Alyas menerima paper bag yang diberikan oleh Andini, “Terimakasih …” ucapanya. Kemudian masuk kedalam mobil bersama dengan Elisa lalu pergi meninggalkan rumah. Andini tersenyum simpul melambaikan tangan, senyuman indah itu terlihat jelas oleh Alyas dari kaca spion. Entah terkena angin apa pria tampan itu juga ikut tersenyum melihat itu. “Kamu kenapa senyum-senyum seperti itu, Al?” tanya Elisa yang berada di samping Alyas. “Andini gadis yang sangat baik, walaupun saya telah menzalimi dia, menyeret dia dalam kehidupan saya yang hancur ini, sedikitpun dia tidak mengeluh dan juga tidak mengatakan semua ini kepada kedua orang tuanya ataupun kepada ibu saya.” Jelas Alyas.Elisa menyeringai lebar, “Kamu jangan terlalu fokus kepada Andini, biarkan dia fokus untuk merawat Alif dengan baik. Kamu jangan baper dengan perhatian-perhatian dia, lagi pula dia melakukan semua itu hanya karena balas budi, uang yang sudah kamu berikan kepada kedua orang tuanya itu totalnya sangat besar, nggak mungkin
Acara di rumah Alyas nampak begitu indah dan mewah, Andini sendiri yang mendekornya dibantu dengan Para asisten rumah tangga dan juga wedding organizer. Selain acara ulang tahun, Bu Sarah ingin melihat Alyas dan Andini bersanding di pelaminan karena saat Andini dan Alyas menikah, tidak menghadirinya. “Hari ini adalah hari dimana kamu akan dikenal oleh karyawan Alyas, kamu harus dandan layaknya pengantin.” Ucap Bu Sarah memegang bahu menantunya itu sambil menatap cermin. Andini yang sudah cantik mengenakan gaun putih serta hiasan, membuatnya seperti bidadari turun dari kayangan. “Aku seharusnya mengurus Alif, Bu. Kenapa Ibu malah menghiasku seperti ini?” “Dengar Sayang! Malam ini semua teman-teman Alyas akan datang, kamu harus tampil dan memberikan kesan yang baik bagi mereka. Urusan Alif biar Ibu yang jagain sama si Bibi.” Andini memeluk mertuanya, “Bu, jarang-jarang ada seorang menantu mendapatkan sosok mertua seperti ibu. Terima kasih atas pengertiannya, perhatiannya dan juga ka
Tamu undangan perlahan mulai datang, Andini dengan ramah menyambut mereka secara sukacita, senyuman indah di bibirnya mampu membuat semua tamu undangan membicarakan Andini yang dianggap beruntung menjadi istri dari seorang CEO muda, mapan dan juga tampan. “Perkenalkan kami dari bagian administrasi, kami datang berdasarkan undangan dari Pak Alyas. Senang bisa bertemu dengan Bu Andini yang ternyata masih muda, ya!” Ucap salah seorang karyawan yang datang. “Terima kasih atas kedatangan kalian, saya mengucapkan banyak terima kasih, silahkan makan makanan yang dihidangkan.” Jawab Andini dengan senyuman yang terukir indah. Waktu menunjukkan pukul 10.00 malam, Alyas tidak juga kunjung datang. Andini berulang kali menghubungi ponsel milik suaminya itu, tapi malah tidak aktif. Melihat menantunya yang gelisah, Bu Sarah mendekat dan mengusap punggungnya. “Ada apa?” tanya Bu Sarah menenangkan. “Bu, ponselnya Mas Alyas nggak aktif-aktif. Aku jadi khawatir, ini juga udah malam, para tamu pasti
