"Mas kamu nggak apa-apa, kan?” tanya Andini panik mendengar suara benda terjatuh di dalam kamar mandi, terlebih lagi Alyas tidak menjawab pertanyaannya.
Andini menengok kanan dan kiri mencari sesuatu yang bisa digunakan untuk membuka pintu, entah kenapa ia tidak menemukan apapun. Kemudian Andini berlari keluar kamar sambil berteriak minta tolong.
“Bu …, tolong Mas Alyas!” seru Andini, setelah itu kembali lagi masuk ke dalam kamar.
Bu Sarah yang sedang berada di meja makan, terhenyak kaget mendengar menantunya berteriak seperti ketakutan. Ia pun berlari takut terjadi sesuatu sambil menarik tangan asisten rumah tangganya untuk ikut.
“Ayo, Bi!” Seru Bu Sarah.
“Apa aku harus ikut juga, Bu?”
“Siapa tahu tenaga Bibi bisa membantu.”
Sesampainya di kamar Alyas, Bu Sarah tampak bingung karena tidak mendengar lagi teriakan menantunya. Ia pun langsung membuka pintu sedikit tanpa mengetuk pintu, kedua bola matanya membulat dan tersenyum simpul. BI Jumasih yang datang belakangan sampai heran.
“Kenapa Ibu nggak masuk?” tanya Bi Jumasih.
“Sepertinya keadaan di dalam sudah kondusif, sebaiknya kita kembali ke bawah.” Bu Sarah tidak bisa menyembunyikan kebahagiaan di wajahnya.
“Padahal tadi Neng Andini manggil-manggil kita, loh.” Bi Jumasih heran melihat wajah majikannya berseri-seri.
“Bibi jangan banyak tanya, kita balik lagi ke bawah!,” imbuh Bu Sarah.
Bu Sarah merasa sangat bahagia melihat kedekatan Andini dan Alyas. Ia melihat dengan mata kepalanya sendiri, Andini memeluk anaknya dengan erat.
‘Alhamdulillah ya Allah anak hamba sudah bisa membuka hatinya untuk gadis lain, hamba berharap dengan hadirnya Andini bisa mengobati luka di dalam hatinya.’ Batin Bu Sarah, tersenyum sambil menuruni anak tangga.
Sementara itu keadaan di dalam kamar, posisi Andini memang sedang memeluk Alyas.
“Lepasin saya!” Seru Alyas mendorong Andini agar melepaskan dekapannya.
Andini sampai mundur beberapa langkah, gadis berambut panjang itu juga heran dengan dirinya sendiri. ‘Padahal Mas Alyas itu udah jahat banget sama aku, tapi entah kenapa aku merasa takut kalau dia kenapa-napa.’ Andini membatin.
“Ya maaf, tadi itu aku reflek meluk kamu karena aku merasa lega bisa melihat kamu baik-baik saja, aku pikir …” Andini menjeda ucapannya dan menatap suaminya dengan seksama, mau melanjutkan ucapannya seperti ragu-ragu.
“Kamu pikir apa?”
“Aku pikir kamu jatuh dan mati.”
Alyas menggelengkan kepalanya dan melongo. “Apa? mati?” Alyas melototi Andini merasa kesal karena gadis berambut panjang itu, bisa-bisanya kepikiran bahwa dirinya sudah mati.
Andini yang takut spontan menundukkan kepalanya dan memainkan kuku, “Ya maaf, kalau kamu tersinggung, habisnya kamu nggak jawab-jawab pertanyaan aku. Lagian apa susahnya sih, Jawab pertanyaan aku? aku di sini baik-baik aja Din, kamu nggak usah khawatir. Mas bisa, kan, ngomong kayak gitu!”
Tidak mau mendengarkan ucapan Andini yang nyerocos tanpa henti, pria tampan itu langsung bersiap untuk berangkat ke kantor.
***
Beberapa menit kemudian Andini dan Alyas turun dari kamar berjalan perlahan menuruni anak tangga, kemudian duduk di ruang makan yang sudah tersaji makanan dan minuman. Disana juga sudah ada Bu Sarah yang menunggu kedatangan anak semata wayang, juga menantu barunya itu dengan antusias. Wanita tua itu menyambut Andini dengan memeluknya erat.
“Selamat pagi, Nak.”
“Pagi juga, Bu.” Andini membalas pelukan mertuanya itu dengan penuh kasih sayang. Walau berada jauh dari kedua orang tua, Andini tidak merasa kekurangan kasih sayang dari mertuanya.
