“Kau tidak perlu setegang itu. Prosesnya tidak akan lama.”
“Bagaimana mungkin saya tidak tegang?” pekik Damar dengan wajah yang sangat pucat. “Bagaimana mungkin kita menikah hanya dalam waktu seminggu saja dan sekarang Anda sedang merokok?” Audrey yang tampak tidak peduli dengan lelaki di depannya, malah menghembuskan asap rokok pada sang calon suami. Itu jelas saja membuat Damar yang tidak pernah menyentuh nikotin, jadi terbatuk-batuk cukup keras. “Semua bisa terjadi, Damar.” Setelah dua kali menghembuskan asap berbau nikotin, Audrey akhirnya berbicara. “Apalagi pernikahan ini sudah lama disiapkan oleh ibuku.” “Bagaimana mungkin sudah disiapkan tanpa adanya mempelai pria?” desis Damar ingin sekali mengumpat, tapi dia tahan. “Sebelumnya aku punya calon tunangan,” jawab Audrey dengan entengnya. “Sayang sekali dia tidak mau patuh padaku, jadi kuputuskan saja. Lagi pula tidak akan ada pesta. Hanya makan malam keluarga saja.” Kedua alis Damar terangkat. Dia jelas saja tidak menyangka, jika apa yang dia gunakan sekarang adalah bekas orang. Setidaknya, konsep pernikahan ini bukanlah miliknya. Bukankah korsase bunga dan warna jas yang dia gunakan bisa dibilang hasil pilihan lelaki entah siapa? “Walau tidak ada pesta, tapi tetap saja ada keluarga besar Anda kan?” tanya Damar yang masih terlihat frustrasi. “Bagaimana Bu Audrey akan menjelaskan ini semua?” “Cinta pada pandangan pertama?” jawab Audrey dengan santainya, tapi dia sendiri juga tidak yakin. Terdengar jelas dari nada tanya pada jawabannya. “Apa Bu Audrey pikir masih ada yang percaya seperti itu?” Sang asisten makin frustrasi saja mendengar tanggapan dari atasan, sekaligus calon istrinya. “Lupakan saja soal sesuatu yang tidak masuk akal itu.” Audrey mengibaskan tangan, kemudian mematikan batang rokok yang masih tersisa kurang dari setengah dengan sembarangan. “Lebih baik, kau perbaiki cara bicaramu itu.” “Ada apa dengan cara bicara saya?” “Cara bicaramu terlalu sopan untuk ukuran seseorang yang akan menjadi suamiku dalam beberapa jam atau bahkan beberapa menit lagi.” Damar mengedipkan matanya beberapa kali. Yang dikatakan perempuan di depannya tidak salah, tapi juga bukanlah hal yang mudah. Biar bagaimana, Audrey adalah atasannya dan kedepannya pun masih akan menjadi atasan. Untung saja keresahan itu dengan cepat menghilang karena waktunya sudah tiba. Lebih tepatnya, ibu dari Audrey masuk dan memberi tahu. “Astaga, apa yang kalian lakukan berduaan di sini?” tanya perempuan paruh baya berwajah oriental itu. “Seharusnya kalian tidak boleh bertemu sebelum resmi.” “Itu hanya mitos, Mom. Lagi pula, kami pasti bertemu setiap hari di kantor.” Bukannya mengalah, tapi Audrey malah melawan ibunya dan membuat perempuan paruh baya itu mendesah pelan. “Sudahlah. Lebih baik Damar keluar saja dulu, nanti Audrey menyusul dijemput Daddy. Kali ini jangan kabur.” Yang ditegur hanya menaikkan kedua alisnya sebagai tanggapan, sementara Damar tidak lagi heran dengan keanehan sang atasan dan keluarganya. Terjadinya pernikahan yang amat sederhana ini adalah buktinya. Mana ada seorang ayah yang setuju menikahkan putrinya, dengan lelaki yang baru ditemui? Yah, walau sebenarnya mereka sedikit berbohong juga. Tapi tetap saja terasa sangat aneh bagi Damar. Sayang sekali, lelaki itu tidak kuasa menolak. Dia merasa harus bertanggung jawab atas apa yang terjadi malam itu. “Terima kasih ya karena sudah mau menerima Audrey.” Tiba-tiba saja, ibu dari Audrey berbicara. “Kenapa Ibu berterima kasih?” tanya sang mempelai pria dengan sangat sopan. “Panggil Mommy saja. Biar sama dengan Audrey yang manja itu.” Damar menaikkan sebelah alisnya. Jujur saja, dia tidak percaya dengan apa yang barusan dia dengar. Audrey tidak mungkin manja. “Jadi kenapa Mommy berterima kasih?” Alih-alih memikirkan soal kemanjaan, calon pengantin itu memilih untuk mengulang pertanyaannya.