Andini mendorong Alyas hingga pria itu mundur beberapa langkah, menatapnya dengan raut wajah yang kesal. “Kenapa kamu mencium aku, apa kamu sedang mabuk?” Alyas menunduk karena malu, ia mencoba untuk menetralisir jantungnya yang berdegup kencang dengan menarik napas dalam-dalam. Setelah itu ia menatap Andini, dan kembali ke mode dinginnya. “Kamu terlalu berisik, Ibu bisa bangun dengar suara kamu.” ia kembali fokus ke bibir Andini yang basah. Andini yang merasa malu hingga pipinya berubah merah, spontan menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. “Jangan menatapku seperti itu, Mas! Aku takut kamu mabuk, aku tidak mau kita berdua kebablasan nantinya.” Alyas tersenyum simpul, “jangan geer kamu, lagi pula cuma ciuman doang, aku sering melakukan itu dengan banyak wanita, bukan kamu saja.” Celetuk Alyas bercanda dan menggoda Andini agar tidak terbawa perasaan. Menanggapi ucapan Alyas, Andini lantas berlari ke tepian kolam renang yang ada di area pesta. Gadis berambut panjang itu mencu
“Kenapa aku tidak boleh mengangkat telfon dari Haidar?” tanya Andini.“Sekarang sudah malam, waktunya istirahat. Lagi pula kenapa dia hubungi kamu di jam malam seperti ini, biar saya saja yang menjawab panggilan ponselnya.” Alyas meraih benda pipih itu dari atas meja. “Nggak usah, Mas.” “Jangan membantah ucapan saya! cepat masuk ke kamar!” Andini pun mengerutkan bibirnya dan pergi meninggalkan Alyas di taman belakang rumah beserta ponselnya yang terus berdering. ‘Heran aku sama dia, cepet banget sikapnya berubah. Kadang ngangenin, kadang nyebelin kadang bikin aku emosi, yang lebih aneh lagi aku tetap aja menyukainya.’ Gumam Andini sambil berjalan ke dalam rumah. Sementara itu Alyas mengepalkan tangannya erat, melihat nama Haidar di dalam ponsel Andini. Kemudian ia mengangkat ponselnya diawali dengan mendehem terlebih dahulu, karena tangannya sakit tidak bisa mengangkat ponsel. Alyas hanya menekan tombol berwarna biru dan menyalakan mode loudspeaker.“Hallo,” sapa Alyas. “Ini bena
Elisa merasa murka, ia berteriak merasa tidak rela. ‘Alyas adalah milikku, jika aku tidak bisa memilikinya maka tidak dengan siapapun.’ Batinnya sinis. Elisa pun mengingat kembali bagaimana ketidaksukaannya terhadap Bunga, iya memang berbuat baik terhadap Bunga tapi ketika hanya di depan Al saja. Namun jika Bunga berjauhan dengan Alyas, lain lagi ceritanya. Sehingga pada suatu hari, sekitar satu hari sebelum Bunga kecelakaan, Elisa sempat bersitegang hanya gara-gara hal sepele.Saat itu, Elisa dan Bunga tidak sengaja bertemu di salon kecantikan. Bunga melihat Elisa duduk di depan cermin sambil memuji kecantikannya sambil mengusap-ngusap wajahnya dengan tisu, wanita yang sedang hamil delapan bulan itu menyapa Elisa dengan hangat. Namun, bukannya membalas sapaan Bunga, Elisa malah fokus kepada wajahnya di cermin. Bukan sekali dua kali Elisa melakukan hal semacam itu, tapi berulang-ulang kali hingga hari itu Bunga ingin mempertanyakannya. “Kenapa setiap Mas Al jauh dari aku, kamu kayak
Alyas keluar dari kamar rawat inap Elisa, pria berusia 30 tahun itu keluar sambil mendorong Elisa untuk memberikan kabar mengejutkan untuk Andini. Di tengah area rumah sakit, Alyas memberikan buket bunga berwarna merah muda untuk memberikan support kepada sahabatnya itu agar semangat untuk menjalani kehidupan selanjutnya. Dokter yang memeriksa keadaan Elisa mengatakan jika gadis itu sedang tidak baik-baik saja, selain luka akibat kecelakaan yang mengakibatkan luka-luka di sekujur tubuh dan wajahnya, Elisa juga ternyata punya penyakit yang sangat parah. “Buket bunga ini melambangkan wajah kamu yang sekarang sedang memerah.” Ucap Alyas menatap Elisa yang sedang memegang bunga pemberian darinya, tampak begitu bahagia. “Ini beneran buat aku, Al?” Elisa juga menatap Alyas dari kursi roda. “Iya itu buat kamu, apa kamu baru tau kalau aku orangnya romantis seperti ini?” “Terima kasih …,” Elisa tersenyum beberapa menit, kemudian berubah menjadi kecut dan menyedihkan. “Kenapa tiba-tiba waja
