"Haidar …” ucap Andini.
“Iya aku Haidar.” Tanpa meminta persetujuan dari gadis itu, Haidar memeluk Andini. “Kamu apa kabar? sudah lama aku ingin sekali bertemu sama kamu, tapi aku nggak punya waktu. Aku tidak menyangka bisa bertemu sama kamu di sini.”
Andini berontak kemudian sedikit mendorong Haidar agar ia bisa lepas dari pelukannya, “aku baik-baik saja.”
“Ngomong-ngomong kamu kenapa ada di sini? bukannya kata ibu kamu, kamu itu udah nikah.” Haidar penasaran.
“Iya, aku memang sudah menikah,” imbuhnya.
“Lah terus dimana suami kamu? kenapa suami kamu membiarkan kamu ujan-ujanan di jam malam seperti ini? Atau jangan-jangan suami kamu tidak memperlakukanmu dengan baik? kamu menikah karena dijodohkan, sama Bapak kamu?’’ Haidar bertanya-tanya kemudian menajamkan pandangannya di area mata Andini. “Sebagai sahabat kamu dari kecil aku sudah tahu kondisi wajah kamu seperti ini itu pasti habis nangis, iya kan?”
“Enggak, kok!” Andini berusaha sebaik mungkin agar sahabatnya itu tidak curiga.
“Kamu jangan bohong Andini!”
“Haidar, aku sudah menikah dan aku bahagia dengan pernikahanku, kamu tidak usah repot-repot mengkhawatirkan urusanku lagi. Toh aku sebelumnya sudah minta bantuan kamu, tapi kamu tidak peduli, persahabatan kita cukup sampai disini.”
Haidar mengernyitkan kening, ia bingung karena orang tuanya tidak pernah menceritakan apapun tentang kedatangan Andini, “Hei maksud kamu apa, kenapa kamu malah mutusin persahabatan kita?”
Andini kemudian melepas jas milik Haidar dan memberikanya kepada sahabatnya itu, kemudian kembali berjalan kaki. Sesekali ia menatap kearah langit hingga air hujan itu bisa menetes di wajahnya. Terbersit dalam benaknya penghinaan yang telah diucapkan oleh kedua orang tua Haidar.
Andini dan Haidar adalah sahabat sejak kecil, rumah mereka awalnya berdekatan. Keduanya sekolah pergi dan pulang bersama hingga SMP. Namun, semenjak ayah Haidar menjadi pegawai negeri sipil, mereka pindah ke ruang yang lebih bagus dan jauh dari Andini. Tahun demi tahun berlalu hubungan Andini dan Haidar masih baik-baik saja, tapi semenjak Haidar punya perusahaan sendiri Andini semakin sulit menghubunginya.
Beberapa bulan yang lalu, Andini sempat meminjam uang kepada Haidar lewat kedua orang tuanya. Namun, bukannya di pinjami uang, Andini malah di usir dan hina. “Dasar cewek matre, orang miskin, di kira Haidar itu bank, main pinjam uang sebanyak itu. Jangan pernah datang lagi ke rumah ini, jangan pernah berharap kamu bisa pinjam uang dan memanfaatkan anak saya. Pergi sejauh mungkin dan jangan pernah kembali lagi!” Begitulah Ibu Haidar meluapkan emosinya.
Ucapan itu terus saja terngiang di telinganya, padahal Andini tidak memaksa. Ia sudah cukup menahan rasa malu kala itu karena sudah buntu mau pinjam uang kepada siapa lagi. Hingga akhirnya ia harus menerima perjodohan dengan Alyas, seorang pria yang menampakkan wujud bagaikan malaikat di depan kedua orang tuanya.
‘Kenapa aku harus bertemu lagi dengan Haidar? sudah cukup hinaan dari Ibunya,’ Andini membatin.
“Andini, tunggu!” teriak Haidar.
Andini tidak menghiraukan panggilan dari sahabatnya itu, ia tetap melanjutkan perjalanannya tanpa mau menoleh lagi ke belakang. Namun, Haidar tidak mau menyerah, sahabat Andini itu terus mengejar Andini dan mencegahnya dengan merentangkan kedua tangan.
