“Saya terima nikah dan kawinnya, Andini Wijaya putri kandung Bapak Wijaya dengan maskawin uang tunai lima ratus juta rupiah dibayar tunai.” Seorang pria tampan bernama Alyas mengucapkan ijab kabul dengan suara lantang dan tegas.
“Bagaimana para saksi, sah?” tanya penghulu.
“Sah ….”
Seketika tepukan tangan dan ucapan puji syukur terlontar dari para tamu undangan, yang sengaja datang untuk menghadiri acara pernikahan antara Alyas si pemilik salah satu perusahaan terbaik di Indonesia. Tidak membutuhkan waktu yang lama untuk menjalani proses pendekatan dengan Andini. Hanya dalam waktu satu minggu saja, Andini sudah memutuskan menerima lamaran dari pria yang tidak ia kenal karena ia yakin pilihan orang tuanya adalah yang terbaik.
“Andini kamu sangat beruntung karena mendapatkan pria kaya, Kamu tidak usah lagi memikirkan masalah ekonomi karena Alyas seorang pria yang sangat mapan.” Bisik salah seorang tamu yang sengaja datang menemui Andini di pelaminan.
Andini hanya tersenyum membalas segala bentuk pujian yang terucap dari para tamu yang datang, sesekali ia menoleh ke arah Alyas yang duduk di sebelahnya, berharap Alyas adalah sosok suami yang tepat untuknya. Gadis berusia 20 tahun itu tidak melihat kejanggalan di sepanjang prosesi pernikahan karena Alyas menampakkan sifat sosok pria yang hangat, murah senyum kepada semua orang juga terhadap dirinya.
Hingga proses Akad nikah dan penerimaan tamu selesai, kemudian Andini diserahkan langsung oleh kedua orangtuanya untuk di bawa ke rumah Alyas. Di situ ada tangisan haru dan bahagia, sedih karena jauh dari orangtuanya, bahagia karena akhirnya bisa mendapatkan jodoh yang baik juga mendapatkan restu orang tua.
***
Beberapa jam kemudian, Andini tiba di rumah besar Alyas, wajahnya tampak masih berseri-seri mendapatkan sambutan hangat dari mertuanya.
“Alhamdulillah akhirnya kamu datang juga, Ibu sudah nunggu kamu dari tadi.” Ucap wanita berusia 50 tahun bernama Sarah, ia menyambut Andini dengan mendekapnya erat.
Andini menyambut dekapan itu dengan perasaan berbunga-bunga, “terimakasih sudah menyambut aku, Ibu,” imbuhnya.
Melihat Andini dan ibunya berpelukan, Alyas terlihat tidak senang. Pria itu lantas menaiki anak tangga meninggalkan istri dan ibunya di ruang tamu sambil menggelengkan kepalanya.
“Sudah, Nak!” Sarah melepaskan dekapan kepada menantunya itu. “Kamu harus segera naik, Alyas sudah nunggu kamu!”
Andini tersipu malu, mendengar ucapan mertuanya itu. “Iya, Bu.”
“Naiklah!” Sarah mempersilahkan Andini untuk segera naik.
Andini benar-benar dibuat salah tingkah oleh mertuanya itu.
Andini perlahan berjalan menaiki anak tangga, jantungnya berdegup dengan sangat cepat, bibir tipisnya tersenyum simpul memikirkan apa yang akan terjadi di atas sana. ‘Aku tidak percaya malam ini adalah malam pertamaku dengan Mas Alyas, walau kami belum begitu saling mengenal, semoga saja di malam pertama ini kami bisa menjadi jauh lebih akrab lagi.’
Tok … tok … tok …
Dengan tangan yang bergetar, Andini memberanikan diri untuk mengetuk pintu.
“Masuk saja! pintunya tidak dikunci,” ucap Alyas.
Ceklek
Andini membuka pintu, sontak kedua bola matanya membulat melihat kamar yang indah dengan dekorasi khas malam pertama yang di taburi banyak bunga dan warna. Gadis itu tampak bahagia, bisa beristirahat di dalam kamar yang indah itu. Namun, ada sesuatu yang membuatnya tertegun, yaitu pada saat melihat pigura foto berukuran besar yang terpampang di dinding tembok kamar. Wanita berambut panjang itu mengerutkan keningnya merasa heran, seketika ada banyak pertanyaan yang muncul di benaknya. Setelah itu, Andini melirik ke arah suaminya yang tengah duduk di sofa sambil memegang secarik kertas dan pulpen.