“Beneran kamu nggak cemburu melihat aku dekat sama Haidar?” tanya Andini sambil melihat benda di kursi belakang. “Enggak lah, ngapain saya cemburu sama Haidar, dia itu bukan siapa-siapa kamu, kan? Aku cuma kamu mau selama menjadi istri saya jangan pernah membuat nama baik saya menjadi buruk di hadapan orang lain. Nanti, kalau kontrak pernikahan kita sudah selesai, kamu baru boleh dekat dengan siapapun yang kamu mau.” Jelas Alyas. “Okelah, tapi kalau kamu memang nggak cemburu melihat kedekatan aku sama Haidar, lantas yang ada di kursi belakang itu apa?” Alyas menoleh ke arah belakang, terdapat buket bunga mawar merah yang jauh lebih besar dari yang diberikannya kepada Elisa. Karena mobil sedang ada di bahu jalan, Andini pun penasaran hingga membuka pintu mobil untuk mengecek apa yang berada di kursi belakang mobil itu. “Hei kamu mau kemana?” tanya Al heran. “Aku melihat sebenarnya buket bunga itu untuk siapa, kamu kan tadi udah ngasih bunga buat Elisa terus itu yang di belakang bua
Andini bangun dari tidurnya dan kaget melihat keadaan sekitar sudah gelap, ia pun terbangun sambil meringis kesakitan akibat luka duri yang melukai telapak tangannya. Beruntung saat itu bulan sedang memancarkan cahaya purnama nya, sehingga ia bisa sedikit melihat area sekitar yang menyeramkan. Gadis berambut panjang itu, mencoba melangkahkan kaki sambil menggenggam pistol yang ia bawa dari gedung kosong tadi. ‘Semoga saja aku bisa menemukan jalan pulang, semoga saja ada kapal yang lewat. Aku harus ke tepi pantai, bukan berdiam diri di bawah pohon begini. Udah kayak Kunti aja.’ Batinnya sambil mendongakkan wajahnya untuk melihat pohon besar yang ada di atasnya. Seketika bulu kuduknya berdiri, di iringi munculnya suara burung hantu. Andini mengusap punduk nya perlahan agar rasa takutnya berkurang kemudian berjalan, tetapi baru saja hendak melangkahkan kaki, ia mendengar suara seorang pria sambil menyorotkan lampu senternya. Tidak mau ambil resiko, Andini pun bersembunyi dibalik pohon
Andini berjalan dengan sangat cepat, berharap setelah membuka pintu ia akan menemukan jalan untuk kembali pulang. Namun, setelah membuka pintu, matanya terbelalak melihat sesuatu yang sama sekali tidak terbayangkan oleh dirinya. Bukan jalan raya ataupun rumah warga, yang Andini lihat hanya ada lautan yang sangat luas.‘Ya Allah …, ada apa lagi ini?’ tanya Andini dalam hati, sambil mengelus dada. “Ha …” Terdengar suara pria tertawa dari lantai atas, seketika Andini menoleh ke arah itu sambil mengepalkan tangan. “Percuma saja kamu kabur, di luar nggak ada angkot, nggak ada bis ataupun angkot. Kecuali kamu punya teman putri duyung dan bisa bawa kamu keluar dari pulau ini. Ha …” Ucap pria bertopeng sambil tertawa bersama dengan kelima pria lainnya. “Kamu juga harus tahu, di sekitar gedung ini ada mangrove, di sana ada banyak binatang buas yang mungkin akan menyukaimu. Sudahlah jangan keluar, kamu lebih aman di tempat ini, bersama kami.” “Aku lebih baik tinggal di luar sana sendirian,
