Audrey Alexandra Allen, perempuan alpha yang sedang kesulitan karena syarat menikah dari ayahnya untuk mendapatkan hak waris perusahaan. Dia kemudian menjerat Damar. Lelaki blasteran yang lebih muda darinya dan merupakan asisten yang baru saja masuk bekerja. Mampukah Audrey mendapatkan apa yang dia inginkan? Lalu, mampukah Damar menghadapi bos gila kerja dan ingin selalu membuat para lelaki tunduk padanya? Created: 05 Januari 2024
View More“Aku pasti sudah gila.”
Damar memegang kepalanya dengan kedua tangan dan melihat ke ranjang kosong di sebelahnya, kemudian berlanjut ke arah sekitar ranjang. Mau dilihat berapa kali pun, ada terlalu banyak pakaian yang berserakan di sekitar ranjang. Bukan hanya pakaiannya, tapi ada juga pakaian perempuan. Bahkan pakaian dalam dan sisa karet pengaman pun berhamburan di lantai. Jelas sekali kalau di sana telah terjadi begitu banyak hal liar yang bisa dia bayangkan.“Bagaimana bisa aku tidur dengan bosku sendiri, di hari pertamaku bekerja?” gumam Damar dengan wajah horor. “Apa ini gara-gara segelas kopi kemarin pagi?” Sepanjang ingatan Damar, tadi pagi ketika sampai di kantor, dirinya langsung diminta membuat kopi dengan berbagai macam topping. Anehnya, bos yang katanya perfeksionis itu dan jahat, mengatakan kalau dia menyukai kopinya. “Bagaimana bisa jadi seperti ini?” tanya Damar yang melihat ke arah kamar mandi. Dari sana, terdengar suara gemercik air yang menyatakan kalau ada orang yang sedang mandi. Jelas saja yang ada di dalam sana adalah Audrey, bos dari Damar. “Kopinya enak,” itu yang digumamkan Audrey pagi tadi. “Kau membuatnya dengan sangat sesuai seleraku.” “Terima kasih.” Tentu saja Damar akan tersenyum bangga ketika dirinya dipuji, walau untuk hal sepele. “Lulusan mana?” Enggan memuji lebih jauh, Audrey mengalihkan ke arah wawancara. Biar bagaimana, lelaki itu akan bekerja untuknya. “Universitas I, Bu.” “Kalau dilihat, kau lulus cum laude jurusan sekretaris. Kenapa jurusan sekretaris?” Audrey kembali bertanya, sembari membuka berkas CV sang asisten. “Saya lihat juga ada administrasi perkantoran di sini. Double degree?” “Saya merasa menjadi asisten pribadi seseorang itu sangat keren,” jawab Damar dengan sangat yakin dan nada kekanakan. Sangat kontras dengan wajahnya yang terlihat nakal. “Keren?” Jujur saja, Audrey agak bingung dengan yang satu ini. “Ya. Dibanding para pebisnis, saya justru melihat kalau para asisten pribadi terlihat lebih luar biasa.” Damar kembali menjelaskan. “Bukankah mereka yang menyiapkan segala sesuatunya? Kadang malah para pemimpin hanya membaca dan melakukan apa yang sudah disiapkan asisten. Jadi saya berpikir, asisten adalah orang yang serba bisa dan menjadi kunci utama para CEO.” Seumur-umur, belum pernah Audrey merasa terkesan dengan lelaki. Baru kali ini dia merasa terkesan dengan jawaban yang sangat masuk akal itu. Padahal kalau dilihat dari latar belakang pendidikan, Damar adalah orang yang luar biasa dengan tiga gelar sarjana dan dia hanya ingin menjadi asisten? “Bagaimana dengan biaya sekolahmu?” “Semuanya beasiswa,” jawab Damar makin bangga saja. “Aku punya tawaran yang lebih menarik untukmu.” Tiba-tiba saja, Audrey punya ide gila. “Apa kau mendengarku?” “Tentu saja. Saya akan