Elisa kembali ke dalam kamar dengan wajah yang merah penuh amarah, ia pun melempar makanan yang telah dibawa oleh BI Jumasih. Gadis cantik berdarah dingin itu kemudian mengambil pecahan dari piring itu dan menggoreskannya sedikit ke telapak tangan, kemudian darah menetes di lantai secara perlahan. Elisa pun tersenyum membayangkan Andini dengan segala macam pikiran buruk dalam benaknya. ‘Tunggu pembalasan dariku, lihat saja dalam kurun waktu beberapa hari aku akan membuat kamu menyesal karena terus saja mendekati Alyasku, sahabatku, cintaku juga calon suamiku.’ Elisa membatin kemudian tertawa lepas.Sementara itu Alyas dan Andini kembali ke kamar setelah menidurkan Alif, Andini bisa melihat betapa bahagia tersirat begitu jelas di wajah suaminya. Andini memberikan tubuhnya di atas ranjang, sedangkan Alyas di atas sofa. “Gimana perasaan kamu, Mas?” tanya Andini dari balik selimut. Alyas menoleh ke arah ranjang, iya menggelengkan kepalanya melihat Andini yang berada di dalam selimut. T
Melihat keakraban antara Alyas dan Andini membuat Elisa tersenyum, tapi tidak dengan hatinya. Dadanya terasa sesak ingin sekali ia memaki dan juga meneriaki Andini, demi Citra baiknya di depan Alyas dan Bu Sarah ia memendam perasaan kesalnya itu diam-diam. ‘Si Andini sekarang tingkahnya makin nyebelin aja, belum tau aja dia, kalau aku orang yang nggak suka ngeliat cewek senyum sama Al.’ Elisa membatin. “Kalau kalian memang mau pergi, kenapa nggak bareng aja?” tanya Bu Sarah. Alyas spontan menoleh ke arah Andini yang sedang mengunyah sarapannya, ‘Aku sih mau-mau aja nganterin dia, Bu. Tapi aku takut salah ngomong, salah tingkah, makin hari aku takut tidak bisa mengendalikan perasaanku dan keceplosan.’ Batinnya. Andini melirik Alyas, yang ternyata sedang menatapnya. Ia pun tersenyum simpul merasa kisah kasih cintanya didukung oleh sang mertua. ‘Aku sih nunggu banget Mas Alyas nawarin berangkat bareng, tapi apa iya dia mau?’ hatinya terus berbicara. “Maaf Bu, Alyas tidak bisa mengan
Alyas yang sedang mengendarai mobil, lantas memasang headset bluetooth di telinganya, kemudian ia menghubungi seseorang dengan sangat serius. “Halo,” sapa Alyas.“Iya hallo, ada apa Pak?” “Ada hal yang sangat penting, harus kita bicarakan.” “Oke, Pak saya on the way ke tempat Bapak.”“Tidak perlu, saya akan ke tempat kamu.” Kemudian Alyas menutup ponsel dan menginjak pedal gas dengan cepat. ‘Tunggu aku Andini,’ batinnya benar-benar merasa khawatir. *Sementara itu, Andini berada di tempat yang sangat menyeramkan. Suasananya tampak sepi dan jauh dari keramaian.Sebelum sampai di tempat itu, Andini sudah menjadi target seseorang sejak keluar dari rumah besar Alyas. Dari mulai naik grab hingga sampai ke kampus, menunggunya keluar sampai berjam-jam. Semuanya ada lima orang pria bertubuh tegap tinggi dengan satu orang yang memakai topeng. Saat itu, Andini keluar dari kampus sambil menatap layar ponselnya. Dan memang selama di kampus, ia sengaja tidak mengaktifkan ponselnya supaya tid