Alyas yang sedang mengendarai mobil, lantas memasang headset bluetooth di telinganya, kemudian ia menghubungi seseorang dengan sangat serius. “Halo,” sapa Alyas.“Iya hallo, ada apa Pak?” “Ada hal yang sangat penting, harus kita bicarakan.” “Oke, Pak saya on the way ke tempat Bapak.”“Tidak perlu, saya akan ke tempat kamu.” Kemudian Alyas menutup ponsel dan menginjak pedal gas dengan cepat. ‘Tunggu aku Andini,’ batinnya benar-benar merasa khawatir. *Sementara itu, Andini berada di tempat yang sangat menyeramkan. Suasananya tampak sepi dan jauh dari keramaian.Sebelum sampai di tempat itu, Andini sudah menjadi target seseorang sejak keluar dari rumah besar Alyas. Dari mulai naik grab hingga sampai ke kampus, menunggunya keluar sampai berjam-jam. Semuanya ada lima orang pria bertubuh tegap tinggi dengan satu orang yang memakai topeng. Saat itu, Andini keluar dari kampus sambil menatap layar ponselnya. Dan memang selama di kampus, ia sengaja tidak mengaktifkan ponselnya supaya tid
Melihat keakraban antara Alyas dan Andini membuat Elisa tersenyum, tapi tidak dengan hatinya. Dadanya terasa sesak ingin sekali ia memaki dan juga meneriaki Andini, demi Citra baiknya di depan Alyas dan Bu Sarah ia memendam perasaan kesalnya itu diam-diam. ‘Si Andini sekarang tingkahnya makin nyebelin aja, belum tau aja dia, kalau aku orang yang nggak suka ngeliat cewek senyum sama Al.’ Elisa membatin. “Kalau kalian memang mau pergi, kenapa nggak bareng aja?” tanya Bu Sarah. Alyas spontan menoleh ke arah Andini yang sedang mengunyah sarapannya, ‘Aku sih mau-mau aja nganterin dia, Bu. Tapi aku takut salah ngomong, salah tingkah, makin hari aku takut tidak bisa mengendalikan perasaanku dan keceplosan.’ Batinnya. Andini melirik Alyas, yang ternyata sedang menatapnya. Ia pun tersenyum simpul merasa kisah kasih cintanya didukung oleh sang mertua. ‘Aku sih nunggu banget Mas Alyas nawarin berangkat bareng, tapi apa iya dia mau?’ hatinya terus berbicara. “Maaf Bu, Alyas tidak bisa mengan
Elisa kembali ke dalam kamar dengan wajah yang merah penuh amarah, ia pun melempar makanan yang telah dibawa oleh BI Jumasih. Gadis cantik berdarah dingin itu kemudian mengambil pecahan dari piring itu dan menggoreskannya sedikit ke telapak tangan, kemudian darah menetes di lantai secara perlahan. Elisa pun tersenyum membayangkan Andini dengan segala macam pikiran buruk dalam benaknya. ‘Tunggu pembalasan dariku, lihat saja dalam kurun waktu beberapa hari aku akan membuat kamu menyesal karena terus saja mendekati Alyasku, sahabatku, cintaku juga calon suamiku.’ Elisa membatin kemudian tertawa lepas.Sementara itu Alyas dan Andini kembali ke kamar setelah menidurkan Alif, Andini bisa melihat betapa bahagia tersirat begitu jelas di wajah suaminya. Andini memberikan tubuhnya di atas ranjang, sedangkan Alyas di atas sofa. “Gimana perasaan kamu, Mas?” tanya Andini dari balik selimut. Alyas menoleh ke arah ranjang, iya menggelengkan kepalanya melihat Andini yang berada di dalam selimut. T
Melanjutkan Bab 17 di mana Andini merasa sedih di saat mengetahui bahwa Elisa akan tinggal di rumahnya. ‘Ya Allah, bantu aku untuk menyelesaikan masalah ini. Aku tidak mau tinggal di rumah di mana di rumah ini ada wanita lain yang bukan muhrimnya suami hamba sendiri. Aku bukan orang baik, aku bukan orang yang ahli dalam ilmu agama tapi aku tahu batasan-batasan itu. Dan aku juga punya alasan lain daripada itu, iya aku merasa cemburu.’ Batin Andini mengusap air matanya yang menetes. Ceklek …Terdengar suara pintu terbuka, Andini tidak mau menoleh dan tetap menatap cermin yang ada di hadapannya.“Emz … maaf kalau saya membuat kamu sakit hati. Elisa sekarang ini sedang sakit, Saya harap kamu bisa mengerti.” Jelas Alyas, melihat keadaan istrinya yang sedang bersedih di depan meja rias. “Berbuatlah sesuka hati kamu, Mas! Lagi pula walaupun aku melarang, kamu tidak akan pernah menyetujuinya, kan? aku ini cuma istri kontrak, istri yang tidak diinginkan, istri yang tidak punya power, istri
