Alis tebal Frederick bertautan. Lelaki bertubuh kekar itu tak langsung menjawab, malah melangkah perlahan mendekati Katherine yang tengah berusaha turun dari atas ranjang sekarang. "Aku mohon masukkan mereka ke istana." Katherine mengulangi perkataannya kembali. Masih dengan muka bantal dan rambut berantakan, dia pun berdiri tepat di hadapan Frederick. "Masuk ke istana, untuk apa?" tanyanya lalu memasukkan kedua tangan ke saku celana. "Begini, aku dengar dari seseorang kalau ada permasalahan dengan pemungutan pajak di kota, kau tahu sendiri kan itu adalah tugas Karl. Aku curiga dengan Karl, sebagai seorang istri aku ingin membantumu," jelas Katherine singkat. Lagi dan lagi Grace memberikan dia informasi yang penting tentang permasalahan-permasalahan yang terjadi di pemerintahan. Maka dari itu dia mengambil kesempatan untuk membuat Karl hancur. Katherine teringat perkataan Grace dahulu yang mengatakan Karl suka keluar pada malam hari bersama orang-orang yang tidak dikenal. Di ke
"Tinggal di istana?" Lea mengedipkan mata berulang kali. Heran dan penasaran pula. Ada apakah gerangan hingga ia tiba-tiba diperintahkan menetap di istana.Karl pun kebingungan. Sekarang, dahinya berkerut amat kuat menciptakan tiga garis lekukan di tengah-tengah. Sejak tadi dia bergeming di tempat, hanya mata liarnya saja yang bergerak, mengamati kertas yang dipegang Zara saat ini. "Iya Nona." Grace mengangguk samar lalu memundurkan langkah kaki setelah berhasil memberikan kertas pada Zara.Zara lantas membaca kalimat yang tertera di kertas dengan seksama. Seketika, bola matanya langsung berseri-seri. Seakan-akan menenangkan lotre. Senyum aneh pun langsung muncul di wajahnya. Membuat rasa penasaran Lea semakin bertambah. Diam-diam ia memperhatikan tingkah laku mamanya itu dari tadi.Semua terdiam, tenggelam pada pemikirannya masing-masing, sampai pada akhirnya Zara menoleh ke depan lalu melempar senyum tipis. "Baiklah, tugasmu sudah selesai bukan, keluarlah Grace!"Sekali lagi Grace
Teriakan di ujung lorong membuat kumpulan manusia menoleh ke sumber suara. Dahi mereka langsung berkerut, keheranan dan penasaran apa yang terjadi. Namun, setelah diperhatikan dengan seksama. Mereka berbisik satu sama lain kala melihat pemandangan di depan sana yang sangat tidak pantas dilakukan oleh seorang bangsawan. Mata kelabu Katherine ikut membola, ia pun bergerak cepat, mendekati Lea dan Frederick. 'Apa yang di lakukan Lea? Apa dia sengaja?' Bagaimana tidak, saat ini Lea tengah menindih tubuh Frederick. Dari tadi Katherine bertanya-tanya. Di mana Lea? Mengapa tidak langsung menghadapnya. Karl-lah yang terlebih dahulu menampakkan batang hidungnya. Padahal ia sudah berdiri cukup lama di depan istana tadi hendak menyambut kedatangan dua iblis tersebut. Karl sama terkejutnya. Dengan sigap mengikuti langkah Katherine dari belakang."Ya ampun, maafkan aku. Aku benar-benar minta maaf Pangeran, Anda tidak apa-apa 'kan?" Dengan cepat Lea bangkit berdiri. Wajahnya kelihatan panik sek
