Andini tidak sengaja melihat ada Alyas di ambang pintu, sontak ia tersenyum. Dirinya sudah tidak sabar ingin melihat sosok ayah yang baik dari seorang Alyas. Namun, prediksinya salah total karena Alyas tidak masuk ke dalam kamar melainkan berbalik badan dan pergi meninggalkan kamar ibunya.
‘Heh … dasar manusia aneh,’ gumam Andini.
“Mas …!” panggil Andini.
“Loh memangnya ada Ada Al disini?” tanya Bu Sarah, tengok kanan dan kiri tetapi tidak melihat siapapun masuk ke dalam kamarnya.
“Ada Bu. Barusan aku lihat Mas Al ada di dekat pintu. seharusnya kan, dia masuk ke kamar ini, setelah itu menyambut anaknya dengan bahagia. Kenapa Mas Al tidak melakukan hal yang sesederhana itu?”
Bu Sarah menganggukkan kepalanya, ‘Alyas tidak akan berani mendekati Alif, sungguh malang sekali nasib anak dan cucuku ini ya Allah, persatukanlah mereka secepatnya.’
“Bu …, kenapa ibu malah melamun?” Andini mengusap lembut tangan mertuanya.
Bu Sarah tersenyum, kemudian menatap Andini. “Maaf barusan Ibu kepikiran sesuatu hal, hal yang menurut kamu sederhana itu mungkin bisa dilakukan oleh Ayah-ayah yang lain, tapi Itu tidak akan mudah bagi Alyas.”
“Kenapa?”
“Seharusnya kamu tau alasannya.”
“Oh, apa ada hubungannya dengan Bunga?”
“Ya begitulah. Cepat kamu susul suami kamu itu dan tenangkan perasaannya. Biar Alif ibu yang jaga, lagipula dia sudah tidur pulas, kan?”
Andini seketika menatap wajah Alif, bayi tampan itu memang sudah tidur pulas. Ingin rasanya ia mempertanyakan langsung perihal Bunga ada di mana? kenapa dia tidak ada di rumah ini? kenapa dia tidak mengurus anaknya? Pertanyaan-pertanyaan itu lagi-lagi muncul di dalam benaknya, tapi mengingat ancaman dari Alyas lidahnya terasa kaku untuk mengutarakan semua itu.
“Iya Alif sudah tidur pulas, Bu. Kalau begitu aku akan mencoba menenangkan perasaan Mas Al. Ya walaupun aku masih bingung kenapa dia bisa seperti itu.’’Jawab Andini tanpa ada rasa canggung, ia bener-bener dibuat nyaman oleh Bu Sarah.
“Kamu tidak usah bingung, Nak! semakin lama kamu hidup bersamanya, perlahan kamu akan tahu sifat asli dari Alyas itu seperti apa.”
Andini mengangguk …
Beberapa menit kemudian, Andini sudah kembali ke lantai dua. Matanya menatap pintu yang sudah tertutup, rasanya enggan sekali untuk melangkahkan kaki ke dalam kamar. Ia sudah tidak ingin lagi berdebat dengan Al karena badannya sudah sangat kelelahan.
Ceklek …
Andini masuk kedalam kamar, suasana di dalam sudah sangat gelap. Bukan hanya lampu utama yang mati, kamu lampu tidur pun mati. Ditambah dengan aroma minuman keras yang begitu menyengat. Tanpa Gadis itu sadari banyak botol minuman yang berserakan di lantai kamar, kemudian Andini maraba-raba dinding kamar mencari stop kontak, tapi tidak kunjung menemukan nya.
‘Saking gedenya Ini kamar, aku sampai nggak tahu letak di mana stop kontak itu,’ batin Andini.
Di saat sedang berjalan, tiba-tiba kaki Andini tersandung, tubuhnya terhuyung hingga terjatuh di ranjang tepat di atas tubuh Alyas. Andini yang terkejut spontan beranjak untuk berdiri tapi tubuhnya malah di kunci oleh kedua tangan Alyas yang melingkar di punggungnya. Kedua wajah tampan dan cantik itu bertemu dan saling menatap satu sama lain, walau dalam kegelapan Alyas dan Andini bisa merasakan betapa keduanya begitu emosional. Cahaya rembulan yang menerobos masuk lewat celah jendela kamar mampu memperlihatkan sosok Andini yang begitu cantik walau dalam kegelapan malam.
“Kau minum-minuman keras itu lagi, Mas?” tanya Andini.
“Iya … hanya dengan minum-minuman keras, saya bisa melupakan sedikit kesedihan saya.”
“Sebagai orang yang bertuhan, seharusnya Mas Al lebih mendekatkan diri kepada Allah.”