“Mas, siapa wanita yang sedang kamu peluk di dalam foto itu?” tanya Andini.
Alyas menoleh ke arah foto yang ditunjuk oleh Andini, “oh foto itu, itu adalah istri saya.”
Deg!
Andini sontak terkejut, ia lantas mematung di ambang pintu sambil menatap suaminya.
“Kenapa kamu menatap saya seperti itu?” tanya Alyas dengan tatapan yang lebih menuntut.
“Jika yang ada di dalam foto itu adalah istri kamu, lantas aku ini siapa?” wanita cantik itu bertanya dengan mata yang sudah berkaca-kaca.
“Kamu adalah istri kedua saya.” jawab Alyas santai.
“Jadi aku istri kedua?”
“Iya.” Jawab Alyas tanpa merasa bersalah sedikitpun.
“Tapi kenapa kamu nggak pernah bilang sebelumnya, Mas?”
“Saya sudah bilang sama Ayah kamu, dia juga sudah meyakinkan saya bahwa kamu juga pasti akan setuju.”
Andini menggelengkan kepalanya merasa tidak percaya, ‘Kenapa Ayah tidak pernah bicara apa-apa tentang istri pertama Mas Alyas? ya Allah lindungilah hambamu ini dari orang-orang yang berniat jahat.’
Sambil mengusap air mata yang jatuh tanpa ia sadari, Andini berusaha untuk menguatkan diri dan hatinya meminta penjelasan.
“La lantas dimana dia? kenapa dia tidak menentang pernikahan kita? kenapa aku tidak melihat keberadaannya selama proses pernikahan kita?” Andini berbicara tanpa jeda hingga membuat Alyas kesal.
Mendengar ucapan Andini, membuat tangan Alyas bergetar hebat. Ia pun beranjak dari sofa dan berjalan mendekat ke arah gadis yang wajahnya sudah basah dengan air mata. Alyas menutup mulut Andini yang terus saja bertanya dengan jari telunjuknya.
“Dia tidak bisa mencegah pernikahan ini, walaupun saya ingin sekali dia datang dan menghentikan pernikahan kita.” Seru Alyas emosional.
Kedua bola mata antara Alyas dan Andini bertemu dengan sangat dekat, kedua pasang mata itu sama-sama memiliki amarah di dalamnya. Jantungnya sama-sama berdegup dengan cepat, walau bagaimanapun ini kali pertama mereka bersentuhan.
“Jangan pernah bermain api dengan yang namanya pernikahan, Mas!” seru Andini menghempaskan tangan Alyas yang menutup bibirnya. “Pernikahan kita sudah sah, baik itu secara agama dan juga negara.”
“Sebagai wanita kau juga harus menjaga ucapan kamu, Jangan pernah menanyakan sesuatu yang bisa membuat orang lain kembali terluka.”
“Maksud kamu itu apa sih, Mas?” Andini semakin frustasi dan bingung.
Alyas kemudian menarik tangan Andini untuk duduk di sofa secara kasar, kemudian ia memberikan pulpen dan secarik kertas yang berada di atas meja untuk ditandatangani. Tangan dan kaki Andini sampai bergetar saking terkejutnya dengan sikap Alyas tersebut.
“Apa yang sebenarnya kamu mau, Mas? Jujur aku sangat takut dengan sikap kamu ini.” Andini menoleh ke arah Alyas yang sedang berdiri di hadapannya dengan tetesan air mata yang mulai berjatuhan.
“Cepat tanda tangani berkas itu!” tunjuk Alyas.
“Enggak, aku tidak mau menandatangani berkas apapun, Mas.”
“Kamu harus menandatangani berkas yang berisi kontrak pernikahan kita.”
Deg!
Jantung Andini terasa berhenti untuk sesaat. “Apa katamu, Mas? kontrak pernikahan?” Andini menatap wajah Alyas yang penuh dengan tuntutan.
Kemudian ia menatap berkas yang tergeletak di atas meja, dengan tangan yang bergetar Andini mulai memegang berkas dan membaca setiap kata yang terdapat di dalamnya. Bulir bening dari sudut matanya terus berjatuhan hingga membasahi berkas itu.
“Kamu harus menandatanganinya, jika tidak akan ada masalah besar yang harus kamu hadapi.” Jelas Alyas menatap Andini yang tampak tidak berdaya lagi.