Lea menutup cepat dadanya dengan kedua tangan kemudian menegakkan badan. "Apa maksud Kakak, apa Kakak mengatakan aku pelacur ...." Suara Lea terdengar gemetar, matanya pun nampak berkaca-kaca, seolah-olah menahan tangisnya agar tak tumpah."Aku tidak mengatai kau pelacur, aku hanya heran saja dengan gaunmu seperti pakaian seorang pelacur, lihatlah di sekitarmu ada Pangeran dan Karl." Katherine mencoba bersikap tenang walau sebenarnya dia mulai muak atas sikap Lea.Apalagi tepat di depan matanya sekarang Lea mulai membekap mulutnya sendiri sambil mulai menitihkan air mata. "Kau berlebihan Katherine. Aku tidak mengerti maksudmu. Lea, kau tidak apa-apa 'kan?" Karl tiba-tiba mendekat, menenangkan Lea dengan mengelus perlahan punnggungnya. Lea mengeleng cepat sambil menangis tersedu sedan. "Aku tidak apa-apa Karl, tapi aku heran mengapa Kakak mengatai aku pelacur ...." Katherine enggan menanggapi malah menghela napas kasar lalu me
"Frederick!" panggil Katherine. Melangkah cepat, mendekati Frederick. Grace pun dengan sigap mengikuti dari Katherine dari belakang. Dalam jarak 13 meter, Frederick dan Lea sedang berjalan berdampingan. Entah mengapa perasaan Katherine mulai tidak nyaman, ada sesuatu yang berdesir aneh menjalar di relung hatinya. Namun, Katherine tak dapat menjelaskannya melalui kata-kata sekarang. Terlebih dari kejauhan dress yang dikenakan Lea lebih terbuka dari sebelumnya. Kedua pundak mulusnya terlihat dengan sangat jelas dan bagi siapa saja yang melihat pasti akan menelan air ludah berkali-kali. Begitu mendengar suara Katherine, dengan serempak Frederick dan Lea memutar tubuh. "Disini kau rupanya Kak, dari tadi aku mencarimu." Lea langsung memberi komentar sambil mengembangkan senyuman yang paling lebar dan manis. Tetapi bagi Katherine senyuman itu adalah sebuah malapetaka. Bukannya langsung menanggapi, Katherine malah melewati Lea begitu saja lalu berdiri tepat di samping Frederick. "Saya
Suara nyaring Lea, membuat banyak pasang mata tertuju padanya. Para bangsawan dan pelayan yang sedang lalu-lalang di istana lantas memusatkan perhatian ke arah mereka. Bisik-bisik pun mulai terdengar di sekitar. "Astaga, apa yang aku lakukan ...." Menyadari sikap dan ucapannya berlebihan, mata Lea sontak membola. Secepat kilat dia menundukkan kepala sambil sesekali memukul kepalanya sendiri. 'Jadi begini sifatmu Lea, baiklah ini baru permulaan, aku akan membuat kau merasakan apa yang aku rasakan dulu.' Katherine menyungging senyum tipis sambil bermonolog di dalam hati. Tak ada yang menyadari ekspresi wajahnya, semua orang fokus memandangi Lea sekarang. "Jadi kau menuduhku berselingkuh dengan Katherine?" Bukan Katherine yang membalas, melainkan Frederick. Mata Katherine terbelalak.Tak menyangka bila Frederick akan menanggapi. Apalagi dari tadi suami kontraknya ini terdiam membisu. Membiarkan dia berdebat dengan Lea. Ia pun reflek melirik ke samping sekilas, di mana Frederick menata
Gugup, Katherine dilanda kegugupan. Ia dan Frederick begitu dekat, hanya sejengkal saja ruang yang tersisa di antara mereka. "Fred, ma—u a—pa?" Lagi Katherine bertanya, aroma tubuh maskulin Frederick mulai masuk ke indera penciumannya, dan membuat jantungnya kembali berdetak kencang. Frederick malah toleh kanan, toleh kiri sambil semakin menghimpit tubuh mungil Katherine ke pilar istana. "Fred, awh sakit! Kau kenapa?" Katherine tersentak, tangannya ditarik kembali tiba-tiba. Frederick tak membalas, malah menyeret Katherine dan berjalan cepat menuju kamar. Semakin was-was Katherine. Berulang kali memanggil-manggil nama Frederick. "Frederick, lepaskan tanganku!" "Frederick!" Keributan yang ditimbulkan di sepanjang lorong membuat para bangsawan dan para pelayan yang sedang melakukan tugasnya terlihat terkejut serta penasaran. Kendati demikian, mereka tak berani bertanya, hanya membungkukkan badan dengan hormat saat Frederick dan Katherine melintas di depan mata mereka.