mendengar dulu, walau rasanya saya akan tetap memilih untuk jadi asisten Bu Audrey.” “Pertama.” Audrey tidak langsung mengatakan keinginannya, tapi terlebih dahulu menatap lelaki di depannya. Perempuan yang sudah beberapa tahun ini menggantikan sang ayah untuk mengurus perusahaan, benar-benar menatap lelaki di depannya dengan lekat. Mulai dari wajah, bentuk tubuh, bahkan di area selangkangan. Hal yang jelas saja membuat Damar risih. “Bu Audrey,” panggil sang asisten dengan ragu-ragu. “Ayo tidur denganku.” Audrey mengatakannya dengan tegas dan tanpa ada keraguan sedikit pun. “Tidur denganku dan setelahnya aku akan mempertimbangkan untuk memberimu penawaran kedua.” “Maaf?” tanya Damar terlihat sangat terkejut. “Saya rasa saya salah dengar atau mungkin saya salah mengerti.” “Kau tidak salah dengar Damar,” desis Audrey agak kesal. “Aku mengajakmu tidur bersama. Bercinta.” *** “Apa yang kau lamunkan?” Suara feminin yang terdengar seksi itu membuat Damar tersentak. Lelaki itu kini menatap pada sang bos yang baru selesai mandi dan hanya menggunakan bathrobe saja. Pemandangan yang mengingatkannya pada kejadian panas semalam. “Kau mau mandi dulu atau kau mau membicarakan penawaran yang akan kuberikan padamu?” tanya Audrey yang kini beranjak duduk di sofa tunggal yang ada di dalam kamar hotel yang mereka sewa. “Ba ... bagaimana mungkin Bu Audrey bisa memikirkan hal seperti itu, setelah mengambil keperjakaanku?” tanya Damar dengan ragu-ragu. “Perjaka?” Audrey menaikkan sebelah alisnya. “Dengan wajah seperti itu dan berdarah blasteran, aku tidak percaya kalau kau masih perjaka.” “Tapi itu kenyataannya. Kemarin itu kali pertama saya.” “Itu juga kali pertamaku.” Mendengar jawaban itu, Damar langsung menyibak selimut. Dia melotot melihat ada sedikit noda darah di sana dan wajahnya menjadi makin horor. Dia tak menyangka perempuan dewasa seperti Audrey belum pernah berhubungan intim sebelumnya. “Kalau kau takut aku hamil, itu tidak mungkin terjadi. Kau kan pakai karet pengaman.” “Walau bukan itu yang saya maksud, tapi syukurlah kalau tidak akan terjadi kehamilan.” Damar langsung mendesah lega. Sudah lupa kalau dirinya belum berbusana sama sekali, saking leganya. “Apa kau tidak ingin punya anak?” Audrey kembali bertanya. “Bukan seperti itu, tapi saya hanya belum siap saja. Biar bagaimana, umur saya kan baru dua empat, jalan dua lima?” Kini giliran Audrey yang melotot. Dilihat dari sisi mana pun, lelaki itu tidak tampak seperti pertengahan umur dua puluhan. Damar bahkan terlihat lebih tua dari Audrey yang baru akan menginjak usia dua pulus sembilan, tapi sekarang bukan itu masalahnya. “Lupakan saja semua itu. Sekarang, aku ingin mengatakan penawaran yang kedua untukmu.” “Sebelumnya, boleh saya tahu kenapa kita harus tidur bersama?” Damar dengan cepat menyela. “Karena aku perlu tahu apakah kita cocok di ranjang, sebelum aku memberikan penawaran yang kedua untukmu.” “Tidakkah itu aneh?” tanya Damar dengan kening berkerut. “Tentang kecocokan di ranjang.” “Sama sekali tidak aneh dan aku perlu tahu. Setidaknya aku perlu tahu apa kau bisa patuh atau tidak,” jawab Audrey dengan tegasnya. Damar meringis mendengar jawaban tanpa ragu itu. Dia jadi teringat dengan hal apa saja yang diminta