Alyas menggelengkan kepalanya, “Tuhan telah merampas Bunga dari saya sehingga saya tidak mau dekat dengannya.”
“Istighfar, Mas! Semua yang ada di dunia ini sudah ditakdirkan oleh Allah jauh sebelum langit dan bumi ini diciptakan.”
“Syut …” Alyas menyentuh bibir Andini dengan satu jari telunjuknya. “Jangan ceramahi saya! sudah cukup Ibu saya setiap hari bicara seperti itu.”
Andini benar-benar dibuat salah tingkah oleh pria itu yang menatap matanya dengan sendu dan sayu. “Kau mau apa?”
Alyas hanya tersenyum, setelah itu Alyas memegang tubuh Andini yang sedang berada di atas tubuhnya dan menaruhnya di permukaan ranjang. Kini posisi sudah berubah, Andini berada di bawah Kungkungan tubuh Alyas. Awalnya Andini ingin kali mendorong tubuh pria itu, tapi melihat matanya yang merah dan berkaca-kaca ia mengurungkan niatnya. Ia ingin tau seberapa jauh suaminya itu akan menyentuhnya. Ia ingin tahu apa yang akan diucapkan oleh suaminya di saat dalam keadaan setengah sadar, biasanya di dalam keadaan mabuk seseorang akan cenderung jujur.
“Kau cantik, dan juga baik. Terima kasih karena kamu sudah mau menjadi Ibu sambung buat Alif. Maafkan saya karena saya tidak bisa mendekat ke arah anak itu.”
“Kenapa, Mas?”
“Karena …”
“Karena apa, Mas?”
“Karena saya sudah ngantuk.” Seketika tubuh pria tampan itu jatuh tepat di atas tubuh kecil Andini.
Andini spontan membulatkan kedua bola matanya dengan mulut yang menganga saking kagetnya. “Loh, kenapa kamu malah tidur di atas tubuhku, berat tahu!” gerutu Andini.
***
Sinar matahari menembus celah-celah kamar, di mana di dalamnya terdapat pasangan suami istri yang berada di atas ranjang yang sama. Keduanya berada di dalam satu selimut, dengan keadaan berpelukan. Wajah Alyas tangan tersorot cahaya matahari, perlahan terbangun dan membuka matanya secara perlahan. Ia tersenyum simpul, sambil menatap gadis yang sedang berada dalam dekapannya.
“Kau sangat cantik.” Ungkapnya sambil mengelus pipi mulus Andini dengan lembut. Namun, disaat itu pula ia melihat di jari manisnya ada cincin pernikahan dengan Bunga. “Oh syit …” kemudian mendorong tubuh Andini hingga terjatuh ke lantai.
Gedebuk
“Ah …,” Andini meringis kesakitan di bagian pinggangnya. “Aduh …”
Mendengar Andini meringis kesakitan membuat Alyas menatap wajah cantik itu. “Apa yang sudah kamu lakukan di atas ranjang saya? kita tidak melakukan apa-apa, kan?” Tanya Alyas ketakutan.
Melihat Alyas yang panik, membuatnya terkekeh hingga membuat rasa sakitnya berkurang. ‘Kenapa dia kayak gadis yang kehilangan keperawanannya, sih?’
“Hey … jawab pertanyaan saya! jangan malah ketawa seperti itu, kamu mengejek saya? ingat dalam perjanjian pernikahan kontrak itu, bahwa kita tidak boleh berhubungan suami istri karena dalam 6 bulan kita akan bercerai.”
“Lagian kamu itu lucu banget, sih. Aku tidak pernah melanggar kontrak yang ditandatangani itu, Mas. Kamu sendiri yang ngajak aku untuk melakukan hubungan yang seharusnya tidak kita lakukan.” Andini sengaja berbohong.
Alyas seketika mendekat ke arah Andini dan menatap wajahnya dengan lebih dekat, “Please tolong katakan kalau kamu sedang bercanda!”
Andini hanya tersenyum melihat ketakutan dari suaminya, ingin tahu kenapa suaminya takut sekali Jika hubungan suami istri itu benar- benar terjadi.