“Karena kau mau menerima Audrey, walau sebenarnya dia itu aneh.” “Bu ... maksud saya, Audrey sama sekali tidak aneh.” Damar nyaris saja menyebut calon istrinya sebagai ‘ibu’. “Kau mungkin belum menemukan keanehannya, tapi sudah banyak orang yang mengatakan seperti itu,” balas sang Mommy dengan raut wajah sendu. “Bukannya ingin mengejek anak sendiri, tapi memang begitulah adanya.” “Tapi mungkin masalah itu nanti saja dibahas.” Sang Mommy tersenyum pada calon menantunya. “Walau sangat disayangkan karena tidak ada keluargamu yang bisa datang dan ini sebenarnya sangat tiba-tiba, tapi ini pernikahanmu. Hari bahagia, jadi kita tidak perlu membahas hal yang bikin sakit kepala.” “Tentu saja.” Ibu dari Audrey menepuk pelan lengan calon menantunya, sebelum memberi tahu Damar harus menunggu di mana. Setelah itu, perempuan paruh baya itu kembali ke tempatnya duduk. Menunggu acara benar-benar dimulai. Damar ditinggalkan sendiri di kursi. Ada kursi kosong di sebelahnya dan itu milik Audrey. Itu membuat sang mempelai menatap ke sekelilingnya. Tidak ada dekorasi mewah atau tamu berlimpah. Lagi pula, mereka hanya mengadakan acara secara kenegaraan saja. Setelah ini, baru acara makan dengan keluarga besar Audrey. “Apa yang membuatmu melamun seperti itu?” Tanpa terduga, Audrey sudah duduk di kursinya. “Hanya memikirkan masa depanku,” jawab sang asisten dengan jujur. “Tidak perlu khawatir.” Audrey menjawab dan mengabaikan apa yang dikatakan petugas catatan sipil. “Masa depanmu akan terjamin.” “Benarkah?” Damar kini mengambil pulpen karena diminta menandatangani berkas. “Saya tidak begitu yakin. “Apa mau membuat kontrak saja?” tanya Audrey lebih rasional. “Kita bisa membicarakannya setelah acara berakhir.” “Itu terdengar cukup masuk akal, tapi mari kita fokus saja dulu.” Damar pada akhirnya menandatangani berkas yang perlu dia tanda tangani, setelahnya barulah menyerahkan pulpen kepada perempuan di sebelahnya. Setelah proses penandatanganan yang sangat singkat dan sedikit petuah dari petugas catatan sipil, selesai sudah acara pernikahan yang sangat sederhana itu. Bahkan Audrey tidak berganti gaun untuk acara makan-makan bersama. Hanya gaun putih polos berbahan satin dengan rambut digerai. “Wah, akhirnya sepupu kita tercinta ini menikah juga.” Sambutan yang terdengar hangat menyapa telinga kedua mempelai yang saling bergandengan. “Terima kasih.” Audrey menjawab seadanya, dengan wajah datarnya yang seperti biasa. “Tapi cowok baru nih.” Sepupu yang lain menyambut. “Aku belum pernah melihat yang ini.” “Tante juga tidak pernah lihat.” Seorang perempuan paruh baya ikut bergabung. “Kamu gak mungkin asal menarik lelaki untuk dinikahi, hanya karena ultimatum Daddy kamu kan?” “Tentu saja tidak.” Audrey melebarkan senyumnya. “Kami memang belum lama saling mengenal, tapi sudah cocok.” Hanya sang mempelai wanita yang menjawab. Damar memilih untuk tersenyum saja karena takut salah bicara. “Bule ya? Atau campuran?” “Sebenarnya ....” Damar agak ragu untuk menjawab dan melirik pada istrinya untuk meminta izin. “Saya yatim piatu, tapi lahir dan besar di sini,” lanjutnya ketika mendapat anggukan persetujuan. “Pekerjaan?” “Dia asistenku dan akan terus menjadi asistenku.” Audrey kembali menjawab.