“Kenapa kamu setega ini sama aku, Mas? aku punya salah apa sama kamu?”
Tidak mau menjawab pertanyaan dari istri barunya itu, Alyas kemudian membaringkan tubuhnya di atas ranjang.
Sedangkan Andini terus menerus menangis merasa tidak percaya dengan keadaannya saat ini, malam pertama yang seharusnya menjadi malam yang indah dan membahagiakan. Namun, malam pertamanya ini menjadi awal kemalangan dalam hidupnya.
Duar …
Terdengar suara gemuruh dari awan hitam, tidak berapa lama kemudian turunlah hujan deras membasahi tanah di sekitarnya. Andini duduk di tepi jendela menatap derasnya air hujan sambil membalas pesan singkat dari kedua orang tuanya.
“Aku baik-baik saja, Bu. Mas Alyas memperlakukanku dengan sangat baik. Ibu tidak usah khawatir, ya!” Tulis Andini lewat pesan singkat.
Andini menutup mata dan di saat bersamaan terja
tuh air mata di atas benda pipih yang berisi pesan singkat yang ia kirimkan untuk ibunya.
To be continued
Andini benar-benar dibuat hancur oleh seorang pria yang seharusnya menjadi pelindung untuknya, ucapan dan perilaku Alyas yang di luar nalar membuatnya ingin berteriak. Namun, keadaannya tidak memungkinkan. Jangankan untuk teriak, sekedar untuk menangis, Andini harus menggigit bibirnya agar tidak menimbulkan suara. Andini kemudian teringat akan isi berkas yang diajukan oleh Alyas yang membuatnya semakin tampak menyedihkan. Ia pun duduk di atas lantai, memeluk lututnya dan menangis meratapi nasibnya yang membuatnya hampir frustasi.Tercatat dalam surat perjanjian kontrak pernikahan, Andini harus merawat anak dari Alyas yang berusia satu bulan, Andini harus menjadi sosok istri dan ibu yang baik di depan umum, yang paling membuat Andini hancur adalah dimana setelah 6 bulan pernikahan dirinya akan diceraikan. Jika Andini tidak menyetujui kontrak tersebut, mahar uang lima ratus juta harus dikembalikan.Andini ingat betul bahwa uang lima ratus juta itu sudah ia serahkan kepada kedua orang tu
"Mas kamu nggak apa-apa, kan?” tanya Andini panik mendengar suara benda terjatuh di dalam kamar mandi, terlebih lagi Alyas tidak menjawab pertanyaannya. Andini menengok kanan dan kiri mencari sesuatu yang bisa digunakan untuk membuka pintu, entah kenapa ia tidak menemukan apapun. Kemudian Andini berlari keluar kamar sambil berteriak minta tolong. “Bu …, tolong Mas Alyas!” seru Andini, setelah itu kembali lagi masuk ke dalam kamar. Bu Sarah yang sedang berada di meja makan, terhenyak kaget mendengar menantunya berteriak seperti ketakutan. Ia pun berlari takut terjadi sesuatu sambil menarik tangan asisten rumah tangganya untuk ikut. “Ayo, Bi!” Seru Bu Sarah.“Apa aku harus ikut juga, Bu?” “Siapa tahu tenaga Bibi bisa membantu.” Sesampainya di kamar Alyas, Bu Sarah tampak bingung karena tidak mendengar lagi teriakan menantunya. Ia pun langsung membuka pintu sedikit tanpa mengetuk pintu, kedua bola matanya membulat dan tersenyum simpul. BI Jumasih yang datang belakangan sampai heran
Setelah membuka pintunya, Andini mengernyitkan dahinya. Perlahan mata terpejam tanpa disadari, melihat suaminya sendiri datang ke hotel membawa wanita lain, dalam keadaan mabuk. Yang lebih menyakitkan hati, wanita itu bukan Bunga, istri pertamanya Alyas. “Maksud kamu apa, Mas?” tanya Andini. Alyas cuma senyum-senyum aja, kadang dia menoleh ke arah wanita yang ada disampingnya. Kemudian menyingkirkan tubuh Andini dari ambang pintu karena menghalangi jalan. “Minggir…,” katanya. “Hei, jangan buat aku marah, ya!” teriak Andini merasa tidak dihargai. Wanita yang bersama dengan Alyas adalah Elisa, sahabatnya sejak kecil. Wanita itu mengenakan pakaian terbuka yang layaknya wanita penghibur. Elisa tahu benar sifat dan rahasia Alyas, maka dari itu ia menganggap Andini hanya orang lain. Tanpa meminta persetujuan Andini, dengan percaya dirinya Elisa membaringkan tubuh Alyas di atas kasur.Andini yang emosional lalu menarik rambut Elisa, “Hei, kamu siapa? Beraninya kamu menyentuh suamiku.” Ta