Teriakan Frederick begitu menggelegar sampai-sampai para pelayan di luar kamar terperanjat kaget. Sama halnya dengan keadaan Katherine di dalam, terkesiap pula. Dia spontak tak jadi memutar gagang pintu. Namun sekarang tangannya bergetar pelan, menahan takut. Sebab untuk pertama kalinya mendengar Frederick menjerit. Dengan perlahan, ia menoleh ke arah Frederick. Ekspresi terkejut juga yang didapatkan Katherine. Sepertinya lelaki bermata biru itu baru menyadari akan sikapnya barusan, terlampau garang dan kasar hingga membuat wanita yang berstatus menjadi istri kontrak itu membeku di tempat. "Ruangan apa ini?" Meski takut, Katherine pun bertanya. Penasaran dan heran mengapa Frederick terlihat begitu naik pitam saat ini. Padahal tadi sempat mengajaknya bersenda gurau. Tak ada sahutan, Frederick membuang napas kasar lalu menyugar rambut bagian depan ke atas. Dengan sabar Katherine menanti jawaban. Namun Frederick tak kunjung menggerakkan bibir. Ruangan luas dan didominasi warna pu
Benda berbahan kaca itu langsung pecah, mengenai punggung Victor. Victor tak peduli malah makin mempercepat langkah kaki sambil tersenyum puas. Meninggalkan Larisa menjerit-jerit histeris. ...Keesokan harinya, pagi-pagi sekali istana gempar dengan kabar gembira dari Grace. Grace ternyata tengah mengandung. Bukan hanya Grace, Katherine pun juga, mengandung anak kedua. Keduanya sama-sama muntah tadi pagi. Sukacita menyelimuti hati Xavier, Frederick dan Victor. Saat ini mereka tengah sarapan bersama di ruang makan, ada Logan dan Robert juga terlihat duduk bersama. Sementara Larisa memilih sarapan di kamar karena hatinya dalam keadaan buruk sekarang. "Aku tidak sabar dengan kedatangan anakku, Grace. Semoga saja anakku perempuan dan anakmu laki-laki, jadi kalau sudah besar kita bisa menjodohkan mereka," celetuk Katherine setelah selesai menyantap roti. "Iya, amin, semoga saja anakku laki-laki, pasti lucu jika mereka sudah besar nanti," balas Grace tak kalah senang. "Aku setuju, maka
"Apa kau lupa aku menikahimu karena terpaksa, sampai kapan pun nama Clara tidak akan hilang, kaulah yang membuat aku dan Clara tidak bisa bersama, aku muak dengan sikapmu Larisa!" seru Victor dengan mata berkobar-kobar. Larisa mendekat. "Oh ya? Tapi wanita itu sudah mati sekarang dan kau tidak bisa memilikinya! Akulah yang memilikimu sekarang Victor!" Victor menyeringai tipis. "Kau hanya memiliki ragaku tapi tidak dengan jiwaku!"serunya dengan lantang. Membuat Larisa mengepalkan kedua tangan. Meski Clara sudah meninggal tapi di hati Victor nama Clara masih terus terukir dan tak pernah memudar sekali pun. Dulu, sebelum menikah dengan Larisa. Victor dan Clara sudah terlebih dahulu menjalin hubungan. Kala itu status Victor masih menjadi pangeran, belum menjadi raja. Sementara Clara baru bekerja di istana dan menjadi pelayan pribadi Victor. Karena sering bertatap muka Victor mulai jatuh cinta dengan Clara. Keduanya pun menjalin hubungan tanpa sepengetahuan anggota kerajaan. Akan
"Diam kau! Kau juga sama seperti mamaku! Bedanya mamaku pelayan istana! Sementara kau jadi anak angkat bangsawan baik hati! Asal-usulmu juga tidak jelas. Jadi jangan menghina mamaku, wanita jalang!" seru Xavier dengan muka Xavier semakin memerah. Dia sudah tidak memikirkan lagi adab dan sopan santunnya di istana. Larisa masih saja menghina mendiang mamanya. Padahal mamanya sudah tidak ada lagi di dunia, Larisa berhati ular dan tidak pantas disebut manusia!"Xavier, cukup! Kau tidak boleh menghina Mamamu!" teriak Victor menggelegar tiba-tiba. Membuat kumpulan manusia di ruangan tertegun. Mereka tak berani membuka suara di antara ayah dan anak itu, memilih diam dan mendengarkan dengan seksama pertikaian yang terjadi di depan mata.Pemegang tinggi di istana, saat ini wajahnya sangat tak bersahabat. Kemarahannya membuat sebagian orang ketakutan, termasuk Grace yang saat ini meneguk ludah berkali-kali. Berbeda dengan Xavier tak ada rasa takut sedikit pun yang terpancar dari bola matanya.