To be continued
“Memangnya kenapa sih, Mas? kalau kita berhubungan suami istri?” tanya Andini menatap tajam wajah suaminya itu. “Saya cuma tidak mau berbuat banyak dosa, jika kita berhubungan suami istri ditakutkan kamu hamil, sedangkan kita akan bercerai 6 bulan lagi. Please katakan yang sejujurnya Jangan menambah beban pikiran saya!” Alyas melipat kedua tangan di hadapan Andini. Deg …Andini seketika terdiam, ia beranjak pergi ke kamar mandi untuk bersiap memulai tugas barunya sebagai ibu pengganti. Sedangkan Alyas diam terpaku melihat gadis itu tidak menjawab pertanyaannya. “Hei … apa salahnya sih, jika saya mempertanyakan kejujuran kamu, Ndin.” “Kenapa kau malah diam?” Andini tetap berjalan menuju kamar mandi tanpa memperdulikan suaminya. “Terserah kamu mau anggap diamku ini apa, capek aku ngejelasinnya.” “Oh berarti memang tidak terjadi apa-apa, ya! syukurlah kalau begitu.” Sambung Alyas merasa lega. Tiba di dalam kamar mandi, Andini langsung menekan tombol shower, ia memejamkan mata di b
Elisa merasa darahnya seolah mendidih di saat melihat Andini yang sudah memegang cake coklat, dengan lilin yang menyala di atasnya. “Selamat ulang tahun … selamat ulang tahun … selamat ulang tahun Mas Alyas selamat ulang tahun …!” Andini menyanyikan lagu itu dengan perasaan suka cita. Alyas yang baru saja keluar dari pintu kamar mandi, sontak kaget melihat gadis kecil yang ada di hadapannya menyanyikan lagu dengan begitu ceria. Ada perasaan haru dan juga bahagia karena masih ada orang yang mengingat hari kelahirannya. ‘Ngomong-ngomong tahu dari mana kalau hari ini hari ulang tahunku,’ batinnya.“Sekarang tiup lilinnya dan sebelum itu berdoalah terlebih dahulu!” seru Andini. Alyas langsung menutup mata kemudian berdo’a dalam hati. ‘Berikanlah kebahagiaan dimanapun Bunga berada, berikanlah hamba kesabaran menjalani hidup dunia ini tanpa dirinya.’ Andini terus saja senyum-senyum melihat suaminya sedang berdoa di dalam hatinya, ia yang sedang memegang cake coklat itu terpesona dengan
Alyas menerima paper bag yang diberikan oleh Andini, “Terimakasih …” ucapanya. Kemudian masuk kedalam mobil bersama dengan Elisa lalu pergi meninggalkan rumah. Andini tersenyum simpul melambaikan tangan, senyuman indah itu terlihat jelas oleh Alyas dari kaca spion. Entah terkena angin apa pria tampan itu juga ikut tersenyum melihat itu. “Kamu kenapa senyum-senyum seperti itu, Al?” tanya Elisa yang berada di samping Alyas. “Andini gadis yang sangat baik, walaupun saya telah menzalimi dia, menyeret dia dalam kehidupan saya yang hancur ini, sedikitpun dia tidak mengeluh dan juga tidak mengatakan semua ini kepada kedua orang tuanya ataupun kepada ibu saya.” Jelas Alyas.Elisa menyeringai lebar, “Kamu jangan terlalu fokus kepada Andini, biarkan dia fokus untuk merawat Alif dengan baik. Kamu jangan baper dengan perhatian-perhatian dia, lagi pula dia melakukan semua itu hanya karena balas budi, uang yang sudah kamu berikan kepada kedua orang tuanya itu totalnya sangat besar, nggak mungkin
Acara di rumah Alyas nampak begitu indah dan mewah, Andini sendiri yang mendekornya dibantu dengan Para asisten rumah tangga dan juga wedding organizer. Selain acara ulang tahun, Bu Sarah ingin melihat Alyas dan Andini bersanding di pelaminan karena saat Andini dan Alyas menikah, tidak menghadirinya. “Hari ini adalah hari dimana kamu akan dikenal oleh karyawan Alyas, kamu harus dandan layaknya pengantin.” Ucap Bu Sarah memegang bahu menantunya itu sambil menatap cermin. Andini yang sudah cantik mengenakan gaun putih serta hiasan, membuatnya seperti bidadari turun dari kayangan. “Aku seharusnya mengurus Alif, Bu. Kenapa Ibu malah menghiasku seperti ini?” “Dengar Sayang! Malam ini semua teman-teman Alyas akan datang, kamu harus tampil dan memberikan kesan yang baik bagi mereka. Urusan Alif biar Ibu yang jagain sama si Bibi.” Andini memeluk mertuanya, “Bu, jarang-jarang ada seorang menantu mendapatkan sosok mertua seperti ibu. Terima kasih atas pengertiannya, perhatiannya dan juga ka