“Jangan pergi! tidak masalah kamu tidak mau menjawab pertanyaan-pertanyaan dari aku, tapi aku tidak mau meninggalkan kamu sendirian di pinggir jalan. Ini sudah malam, ayo naik ke mobil aku, aku akan antarkan kamu kemanapun kamu mau.” jelas Haidar menarik tangan Andini dan membawanya menuju ke mobil.
“Tunggu!” seru seorang pria yang tidak lain adalah Alyas.
Haidar dan Andini terkejut mendengar suara itu, keduanya pun menoleh ke arah sumber suara dan membulatkan kedua matanya.
‘Mas Alyas,’ gumam Andini.
“Anda siapa?” tanya Haidar.
Alyas menyeringai lebar, “lepaskan genggaman tangan kamu dari tangan Andini!”
“Emangnya kenapa? Apa urusan kamu sama kami berdua?” Haidar bener dibuat kesal karena Alyas terlihat menyebalkan.
“Lepasin nggak!” teriak Alyas.
Andini berusaha menggerakkan pergelangan tangannya, tapi Haidar semakin menggenggam tangannya erat. “Lepasin tanganku, Haidar!”
“Tidak akan,” jawab Haidar.
“Kamu mau tahu, kenapa saya meminta kamu melepaskan tangan Andini?”
“Iya, saya mau tau.” Haidar penasaran.
Alyas tersenyum simpul, kemudian berjalan perlahan mendekat ke arah Andini. Keduanya saling berhadapan satu sama lain, dan beradu tatap tepat di hadapan Haidar yang masih menggenggam tangan Andini.
“Kamu mau apa?” tanya Haidar ada sedikit rasa takut.
Alyas tidak menghiraukan pertanyaan dari Haidar, pria tampan dan mempesona itu mengelus pipi Andini. Baik Alyas dan Andini sama-sama merasakan degupan jantung yang sudah tidak beraturan, kemudian tanpa basa basi lagi Alyas mengecup lembut bibir tipis Andini dengan lembut. Waktu seolah berhenti, baik itu bagi Haidar, Andini dan juga Alyas. Ketiga merasakan perasaan yang menyesakkan dada
‘Entah kenapa walaupun saya sudah berjanji akan terus mencintai Bunga, tapi saya tidak rela melihat kamu disentuh oleh pria lain? saya ingin buktikan bahwa kamu adalah milik saya, Andini hanya milik Alyas seorang.’ Batin Alyas.
‘Raga ini ingin sekali mendorongmu, Mas! tapi perasaanku melarangnya. Aku merasa jadi wanita murahan yang haus akan sentuhan,’ batin Andini dengan linangan air mata.
“Hei …, apa kamu sudah gila!”
Bug!
Haidar menarik tubuh Alyas agar terlepas dari Andini, kemudian memukul wajahnya dengan keras.
“Jaga batasan kamu, ya!” teriak Haidar. “Dia itu sahabat saya, kami sudah bertahun-tahun berteman, dia itu wanita baik-baik dan terhormat.”
“Cih …, kamu cuma sahabat Andini, kan?” Alyas terkekeh sambil mengusap darah yang keluar dari sudut bibirnya menggunakan ujung sikut. “Ingat ucapan saya baik-baik, walaupun kamu sahabat Andini kamu tidak berhak menyentuhnya, haram kamu menyentuh dia. Yang boleh menyentuh Andini hanya suaminya saja, yaitu saya sendiri.”
Haidar tersenyum sambil menyeringai, “Jangan bercanda kamu, nggak mungkin Andini menikah sama orang brengsek seperti kamu. Mulut kamu saja bau alkohol, Jangan pernah bermimpi jadi suaminya Andini.”
Haidar naik pitam dan hendak memukul Alyas untuk kedua kalinya, tapi Andini merentangkan tangan di depan Alyas. “Jangan memukulnya lagi, Haidar!”
“Kenapa Andini?” Haidar keheranan melihat wajah sahabatnya yang berderaian air mata.