Bu Sarah membawa Andini dan mendudukkannya di sebelah Alyas. Tidak mau peduli apa yang dilakukan oleh ibunya, Alyas memilih tetap mengunyah sarapannya.
“Alhamdulillah hari ini Ibu sangat bahagia, pada akhirnya Alyas sudah bisa membukakan hati untuk bisa menikah lagi. Ya walaupun itu ada andil besar dari campur tangan Ibu yang memintanya supaya mencarikan Ibu sambung untuk Alif.” Jelas Bu Sarah menatap Alyas dan Andini.
Deg
Jantung Andini seolah berhenti, ‘Ibu sambung?’ batinnya.
Kemudian Andini memberanikan diri untuk mempertanyakan perihal anak dan istri suaminya. “Emz …, Bu aku mau nanya, boleh?”
“Tentu boleh, Ibu tidak pernah membedakan anak dan menantu. Kamu berhak bertanya dan jangan pernah sungkan sama Ibu.” Jawab Bu Sarah tersenyum simpul. “Memangnya kamu mau nanya apa?”
Andini merasa lega punya ibu mertua yang pengertian. “Ngomong-ngomong dimana keberadaan ….” Andini menjeda ucapannya. Ia terkejut mendapati ada suapan makanan yang langsung datang dari tangan Alyas masuk ke dalam mulutnya.
“Kalau makan jangan banyak bicara,” imbuh Alyas, sedikit melirik pada ibunya yang sedang mengunyah makanan. “Kamu jangan pernah menanyakan apapun sama Ibu, sepengetahuan ibu saya, kamu itu sudah tahu semua tentang saya.” Bisik Alyas.
Andini memanyunkan bibirnya kesal, “kalau kamu nggak mau aku bertanya sama Ibu, kamu harus kasih tau aku semuanya, jangan buat aku penasaran.” Sambung Andini yang juga berbisik-bisik.
Melihat sang anak menyuapi istrinya dengan lemah lembut membuat Bu Sarah benar-benar merasa yakin bahwa Andini adalah jodoh terakhir untuk Alyas.
“Kenapa Ibu senyum-senyum seperti itu?” tanya Alyas heran.
“Ibu itu bahagia, Al. Kamu mendapatkan Andini, dia seorang wanita yang cantik, baik dan juga bisa meluluhkan hati kamu yang sudah beku.”
Alyas berusaha untuk senyum, padahal sudah muak harus bersandiwara di depan ibunya. “Bu aku mau berangkat ke kantor. Hari ini Ibu akan mengantar Andini ke rumah sakit buat jenguk Alif.”
“Hari ini biar Ibu saja yang ke rumah sakit.” jawab Bu Sarah.
“Kenapa, Bu? Andini itu, kan, Ibu sambungnya Alif. Sudah seharusnya dia yang jenguk Alif, kan?”
“Iya, tapi nggak hari ini.” Bu Sarah menjawab sambil sesekali melirik ke arah Andini yang masih malu-malu untuk mengunyah sarapannya.
“Kenapa, tidak hari ini?” tanya Alyas heran.
“Karena hari ini Andini akan ke salon untuk perawatan kecantikan, Ibu juga sudah memesan hotel bintang 5 untuk kamu dan Andini menghabiskan malam pertama tanpa ada gangguan. Disana tempatnya sangat mendukung dan romantis, kalian pasti suka.”
Alyas dan Andini sontak terkejut dan saling menatap satu sama lain, mendengar pernyataan dari ibunya itu.
“Setelah pulang dari rumah sakit ibu akan mengantarkan Andini ke hotel, setelah kamu pulang dari kantor, langsung jalan ke hotel, jangan pulang dulu.” Jelas sang ibu.
“Tapi Bu, hari ini jadwal aku sangat padat.” Alyas beralasan.
“Ibu akan menelpon asisten pribadi kamu untuk menghandle semua urusan kamu di kantor, Ibu hanya ingin Andini mendapatkan haknya sebagai seorang istri. Jangan pernah membantah Ibu, Nak! Lagi pula permintaan Ibu nggak aneh-aneh, kan?”
Hufs …
Al menarik napas dalam-dalam, “oke Bu, aku akan usahakan datang ke hotel, tapi nanti setelah aku menyelesaikan pekerjaanku di kantor.”
“Terimakasih atas kepatuhannya, jangan terlalu malam ke hotelnya!” seru sang Ibu.