Andini berjalan dengan sangat cepat, berharap setelah membuka pintu ia akan menemukan jalan untuk kembali pulang. Namun, setelah membuka pintu, matanya terbelalak melihat sesuatu yang sama sekali tidak terbayangkan oleh dirinya. Bukan jalan raya ataupun rumah warga, yang Andini lihat hanya ada lautan yang sangat luas.‘Ya Allah …, ada apa lagi ini?’ tanya Andini dalam hati, sambil mengelus dada. “Ha …” Terdengar suara pria tertawa dari lantai atas, seketika Andini menoleh ke arah itu sambil mengepalkan tangan. “Percuma saja kamu kabur, di luar nggak ada angkot, nggak ada bis ataupun angkot. Kecuali kamu punya teman putri duyung dan bisa bawa kamu keluar dari pulau ini. Ha …” Ucap pria bertopeng sambil tertawa bersama dengan kelima pria lainnya. “Kamu juga harus tahu, di sekitar gedung ini ada mangrove, di sana ada banyak binatang buas yang mungkin akan menyukaimu. Sudahlah jangan keluar, kamu lebih aman di tempat ini, bersama kami.” “Aku lebih baik tinggal di luar sana sendirian,
Andini bangun dari tidurnya dan kaget melihat keadaan sekitar sudah gelap, ia pun terbangun sambil meringis kesakitan akibat luka duri yang melukai telapak tangannya. Beruntung saat itu bulan sedang memancarkan cahaya purnama nya, sehingga ia bisa sedikit melihat area sekitar yang menyeramkan. Gadis berambut panjang itu, mencoba melangkahkan kaki sambil menggenggam pistol yang ia bawa dari gedung kosong tadi. ‘Semoga saja aku bisa menemukan jalan pulang, semoga saja ada kapal yang lewat. Aku harus ke tepi pantai, bukan berdiam diri di bawah pohon begini. Udah kayak Kunti aja.’ Batinnya sambil mendongakkan wajahnya untuk melihat pohon besar yang ada di atasnya. Seketika bulu kuduknya berdiri, di iringi munculnya suara burung hantu. Andini mengusap punduk nya perlahan agar rasa takutnya berkurang kemudian berjalan, tetapi baru saja hendak melangkahkan kaki, ia mendengar suara seorang pria sambil menyorotkan lampu senternya. Tidak mau ambil resiko, Andini pun bersembunyi dibalik pohon
“Saya terima nikah dan kawinnya, Andini Wijaya putri kandung Bapak Wijaya dengan maskawin uang tunai lima ratus juta rupiah dibayar tunai.” Seorang pria tampan bernama Alyas mengucapkan ijab kabul dengan suara lantang dan tegas. “Bagaimana para saksi, sah?” tanya penghulu. “Sah ….” Seketika tepukan tangan dan ucapan puji syukur terlontar dari para tamu undangan, yang sengaja datang untuk menghadiri acara pernikahan antara Alyas si pemilik salah satu perusahaan terbaik di Indonesia. Tidak membutuhkan waktu yang lama untuk menjalani proses pendekatan dengan Andini. Hanya dalam waktu satu minggu saja, Andini sudah memutuskan menerima lamaran dari pria yang tidak ia kenal karena ia yakin pilihan orang tuanya adalah yang terbaik.“Andini kamu sangat beruntung karena mendapatkan pria kaya, Kamu tidak usah lagi memikirkan masalah ekonomi karena Alyas seorang pria yang sangat mapan.” Bisik salah seorang tamu yang sengaja datang menemui Andini di pelaminan. Andini hanya tersenyum membalas
Andini benar-benar dibuat hancur oleh seorang pria yang seharusnya menjadi pelindung untuknya, ucapan dan perilaku Alyas yang di luar nalar membuatnya ingin berteriak. Namun, keadaannya tidak memungkinkan. Jangankan untuk teriak, sekedar untuk menangis, Andini harus menggigit bibirnya agar tidak menimbulkan suara. Andini kemudian teringat akan isi berkas yang diajukan oleh Alyas yang membuatnya semakin tampak menyedihkan. Ia pun duduk di atas lantai, memeluk lututnya dan menangis meratapi nasibnya yang membuatnya hampir frustasi.Tercatat dalam surat perjanjian kontrak pernikahan, Andini harus merawat anak dari Alyas yang berusia satu bulan, Andini harus menjadi sosok istri dan ibu yang baik di depan umum, yang paling membuat Andini hancur adalah dimana setelah 6 bulan pernikahan dirinya akan diceraikan. Jika Andini tidak menyetujui kontrak tersebut, mahar uang lima ratus juta harus dikembalikan.Andini ingat betul bahwa uang lima ratus juta itu sudah ia serahkan kepada kedua orang tu