“Asisten? Yang benar saja.”***To be continued***“Apa ada masalah?” tanya Audrey dengan tatapan yang menajam, setelah mendengar hinaan untuk lelaki yang baru saja jadi suaminya. “Tentu saja ada masalah.” Tante yang berbicara. “Kau akan diwarisi perusahaan, tapi malah menikahi asistenmu sendiri? Itu sama sekali tidak sepadan.” "Apa yang akan dikatakan orang-orang, mendengar kau menikahi pegawai rendahan?" “Lebih baik menikah dengan asistenku sendiri dari pada istri atau suami orang kan?” Audrey tidak segan untuk menghina. “Setidaknya masih lebih terhormat.” "Pelacur saja masih sedikit lebih baik karena mereka bekerja, tidak dipakai dengan gratis," lanjut Audrey tidak peduli kalau dia kurang ajar. Bukan hanya orang yang mengejek yang terpana mendengar balasan itu. Damar pun terpana karena hal yang sama. Dia sangat takjub pada perempuan yang sudah sah menjadi istrinya secara hukum itu. Kalimat tadi terdengar sangat luar biasa di telinganya. “Kurasa aku jadi tidak nafsu makan.” Audrey memberi tahu semua orang yang ada di tempa
“Sepertinya aku salah sudah datang ke sini ya.” Damar menggaruk pipinya, tepat di depan pintu gym. Waktu bangun tadi pagi, lelaki itu melihat ada catatan yang ditinggalkan istrinya. Catatan itulah yang membuatnya turun untuk bergabung di tempat gym. Dari lokasi dia berdiri, Damar bisa melihat ke arah istrinya. Audrey yang sedang berbicara dengan seorang lelaki adalah pemandangan yang bisa dia lihat dengan jelas. Melihat situasinya, Damar yakin kedatangannya adalah sebuah kesalahan. “Apa aku harus kembali atau aku menghampiri mereka saja?” Damar bergumam dalam hati, dengan raut wajah sangat bingung. “Maaf, permisi.” Belum juga memutuskan, seseorang menegur Damar. “Bisa jangan berdiri di tengah jalan? Saya mau lewat.” “Maaf.” Lelaki yang ditegur pun meringis dan segera menyingkir. Sayangnya, perempuan yang dia halangi jalannya tidak puas dengan menegur seperti itu saja. Dia mengomel dari pintu masuk, sampai dengan ketika sudah bersiap untuk berlari di atas alat olahraga. Kebetula
“Alasan tidak masuk akal apa itu.” Audrey memukul meja, walau tidak begitu keras. “Apa ada yang salah, Bu?” Seseorang yang sedang menjelaskan sesuatu di depan ruang rapat langsung bereaksi. “Lanjutkan saja.” Setelah mengatakan hal itu, Audrey kembali menunduk menekuri tablet yang dia pegang di tangannya. Sudah lewat beberapa hari sejak kejadian di tempat olah raga dan Audrey masih saja merasa tidak habis pikir. Dia memang tidak mencari tahu lebih lanjut karena sibuk membuang waktu dengan berfoto dan bercinta saat bulan madu, tapi tetap saja kepikiran. Kalau mau lebih tepatnya, Audrey dan Damar dipaksa untuk pergi berbulan madu. Tentu saja harus ada bukti kalau mereka berdua menikmati bulan madunya, berupa foto dan kadang video. Damar adalah orang yang paling gencar mengambil gambar. “Bu Audrey.” Sang asisten yang baru masuk beberapa waktu lalu itu, memanggil atasan dan juga sekaligus istri kontraknya. “Ada masalah?” Hanya itu yang empunya nama ucapkan sebagai balasan. “Apa ada