“Iya.”
Kemudian Alyas berpamitan dengan mencium tangan Ibu Sarah, “assalamualaikum.”
“Wa'alaikumsalam, jangan lupa pamit sama istri kamu!”
Al melirik Andini yang berdiri di samping ibunya, langkahnya seketika berhenti untuk sejenak berpikir. ‘Apa iya aku harus melakukan ini? kalau tidak, apa Ibu akan curiga?’
“Cepat pamitannya, ini sudah siang!” seru sang ibu.
Tidak mau ibunya curiga, Al mendekat ke arah Andini. Ia tampak ragu untuk melakukan ritual pagi seperti sebelumnya. Sudah menjadi kebiasaan Alyas sebelum berangkat kerja, dirinya pasti akan mengecup kening sang istri kemudian dibalas dengan sang istri mencium tangannya. Namun, ia tidak menyangka bahwa hari ini harus mengecup kening wanita lain selain Bunga istri pertamanya.
Dret …
Ponsel Alyas bergetar, pria itu tersenyum simpul karena punya alasan untuk segera berangkat ke kantor.
“Maaf Bu, Andini.” Alyas menoleh ke arah ibi dan istrinya. “Aku berangkat dulu, dah.”
Bu Sarah melambaikan tangan, Andini spontan ikut-ikutan.
‘Eh ini tangan kenapa refleks begini, ya?’ Batin Andini menurunkan kembali tangannya.
***
Waktu berjalan dengan cepat, tidak terasa sudah pukul 11 malam. Posisi Andini sudah berada di dalam hotel menunggu kedatangan suaminya. Gadis itu mengenakan gaun berwarna hitam terbuka pilihan mertuanya, pakaian indah itu tampak kontras dengan kulit putihnya yang mulus dan terawat. Gadis itu sudah standby di hotel dari jam 8 malam, ia menghabiskan waktu dengan menonton televisi dan ponsel.
Merasa bosan dengan ponselnya, Andini pun berdiri dan menatap dirinya dalam cermin. ‘Percuma kamu dandan secantik ini.’ Gumamnya.
Pikirannya seketika teringat dengan pesan Alyas yang membuatnya benar-benar merasa tidak punya harga diri lagi.
“Jangan menunggu saya, kamu tidur saja di hotel itu sendiri. Besok pagi akan saya jemput.” Ucap Alyas lewat pesan suara.
‘Udah tau kalau dia nggak bakal datang, tapi kenapa kamu masih tetap nungguin dia?’ Gumam Andini bertanya kepada dirinya sendiri, mata indahnya kini nampak berlinang mengingat nasib buruknya.
Tok … tok … tok …
Suara ketukan pintu membuat Andini terhenyak kaget, ‘Siapa itu? apa jangan-jangan itu Mas Alyas, apa dia berubah pikiran?’ Andini mengusap pipinya yang basah kemudian melangkahkan kaki menuju ambang pintu.
Ceklek …
Andini membuka pintu, wajahnya berseri dengan manik mata yang berbinar penuh kebahagiaan, dalam hatinya yakin bahwa Alyas pasti tidak tega membiarkan dirinya sendiri di dalam hotel. Namun, setelah membuka pintu, raut wajah A
ndini berubah drastis menjadi kecut sekali. Ia menggelengkan kepala disertai air mata yang berjatuhan tanpa henti.