Mendengar suara teriakan Xavier, seluruh anggota kerajaan Norwegia datang menuju sumber suara, tepatnya di ruang tamu. Sesampainya di ruangan, Larisa dan Sisilia membelalakan mata dengan kedatangan anggota kerajaan Denmark berada di sini. "Apa-apaan ini Xavier?" Victor, raja yang masih menjabat menjadi pemegang kekuasaan di Norwegia langsung bertanya. Kerutan di keningnya mendadak muncul dengan kedatangan tamu yang tak diundang pada malam-malam begini. Xavier tak langsung menjawab, ada secuil kerinduan menjalar di hatinya. Dia sudah lama tidak bertatap muka dengan ayahnya. Terlebih, umur ayahnya sudah tak lagi muda sekarang, ada banyak keriput di wajah dan rambut hitamnya pun sebagian sudah memutih. Akan tetapi, Xavier menghapus cepat kerinduannya tersebut kala mengingat perlakuan Victor selama ini. "Atas nama kerajaan Denmark, aku minta maaf karena datang malam-malam begini ke istana bersama istriku dan Pangeran Xavier." Saat melihat Xavier terdiam, Frederick langsung angkat bica
"Ayolah Pangeran, keluarlah kami tidak akan mengigit!" Lagi pria itu berseru sambil mengeluarkan tawa keras hingga teman-temannya pun ikut tertawa. Xavier menahan geram. Dadanya bergemuruh kuat seakan-akan meledak juga saat ini. Sampai-sampai Grace menggerakkan sedikit kepalanya ke samping dan membuat salah satu rumput bergerak. Alhasil salah seorang pria yang tak sengaja melihat adanya pergerakkan dari salah satu rumput yang memanjang, mengalihkan pandangan. Dalam sepersekian detik dia pun langsung meloncat tepat di hadapan Grace dan Xavier. "Bah! Dapat kalian!" pekiknya sambil menodongkan pistol ke kepala Grace. Grace langsung memekik histeris,"Tolong!!!" Xavier tak diam, ikut juga menodongkan pistol ke arah kepala si pelaku. Kelima pria lainnya serempak mengarahkan mata ke arah pasangan suami istri itu sambil mengangkat pistol masing-masing. Suasana mendadak tegang. Baik Xavier maupun keenam pria lainnya tak ada yang mau mengalah. "Jangan bunuh kami!" pekik Grace,
Grace terbelalak ketika melihat enam orang pria keluar dari mobil sambil menodongkan pistol ke arah mereka sekarang. Pria-pria asing itu tampangnya sangat menyeramkan, seperti preman pasar, ada tato-tato di tangan dan muka, bahkan terlihat tindik pula di hidung. "Keluar kalian!" teriak salah seorang pria dari luar lalu melempar senyum smirk. Grace makin panik. Dengan cepat menoleh ke samping kembali. "Xavier, bagaimana ini?" Dia sedikit heran mengapa Xavier sama sekali tak panik. Suaminya itu hanya menampilkan ekspresi datar namun tanpa sepengetahuan Grace, mata elang Xavier memandang ke arah kumpulan pria tersebut dengan sorot mata tajam. Tanpa menoleh ke samping, Xavier pun berkata,"Jangan lepas sabuk pengamanmu."Grace hendak bertanya namun belum juga lidahnya bergerak, Xavier melajukan mobil dalam kecepatan di atas rata-rata. Alhasil enam orang pria tersebut melesatkan timah ke arah mereka. Akan tetapi, Xavier berhasil mengelak dan menabrak pula kedua mobil yang menjadi pengha