“Aku tidak menyangka kalau bisa bertemu denganmu lagi.” Felix duduk di salah satu kursi yang kosong. Kebetulan, mejanya memang untuk berempat. “Bagaimana Kak Felix bisa ada di sini?” tanya Audrey dengan mata yang sedikit menyipit. “Apa kau lupa?” tanya lelaki yang beberapa waktu lalu pernah bertemu dengan Audrey di tempat gym. “Aku lulusan DKV.” “Ah, hal yang membuatmu memutuskanku.” Audrey mengangguk seolah mengerti dengan wajah datarnya. “Ayolah, Rey. Kau masih dendam karena itu? Hal itu hanya masa lalu yang sudah lama berlalu,” balas Felix dengan raut yang menyiratkan sedikit rasa bersalah dan rasa tidak nyaman. “Itu kenyataan. Tapi untuk saat ini, kita tidak akan membahas masa lalu.” Audrey kembali menekuri benda segi empat yang ada di pangkuannya. Itu membuat Felix juga langsung bergerak untuk mengeluarkan benda serupa dari tasnya, sementara Damar hanya menatap dua orang di depannya dengan tatapan bingung. Entah bagaimana, takdir membawa dua orang di depannya untuk b
“Pak Carlisle.” Damar terkejut melihat lelaki yang adalah ayah Audrey, kini duduk di tempatnya. “Carl saja, Damar.” Lelaki paruh baya itu bangkit dari duduknya dan membuat sekretaris yang duduk bersebelahan dengannya menghembuskan nafas lega. “Terlalu sulit menyebut namaku dengan benar.” “Tapi Saya menyebutkan dengan benar kan? Kharlay.” Damar hanya ingin mengkonfirmasi saja. “Tentu saja sudah benar, tapi bukan itu yang akan kita bicarakan. Ke mana Audrey?” tanya Carl dengan senyum lembut. “Bu Audrey sedang pergi ke toilet. Ada yang bisa saya bantu?” “Tentu saja ada.” Carl mengangguk pelan. “Aku butuh bicara denganmu, jadi tolong katakan pada Audrey kalau aku membajak asistennya.” Kalimat yang terakhir, tentu saja ditujukan pada sekretaris sang putri. Walau bingung, Damar memilih untuk mengikuti lelaki paruh baya yang berstatus sebagai ayah mertuanya itu. Dia tentu tidak bisa melawan karena biar bagaimana, Carlisle masih atasannya juga. Makin bingung lagi, ketika dia dibawa ke
“Kenapa aku merasa jadi seperti gigolo masokis?” gumam Damar dengan ekspresi wajah antara kesal dan gemas sendiri. Lelaki itu menoleh dan menemukan istrinya yang tertidur dengan sangat lelap, setelah aktivitas panas mereka beberapa jam yang lalu. Tapi bukannya senang, Damar malah sedikit kesal dan tak berdaya di hadapan Audrey. Bagaimana tidak. Setelah dia mengajukan ide untuk membatalkan pernikahan, Damar malah diberi hukuman. Mulai dari pekerjaan yang tiba-tiba saja menumpuk, sampai disiksa di atas ranjang. Tangannya bahkan diikat dengan borgol kulit yang entah berasal dari mana. Tentu saja Damar seharusnya bisa melawan, tapi dia tertipu. Pikirnya tadi Audrey hanya ingin mempermainkan dirinya dengan meminta kedua tangan lelaki itu bertaut di belakan punggung. Siapa yang mengira kalau Audrey malah memborgol kedua tangan (yang mana dikira hanya sekedar bercanda oleh Damar) sang suami di bagian belakang tubuhnya. Setelah itu, bisa diba
“Apa kau tahu? Aku terlihat seperti wanita murahan yang tergila-gila dengan hubungan ranjang.” Audrey mengeluhkan hal itu dengan ponsel menempel di telinganya. “Kau memang selalu punya pikiran tentang hubungan ranjang. Kau saja yang tidak pernah sadar.” Audrey langsung menggeram mendengar hal itu. Dia sama sekali tidak menyangka, kalau sahabatnya malah terang-terangan mengejek seperti ini. Padahal, dia sedang ingin ditenangkan. Ingin diberi tahu kalau dirinya masih termasuk normal. “Tapi kalau dipikir-pikir, sebenarnya fantasimu tidak seaneh itu juga. Kau kan tidak sampai mengikat suamimu dengan tali dan memukulnya kan?” Suara kembali terdengar lagi dari ponsel. “Tidak memukul, tapi menggunakan borgol.” “Apa kau pecinta BDSM?” Suara pekikan yang terdengar dari ponselnya, membuat Audrey refleks menjauh. Dia tidak ingin menjadi tuli, hanya karena mendengarkan sahabatnya yang berteriak-teriak tidak jelas di ujung
“AUDREY ALEXANDRA ALLEN.” Suara teriakan itu begitu membahana, bahkan rasanya bisa terdengar di seluruh penjuru rumah. Padahal yang empunya nama baru saja sampai dari kantor dan ingin mandi, tapi kini dia malah harus dihadapkan dengan pemilik suara. “Mbak? Ada apa ya?” Ibu Audrey yang memang ada di lantai bawah, menyambut tamu dengan suara menggelegar itu. “Ke mana anakmu yang kurang ajar itu? Sini biar aku kasih pelajaran.” Bukannya bicara baik-baik, sang tamu malah makin berteriak. “Bisa bicara dulu baik-baik kan, Mbak Lan?” Kini Carl yang muncul entah dari mana. “Bagaimana aku bisa bicara baik-baik, ketika anakmu menganiaya putraku.” Kening Carl berkerut mendengar hal itu. Dia sama sekali tidak mendengar ada laporan yang masuk, perihal keributan di kantor atau apa pun yang disebutkan mantan adik iparnya itu. Ingin membela pun, rasanya dia tidak bisa karena belum mengerti betul duduk perkaranya. “Kenapa ribut sekali sih?” Audrey turun dari tangga dengan gerakan santai,
“Lebih cepat lagi, please.” Damar menggeram dalam suara rendah dan tertahan. “Kau pikir aku ini mesin yang bisa bergerak cepat?” jawab Audrey dengan nafas terengah. “Kakiku sudah mulai terasa pegal.” “Kalau begitu, biarkan aku mengambil alih.” Damar yang terengah pun memohon dengan sangat. “Aku mohon.” Audrey tidak menjawab, tapi dia berhenti bergerak. Kedua tangan yang tadi bertumpu pada kaki Damar, kini bergerak memeluk sang suami. Sayangnya, dia masih belum mau membiarkan lelaki itu mengambil alih kegiatan ranjang mereka dan memilih mengubah posisi saja. “Jangan bergerak.” Kali ini giliran Audrey yang menggeram, ketika merasakan sang suami menggoyangkan pinggulnya. “Aku tidak bisa menahan diri lagi, Re,” desis Damar tepat di telinga sang istri yang kini memeluknya. Dia bahkan menggigit bagian telinga itu, sebelum melanjutkan, “Tolong lepaskan ikatan di tanganku. Please.” Sungguh, Damar ingin sekali mengentak lebih keras. Dia bisa melakukan itu dalam keadaan duduk dan terikat
“Apa kau menikmati acaranya?” Audrey bertanya pada orang di depannya, dengan senyum lebar. “Kau mengejekku?” desis Patricia tampak begitu marah. “Aku hanya bertanya, Patricia. Mengejek dan bertanya jelas adalah dua hal yang berbeda.” Dua perempuan itu pada akhirnya saling menatap. Patricia dengan tatapan kemarahan disertai dendam, sementara Audrey dengan tatapan penuh kemenangan. “Re. Kau di sini.” Baru juga Patricia ingin buka mulut untuk memaki, tapi Damar sudah mendekat. Lelaki itu tampak begitu rapi dengan menggunakan tuxedo berwarna putih dan dasi kupu-kupu hitam. Penampilannya jadi makin sempurna dengan celana hitam, sapu tangan putih dan rambut tertata. “Ada Patricia rupanya.” Demi kesopanan, Damar dengan terpaksa menyapa. “Hai.” Mau tidak mau, Patricia menyunggingkan senyum. “Aku tidak tahu kalau kau benar-benar dari Italia dan punya rumah seindah ini.” “Ini bukan rumahku, tapi