"Haidar …” ucap Andini.“Iya aku Haidar.” Tanpa meminta persetujuan dari gadis itu, Haidar memeluk Andini. “Kamu apa kabar? sudah lama aku ingin sekali bertemu sama kamu, tapi aku nggak punya waktu. Aku tidak menyangka bisa bertemu sama kamu di sini.” Andini berontak kemudian sedikit mendorong Haidar agar ia bisa lepas dari pelukannya, “aku baik-baik saja.” “Ngomong-ngomong kamu kenapa ada di sini? bukannya kata ibu kamu, kamu itu udah nikah.” Haidar penasaran. “Iya, aku memang sudah menikah,” imbuhnya. “Lah terus dimana suami kamu? kenapa suami kamu membiarkan kamu ujan-ujanan di jam malam seperti ini? Atau jangan-jangan suami kamu tidak memperlakukanmu dengan baik? kamu menikah karena dijodohkan, sama Bapak kamu?’’ Haidar bertanya-tanya kemudian menajamkan pandangannya di area mata Andini. “Sebagai sahabat kamu dari kecil aku sudah tahu kondisi wajah kamu seperti ini itu pasti habis nangis, iya kan?” “Enggak, kok!” Andini berusaha sebaik mungkin agar sahabatnya itu tidak curiga
Andini benar-benar terkejut mendengar perintah dari Alyas. “Ngapain kamu nyuruh aku buka pakaian? dasar otak mesum. Tadi kamu sudah mencium bibir Elisa, entah apa yang biasa kalian lakukan hingga mau-maunya bersentuhan walau tidak punya ikatan pernikahan.” Ucap Andini sambil menutup dadanya dengan kedua tangan. Alyas terkekeh kemudian mendekatkan wajahnya dengan Andini. “Jangan geer dan juga jangan suka buruk sangka, lagipula saya juga nggak mau nyentuh kamu. Buka pakaianmu di kursi bagian belakang mobil sekarang juga! di sana ada banyak pakaian. Gantilah pakaianmu yang basah itu, nanti kalau kamu sakit, Ibu bisa nyalahin saya.” Andini membulatkan kedua matanya, ia tidak menyangka bahwa Alyas cukup perhatian juga. “Jangan pernah berpikir macam-macam! saya melakukan semua ini karena Ibu.”“Iya …, iya, lagian siapa juga yang geer.” Sambung Andini sambil membuka pintu mobil dan berpindah tempat ke belakang, walau masih kesal dengan tingkah Alyas ketika bersama wanita lain, ia berusah
Andini tidak sengaja melihat ada Alyas di ambang pintu, sontak ia tersenyum. Dirinya sudah tidak sabar ingin melihat sosok ayah yang baik dari seorang Alyas. Namun, prediksinya salah total karena Alyas tidak masuk ke dalam kamar melainkan berbalik badan dan pergi meninggalkan kamar ibunya. ‘Heh … dasar manusia aneh,’ gumam Andini. “Mas …!” panggil Andini. “Loh memangnya ada Ada Al disini?” tanya Bu Sarah, tengok kanan dan kiri tetapi tidak melihat siapapun masuk ke dalam kamarnya. “Ada Bu. Barusan aku lihat Mas Al ada di dekat pintu. seharusnya kan, dia masuk ke kamar ini, setelah itu menyambut anaknya dengan bahagia. Kenapa Mas Al tidak melakukan hal yang sesederhana itu?” Bu Sarah menganggukkan kepalanya, ‘Alyas tidak akan berani mendekati Alif, sungguh malang sekali nasib anak dan cucuku ini ya Allah, persatukanlah mereka secepatnya.’“Bu …, kenapa ibu malah melamun?” Andini mengusap lembut tangan mertuanya. Bu Sarah tersenyum, kemudian menatap Andini. “Maaf barusan Ibu kepiki
