Melihat keakraban antara Alyas dan Andini membuat Elisa tersenyum, tapi tidak dengan hatinya. Dadanya terasa sesak ingin sekali ia memaki dan juga meneriaki Andini, demi Citra baiknya di depan Alyas dan Bu Sarah ia memendam perasaan kesalnya itu diam-diam. ‘Si Andini sekarang tingkahnya makin nyebelin aja, belum tau aja dia, kalau aku orang yang nggak suka ngeliat cewek senyum sama Al.’ Elisa membatin. “Kalau kalian memang mau pergi, kenapa nggak bareng aja?” tanya Bu Sarah. Alyas spontan menoleh ke arah Andini yang sedang mengunyah sarapannya, ‘Aku sih mau-mau aja nganterin dia, Bu. Tapi aku takut salah ngomong, salah tingkah, makin hari aku takut tidak bisa mengendalikan perasaanku dan keceplosan.’ Batinnya. Andini melirik Alyas, yang ternyata sedang menatapnya. Ia pun tersenyum simpul merasa kisah kasih cintanya didukung oleh sang mertua. ‘Aku sih nunggu banget Mas Alyas nawarin berangkat bareng, tapi apa iya dia mau?’ hatinya terus berbicara. “Maaf Bu, Alyas tidak bisa mengan
Alyas yang sedang mengendarai mobil, lantas memasang headset bluetooth di telinganya, kemudian ia menghubungi seseorang dengan sangat serius. “Halo,” sapa Alyas.“Iya hallo, ada apa Pak?” “Ada hal yang sangat penting, harus kita bicarakan.” “Oke, Pak saya on the way ke tempat Bapak.”“Tidak perlu, saya akan ke tempat kamu.” Kemudian Alyas menutup ponsel dan menginjak pedal gas dengan cepat. ‘Tunggu aku Andini,’ batinnya benar-benar merasa khawatir. *Sementara itu, Andini berada di tempat yang sangat menyeramkan. Suasananya tampak sepi dan jauh dari keramaian.Sebelum sampai di tempat itu, Andini sudah menjadi target seseorang sejak keluar dari rumah besar Alyas. Dari mulai naik grab hingga sampai ke kampus, menunggunya keluar sampai berjam-jam. Semuanya ada lima orang pria bertubuh tegap tinggi dengan satu orang yang memakai topeng. Saat itu, Andini keluar dari kampus sambil menatap layar ponselnya. Dan memang selama di kampus, ia sengaja tidak mengaktifkan ponselnya supaya tid
Andini berjalan dengan sangat cepat, berharap setelah membuka pintu ia akan menemukan jalan untuk kembali pulang. Namun, setelah membuka pintu, matanya terbelalak melihat sesuatu yang sama sekali tidak terbayangkan oleh dirinya. Bukan jalan raya ataupun rumah warga, yang Andini lihat hanya ada lautan yang sangat luas.‘Ya Allah …, ada apa lagi ini?’ tanya Andini dalam hati, sambil mengelus dada. “Ha …” Terdengar suara pria tertawa dari lantai atas, seketika Andini menoleh ke arah itu sambil mengepalkan tangan. “Percuma saja kamu kabur, di luar nggak ada angkot, nggak ada bis ataupun angkot. Kecuali kamu punya teman putri duyung dan bisa bawa kamu keluar dari pulau ini. Ha …” Ucap pria bertopeng sambil tertawa bersama dengan kelima pria lainnya. “Kamu juga harus tahu, di sekitar gedung ini ada mangrove, di sana ada banyak binatang buas yang mungkin akan menyukaimu. Sudahlah jangan keluar, kamu lebih aman di tempat ini, bersama kami.” “Aku lebih baik tinggal di luar sana sendirian,
Andini bangun dari tidurnya dan kaget melihat keadaan sekitar sudah gelap, ia pun terbangun sambil meringis kesakitan akibat luka duri yang melukai telapak tangannya. Beruntung saat itu bulan sedang memancarkan cahaya purnama nya, sehingga ia bisa sedikit melihat area sekitar yang menyeramkan. Gadis berambut panjang itu, mencoba melangkahkan kaki sambil menggenggam pistol yang ia bawa dari gedung kosong tadi. ‘Semoga saja aku bisa menemukan jalan pulang, semoga saja ada kapal yang lewat. Aku harus ke tepi pantai, bukan berdiam diri di bawah pohon begini. Udah kayak Kunti aja.’ Batinnya sambil mendongakkan wajahnya untuk melihat pohon besar yang ada di atasnya. Seketika bulu kuduknya berdiri, di iringi munculnya suara burung hantu. Andini mengusap punduk nya perlahan agar rasa takutnya berkurang kemudian berjalan, tetapi baru saja hendak melangkahkan kaki, ia mendengar suara seorang pria sambil menyorotkan lampu senternya. Tidak mau ambil resiko, Andini pun bersembunyi dibalik pohon