"Mas kamu nggak apa-apa, kan?” tanya Andini panik mendengar suara benda terjatuh di dalam kamar mandi, terlebih lagi Alyas tidak menjawab pertanyaannya. Andini menengok kanan dan kiri mencari sesuatu yang bisa digunakan untuk membuka pintu, entah kenapa ia tidak menemukan apapun. Kemudian Andini berlari keluar kamar sambil berteriak minta tolong. “Bu …, tolong Mas Alyas!” seru Andini, setelah itu kembali lagi masuk ke dalam kamar. Bu Sarah yang sedang berada di meja makan, terhenyak kaget mendengar menantunya berteriak seperti ketakutan. Ia pun berlari takut terjadi sesuatu sambil menarik tangan asisten rumah tangganya untuk ikut. “Ayo, Bi!” Seru Bu Sarah.“Apa aku harus ikut juga, Bu?” “Siapa tahu tenaga Bibi bisa membantu.” Sesampainya di kamar Alyas, Bu Sarah tampak bingung karena tidak mendengar lagi teriakan menantunya. Ia pun langsung membuka pintu sedikit tanpa mengetuk pintu, kedua bola matanya membulat dan tersenyum simpul. BI Jumasih yang datang belakangan sampai heran
Andini bangun dari tidurnya dan kaget melihat keadaan sekitar sudah gelap, ia pun terbangun sambil meringis kesakitan akibat luka duri yang melukai telapak tangannya. Beruntung saat itu bulan sedang memancarkan cahaya purnama nya, sehingga ia bisa sedikit melihat area sekitar yang menyeramkan. Gadis berambut panjang itu, mencoba melangkahkan kaki sambil menggenggam pistol yang ia bawa dari gedung kosong tadi. ‘Semoga saja aku bisa menemukan jalan pulang, semoga saja ada kapal yang lewat. Aku harus ke tepi pantai, bukan berdiam diri di bawah pohon begini. Udah kayak Kunti aja.’ Batinnya sambil mendongakkan wajahnya untuk melihat pohon besar yang ada di atasnya. Seketika bulu kuduknya berdiri, di iringi munculnya suara burung hantu. Andini mengusap punduk nya perlahan agar rasa takutnya berkurang kemudian berjalan, tetapi baru saja hendak melangkahkan kaki, ia mendengar suara seorang pria sambil menyorotkan lampu senternya. Tidak mau ambil resiko, Andini pun bersembunyi dibalik pohon
Andini berjalan dengan sangat cepat, berharap setelah membuka pintu ia akan menemukan jalan untuk kembali pulang. Namun, setelah membuka pintu, matanya terbelalak melihat sesuatu yang sama sekali tidak terbayangkan oleh dirinya. Bukan jalan raya ataupun rumah warga, yang Andini lihat hanya ada lautan yang sangat luas.‘Ya Allah …, ada apa lagi ini?’ tanya Andini dalam hati, sambil mengelus dada. “Ha …” Terdengar suara pria tertawa dari lantai atas, seketika Andini menoleh ke arah itu sambil mengepalkan tangan. “Percuma saja kamu kabur, di luar nggak ada angkot, nggak ada bis ataupun angkot. Kecuali kamu punya teman putri duyung dan bisa bawa kamu keluar dari pulau ini. Ha …” Ucap pria bertopeng sambil tertawa bersama dengan kelima pria lainnya. “Kamu juga harus tahu, di sekitar gedung ini ada mangrove, di sana ada banyak binatang buas yang mungkin akan menyukaimu. Sudahlah jangan keluar, kamu lebih aman di tempat ini, bersama kami.” “Aku lebih baik tinggal di luar sana sendirian,