Tamu undangan perlahan mulai datang, Andini dengan ramah menyambut mereka secara sukacita, senyuman indah di bibirnya mampu membuat semua tamu undangan membicarakan Andini yang dianggap beruntung menjadi istri dari seorang CEO muda, mapan dan juga tampan. “Perkenalkan kami dari bagian administrasi, kami datang berdasarkan undangan dari Pak Alyas. Senang bisa bertemu dengan Bu Andini yang ternyata masih muda, ya!” Ucap salah seorang karyawan yang datang. “Terima kasih atas kedatangan kalian, saya mengucapkan banyak terima kasih, silahkan makan makanan yang dihidangkan.” Jawab Andini dengan senyuman yang terukir indah. Waktu menunjukkan pukul 10.00 malam, Alyas tidak juga kunjung datang. Andini berulang kali menghubungi ponsel milik suaminya itu, tapi malah tidak aktif. Melihat menantunya yang gelisah, Bu Sarah mendekat dan mengusap punggungnya. “Ada apa?” tanya Bu Sarah menenangkan. “Bu, ponselnya Mas Alyas nggak aktif-aktif. Aku jadi khawatir, ini juga udah malam, para tamu pasti
Andini mendorong Alyas hingga pria itu mundur beberapa langkah, menatapnya dengan raut wajah yang kesal. “Kenapa kamu mencium aku, apa kamu sedang mabuk?” Alyas menunduk karena malu, ia mencoba untuk menetralisir jantungnya yang berdegup kencang dengan menarik napas dalam-dalam. Setelah itu ia menatap Andini, dan kembali ke mode dinginnya. “Kamu terlalu berisik, Ibu bisa bangun dengar suara kamu.” ia kembali fokus ke bibir Andini yang basah. Andini yang merasa malu hingga pipinya berubah merah, spontan menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. “Jangan menatapku seperti itu, Mas! Aku takut kamu mabuk, aku tidak mau kita berdua kebablasan nantinya.” Alyas tersenyum simpul, “jangan geer kamu, lagi pula cuma ciuman doang, aku sering melakukan itu dengan banyak wanita, bukan kamu saja.” Celetuk Alyas bercanda dan menggoda Andini agar tidak terbawa perasaan. Menanggapi ucapan Alyas, Andini lantas berlari ke tepian kolam renang yang ada di area pesta. Gadis berambut panjang itu mencu
“Kenapa aku tidak boleh mengangkat telfon dari Haidar?” tanya Andini.“Sekarang sudah malam, waktunya istirahat. Lagi pula kenapa dia hubungi kamu di jam malam seperti ini, biar saya saja yang menjawab panggilan ponselnya.” Alyas meraih benda pipih itu dari atas meja. “Nggak usah, Mas.” “Jangan membantah ucapan saya! cepat masuk ke kamar!” Andini pun mengerutkan bibirnya dan pergi meninggalkan Alyas di taman belakang rumah beserta ponselnya yang terus berdering. ‘Heran aku sama dia, cepet banget sikapnya berubah. Kadang ngangenin, kadang nyebelin kadang bikin aku emosi, yang lebih aneh lagi aku tetap aja menyukainya.’ Gumam Andini sambil berjalan ke dalam rumah. Sementara itu Alyas mengepalkan tangannya erat, melihat nama Haidar di dalam ponsel Andini. Kemudian ia mengangkat ponselnya diawali dengan mendehem terlebih dahulu, karena tangannya sakit tidak bisa mengangkat ponsel. Alyas hanya menekan tombol berwarna biru dan menyalakan mode loudspeaker.“Hallo,” sapa Alyas. “Ini bena
Elisa merasa murka, ia berteriak merasa tidak rela. ‘Alyas adalah milikku, jika aku tidak bisa memilikinya maka tidak dengan siapapun.’ Batinnya sinis. Elisa pun mengingat kembali bagaimana ketidaksukaannya terhadap Bunga, iya memang berbuat baik terhadap Bunga tapi ketika hanya di depan Al saja. Namun jika Bunga berjauhan dengan Alyas, lain lagi ceritanya. Sehingga pada suatu hari, sekitar satu hari sebelum Bunga kecelakaan, Elisa sempat bersitegang hanya gara-gara hal sepele.Saat itu, Elisa dan Bunga tidak sengaja bertemu di salon kecantikan. Bunga melihat Elisa duduk di depan cermin sambil memuji kecantikannya sambil mengusap-ngusap wajahnya dengan tisu, wanita yang sedang hamil delapan bulan itu menyapa Elisa dengan hangat. Namun, bukannya membalas sapaan Bunga, Elisa malah fokus kepada wajahnya di cermin. Bukan sekali dua kali Elisa melakukan hal semacam itu, tapi berulang-ulang kali hingga hari itu Bunga ingin mempertanyakannya. “Kenapa setiap Mas Al jauh dari aku, kamu kayak