“Please jangan memukul suami aku lagi,” imbuhnya.
“Oh, jadi yang diucapin sama pria brengsek itu adalah benar?” tanya Haidar kecewa, berharap Andini hanya bercanda.
“Dia benar-benar suami aku,” jawab Andini.
Setelah itu Alyas menggenggam tangan Andini dan membawanya menuju ke arah mobil yang terparkir di bahu jalan, sebelum benar-benar pergi. Alyas kembali menoleh dan menatap wajah Haidar yang nampak kecewa. “Carilah pasangan yang single, ingat, ya! Andini adalah istri saya dan selamanya akan menjadi istri saya. By …”
Andini langsung menoleh ke arah Alyas, ia merasakan sesuatu yang aneh dalam hatinya.
Andini dan Alyas meninggalkan Haidar yang masih terpaku di bahu jalan, setelah itu menjalankan mobil dan pergi.
Brum …
Andini dan Alyas duduk di bagian depan mobil, tidak ada percakapan apapun. Keduanya salah tingkah bingung harus berbuat apa. Untuk menghangatkan suasana, Alyas menyalakan radio dan muncul sebuah lagu.
‘Aku jatuh cinta kepada dirinya
Sungguh-sungguh cinta oh apa adanya.’
Seketika Al kaget dan mencari saluran radio lain, dan muncul lagu lain yang masih berhubungan dengan dua orang sedang jatuh cinta.
‘Kenapa semua saluran radio lagunya seperti ini, apa nggak ada lagu yang lain?’ gerutu Alyas mematikan radionya kesal.
Andini menoleh ke arah Alyas dan sedikit tersenyum melihat suaminya yang salah tingkah. “Lagu-lagunya bagus kok, Mas!”
“Iya itu bagi kamu, tapi tidak bagi saya.” Imbuhnya menoleh ke arah Andini.
Seketika Alyas melihat tubuh Andini menggigil, ia pun menghentikan mobil ke bahu jalan.
“Kenapa berhenti, Mas?”
“Buka pakaian kamu!”
Andini menatap tajam Alyas merasa kesal, “jangan pernah berpikir setelah kamu mendapatkan ciuman pertama aku, kamu bisa mendapatkan tubuh aku ya, M
as.”
Alyas menggelengkan kepalanya, “jangan banyak bicara, buka pakaian kamu sekarang juga!”
To be continued
Andini benar-benar terkejut mendengar perintah dari Alyas. “Ngapain kamu nyuruh aku buka pakaian? dasar otak mesum. Tadi kamu sudah mencium bibir Elisa, entah apa yang biasa kalian lakukan hingga mau-maunya bersentuhan walau tidak punya ikatan pernikahan.” Ucap Andini sambil menutup dadanya dengan kedua tangan. Alyas terkekeh kemudian mendekatkan wajahnya dengan Andini. “Jangan geer dan juga jangan suka buruk sangka, lagipula saya juga nggak mau nyentuh kamu. Buka pakaianmu di kursi bagian belakang mobil sekarang juga! di sana ada banyak pakaian. Gantilah pakaianmu yang basah itu, nanti kalau kamu sakit, Ibu bisa nyalahin saya.” Andini membulatkan kedua matanya, ia tidak menyangka bahwa Alyas cukup perhatian juga. “Jangan pernah berpikir macam-macam! saya melakukan semua ini karena Ibu.”“Iya …, iya, lagian siapa juga yang geer.” Sambung Andini sambil membuka pintu mobil dan berpindah tempat ke belakang, walau masih kesal dengan tingkah Alyas ketika bersama wanita lain, ia berusah