Alyas yang sedang mengendarai mobil, lantas memasang headset bluetooth di telinganya, kemudian ia menghubungi seseorang dengan sangat serius. “Halo,” sapa Alyas.“Iya hallo, ada apa Pak?” “Ada hal yang sangat penting, harus kita bicarakan.” “Oke, Pak saya on the way ke tempat Bapak.”“Tidak perlu, saya akan ke tempat kamu.” Kemudian Alyas menutup ponsel dan menginjak pedal gas dengan cepat. ‘Tunggu aku Andini,’ batinnya benar-benar merasa khawatir. *Sementara itu, Andini berada di tempat yang sangat menyeramkan. Suasananya tampak sepi dan jauh dari keramaian.Sebelum sampai di tempat itu, Andini sudah menjadi target seseorang sejak keluar dari rumah besar Alyas. Dari mulai naik grab hingga sampai ke kampus, menunggunya keluar sampai berjam-jam. Semuanya ada lima orang pria bertubuh tegap tinggi dengan satu orang yang memakai topeng. Saat itu, Andini keluar dari kampus sambil menatap layar ponselnya. Dan memang selama di kampus, ia sengaja tidak mengaktifkan ponselnya supaya tid
Melihat keakraban antara Alyas dan Andini membuat Elisa tersenyum, tapi tidak dengan hatinya. Dadanya terasa sesak ingin sekali ia memaki dan juga meneriaki Andini, demi Citra baiknya di depan Alyas dan Bu Sarah ia memendam perasaan kesalnya itu diam-diam. ‘Si Andini sekarang tingkahnya makin nyebelin aja, belum tau aja dia, kalau aku orang yang nggak suka ngeliat cewek senyum sama Al.’ Elisa membatin. “Kalau kalian memang mau pergi, kenapa nggak bareng aja?” tanya Bu Sarah. Alyas spontan menoleh ke arah Andini yang sedang mengunyah sarapannya, ‘Aku sih mau-mau aja nganterin dia, Bu. Tapi aku takut salah ngomong, salah tingkah, makin hari aku takut tidak bisa mengendalikan perasaanku dan keceplosan.’ Batinnya. Andini melirik Alyas, yang ternyata sedang menatapnya. Ia pun tersenyum simpul merasa kisah kasih cintanya didukung oleh sang mertua. ‘Aku sih nunggu banget Mas Alyas nawarin berangkat bareng, tapi apa iya dia mau?’ hatinya terus berbicara. “Maaf Bu, Alyas tidak bisa mengan
Elisa kembali ke dalam kamar dengan wajah yang merah penuh amarah, ia pun melempar makanan yang telah dibawa oleh BI Jumasih. Gadis cantik berdarah dingin itu kemudian mengambil pecahan dari piring itu dan menggoreskannya sedikit ke telapak tangan, kemudian darah menetes di lantai secara perlahan. Elisa pun tersenyum membayangkan Andini dengan segala macam pikiran buruk dalam benaknya. ‘Tunggu pembalasan dariku, lihat saja dalam kurun waktu beberapa hari aku akan membuat kamu menyesal karena terus saja mendekati Alyasku, sahabatku, cintaku juga calon suamiku.’ Elisa membatin kemudian tertawa lepas.Sementara itu Alyas dan Andini kembali ke kamar setelah menidurkan Alif, Andini bisa melihat betapa bahagia tersirat begitu jelas di wajah suaminya. Andini memberikan tubuhnya di atas ranjang, sedangkan Alyas di atas sofa. “Gimana perasaan kamu, Mas?” tanya Andini dari balik selimut. Alyas menoleh ke arah ranjang, iya menggelengkan kepalanya melihat Andini yang berada di dalam selimut. T
Melanjutkan Bab 17 di mana Andini merasa sedih di saat mengetahui bahwa Elisa akan tinggal di rumahnya. ‘Ya Allah, bantu aku untuk menyelesaikan masalah ini. Aku tidak mau tinggal di rumah di mana di rumah ini ada wanita lain yang bukan muhrimnya suami hamba sendiri. Aku bukan orang baik, aku bukan orang yang ahli dalam ilmu agama tapi aku tahu batasan-batasan itu. Dan aku juga punya alasan lain daripada itu, iya aku merasa cemburu.’ Batin Andini mengusap air matanya yang menetes. Ceklek …Terdengar suara pintu terbuka, Andini tidak mau menoleh dan tetap menatap cermin yang ada di hadapannya.“Emz … maaf kalau saya membuat kamu sakit hati. Elisa sekarang ini sedang sakit, Saya harap kamu bisa mengerti.” Jelas Alyas, melihat keadaan istrinya yang sedang bersedih di depan meja rias. “Berbuatlah sesuka hati kamu, Mas! Lagi pula walaupun aku melarang, kamu tidak akan pernah menyetujuinya, kan? aku ini cuma istri kontrak, istri yang tidak diinginkan, istri yang tidak punya power, istri