“Wah, jadi ini perkebunan milik Padre?” tanya Audrey, ketika mereka baru saja memasuki kawasan penuh tanaman anggur. “Ya, kebetulan saja ini sudah dekat masa panen.” Domi yang menjawab dengan riang. “Kau bisa memetik beberapa kalau mau, sebelum semuanya dijadikan wine.” “Oh, sungguh?” Audrey tampak cukup tertarik. “Tapi apakah aku boleh mendapatkan keduanya? Anggur dan wine?” “Apa pun yang kau inginkan.” Kali ini, Damar yang menjawab. “Aku bertanya pada Padre,” balas Audrey dengan sebelah alis yang terangkat. “Ini semua akan jadi milikmu, jadi tentu kau boleh meminta apa saja.” Damar tersenyum lebar, sembari menatap sang istri. Hal yang membuat ayahnya berdecak. “Rasanya kau lebih parah, dari lelaki mana pun yang kukenal di dunia ini.” Mau tidak mau, Domi mengeluh juga. “Kalau tidak ingin dilihat, Padre tidak perlu melihat.” Audrey membalas dengan sangat kurang ajar. Mendengar itu, Domi hanya bisa mendengus saja. Dia juga tidak mungkin marah, karena biar bagaima
“Apa aku tidak salah lihat?” tanya seseorang pada Happy. “Bu Audrey dan Pak Damar bergandengan tangan?” “Sama sekali tidak,” jawab Happy dengan embusan napas pelan. “Yang kau lihat itu adalah kenyataan.” “Serius?” tanya rekan kerja Happy yang tadi. “Jadi gosip yang bilang kalau Bu Audrey mengincar Damar itu benar?” “Tidak, Sayang.” Happy menatap temannya dengan tatapan kasihan. “Sejak awal Pak Damar itu off limit. Sejak awal dia sudah sold out, alias taken.” Setelah mengatakan hal itu, Happy memilih untuk melangkah terlebih dulu dan meninggalkan temannya yang tampak sangat terkejut. Biar bagaimana, atasannya sudah datang. Dia tidak bisa lagi bersantai-santai dengan alasan habis dari membeli kopi. “Sekarang aku punya dua atasan,” gumam Happy sepelan mungkin. “Untung Pak Damar baik, tapi jelas aku harus hati-hati padanya. Kalau tidak, Bu Audrey yang akan memecatku.” *** “Perasaanku saja, atau sejak ta
“Untuk apa kau membawa buket bunga?” tanya Domi, ketika melihat sang menantu berdiri di depan pintu rumah, yang baru saja dia buka. “Aku tentu saja akan memberikan ini untuk ....” “Damar?” Fiana muncul di sebelah sang suami dengan sebelah alis terangkat. “Kau ingin memberikan bunga untuk Damar? Bukankah seharusnya terbalik?” “Tentu saja bukan untuk Damar,” jawab Audrey dengan senyum lebar. “Aku membawakan ini untuk Madre dan membawakan hadiah lain untuk Damar.” Kedua alis Fiana terangkat mendengar jawaban yang mengejutkan, tapi tetap menerima buket bunga yang dibawakan oleh menantunya. Hadiah yang sangat tidak biasa dari menantu perempuannya, sampai Audrey lupa untuk dipersilakan masuk. Untung saja Audrey yang sedikit tidak tahu malu itu, meminta izin untuk duduk di ruang tamu. Katanya, masih ada hadiah yang mau diberikan. “Cokelat untuk Madre.” Audrey mengeluarkan sekotak cokelat yang terlihat mahal. “Apa ayah mertuamu ini tidak mendapatkan apa-apa?” tanya Domi pu
“Ini benar-benar tidak masuk akal,” desis Audrey benar-benar kesal, dengan ponsel yang menempel di telinga. “Bagaimana mungkin mereka mengurung, bahkan menempatkan bodyguard di depan pintu dan di bawah jendela.” Mendengar protes dari sang istri, Damar hanya bisa tertawa pelan. Memang ini sangat tidak masuk akal, tapi kalau Audrey jadi memperhatikan dirinya seperti ini, rasanya Damar tidak akan masalah. “Mau apa lagi?” tanya damar denan senyum yang terkulum. “Walau aku sering olahraga, tapi aku tidak mungkin melawan orang-orang berbadan besar itu kan? Apalagi mereka lebih dari satu orang.” “Tapi kau kan bukan anak gadis perawan yang harus dijaga dengan bak,” hardik Audrey terlihat begitu kesal. “Aku juga bukan serigala yang akan memangsamu.” Tentu saja Damar akan tertawa mendengar hal itu. Dia merasa perumpamaan yang diucapkan oleh Audrey sangat lucu. “Bu, tolong jangan pacaran di depan saya.” Jangankan Damar, Happy saja merasa risih dan langsung menegur ketika sang atas