“Memangnya kenapa sih, Mas? kalau kita berhubungan suami istri?” tanya Andini menatap tajam wajah suaminya itu. “Saya cuma tidak mau berbuat banyak dosa, jika kita berhubungan suami istri ditakutkan kamu hamil, sedangkan kita akan bercerai 6 bulan lagi. Please katakan yang sejujurnya Jangan menambah beban pikiran saya!” Alyas melipat kedua tangan di hadapan Andini. Deg …Andini seketika terdiam, ia beranjak pergi ke kamar mandi untuk bersiap memulai tugas barunya sebagai ibu pengganti. Sedangkan Alyas diam terpaku melihat gadis itu tidak menjawab pertanyaannya. “Hei … apa salahnya sih, jika saya mempertanyakan kejujuran kamu, Ndin.” “Kenapa kau malah diam?” Andini tetap berjalan menuju kamar mandi tanpa memperdulikan suaminya. “Terserah kamu mau anggap diamku ini apa, capek aku ngejelasinnya.” “Oh berarti memang tidak terjadi apa-apa, ya! syukurlah kalau begitu.” Sambung Alyas merasa lega. Tiba di dalam kamar mandi, Andini langsung menekan tombol shower, ia memejamkan mata di b
Elisa merasa darahnya seolah mendidih di saat melihat Andini yang sudah memegang cake coklat, dengan lilin yang menyala di atasnya. “Selamat ulang tahun … selamat ulang tahun … selamat ulang tahun Mas Alyas selamat ulang tahun …!” Andini menyanyikan lagu itu dengan perasaan suka cita. Alyas yang baru saja keluar dari pintu kamar mandi, sontak kaget melihat gadis kecil yang ada di hadapannya menyanyikan lagu dengan begitu ceria. Ada perasaan haru dan juga bahagia karena masih ada orang yang mengingat hari kelahirannya. ‘Ngomong-ngomong tahu dari mana kalau hari ini hari ulang tahunku,’ batinnya.“Sekarang tiup lilinnya dan sebelum itu berdoalah terlebih dahulu!” seru Andini. Alyas langsung menutup mata kemudian berdo’a dalam hati. ‘Berikanlah kebahagiaan dimanapun Bunga berada, berikanlah hamba kesabaran menjalani hidup dunia ini tanpa dirinya.’ Andini terus saja senyum-senyum melihat suaminya sedang berdoa di dalam hatinya, ia yang sedang memegang cake coklat itu terpesona dengan
Andini bangun dari tidurnya dan kaget melihat keadaan sekitar sudah gelap, ia pun terbangun sambil meringis kesakitan akibat luka duri yang melukai telapak tangannya. Beruntung saat itu bulan sedang memancarkan cahaya purnama nya, sehingga ia bisa sedikit melihat area sekitar yang menyeramkan. Gadis berambut panjang itu, mencoba melangkahkan kaki sambil menggenggam pistol yang ia bawa dari gedung kosong tadi. ‘Semoga saja aku bisa menemukan jalan pulang, semoga saja ada kapal yang lewat. Aku harus ke tepi pantai, bukan berdiam diri di bawah pohon begini. Udah kayak Kunti aja.’ Batinnya sambil mendongakkan wajahnya untuk melihat pohon besar yang ada di atasnya. Seketika bulu kuduknya berdiri, di iringi munculnya suara burung hantu. Andini mengusap punduk nya perlahan agar rasa takutnya berkurang kemudian berjalan, tetapi baru saja hendak melangkahkan kaki, ia mendengar suara seorang pria sambil menyorotkan lampu senternya. Tidak mau ambil resiko, Andini pun bersembunyi dibalik pohon
Andini berjalan dengan sangat cepat, berharap setelah membuka pintu ia akan menemukan jalan untuk kembali pulang. Namun, setelah membuka pintu, matanya terbelalak melihat sesuatu yang sama sekali tidak terbayangkan oleh dirinya. Bukan jalan raya ataupun rumah warga, yang Andini lihat hanya ada lautan yang sangat luas.‘Ya Allah …, ada apa lagi ini?’ tanya Andini dalam hati, sambil mengelus dada. “Ha …” Terdengar suara pria tertawa dari lantai atas, seketika Andini menoleh ke arah itu sambil mengepalkan tangan. “Percuma saja kamu kabur, di luar nggak ada angkot, nggak ada bis ataupun angkot. Kecuali kamu punya teman putri duyung dan bisa bawa kamu keluar dari pulau ini. Ha …” Ucap pria bertopeng sambil tertawa bersama dengan kelima pria lainnya. “Kamu juga harus tahu, di sekitar gedung ini ada mangrove, di sana ada banyak binatang buas yang mungkin akan menyukaimu. Sudahlah jangan keluar, kamu lebih aman di tempat ini, bersama kami.” “Aku lebih baik tinggal di luar sana sendirian,