POV Alyas saat pertama kali bertemu Andini.Aku menikah dengan Andini iya memang karena perintah dari Ibuku awalnya, tetapi ada hal lain yang membuatku yakin jika dia adalah wanita yang baik yang bisa menjadi Ibu pengganti untuk Alif. Di suatu hari aku sedang melihat proyek perumahan yang akan di bangun oleh perusahaanku di sekitaran kampung Andini kala itu, aku sedang berada dalam mobil memainkan ponsel. Tiba-tiba mobil berhenti dan aku pun tertegun, kemudian menegur sopir. “Pak ada apa?” tanyaku.“Pak di depan ada jalannya sangat rusak, Pak Alyas yakin mau tetap dalam mobil? kalau memang mau kita terobos aja gimana?” Aku menatap jalanan yang ada di depan, yang kulihat bukanlah jalan, melainkan tanah merah yang bercampur dengan air hujan. “Itu bukan jalan Pak, tapi itu lumpur. Ya sudah kalau begitu saya mau turun saja, kita jalan kaki aja.” Aku membuka pintu mobil dan mengganti sepatu pantofel mahalku dengan …“Ini sendal jepitnya, Pak!” kata supirku yang menyodorkan sandal jepit
“Beneran kamu nggak cemburu melihat aku dekat sama Haidar?” tanya Andini sambil melihat benda di kursi belakang. “Enggak lah, ngapain saya cemburu sama Haidar, dia itu bukan siapa-siapa kamu, kan? Aku cuma kamu mau selama menjadi istri saya jangan pernah membuat nama baik saya menjadi buruk di hadapan orang lain. Nanti, kalau kontrak pernikahan kita sudah selesai, kamu baru boleh dekat dengan siapapun yang kamu mau.” Jelas Alyas. “Okelah, tapi kalau kamu memang nggak cemburu melihat kedekatan aku sama Haidar, lantas yang ada di kursi belakang itu apa?” Alyas menoleh ke arah belakang, terdapat buket bunga mawar merah yang jauh lebih besar dari yang diberikannya kepada Elisa. Karena mobil sedang ada di bahu jalan, Andini pun penasaran hingga membuka pintu mobil untuk mengecek apa yang berada di kursi belakang mobil itu. “Hei kamu mau kemana?” tanya Al heran. “Aku melihat sebenarnya buket bunga itu untuk siapa, kamu kan tadi udah ngasih bunga buat Elisa terus itu yang di belakang bua
Alyas keluar dari kamar rawat inap Elisa, pria berusia 30 tahun itu keluar sambil mendorong Elisa untuk memberikan kabar mengejutkan untuk Andini. Di tengah area rumah sakit, Alyas memberikan buket bunga berwarna merah muda untuk memberikan support kepada sahabatnya itu agar semangat untuk menjalani kehidupan selanjutnya. Dokter yang memeriksa keadaan Elisa mengatakan jika gadis itu sedang tidak baik-baik saja, selain luka akibat kecelakaan yang mengakibatkan luka-luka di sekujur tubuh dan wajahnya, Elisa juga ternyata punya penyakit yang sangat parah. “Buket bunga ini melambangkan wajah kamu yang sekarang sedang memerah.” Ucap Alyas menatap Elisa yang sedang memegang bunga pemberian darinya, tampak begitu bahagia. “Ini beneran buat aku, Al?” Elisa juga menatap Alyas dari kursi roda. “Iya itu buat kamu, apa kamu baru tau kalau aku orangnya romantis seperti ini?” “Terima kasih …,” Elisa tersenyum beberapa menit, kemudian berubah menjadi kecut dan menyedihkan. “Kenapa tiba-tiba waja