Andini tidak sengaja melihat ada Alyas di ambang pintu, sontak ia tersenyum. Dirinya sudah tidak sabar ingin melihat sosok ayah yang baik dari seorang Alyas. Namun, prediksinya salah total karena Alyas tidak masuk ke dalam kamar melainkan berbalik badan dan pergi meninggalkan kamar ibunya. ‘Heh … dasar manusia aneh,’ gumam Andini. “Mas …!” panggil Andini. “Loh memangnya ada Ada Al disini?” tanya Bu Sarah, tengok kanan dan kiri tetapi tidak melihat siapapun masuk ke dalam kamarnya. “Ada Bu. Barusan aku lihat Mas Al ada di dekat pintu. seharusnya kan, dia masuk ke kamar ini, setelah itu menyambut anaknya dengan bahagia. Kenapa Mas Al tidak melakukan hal yang sesederhana itu?” Bu Sarah menganggukkan kepalanya, ‘Alyas tidak akan berani mendekati Alif, sungguh malang sekali nasib anak dan cucuku ini ya Allah, persatukanlah mereka secepatnya.’“Bu …, kenapa ibu malah melamun?” Andini mengusap lembut tangan mertuanya. Bu Sarah tersenyum, kemudian menatap Andini. “Maaf barusan Ibu kepiki
“Memangnya kenapa sih, Mas? kalau kita berhubungan suami istri?” tanya Andini menatap tajam wajah suaminya itu. “Saya cuma tidak mau berbuat banyak dosa, jika kita berhubungan suami istri ditakutkan kamu hamil, sedangkan kita akan bercerai 6 bulan lagi. Please katakan yang sejujurnya Jangan menambah beban pikiran saya!” Alyas melipat kedua tangan di hadapan Andini. Deg …Andini seketika terdiam, ia beranjak pergi ke kamar mandi untuk bersiap memulai tugas barunya sebagai ibu pengganti. Sedangkan Alyas diam terpaku melihat gadis itu tidak menjawab pertanyaannya. “Hei … apa salahnya sih, jika saya mempertanyakan kejujuran kamu, Ndin.” “Kenapa kau malah diam?” Andini tetap berjalan menuju kamar mandi tanpa memperdulikan suaminya. “Terserah kamu mau anggap diamku ini apa, capek aku ngejelasinnya.” “Oh berarti memang tidak terjadi apa-apa, ya! syukurlah kalau begitu.” Sambung Alyas merasa lega. Tiba di dalam kamar mandi, Andini langsung menekan tombol shower, ia memejamkan mata di b
Elisa merasa darahnya seolah mendidih di saat melihat Andini yang sudah memegang cake coklat, dengan lilin yang menyala di atasnya. “Selamat ulang tahun … selamat ulang tahun … selamat ulang tahun Mas Alyas selamat ulang tahun …!” Andini menyanyikan lagu itu dengan perasaan suka cita. Alyas yang baru saja keluar dari pintu kamar mandi, sontak kaget melihat gadis kecil yang ada di hadapannya menyanyikan lagu dengan begitu ceria. Ada perasaan haru dan juga bahagia karena masih ada orang yang mengingat hari kelahirannya. ‘Ngomong-ngomong tahu dari mana kalau hari ini hari ulang tahunku,’ batinnya.“Sekarang tiup lilinnya dan sebelum itu berdoalah terlebih dahulu!” seru Andini. Alyas langsung menutup mata kemudian berdo’a dalam hati. ‘Berikanlah kebahagiaan dimanapun Bunga berada, berikanlah hamba kesabaran menjalani hidup dunia ini tanpa dirinya.’ Andini terus saja senyum-senyum melihat suaminya sedang berdoa di dalam hatinya, ia yang sedang memegang cake coklat itu terpesona dengan
Alyas menerima paper bag yang diberikan oleh Andini, “Terimakasih …” ucapanya. Kemudian masuk kedalam mobil bersama dengan Elisa lalu pergi meninggalkan rumah. Andini tersenyum simpul melambaikan tangan, senyuman indah itu terlihat jelas oleh Alyas dari kaca spion. Entah terkena angin apa pria tampan itu juga ikut tersenyum melihat itu. “Kamu kenapa senyum-senyum seperti itu, Al?” tanya Elisa yang berada di samping Alyas. “Andini gadis yang sangat baik, walaupun saya telah menzalimi dia, menyeret dia dalam kehidupan saya yang hancur ini, sedikitpun dia tidak mengeluh dan juga tidak mengatakan semua ini kepada kedua orang tuanya ataupun kepada ibu saya.” Jelas Alyas.Elisa menyeringai lebar, “Kamu jangan terlalu fokus kepada Andini, biarkan dia fokus untuk merawat Alif dengan baik. Kamu jangan baper dengan perhatian-perhatian dia, lagi pula dia melakukan semua itu hanya karena balas budi, uang yang sudah kamu berikan kepada kedua orang tuanya itu totalnya sangat besar, nggak mungkin