To be continued
Setelah membuka pintunya, Andini mengernyitkan dahinya. Perlahan mata terpejam tanpa disadari, melihat suaminya sendiri datang ke hotel membawa wanita lain, dalam keadaan mabuk. Yang lebih menyakitkan hati, wanita itu bukan Bunga, istri pertamanya Alyas. “Maksud kamu apa, Mas?” tanya Andini. Alyas cuma senyum-senyum aja, kadang dia menoleh ke arah wanita yang ada disampingnya. Kemudian menyingkirkan tubuh Andini dari ambang pintu karena menghalangi jalan. “Minggir…,” katanya. “Hei, jangan buat aku marah, ya!” teriak Andini merasa tidak dihargai. Wanita yang bersama dengan Alyas adalah Elisa, sahabatnya sejak kecil. Wanita itu mengenakan pakaian terbuka yang layaknya wanita penghibur. Elisa tahu benar sifat dan rahasia Alyas, maka dari itu ia menganggap Andini hanya orang lain. Tanpa meminta persetujuan Andini, dengan percaya dirinya Elisa membaringkan tubuh Alyas di atas kasur.Andini yang emosional lalu menarik rambut Elisa, “Hei, kamu siapa? Beraninya kamu menyentuh suamiku.” Ta
"Haidar …” ucap Andini.“Iya aku Haidar.” Tanpa meminta persetujuan dari gadis itu, Haidar memeluk Andini. “Kamu apa kabar? sudah lama aku ingin sekali bertemu sama kamu, tapi aku nggak punya waktu. Aku tidak menyangka bisa bertemu sama kamu di sini.” Andini berontak kemudian sedikit mendorong Haidar agar ia bisa lepas dari pelukannya, “aku baik-baik saja.” “Ngomong-ngomong kamu kenapa ada di sini? bukannya kata ibu kamu, kamu itu udah nikah.” Haidar penasaran. “Iya, aku memang sudah menikah,” imbuhnya. “Lah terus dimana suami kamu? kenapa suami kamu membiarkan kamu ujan-ujanan di jam malam seperti ini? Atau jangan-jangan suami kamu tidak memperlakukanmu dengan baik? kamu menikah karena dijodohkan, sama Bapak kamu?’’ Haidar bertanya-tanya kemudian menajamkan pandangannya di area mata Andini. “Sebagai sahabat kamu dari kecil aku sudah tahu kondisi wajah kamu seperti ini itu pasti habis nangis, iya kan?” “Enggak, kok!” Andini berusaha sebaik mungkin agar sahabatnya itu tidak curiga
Andini benar-benar terkejut mendengar perintah dari Alyas. “Ngapain kamu nyuruh aku buka pakaian? dasar otak mesum. Tadi kamu sudah mencium bibir Elisa, entah apa yang biasa kalian lakukan hingga mau-maunya bersentuhan walau tidak punya ikatan pernikahan.” Ucap Andini sambil menutup dadanya dengan kedua tangan. Alyas terkekeh kemudian mendekatkan wajahnya dengan Andini. “Jangan geer dan juga jangan suka buruk sangka, lagipula saya juga nggak mau nyentuh kamu. Buka pakaianmu di kursi bagian belakang mobil sekarang juga! di sana ada banyak pakaian. Gantilah pakaianmu yang basah itu, nanti kalau kamu sakit, Ibu bisa nyalahin saya.” Andini membulatkan kedua matanya, ia tidak menyangka bahwa Alyas cukup perhatian juga. “Jangan pernah berpikir macam-macam! saya melakukan semua ini karena Ibu.”“Iya …, iya, lagian siapa juga yang geer.” Sambung Andini sambil membuka pintu mobil dan berpindah tempat ke belakang, walau masih kesal dengan tingkah Alyas ketika bersama wanita lain, ia berusah
Andini tidak sengaja melihat ada Alyas di ambang pintu, sontak ia tersenyum. Dirinya sudah tidak sabar ingin melihat sosok ayah yang baik dari seorang Alyas. Namun, prediksinya salah total karena Alyas tidak masuk ke dalam kamar melainkan berbalik badan dan pergi meninggalkan kamar ibunya. ‘Heh … dasar manusia aneh,’ gumam Andini. “Mas …!” panggil Andini. “Loh memangnya ada Ada Al disini?” tanya Bu Sarah, tengok kanan dan kiri tetapi tidak melihat siapapun masuk ke dalam kamarnya. “Ada Bu. Barusan aku lihat Mas Al ada di dekat pintu. seharusnya kan, dia masuk ke kamar ini, setelah itu menyambut anaknya dengan bahagia. Kenapa Mas Al tidak melakukan hal yang sesederhana itu?” Bu Sarah menganggukkan kepalanya, ‘Alyas tidak akan berani mendekati Alif, sungguh malang sekali nasib anak dan cucuku ini ya Allah, persatukanlah mereka secepatnya.’“Bu …, kenapa ibu malah melamun?” Andini mengusap lembut tangan mertuanya. Bu Sarah tersenyum, kemudian menatap Andini. “Maaf barusan Ibu kepiki
“Memangnya kenapa sih, Mas? kalau kita berhubungan suami istri?” tanya Andini menatap tajam wajah suaminya itu. “Saya cuma tidak mau berbuat banyak dosa, jika kita berhubungan suami istri ditakutkan kamu hamil, sedangkan kita akan bercerai 6 bulan lagi. Please katakan yang sejujurnya Jangan menambah beban pikiran saya!” Alyas melipat kedua tangan di hadapan Andini. Deg …Andini seketika terdiam, ia beranjak pergi ke kamar mandi untuk bersiap memulai tugas barunya sebagai ibu pengganti. Sedangkan Alyas diam terpaku melihat gadis itu tidak menjawab pertanyaannya. “Hei … apa salahnya sih, jika saya mempertanyakan kejujuran kamu, Ndin.” “Kenapa kau malah diam?” Andini tetap berjalan menuju kamar mandi tanpa memperdulikan suaminya. “Terserah kamu mau anggap diamku ini apa, capek aku ngejelasinnya.” “Oh berarti memang tidak terjadi apa-apa, ya! syukurlah kalau begitu.” Sambung Alyas merasa lega. Tiba di dalam kamar mandi, Andini langsung menekan tombol shower, ia memejamkan mata di b
Elisa merasa darahnya seolah mendidih di saat melihat Andini yang sudah memegang cake coklat, dengan lilin yang menyala di atasnya. “Selamat ulang tahun … selamat ulang tahun … selamat ulang tahun Mas Alyas selamat ulang tahun …!” Andini menyanyikan lagu itu dengan perasaan suka cita. Alyas yang baru saja keluar dari pintu kamar mandi, sontak kaget melihat gadis kecil yang ada di hadapannya menyanyikan lagu dengan begitu ceria. Ada perasaan haru dan juga bahagia karena masih ada orang yang mengingat hari kelahirannya. ‘Ngomong-ngomong tahu dari mana kalau hari ini hari ulang tahunku,’ batinnya.“Sekarang tiup lilinnya dan sebelum itu berdoalah terlebih dahulu!” seru Andini. Alyas langsung menutup mata kemudian berdo’a dalam hati. ‘Berikanlah kebahagiaan dimanapun Bunga berada, berikanlah hamba kesabaran menjalani hidup dunia ini tanpa dirinya.’ Andini terus saja senyum-senyum melihat suaminya sedang berdoa di dalam hatinya, ia yang sedang memegang cake coklat itu terpesona dengan
Alyas menerima paper bag yang diberikan oleh Andini, “Terimakasih …” ucapanya. Kemudian masuk kedalam mobil bersama dengan Elisa lalu pergi meninggalkan rumah. Andini tersenyum simpul melambaikan tangan, senyuman indah itu terlihat jelas oleh Alyas dari kaca spion. Entah terkena angin apa pria tampan itu juga ikut tersenyum melihat itu. “Kamu kenapa senyum-senyum seperti itu, Al?” tanya Elisa yang berada di samping Alyas. “Andini gadis yang sangat baik, walaupun saya telah menzalimi dia, menyeret dia dalam kehidupan saya yang hancur ini, sedikitpun dia tidak mengeluh dan juga tidak mengatakan semua ini kepada kedua orang tuanya ataupun kepada ibu saya.” Jelas Alyas.Elisa menyeringai lebar, “Kamu jangan terlalu fokus kepada Andini, biarkan dia fokus untuk merawat Alif dengan baik. Kamu jangan baper dengan perhatian-perhatian dia, lagi pula dia melakukan semua itu hanya karena balas budi, uang yang sudah kamu berikan kepada kedua orang tuanya itu totalnya sangat besar, nggak mungkin
Acara di rumah Alyas nampak begitu indah dan mewah, Andini sendiri yang mendekornya dibantu dengan Para asisten rumah tangga dan juga wedding organizer. Selain acara ulang tahun, Bu Sarah ingin melihat Alyas dan Andini bersanding di pelaminan karena saat Andini dan Alyas menikah, tidak menghadirinya. “Hari ini adalah hari dimana kamu akan dikenal oleh karyawan Alyas, kamu harus dandan layaknya pengantin.” Ucap Bu Sarah memegang bahu menantunya itu sambil menatap cermin. Andini yang sudah cantik mengenakan gaun putih serta hiasan, membuatnya seperti bidadari turun dari kayangan. “Aku seharusnya mengurus Alif, Bu. Kenapa Ibu malah menghiasku seperti ini?” “Dengar Sayang! Malam ini semua teman-teman Alyas akan datang, kamu harus tampil dan memberikan kesan yang baik bagi mereka. Urusan Alif biar Ibu yang jagain sama si Bibi.” Andini memeluk mertuanya, “Bu, jarang-jarang ada seorang menantu mendapatkan sosok mertua seperti ibu. Terima kasih atas pengertiannya, perhatiannya dan juga ka