“Saya terima nikah dan kawinnya, Andini Wijaya putri kandung Bapak Wijaya dengan maskawin uang tunai lima ratus juta rupiah dibayar tunai.” Seorang pria tampan bernama Alyas mengucapkan ijab kabul dengan suara lantang dan tegas. “Bagaimana para saksi, sah?” tanya penghulu. “Sah ….” Seketika tepukan tangan dan ucapan puji syukur terlontar dari para tamu undangan, yang sengaja datang untuk menghadiri acara pernikahan antara Alyas si pemilik salah satu perusahaan terbaik di Indonesia. Tidak membutuhkan waktu yang lama untuk menjalani proses pendekatan dengan Andini. Hanya dalam waktu satu minggu saja, Andini sudah memutuskan menerima lamaran dari pria yang tidak ia kenal karena ia yakin pilihan orang tuanya adalah yang terbaik.“Andini kamu sangat beruntung karena mendapatkan pria kaya, Kamu tidak usah lagi memikirkan masalah ekonomi karena Alyas seorang pria yang sangat mapan.” Bisik salah seorang tamu yang sengaja datang menemui Andini di pelaminan. Andini hanya tersenyum membalas
Andini benar-benar dibuat hancur oleh seorang pria yang seharusnya menjadi pelindung untuknya, ucapan dan perilaku Alyas yang di luar nalar membuatnya ingin berteriak. Namun, keadaannya tidak memungkinkan. Jangankan untuk teriak, sekedar untuk menangis, Andini harus menggigit bibirnya agar tidak menimbulkan suara. Andini kemudian teringat akan isi berkas yang diajukan oleh Alyas yang membuatnya semakin tampak menyedihkan. Ia pun duduk di atas lantai, memeluk lututnya dan menangis meratapi nasibnya yang membuatnya hampir frustasi.Tercatat dalam surat perjanjian kontrak pernikahan, Andini harus merawat anak dari Alyas yang berusia satu bulan, Andini harus menjadi sosok istri dan ibu yang baik di depan umum, yang paling membuat Andini hancur adalah dimana setelah 6 bulan pernikahan dirinya akan diceraikan. Jika Andini tidak menyetujui kontrak tersebut, mahar uang lima ratus juta harus dikembalikan.Andini ingat betul bahwa uang lima ratus juta itu sudah ia serahkan kepada kedua orang tu
"Mas kamu nggak apa-apa, kan?” tanya Andini panik mendengar suara benda terjatuh di dalam kamar mandi, terlebih lagi Alyas tidak menjawab pertanyaannya. Andini menengok kanan dan kiri mencari sesuatu yang bisa digunakan untuk membuka pintu, entah kenapa ia tidak menemukan apapun. Kemudian Andini berlari keluar kamar sambil berteriak minta tolong. “Bu …, tolong Mas Alyas!” seru Andini, setelah itu kembali lagi masuk ke dalam kamar. Bu Sarah yang sedang berada di meja makan, terhenyak kaget mendengar menantunya berteriak seperti ketakutan. Ia pun berlari takut terjadi sesuatu sambil menarik tangan asisten rumah tangganya untuk ikut. “Ayo, Bi!” Seru Bu Sarah.“Apa aku harus ikut juga, Bu?” “Siapa tahu tenaga Bibi bisa membantu.” Sesampainya di kamar Alyas, Bu Sarah tampak bingung karena tidak mendengar lagi teriakan menantunya. Ia pun langsung membuka pintu sedikit tanpa mengetuk pintu, kedua bola matanya membulat dan tersenyum simpul. BI Jumasih yang datang belakangan sampai heran
Setelah membuka pintunya, Andini mengernyitkan dahinya. Perlahan mata terpejam tanpa disadari, melihat suaminya sendiri datang ke hotel membawa wanita lain, dalam keadaan mabuk. Yang lebih menyakitkan hati, wanita itu bukan Bunga, istri pertamanya Alyas. “Maksud kamu apa, Mas?” tanya Andini. Alyas cuma senyum-senyum aja, kadang dia menoleh ke arah wanita yang ada disampingnya. Kemudian menyingkirkan tubuh Andini dari ambang pintu karena menghalangi jalan. “Minggir…,” katanya. “Hei, jangan buat aku marah, ya!” teriak Andini merasa tidak dihargai. Wanita yang bersama dengan Alyas adalah Elisa, sahabatnya sejak kecil. Wanita itu mengenakan pakaian terbuka yang layaknya wanita penghibur. Elisa tahu benar sifat dan rahasia Alyas, maka dari itu ia menganggap Andini hanya orang lain. Tanpa meminta persetujuan Andini, dengan percaya dirinya Elisa membaringkan tubuh Alyas di atas kasur.Andini yang emosional lalu menarik rambut Elisa, “Hei, kamu siapa? Beraninya kamu menyentuh suamiku.” Ta