"Kenapa kalian ingin keluar istana? Apa ada seseorang yang menyakiti kalian?" Dengan sorot mata merah menyala, Katherine lantas beranjak dari kursi. Riak mukanya pun berubah tak enak pandang sekarang. Mendengar tanggapan Katherine, Xavier dan Grace saling lempar sesaat dengan dahi mengerut samar. "Tidak ada Putri, ini kulakukan karena kami ingin hidup tenang dan jauh dari hiruk pikuk,"jawab Xavier. Tadi malam Xavier dan Grace telah mempertimbangkan rencana dengan matang. Keduanya ingin hidup tenang dan menetap di desa terpencil, hanya berdua dan suatu saat nanti tinggal bersama buah hati mereka. Bukan hanya alasan itu, Xavier juga tak enak hati dengan kedatangan Robert dan Sisilia akhir-akhir ini. "Tidak bisa! Aku tidak mengizinkan kalian keluar istana!" seru Katherine kemudian. Xavier melebarkan mata, tampak terkejut dengan respons Katherine. "Tapi Putri, kami—""Aku bilang tidak, ya tidak–""Sayang, tenangkan dirimu dulu, hei duduklah." Frederick langsung menyela saat kondisi d
"Fred." Katherine merasa ada yang tidak beres lantas mendorong pelan dada Frederick. Frederick pun merasakan hal yang sama. Sungguh aneh, malam-malam begini malah terdengar bunyi pecahan kaca. Katherine dan Frederick serempak melirik jendela, memastikan apa jendelanya yang rusak. Akan tetapi, setelah diamati, jendela kamar dalam keadaan aman. Kerutan di kening Katherine dan Frederick makin bertambah. Pasangan suami istri tersebut menyudahi kegiatan panasnya lalu beringsut dari kasur dan memakai pakaian dengan tergesa-gesa. Begitu pula dengan Xavier dan Grace menghentikan kegiatannya, memilih keluar hendak memeriksa apa yang telah terjadi. Keduanya tanpa sengaja berpapasan dengan Frederick dan Katherine di lantai satu. "Ada apa ini Pangeran?" tanya Xavier dengan kening mengerut kuat. "Entahlah, aku juga tidak tahu, aku pikir dari jendela kamar kalian?" Frederick pun bertanya. Jika bukan berasal dari kamarnya bisa jadi bunyi pecahan dari kamar Grace. Sebab kamar Grace tepat berada
Katherine dan Frederick saling melirik satu sama lain, tengah menahan senyum sekaligus merasa bersalah atas perbuatan mereka tempo lalu. "Untuk apa meminta maaf Xavier?" Frederick memberi tanggapan terlebih dahulu, perasaan bersalah mulai memenuhi hatinya. Sebab demi egonya dia menjebak Xavier dengan obat perangsang kala itu. "Sudah seharusnya kami meminta maaf pada Pangeran dan Putri karena telah berbohong selama ini, aku juga minta maaf." Grace ikut menimpali. "Kalian tidak salah Grace, Xavier. Itu masalah kalian, dan setidaknya buah dari kebohongan kalian menghasilkan sebuah rasa, 'kan?" ujar Katherine, ikut berkomentar. Grace malah cengengesan. Merasa pasangan suami istri di hadapannya ini, terlampau baik. Hal yang wajar jika Katherine dan Frederick marah. Namun, reaksi keduanya di luar perkiraan. Xavier pun memiliki pikiran yang sama dengan Grace. Secara perlahan menatap kembali pasangan tersebut."Iy—a Putri, tapi terimalah permohonan maaf dari kami, hatiku rasanya mengganj