Audrey semalam. Padahal Damar dalam keadaan cukup sadar, tapi kenapa juga dia bisa mematuhi semua perintah sang bos? “Lalu, kalau boleh tahu, apa penawaran yang kedua itu?” Walau rasanya penawaran itu akan aneh, tapi Damar tetap ingin mendengarnya. Siapa yang tahu kalau dia bisa diberi gaji lebih besar karena untuk yang semalam saja dia dibayar lebih, jadi bisa saja yang berikutnya ada bayaran lebih lagi kan? Yah, setidaknya Damar akan mempertimbangkan jika penawarannya tidak seaneh semalam. “Menikah denganku.” Audrey mengatakannya dengan wajah datar. “Maaf?” Damar menaikkan kedua alis karena terkejut. “Menikah?” “Ya, menikah dan tentu saja kau akan diberikan bayaran lebih untuk itu. Tentu saja jika hasilnya memuaskan.” Damar menggigit bibir bawahnya mendengar penawaran gila itu. Gila, tapi menggiurkan dan juga sangat menantang.***To be continued***“Lebih cepat lagi, please.” Damar menggeram dalam suara rendah dan tertahan. “Kau pikir aku ini mesin yang bisa bergerak cepat?” jawab Audrey dengan nafas terengah. “Kakiku sudah mulai terasa pegal.” “Kalau begitu, biarkan aku mengambil alih.” Damar yang terengah pun memohon dengan sangat. “Aku mohon.” Audrey tidak menjawab, tapi dia berhenti bergerak. Kedua tangan yang tadi bertumpu pada kaki Damar, kini bergerak memeluk sang suami. Sayangnya, dia masih belum mau membiarkan lelaki itu mengambil alih kegiatan ranjang mereka dan memilih mengubah posisi saja. “Jangan bergerak.” Kali ini giliran Audrey yang menggeram, ketika merasakan sang suami menggoyangkan pinggulnya. “Aku tidak bisa menahan diri lagi, Re,” desis Damar tepat di telinga sang istri yang kini memeluknya. Dia bahkan menggigit bagian telinga itu, sebelum melanjutkan, “Tolong lepaskan ikatan di tanganku. Please.” Sungguh, Damar ingin sekali mengentak lebih keras. Dia bisa melakukan itu dalam keadaan duduk dan terikat
“Apa kau menikmati acaranya?” Audrey bertanya pada orang di depannya, dengan senyum lebar. “Kau mengejekku?” desis Patricia tampak begitu marah. “Aku hanya bertanya, Patricia. Mengejek dan bertanya jelas adalah dua hal yang berbeda.” Dua perempuan itu pada akhirnya saling menatap. Patricia dengan tatapan kemarahan disertai dendam, sementara Audrey dengan tatapan penuh kemenangan. “Re. Kau di sini.” Baru juga Patricia ingin buka mulut untuk memaki, tapi Damar sudah mendekat. Lelaki itu tampak begitu rapi dengan menggunakan tuxedo berwarna putih dan dasi kupu-kupu hitam. Penampilannya jadi makin sempurna dengan celana hitam, sapu tangan putih dan rambut tertata. “Ada Patricia rupanya.” Demi kesopanan, Damar dengan terpaksa menyapa. “Hai.” Mau tidak mau, Patricia menyunggingkan senyum. “Aku tidak tahu kalau kau benar-benar dari Italia dan punya rumah seindah ini.” “Ini bukan rumahku, tapi
