Share

Bab 3 - Maaf Tak Bisa Menyentuhmu

"Mas kamu nggak apa-apa, kan?” tanya Andini panik mendengar suara benda terjatuh di dalam kamar mandi, terlebih lagi Alyas tidak menjawab pertanyaannya. 

Andini menengok kanan dan kiri mencari sesuatu yang bisa digunakan untuk membuka pintu, entah kenapa ia tidak menemukan apapun. Kemudian Andini berlari keluar kamar sambil berteriak minta tolong. 

“Bu …, tolong Mas Alyas!” seru Andini, setelah itu kembali lagi masuk ke dalam kamar. 

Bu Sarah yang sedang berada di meja makan, terhenyak kaget mendengar menantunya berteriak seperti ketakutan. Ia pun berlari takut terjadi sesuatu sambil menarik tangan asisten rumah tangganya untuk ikut. 

“Ayo, Bi!” Seru Bu Sarah.

“Apa aku harus ikut juga, Bu?” 

“Siapa tahu tenaga Bibi bisa membantu.” 

Sesampainya di kamar Alyas, Bu Sarah tampak bingung karena tidak mendengar lagi teriakan menantunya. Ia pun langsung membuka pintu sedikit tanpa mengetuk pintu, kedua bola matanya membulat dan tersenyum simpul. BI Jumasih yang datang belakangan sampai heran. 

“Kenapa Ibu nggak masuk?” tanya Bi Jumasih.

“Sepertinya keadaan di dalam sudah kondusif, sebaiknya kita kembali ke bawah.” Bu Sarah tidak bisa menyembunyikan kebahagiaan di wajahnya.

“Padahal tadi Neng Andini manggil-manggil kita, loh.” Bi Jumasih heran melihat wajah majikannya berseri-seri. 

“Bibi jangan banyak tanya, kita balik lagi ke bawah!,” imbuh Bu Sarah.

Bu Sarah merasa sangat bahagia melihat kedekatan Andini dan Alyas. Ia melihat dengan mata kepalanya sendiri, Andini memeluk anaknya dengan erat. 

‘Alhamdulillah ya Allah anak hamba sudah bisa membuka hatinya untuk gadis lain, hamba berharap dengan hadirnya Andini bisa mengobati luka di dalam hatinya.’ Batin Bu Sarah, tersenyum sambil menuruni anak tangga. 

Sementara itu keadaan di dalam kamar, posisi Andini memang sedang memeluk Alyas.

“Lepasin saya!” Seru Alyas mendorong Andini agar melepaskan dekapannya. 

Andini sampai mundur beberapa langkah, gadis berambut panjang itu juga heran dengan dirinya sendiri. ‘Padahal Mas Alyas itu udah jahat banget sama aku, tapi entah kenapa aku merasa takut kalau dia kenapa-napa.’ Andini membatin. 

“Ya maaf, tadi itu aku reflek meluk kamu karena aku merasa lega bisa melihat kamu baik-baik saja, aku pikir …” Andini menjeda ucapannya dan menatap suaminya dengan seksama, mau melanjutkan ucapannya seperti ragu-ragu. 

“Kamu pikir apa?”

“Aku pikir kamu jatuh dan mati.” 

Alyas menggelengkan kepalanya dan melongo. “Apa? mati?” Alyas melototi Andini merasa kesal karena gadis berambut panjang itu, bisa-bisanya kepikiran bahwa dirinya sudah mati. 

Andini yang takut spontan menundukkan kepalanya dan memainkan kuku, “Ya maaf, kalau kamu tersinggung, habisnya kamu nggak jawab-jawab pertanyaan aku. Lagian apa susahnya sih, Jawab pertanyaan aku? aku di sini baik-baik aja Din, kamu nggak usah khawatir. Mas bisa, kan, ngomong kayak gitu!” 

Tidak mau mendengarkan ucapan Andini yang nyerocos tanpa henti, pria tampan itu langsung bersiap untuk berangkat ke kantor. 

***

Beberapa menit kemudian Andini dan Alyas turun dari kamar berjalan perlahan menuruni anak tangga, kemudian duduk di ruang makan yang sudah tersaji makanan dan minuman. Disana juga sudah ada Bu Sarah yang menunggu kedatangan anak semata wayang, juga menantu barunya itu dengan antusias. Wanita tua itu menyambut Andini dengan memeluknya erat. 

“Selamat pagi, Nak.” 

“Pagi juga, Bu.” Andini membalas pelukan mertuanya itu dengan penuh kasih sayang. Walau berada jauh dari kedua orang tua, Andini tidak merasa kekurangan kasih sayang dari mertuanya.

Bu Sarah membawa Andini dan mendudukkannya di sebelah Alyas. Tidak mau peduli apa yang dilakukan oleh ibunya, Alyas memilih tetap mengunyah sarapannya. 

“Alhamdulillah hari ini Ibu sangat bahagia, pada akhirnya Alyas sudah bisa membukakan hati untuk bisa menikah lagi. Ya walaupun itu ada andil besar dari campur tangan Ibu yang memintanya supaya mencarikan Ibu sambung untuk Alif.” Jelas Bu Sarah menatap Alyas dan Andini. 

Deg 

Jantung Andini seolah berhenti, ‘Ibu sambung?’ batinnya. 

Kemudian Andini memberanikan diri untuk mempertanyakan perihal anak dan istri suaminya. “Emz …, Bu aku mau nanya, boleh?” 

“Tentu boleh, Ibu tidak pernah membedakan anak dan menantu. Kamu berhak bertanya dan jangan pernah sungkan sama Ibu.” Jawab Bu Sarah tersenyum simpul. “Memangnya kamu mau nanya apa?” 

Andini merasa lega punya ibu mertua yang pengertian. “Ngomong-ngomong dimana keberadaan ….” Andini menjeda ucapannya. Ia terkejut mendapati ada suapan makanan yang langsung datang dari tangan Alyas masuk ke dalam mulutnya. 

“Kalau makan jangan banyak bicara,” imbuh Alyas, sedikit melirik pada ibunya yang sedang mengunyah makanan. “Kamu jangan pernah menanyakan apapun sama Ibu, sepengetahuan ibu saya, kamu itu sudah tahu semua tentang saya.” Bisik Alyas. 

Andini memanyunkan bibirnya kesal, “kalau kamu nggak mau aku bertanya sama Ibu, kamu harus kasih tau aku semuanya, jangan buat aku penasaran.” Sambung Andini yang juga berbisik-bisik. 

Melihat sang anak menyuapi istrinya dengan lemah lembut membuat Bu Sarah benar-benar merasa yakin bahwa Andini adalah jodoh terakhir untuk Alyas. 

“Kenapa Ibu senyum-senyum seperti itu?” tanya Alyas heran.

“Ibu itu bahagia, Al. Kamu mendapatkan Andini, dia seorang wanita yang cantik, baik dan juga bisa meluluhkan hati kamu yang sudah beku.” 

Alyas berusaha untuk senyum, padahal sudah muak harus bersandiwara di depan ibunya. “Bu aku mau berangkat ke kantor. Hari ini Ibu akan mengantar Andini ke rumah sakit buat jenguk Alif.” 

“Hari ini biar Ibu saja yang ke rumah sakit.” jawab Bu Sarah.

“Kenapa, Bu? Andini itu, kan, Ibu sambungnya Alif. Sudah seharusnya dia yang jenguk Alif, kan?” 

“Iya, tapi nggak hari ini.” Bu Sarah menjawab sambil sesekali melirik ke arah Andini yang masih malu-malu untuk mengunyah sarapannya. 

“Kenapa, tidak hari ini?” tanya Alyas heran. 

“Karena hari ini Andini akan ke salon untuk perawatan kecantikan, Ibu juga sudah memesan hotel bintang 5 untuk kamu dan Andini menghabiskan malam pertama tanpa ada gangguan. Disana tempatnya sangat mendukung dan romantis, kalian pasti suka.”

Alyas dan Andini sontak terkejut dan saling menatap satu sama lain, mendengar pernyataan dari ibunya itu. 

“Setelah pulang dari rumah sakit ibu akan mengantarkan Andini ke hotel, setelah kamu pulang dari kantor, langsung jalan ke hotel, jangan pulang dulu.” Jelas sang ibu.

“Tapi Bu, hari ini jadwal aku sangat padat.” Alyas beralasan. 

“Ibu akan menelpon asisten pribadi kamu untuk menghandle semua urusan kamu di kantor, Ibu hanya ingin Andini mendapatkan haknya sebagai seorang istri. Jangan pernah membantah Ibu, Nak! Lagi pula permintaan Ibu nggak aneh-aneh, kan?” 

Hufs …

Al menarik napas dalam-dalam, “oke Bu, aku akan usahakan datang ke hotel, tapi nanti setelah aku menyelesaikan pekerjaanku di kantor.” 

“Terimakasih atas kepatuhannya, jangan terlalu malam ke hotelnya!” seru sang Ibu.

“Iya.” 

Kemudian Alyas berpamitan dengan mencium tangan Ibu Sarah, “assalamualaikum.” 

“Wa'alaikumsalam, jangan lupa pamit sama istri kamu!” 

Al melirik Andini yang berdiri di samping ibunya, langkahnya seketika berhenti untuk sejenak berpikir. ‘Apa iya aku harus melakukan ini? kalau tidak, apa Ibu akan curiga?’

“Cepat pamitannya, ini sudah siang!” seru sang ibu.

Tidak mau ibunya curiga, Al mendekat ke arah Andini. Ia tampak ragu untuk melakukan ritual pagi seperti sebelumnya. Sudah menjadi kebiasaan Alyas sebelum berangkat kerja, dirinya pasti akan mengecup kening sang istri kemudian dibalas dengan sang istri mencium tangannya. Namun, ia tidak menyangka bahwa hari ini harus mengecup kening wanita lain selain Bunga istri pertamanya. 

Dret …

Ponsel Alyas bergetar, pria itu tersenyum simpul karena punya alasan untuk segera berangkat ke kantor. 

“Maaf Bu, Andini.” Alyas menoleh ke arah ibi dan istrinya. “Aku berangkat dulu, dah.” 

Bu Sarah melambaikan tangan, Andini spontan ikut-ikutan. 

‘Eh ini tangan kenapa refleks begini, ya?’ Batin Andini menurunkan kembali tangannya. 

***

Waktu berjalan dengan cepat, tidak terasa sudah pukul 11 malam. Posisi Andini sudah berada di dalam hotel menunggu kedatangan suaminya. Gadis itu mengenakan gaun berwarna hitam terbuka pilihan mertuanya, pakaian indah itu tampak kontras dengan kulit putihnya yang mulus dan terawat. Gadis itu sudah standby di hotel dari jam 8 malam, ia menghabiskan waktu dengan menonton televisi dan ponsel. 

Merasa bosan dengan ponselnya, Andini pun berdiri dan menatap dirinya dalam cermin. ‘Percuma kamu dandan secantik ini.’ Gumamnya. 

Pikirannya seketika teringat dengan pesan Alyas yang membuatnya benar-benar merasa tidak punya harga diri lagi.

“Jangan menunggu saya, kamu tidur saja di hotel itu sendiri. Besok pagi akan saya jemput.” Ucap Alyas lewat pesan suara. 

‘Udah tau kalau dia nggak bakal datang, tapi kenapa kamu masih tetap nungguin dia?’ Gumam Andini bertanya kepada dirinya sendiri, mata indahnya kini nampak berlinang mengingat nasib buruknya. 

Tok … tok … tok …

Suara ketukan pintu membuat Andini terhenyak kaget, ‘Siapa itu? apa jangan-jangan itu Mas Alyas, apa dia berubah pikiran?’ Andini mengusap pipinya yang basah kemudian melangkahkan kaki menuju ambang pintu. 

Ceklek …

Andini membuka pintu, wajahnya berseri dengan manik mata yang berbinar penuh kebahagiaan, dalam hatinya yakin bahwa Alyas pasti tidak tega membiarkan dirinya sendiri di dalam hotel. Namun, setelah membuka pintu, raut wajah A

ndini berubah drastis menjadi kecut sekali. Ia menggelengkan kepala disertai air mata yang berjatuhan tanpa henti. 

To be continued 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Senja_Khoir
ada apa lagi itu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status