POV Alyas saat pertama kali bertemu Andini.Aku menikah dengan Andini iya memang karena perintah dari Ibuku awalnya, tetapi ada hal lain yang membuatku yakin jika dia adalah wanita yang baik yang bisa menjadi Ibu pengganti untuk Alif. Di suatu hari aku sedang melihat proyek perumahan yang akan di bangun oleh perusahaanku di sekitaran kampung Andini kala itu, aku sedang berada dalam mobil memainkan ponsel. Tiba-tiba mobil berhenti dan aku pun tertegun, kemudian menegur sopir. “Pak ada apa?” tanyaku.“Pak di depan ada jalannya sangat rusak, Pak Alyas yakin mau tetap dalam mobil? kalau memang mau kita terobos aja gimana?” Aku menatap jalanan yang ada di depan, yang kulihat bukanlah jalan, melainkan tanah merah yang bercampur dengan air hujan. “Itu bukan jalan Pak, tapi itu lumpur. Ya sudah kalau begitu saya mau turun saja, kita jalan kaki aja.” Aku membuka pintu mobil dan mengganti sepatu pantofel mahalku dengan …“Ini sendal jepitnya, Pak!” kata supirku yang menyodorkan sandal jepit
“Beneran kamu nggak cemburu melihat aku dekat sama Haidar?” tanya Andini sambil melihat benda di kursi belakang. “Enggak lah, ngapain saya cemburu sama Haidar, dia itu bukan siapa-siapa kamu, kan? Aku cuma kamu mau selama menjadi istri saya jangan pernah membuat nama baik saya menjadi buruk di hadapan orang lain. Nanti, kalau kontrak pernikahan kita sudah selesai, kamu baru boleh dekat dengan siapapun yang kamu mau.” Jelas Alyas. “Okelah, tapi kalau kamu memang nggak cemburu melihat kedekatan aku sama Haidar, lantas yang ada di kursi belakang itu apa?” Alyas menoleh ke arah belakang, terdapat buket bunga mawar merah yang jauh lebih besar dari yang diberikannya kepada Elisa. Karena mobil sedang ada di bahu jalan, Andini pun penasaran hingga membuka pintu mobil untuk mengecek apa yang berada di kursi belakang mobil itu. “Hei kamu mau kemana?” tanya Al heran. “Aku melihat sebenarnya buket bunga itu untuk siapa, kamu kan tadi udah ngasih bunga buat Elisa terus itu yang di belakang bua
Alyas keluar dari kamar rawat inap Elisa, pria berusia 30 tahun itu keluar sambil mendorong Elisa untuk memberikan kabar mengejutkan untuk Andini. Di tengah area rumah sakit, Alyas memberikan buket bunga berwarna merah muda untuk memberikan support kepada sahabatnya itu agar semangat untuk menjalani kehidupan selanjutnya. Dokter yang memeriksa keadaan Elisa mengatakan jika gadis itu sedang tidak baik-baik saja, selain luka akibat kecelakaan yang mengakibatkan luka-luka di sekujur tubuh dan wajahnya, Elisa juga ternyata punya penyakit yang sangat parah. “Buket bunga ini melambangkan wajah kamu yang sekarang sedang memerah.” Ucap Alyas menatap Elisa yang sedang memegang bunga pemberian darinya, tampak begitu bahagia. “Ini beneran buat aku, Al?” Elisa juga menatap Alyas dari kursi roda. “Iya itu buat kamu, apa kamu baru tau kalau aku orangnya romantis seperti ini?” “Terima kasih …,” Elisa tersenyum beberapa menit, kemudian berubah menjadi kecut dan menyedihkan. “Kenapa tiba-tiba waja