Alyas yang sedang mengendarai mobil, lantas memasang headset bluetooth di telinganya, kemudian ia menghubungi seseorang dengan sangat serius. “Halo,” sapa Alyas.“Iya hallo, ada apa Pak?” “Ada hal yang sangat penting, harus kita bicarakan.” “Oke, Pak saya on the way ke tempat Bapak.”“Tidak perlu, saya akan ke tempat kamu.” Kemudian Alyas menutup ponsel dan menginjak pedal gas dengan cepat. ‘Tunggu aku Andini,’ batinnya benar-benar merasa khawatir. *Sementara itu, Andini berada di tempat yang sangat menyeramkan. Suasananya tampak sepi dan jauh dari keramaian.Sebelum sampai di tempat itu, Andini sudah menjadi target seseorang sejak keluar dari rumah besar Alyas. Dari mulai naik grab hingga sampai ke kampus, menunggunya keluar sampai berjam-jam. Semuanya ada lima orang pria bertubuh tegap tinggi dengan satu orang yang memakai topeng. Saat itu, Andini keluar dari kampus sambil menatap layar ponselnya. Dan memang selama di kampus, ia sengaja tidak mengaktifkan ponselnya supaya tid
Melihat keakraban antara Alyas dan Andini membuat Elisa tersenyum, tapi tidak dengan hatinya. Dadanya terasa sesak ingin sekali ia memaki dan juga meneriaki Andini, demi Citra baiknya di depan Alyas dan Bu Sarah ia memendam perasaan kesalnya itu diam-diam. ‘Si Andini sekarang tingkahnya makin nyebelin aja, belum tau aja dia, kalau aku orang yang nggak suka ngeliat cewek senyum sama Al.’ Elisa membatin. “Kalau kalian memang mau pergi, kenapa nggak bareng aja?” tanya Bu Sarah. Alyas spontan menoleh ke arah Andini yang sedang mengunyah sarapannya, ‘Aku sih mau-mau aja nganterin dia, Bu. Tapi aku takut salah ngomong, salah tingkah, makin hari aku takut tidak bisa mengendalikan perasaanku dan keceplosan.’ Batinnya. Andini melirik Alyas, yang ternyata sedang menatapnya. Ia pun tersenyum simpul merasa kisah kasih cintanya didukung oleh sang mertua. ‘Aku sih nunggu banget Mas Alyas nawarin berangkat bareng, tapi apa iya dia mau?’ hatinya terus berbicara. “Maaf Bu, Alyas tidak bisa mengan
Elisa kembali ke dalam kamar dengan wajah yang merah penuh amarah, ia pun melempar makanan yang telah dibawa oleh BI Jumasih. Gadis cantik berdarah dingin itu kemudian mengambil pecahan dari piring itu dan menggoreskannya sedikit ke telapak tangan, kemudian darah menetes di lantai secara perlahan. Elisa pun tersenyum membayangkan Andini dengan segala macam pikiran buruk dalam benaknya. ‘Tunggu pembalasan dariku, lihat saja dalam kurun waktu beberapa hari aku akan membuat kamu menyesal karena terus saja mendekati Alyasku, sahabatku, cintaku juga calon suamiku.’ Elisa membatin kemudian tertawa lepas.Sementara itu Alyas dan Andini kembali ke kamar setelah menidurkan Alif, Andini bisa melihat betapa bahagia tersirat begitu jelas di wajah suaminya. Andini memberikan tubuhnya di atas ranjang, sedangkan Alyas di atas sofa. “Gimana perasaan kamu, Mas?” tanya Andini dari balik selimut. Alyas menoleh ke arah ranjang, iya menggelengkan kepalanya melihat Andini yang berada di dalam selimut. T
Melanjutkan Bab 17 di mana Andini merasa sedih di saat mengetahui bahwa Elisa akan tinggal di rumahnya. ‘Ya Allah, bantu aku untuk menyelesaikan masalah ini. Aku tidak mau tinggal di rumah di mana di rumah ini ada wanita lain yang bukan muhrimnya suami hamba sendiri. Aku bukan orang baik, aku bukan orang yang ahli dalam ilmu agama tapi aku tahu batasan-batasan itu. Dan aku juga punya alasan lain daripada itu, iya aku merasa cemburu.’ Batin Andini mengusap air matanya yang menetes. Ceklek …Terdengar suara pintu terbuka, Andini tidak mau menoleh dan tetap menatap cermin yang ada di hadapannya.“Emz … maaf kalau saya membuat kamu sakit hati. Elisa sekarang ini sedang sakit, Saya harap kamu bisa mengerti.” Jelas Alyas, melihat keadaan istrinya yang sedang bersedih di depan meja rias. “Berbuatlah sesuka hati kamu, Mas! Lagi pula walaupun aku melarang, kamu tidak akan pernah menyetujuinya, kan? aku ini cuma istri kontrak, istri yang tidak diinginkan, istri yang tidak punya power, istri
POV Alyas saat pertama kali bertemu Andini.Aku menikah dengan Andini iya memang karena perintah dari Ibuku awalnya, tetapi ada hal lain yang membuatku yakin jika dia adalah wanita yang baik yang bisa menjadi Ibu pengganti untuk Alif. Di suatu hari aku sedang melihat proyek perumahan yang akan di bangun oleh perusahaanku di sekitaran kampung Andini kala itu, aku sedang berada dalam mobil memainkan ponsel. Tiba-tiba mobil berhenti dan aku pun tertegun, kemudian menegur sopir. “Pak ada apa?” tanyaku.“Pak di depan ada jalannya sangat rusak, Pak Alyas yakin mau tetap dalam mobil? kalau memang mau kita terobos aja gimana?” Aku menatap jalanan yang ada di depan, yang kulihat bukanlah jalan, melainkan tanah merah yang bercampur dengan air hujan. “Itu bukan jalan Pak, tapi itu lumpur. Ya sudah kalau begitu saya mau turun saja, kita jalan kaki aja.” Aku membuka pintu mobil dan mengganti sepatu pantofel mahalku dengan …“Ini sendal jepitnya, Pak!” kata supirku yang menyodorkan sandal jepit
“Beneran kamu nggak cemburu melihat aku dekat sama Haidar?” tanya Andini sambil melihat benda di kursi belakang. “Enggak lah, ngapain saya cemburu sama Haidar, dia itu bukan siapa-siapa kamu, kan? Aku cuma kamu mau selama menjadi istri saya jangan pernah membuat nama baik saya menjadi buruk di hadapan orang lain. Nanti, kalau kontrak pernikahan kita sudah selesai, kamu baru boleh dekat dengan siapapun yang kamu mau.” Jelas Alyas. “Okelah, tapi kalau kamu memang nggak cemburu melihat kedekatan aku sama Haidar, lantas yang ada di kursi belakang itu apa?” Alyas menoleh ke arah belakang, terdapat buket bunga mawar merah yang jauh lebih besar dari yang diberikannya kepada Elisa. Karena mobil sedang ada di bahu jalan, Andini pun penasaran hingga membuka pintu mobil untuk mengecek apa yang berada di kursi belakang mobil itu. “Hei kamu mau kemana?” tanya Al heran. “Aku melihat sebenarnya buket bunga itu untuk siapa, kamu kan tadi udah ngasih bunga buat Elisa terus itu yang di belakang bua
Alyas keluar dari kamar rawat inap Elisa, pria berusia 30 tahun itu keluar sambil mendorong Elisa untuk memberikan kabar mengejutkan untuk Andini. Di tengah area rumah sakit, Alyas memberikan buket bunga berwarna merah muda untuk memberikan support kepada sahabatnya itu agar semangat untuk menjalani kehidupan selanjutnya. Dokter yang memeriksa keadaan Elisa mengatakan jika gadis itu sedang tidak baik-baik saja, selain luka akibat kecelakaan yang mengakibatkan luka-luka di sekujur tubuh dan wajahnya, Elisa juga ternyata punya penyakit yang sangat parah. “Buket bunga ini melambangkan wajah kamu yang sekarang sedang memerah.” Ucap Alyas menatap Elisa yang sedang memegang bunga pemberian darinya, tampak begitu bahagia. “Ini beneran buat aku, Al?” Elisa juga menatap Alyas dari kursi roda. “Iya itu buat kamu, apa kamu baru tau kalau aku orangnya romantis seperti ini?” “Terima kasih …,” Elisa tersenyum beberapa menit, kemudian berubah menjadi kecut dan menyedihkan. “Kenapa tiba-tiba waja