“Senang berkenalan dengan Anda berdua.” Carl mengulurkan tangan, disertai dengan senyuman lebar. “Hai, aku Dominique. Panggil saja Domi dan aku adalah ayah dari Damar. Lelaki yang selama ini ternyata sudah menikah dengan putrimu.” Carl sempat terdiam untuk beberapa saat, berpikir kalau dirinya baru saja diejek. Untungnya, Domi segera tersenyum lebar setelahnya. Memberitahu kalau dia hanya bercanda, walau di bawah pelototan sang istri. “Aku merasa senang karena pada akhirnya, kita semua bisa bertemu juga,” ucap Vita dengan senyum antusiasnya. “Omong-omong, ini adik Audrey. Mereka berbeda sangat jauh, tapi Brian sangat mengagumi kakaknya.” “Aku tidak suka mereka,” gumam Brian tanpa segan. “Mereka tidak akan mengambil Kak Audrey kan?” “Bukan kami yang akan mengambil kakakmu, Nak.” Carl dengan cepat menanggapi. “Tapi lelaki yang satu ini yang akan dan sudah melakukannya.” “Padre.” Damar tentu saja akan langsung menegur, ketika sang ayah menepuk pelan punggungnya. Dia tidak ingin Br
“Kau bilang apa?” tanya Damar dengan mata melotot. “Mathilda yang menyerangmu,” jawab Audrey yang tengah menggunakan rangkaian perawatan kulitnya, setelah pulang kerja. “Dia sudah mengau.” “Yang benar saja!” Damar tampak tidak percaya. “Katanya dia menyukaiku, tapi menyerangku. Apakah itu terdengar masuk akal?” “Cinta itu buta.” Audrey yang sudah selesai, kini menatap suaminya. “Dia akan melakukan apa saja, untuk menyingkirkan saingan atau mendapatkanmu. Dalam kasus ini, dia ingin menyingkirkanku. Hanya saja dia lupa kalau aku juga punya mobil Eropa dan duduk di sebelah kanan sebagai penumpang.” “Ini serius?” tanya Damar masih tampak tidak percaya. “Maksudku, dia benar-benar meminta seseorang untuk mencelakaimu?” “Kenapa? Tidak percaya?” tanya Audrey dengan mata melotot. Jujur saja, Audrey tidak suka dengan pertanyaan Damar. Lelaki itu seperti terdengar tidak rela ada yang memfitnah perempuan yang dia sukai. Audrey tidak menyukai hal itu sama sekali. “Jujur saja tidak.” Damar
“Apa maumu?” Audrey mendongak ketika mendengar suara ketus itu. Dia tersenyum, ketika melihat tamunya sudah datang. Siapa yang sangka kalau Mathilda benar-benar datang sesuai dengan keinginannya. “Aku sudah datang, jadi katakan apa maumu.” “Duduk dulu, Mathilda.” Audrey mengedikkan bahu dengan santainya, menunjuk kursi yang ada di depannya. “Kita ini sedang di tempat umum, akan jadi tontonan kalau kau terus berdiri.” Perempuan berdarah Italia itu tidak langsung duduk, dan memilih untuk melihat sekitarnya lebih dulu. Mereka sedang ada di sebuah kafe yang cukup ramai, dengan beberapa pasang mata yang menatapnya. “Katakan dengan cepat, karena aku harus ke bandara.” Pada akhirnya, Mathilda memilih untuk duduk. “Bandara?” Audrey bertanya dengan kedua alis yang terangkat. “Kau akan berangkat?” “Tentu saja aku perlu pulang ke rumah orang tuaku kan? Apa kau pikir aku akan selamanya tinggal di sini, setelah dipermalukan seperti itu?” Audrey tersenyum miring mendengar apa yang dikataka