“Wah, jadi ini perkebunan milik Padre?” tanya Audrey, ketika mereka baru saja memasuki kawasan penuh tanaman anggur. “Ya, kebetulan saja ini sudah dekat masa panen.” Domi yang menjawab dengan riang. “Kau bisa memetik beberapa kalau mau, sebelum semuanya dijadikan wine.” “Oh, sungguh?” Audrey tampak cukup tertarik. “Tapi apakah aku boleh mendapatkan keduanya? Anggur dan wine?” “Apa pun yang kau inginkan.” Kali ini, Damar yang menjawab. “Aku bertanya pada Padre,” balas Audrey dengan sebelah alis yang terangkat. “Ini semua akan jadi milikmu, jadi tentu kau boleh meminta apa saja.” Damar tersenyum lebar, sembari menatap sang istri. Hal yang membuat ayahnya berdecak. “Rasanya kau lebih parah, dari lelaki mana pun yang kukenal di dunia ini.” Mau tidak mau, Domi mengeluh juga. “Kalau tidak ingin dilihat, Padre tidak perlu melihat.” Audrey membalas dengan sangat kurang ajar. Mendengar itu, Domi hanya bisa mendengus saja. Dia juga tidak mungkin marah, karena biar bagaima
“Apa aku tidak salah lihat?” tanya seseorang pada Happy. “Bu Audrey dan Pak Damar bergandengan tangan?” “Sama sekali tidak,” jawab Happy dengan embusan napas pelan. “Yang kau lihat itu adalah kenyataan.” “Serius?” tanya rekan kerja Happy yang tadi. “Jadi gosip yang bilang kalau Bu Audrey mengincar Damar itu benar?” “Tidak, Sayang.” Happy menatap temannya dengan tatapan kasihan. “Sejak awal Pak Damar itu off limit. Sejak awal dia sudah sold out, alias taken.” Setelah mengatakan hal itu, Happy memilih untuk melangkah terlebih dulu dan meninggalkan temannya yang tampak sangat terkejut. Biar bagaimana, atasannya sudah datang. Dia tidak bisa lagi bersantai-santai dengan alasan habis dari membeli kopi. “Sekarang aku punya dua atasan,” gumam Happy sepelan mungkin. “Untung Pak Damar baik, tapi jelas aku harus hati-hati padanya. Kalau tidak, Bu Audrey yang akan memecatku.” *** “Perasaanku saja, atau sejak ta
“Untuk apa kau membawa buket bunga?” tanya Domi, ketika melihat sang menantu berdiri di depan pintu rumah, yang baru saja dia buka. “Aku tentu saja akan memberikan ini untuk ....” “Damar?” Fiana muncul di sebelah sang suami dengan sebelah alis terangkat. “Kau ingin memberikan bunga untuk Damar? Bukankah seharusnya terbalik?” “Tentu saja bukan untuk Damar,” jawab Audrey dengan senyum lebar. “Aku membawakan ini untuk Madre dan membawakan hadiah lain untuk Damar.” Kedua alis Fiana terangkat mendengar jawaban yang mengejutkan, tapi tetap menerima buket bunga yang dibawakan oleh menantunya. Hadiah yang sangat tidak biasa dari menantu perempuannya, sampai Audrey lupa untuk dipersilakan masuk. Untung saja Audrey yang sedikit tidak tahu malu itu, meminta izin untuk duduk di ruang tamu. Katanya, masih ada hadiah yang mau diberikan. “Cokelat untuk Madre.” Audrey mengeluarkan sekotak cokelat yang terlihat mahal. “Apa ayah mertuamu ini tidak mendapatkan apa-apa?” tanya Domi pu
“Ini benar-benar tidak masuk akal,” desis Audrey benar-benar kesal, dengan ponsel yang menempel di telinga. “Bagaimana mungkin mereka mengurung, bahkan menempatkan bodyguard di depan pintu dan di bawah jendela.” Mendengar protes dari sang istri, Damar hanya bisa tertawa pelan. Memang ini sangat tidak masuk akal, tapi kalau Audrey jadi memperhatikan dirinya seperti ini, rasanya Damar tidak akan masalah. “Mau apa lagi?” tanya damar denan senyum yang terkulum. “Walau aku sering olahraga, tapi aku tidak mungkin melawan orang-orang berbadan besar itu kan? Apalagi mereka lebih dari satu orang.” “Tapi kau kan bukan anak gadis perawan yang harus dijaga dengan bak,” hardik Audrey terlihat begitu kesal. “Aku juga bukan serigala yang akan memangsamu.” Tentu saja Damar akan tertawa mendengar hal itu. Dia merasa perumpamaan yang diucapkan oleh Audrey sangat lucu. “Bu, tolong jangan pacaran di depan saya.” Jangankan Damar, Happy saja merasa risih dan langsung menegur ketika sang atas