Acara di rumah Alyas nampak begitu indah dan mewah, Andini sendiri yang mendekornya dibantu dengan Para asisten rumah tangga dan juga wedding organizer. Selain acara ulang tahun, Bu Sarah ingin melihat Alyas dan Andini bersanding di pelaminan karena saat Andini dan Alyas menikah, tidak menghadirinya. “Hari ini adalah hari dimana kamu akan dikenal oleh karyawan Alyas, kamu harus dandan layaknya pengantin.” Ucap Bu Sarah memegang bahu menantunya itu sambil menatap cermin. Andini yang sudah cantik mengenakan gaun putih serta hiasan, membuatnya seperti bidadari turun dari kayangan. “Aku seharusnya mengurus Alif, Bu. Kenapa Ibu malah menghiasku seperti ini?” “Dengar Sayang! Malam ini semua teman-teman Alyas akan datang, kamu harus tampil dan memberikan kesan yang baik bagi mereka. Urusan Alif biar Ibu yang jagain sama si Bibi.” Andini memeluk mertuanya, “Bu, jarang-jarang ada seorang menantu mendapatkan sosok mertua seperti ibu. Terima kasih atas pengertiannya, perhatiannya dan juga ka
Tamu undangan perlahan mulai datang, Andini dengan ramah menyambut mereka secara sukacita, senyuman indah di bibirnya mampu membuat semua tamu undangan membicarakan Andini yang dianggap beruntung menjadi istri dari seorang CEO muda, mapan dan juga tampan. “Perkenalkan kami dari bagian administrasi, kami datang berdasarkan undangan dari Pak Alyas. Senang bisa bertemu dengan Bu Andini yang ternyata masih muda, ya!” Ucap salah seorang karyawan yang datang. “Terima kasih atas kedatangan kalian, saya mengucapkan banyak terima kasih, silahkan makan makanan yang dihidangkan.” Jawab Andini dengan senyuman yang terukir indah. Waktu menunjukkan pukul 10.00 malam, Alyas tidak juga kunjung datang. Andini berulang kali menghubungi ponsel milik suaminya itu, tapi malah tidak aktif. Melihat menantunya yang gelisah, Bu Sarah mendekat dan mengusap punggungnya. “Ada apa?” tanya Bu Sarah menenangkan. “Bu, ponselnya Mas Alyas nggak aktif-aktif. Aku jadi khawatir, ini juga udah malam, para tamu pasti
Andini mendorong Alyas hingga pria itu mundur beberapa langkah, menatapnya dengan raut wajah yang kesal. “Kenapa kamu mencium aku, apa kamu sedang mabuk?” Alyas menunduk karena malu, ia mencoba untuk menetralisir jantungnya yang berdegup kencang dengan menarik napas dalam-dalam. Setelah itu ia menatap Andini, dan kembali ke mode dinginnya. “Kamu terlalu berisik, Ibu bisa bangun dengar suara kamu.” ia kembali fokus ke bibir Andini yang basah. Andini yang merasa malu hingga pipinya berubah merah, spontan menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. “Jangan menatapku seperti itu, Mas! Aku takut kamu mabuk, aku tidak mau kita berdua kebablasan nantinya.” Alyas tersenyum simpul, “jangan geer kamu, lagi pula cuma ciuman doang, aku sering melakukan itu dengan banyak wanita, bukan kamu saja.” Celetuk Alyas bercanda dan menggoda Andini agar tidak terbawa perasaan. Menanggapi ucapan Alyas, Andini lantas berlari ke tepian kolam renang yang ada di area pesta. Gadis berambut panjang itu mencu