang saat ini melangkah dengan gagah dan tegap, menghampirinya. Frederick menghentikan langkah kaki tepat di depan Katherine. "Kau bilang apa tadi? Coba ulangi."Karena tinggi badan Frederick tinggi, alhasil Katherine mendongak. Ia membungkuk hormat kembal
"Tuan, ada apa?" Teriakan Karl lantas mengagetkan tangan kanannya yang baru saja sampai dì depan pintu kamar saat ini. Bergegas lelaki muda itu masuk ke dalam. Melihat Karl meremas kuat secarik kertas. Karl mengalihkan pandangan. Dengan mata melotot tajam menatap Leon lalu berkata," Cari Katherine sekarang!" Kerutan di dahi Leon tampak samar. Ingin bertanya namun melihat reaksi Karl, dia urungkan. Dia pun melaksanakan perintah sang tuan. "Argh! Di mana kau!" Sekali lagi Karl memekik hingga membuat wajahnya semakin memerah. Gigi-giginya bergemelatuk menahan amarah yang berkobar-kobar di dalam dada. Pernikahan akan diadakan sebentar lagi. Namun, calon pengantin wanita pergi entah ke mana. Di dalam kertas hanya tertera permintaan maaf, yang mengatakan tidak bisa melanjutkan pernikahan. Hanya itu saja, Katherine tidak membeberkan alasannya. "Katherine, kau harus menjadi milikku! Jangan main-main denganku!" cicit Karl lagi kali ini dengan senyum miring di bibir. Baru semenit ber
'Bagaimana ini, aku harus melarikan diri!' Alih-alih menanggapi, Katherine bermonolog di dalam hati. Ia tengah berusaha memutar otak agar dapat terlepas dari jeratan Karl. Sembari mencari rencana, matanya berpendar ke segala arah, berharap seseorang menolongnya sekarang. Namun, keadaan di sekitar tampak sepi, bahkan para asisten yang biasanya ditugaskan membersihkan istana tidak terlihat sama sekali. "Cepat jawab!" bentak Karl seketika, membuat dada Katherine bergerak ke depan sesaat. Katherine terkejut, suara bariton Karl begitu menggelegar, hingga burung-burung mungil di sekitar keluar dari tempat persembunyian. Sebuah sikap yang tak pernah Katherine lihat dari seseorang yang pernah dia sayangi dahulu. Rasa was-was dan ketakutan mulai menjalar di hatinya apabila rencananya gagal total hari ini. "Lepaskan aku Karl!" Dalam hitungan detik, Katherine berusaha menggoyangkan tangannya. Tetapi, Karl bagaikan seekor ular besar yang tidak akan melepaskan mangsa. Karl malah menc
"Apa yang kau lakukan dengan calon pengantinku?" Frederick mendekat, matanya tampak biasa namun nada bicaranya terdengar sangat dingin. Bola mata Karl lantas melebar sejenak. Ia tatap Katherine yang kini tengah berusaha bangkit berdiri kemudian dia arahkan lagi pandangan kepada Frederick. "A—pa? Tid—ak mung—kin," ucapnya terbata-bata. Tadi, Karl mendapat kabar dari Leon bila Katherine akan menikah dengan seseorang di istana. Tanpa menaruh rasa curiga sedikit pun ia pergi ke tempat tujuan. Sebab aula yang akan didatangi Katherine adalah aula umum, yang biasanya dipakai untuk para bangsawan melangsungkan pernikahan. Karl lantas terdiam masih dengan tatapan terkejut. Sedari tadi kedua matanya melirik Frederick dan Katherine secara bergantian. "Kau tidak apa-apa 'kan?" tanya Frederick setelah melihat Katherine berdiri tepat di sampingnya sekarang. Katherine tak langsung menanggapi, malah melototkan mata sesaat tatkala menyadari keterlambatannya akibat gaun yang dikirim Frederick ta
Untuk kedua kalinya seseorang mengulur-ulur waktu acara pernikahan Katherine dan membuat seluruh tamu undangan kembali berbincang-bincang kecil."Papa ...." Katherine reflek menoleh ke sumber suara, melihat William bersama Zara dan Lea menghampirinya. Terlihat pula di belakang, Karl mengekori mereka. Saat pandangannya dan Karl bertemu, hanya tatapan dingin yang ia dapatkan. Tetapi Katherine tak peduli. Kini dahi Katherine berkerut kuat, diterpa keheranan karena William menyela pernikahannya. Sebelum pergi ke istana dia sudah meminta pada Grace untuk memberitahu William tentang alasannya tidak mau melanjutkan pernikahan. 'Di mana Grace?' Katherine celingak-celinguk mencari Grace yang batang hidungnya tak terlihat di sekitar. Kini dapat dipastikan rencana yang sudah dipersiapkan berubah total semuanya. Katherine mulai khawatir. Namun, sebisa mungkin menampilkan sikap tenang. Meski jantungnya berdebar-debar sekarang. Mendadak atmosfer di sekitar semakin memanas. Raja dan ratu pun terl
Kepanikan Katherine bertambah berkali-kali lipat. Karl sudah sinting. Ternyata laki-laki di hadapannya ini sangatlah berbahaya. Sedikit lagi kulitnya dan kulit Karl bersentuhan.Katherine merasa jijik. Terlebih bayangan Lea dan Karl bercinta di depannya kemarin menari-nari di benaknya sekarang."Aku bilang lepaskan!" Dengan kekuatan penuh Katherine dorong kuat dada Karl kemudian tanpa pikir panjang mengangkat gaunnya sedikit dan melayangkan tendangan di kemaluan Karl."Ahk!" Karl memekik sangat nyaring. Dia reflek memegang kejantanannya yang terasa sakit seperti disentrum listrik, mukanya pun langsung merah padam. Dia merosot ke bawah pelan-pelan, menahan rasa sakit yang menjalar di seluruh selangkangannya sekarang."Haha, rasakan itu!" Katherine tertawa senang lantas mundur beberapa langkah sambil tak henti-hentinya mengeluarkan tawa, hingga dia tidak menyadari jika di belakangnya saat ini Frederick tengah melangkah cepat, menghampirinya. Mengakibatkan kepala bagian belakang Katheri
"Aku mohon, jangan mendekat! Turunlah dari atas kasur sekarang!" Katherine reflek memejamkan mata saat melihat Frederick tiba-tiba naik ke tempat tidur lalu membuka handuk dengan tatapan lapar, seakan-akan ingin menerkamnya. "Memangnya apa yang mau aku lakukan? Ini kasurku dan tidak ada larangan untuk aku naik ke sini!" Setelahnya terdengar kekehan ringan di ruangan. Frederick mengeluarkan tawa dengan cukup keras."Kau masih bertanya, kau pasti mau menciumku 'kan?" Dengan percaya diri Katherine membalas. Kelopak matanya berkedip-kedip kecil, menahan diri agar tidak membuka mata. Sebab sejak tadi pikirannya sudah berkelana kemana-mana, membayangkan kejantanan besar milik Frederick bergelayut seperti gantungan kunci. "Menciummu?" Tawa Frederick seketika menghilang, berganti dengan bunyi loncatan ke bawah kasur. Lelaki bertubuh atletis itu berdiri di dekat ranjang dan tak sekali pun mengalihkan pandangan dari Katherine. Kini raut wajah Frederick menjadi serius, datar, tanpa ekspresi s