“Senang berkenalan dengan Anda berdua.” Carl mengulurkan tangan, disertai dengan senyuman lebar. “Hai, aku Dominique. Panggil saja Domi dan aku adalah ayah dari Damar. Lelaki yang selama ini ternyata sudah menikah dengan putrimu.” Carl sempat terdiam untuk beberapa saat, berpikir kalau dirinya baru saja diejek. Untungnya, Domi segera tersenyum lebar setelahnya. Memberitahu kalau dia hanya bercanda, walau di bawah pelototan sang istri. “Aku merasa senang karena pada akhirnya, kita semua bisa bertemu juga,” ucap Vita dengan senyum antusiasnya. “Omong-omong, ini adik Audrey. Mereka berbeda sangat jauh, tapi Brian sangat mengagumi kakaknya.” “Aku tidak suka mereka,” gumam Brian tanpa segan. “Mereka tidak akan mengambil Kak Audrey kan?” “Bukan kami yang akan mengambil kakakmu, Nak.” Carl dengan cepat menanggapi. “Tapi lelaki yang satu ini yang akan dan sudah melakukannya.” “Padre.” Damar tentu saja akan langsung menegur, ketika sang ayah menepuk pelan punggungnya. Dia tidak ingin Br
“Kau bilang apa?” tanya Damar dengan mata melotot. “Mathilda yang menyerangmu,” jawab Audrey yang tengah menggunakan rangkaian perawatan kulitnya, setelah pulang kerja. “Dia sudah mengau.” “Yang benar saja!” Damar tampak tidak percaya. “Katanya dia menyukaiku, tapi menyerangku. Apakah itu terdengar masuk akal?” “Cinta itu buta.” Audrey yang sudah selesai, kini menatap suaminya. “Dia akan melakukan apa saja, untuk menyingkirkan saingan atau mendapatkanmu. Dalam kasus ini, dia ingin menyingkirkanku. Hanya saja dia lupa kalau aku juga punya mobil Eropa dan duduk di sebelah kanan sebagai penumpang.” “Ini serius?” tanya Damar masih tampak tidak percaya. “Maksudku, dia benar-benar meminta seseorang untuk mencelakaimu?” “Kenapa? Tidak percaya?” tanya Audrey dengan mata melotot. Jujur saja, Audrey tidak suka dengan pertanyaan Damar. Lelaki itu seperti terdengar tidak rela ada yang memfitnah perempuan yang dia sukai. Audrey tidak menyukai hal itu sama sekali. “Jujur saja tidak.” Damar
“Apa maumu?” Audrey mendongak ketika mendengar suara ketus itu. Dia tersenyum, ketika melihat tamunya sudah datang. Siapa yang sangka kalau Mathilda benar-benar datang sesuai dengan keinginannya. “Aku sudah datang, jadi katakan apa maumu.” “Duduk dulu, Mathilda.” Audrey mengedikkan bahu dengan santainya, menunjuk kursi yang ada di depannya. “Kita ini sedang di tempat umum, akan jadi tontonan kalau kau terus berdiri.” Perempuan berdarah Italia itu tidak langsung duduk, dan memilih untuk melihat sekitarnya lebih dulu. Mereka sedang ada di sebuah kafe yang cukup ramai, dengan beberapa pasang mata yang menatapnya. “Katakan dengan cepat, karena aku harus ke bandara.” Pada akhirnya, Mathilda memilih untuk duduk. “Bandara?” Audrey bertanya dengan kedua alis yang terangkat. “Kau akan berangkat?” “Tentu saja aku perlu pulang ke rumah orang tuaku kan? Apa kau pikir aku akan selamanya tinggal di sini, setelah dipermalukan seperti itu?” Audrey tersenyum miring mendengar apa yang dikataka
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments