"Kau pikir kau siapa?! Kalau bukan karena kekayaan yang kakek miliki, kau tidak akan jadi sebesar ini, Alfreed! Kau boleh saja menjadi seorang CEO yang hebat, tapi jangan pernah lupa kalau aku adalah owner-nya. Aku yang sesungguhnya pemilik ratusan hotel Scott di seluruh dunia. Namaku yang orang-orang kenal, Scott Ferdinand. Jadi stop mendebatku dengan berbagai macam alasanmu itu! Cukup turuti mauku kalau kau masih ingin menikmati semua yang kumiliki! Jika tidak, aku akan menyerahkan seluruhnya ke panti sosial! Camkan itu!
-------- Bruak! “Aarrrgh ..., fuck this shit!” Alfreed menendang kursi kebesarannya di kantor saat mengingat kejadian sore tadi. Ancaman sang kakek yang membuat emosinya langsung mendidih. “Sialan! Si tua bangka itu lagi-lagi mengancamku dengan tuntutannya! Kenapa dia tidak mati saja?! Umurnya terlalu panjang menjadi manusia, bahkan ayahku lebih dulu mati daripada dia! Damn it!” “Ini tidak adil! Apa hak dia memaksaku menikah dan punya anak? Ini hidupku! Aku yang menentukan aku mau melakukannya atau tidak, bukan urusan dia. Tapi untuk kesekian kalinya dia datang mengancamku. Aaargh!” “Aku muak! Aku benar-benar muak! Kalau bukan karena dia kakek kandungku, sudah kubunuh si tua bangka itu sejak awal!” Menghela napas, batin Alfreed dipenuhi amarah. Dia lalu mengambil sebotol wine dari lemari. Kepalanya serasa mau pecah. Sudah dua minggu ini, hampir setiap hari kakeknya datang menanyakan perkara itu. Bahkan mengancam akan mewariskan semua hartanya untuk panti sosial, jika Alfreed tidak menurut. Itu artinya hasil kerja keras Alfreed mengembangkan Scott Corp selama tujuh tahun ini, sia-sia saja. Sejujurnya bukan Alfreed tidak punya keinginan menikah , tapi sejak tunangannya kepergok selingkuh dengan rekan bisnisnya lima tahun yang lalu, dia jadi tidak lagi memiliki hasrat untuk punya hubungan. Semua wanita dianggapnya sama, pengkhianat, tak cukup dengan satu pria saja. Alhasil , sejak saat itu Alfreed hanya memerlukan wanita sebagai pemuas nafsunya saja. Namun, alasan itu tidak berlaku untuk kakeknya. Scott Ferdinand tetap pada tuntutannya yakni menginginkan cucu menantu yang kelak akan melahirkan cicit sebagai penerus keturunan Scott. “Aku tahu pekerjaan yang kulakukan sekarang hanya meneruskan perusahaan kakek. Tapi perlu dia ingat, kalau profit perusahaan ini bisa meningkatkan tiga puluh persen karena aku! Karena aku yang mengendalikannya!” “Aku yang sudah bekerja keras selama tujuh tahun menjadi CEO di sini. Berkat aku, Scott Corp tidak hanya memiliki hotel tapi juga puluhan resort mewah yang tersebar di mana-mana. Itu artinya aku yang menjadikan si tua bangka itu semakin bertambah kaya!” Alfreed menghela napas panjang usai mengoceh sendiri. “Paul ...,” teriaknya memanggil asisten pribadinya. Tak sampai dua menit, orang yang dipanggil muncul di hadapannya. "Ya, Tuan. Apa yang harus saya lakukan untuk anda?” “Aku sudah muak dengan tuntutan si tua bangka itu. Jika dia ingin menghibahkan seluruh hartanya ke panti sosial, aku sudah tidak peduli. Sekalian aku akan keluar dari keluarga Scott!” Alfreed menenggak wine langsung dari botol. Dia sudah tidak butuh gelas lagi. “Sekarang aku minta kau siapkan semua kebutuhanku dan tolong pesankan tiket ke Inggris besok. Aku akan pindah ke sana dan memulai hidup yang baru tanpa nama Scott,” perintahnya. “Dan setelah itu kau bebas, Paul. Kau bisa tetap bekerja di sini atau keluar, kau yang tentukan sendiri.” Tidak bergerak dari tempatnya, Paul menatap Alfreed terkejut. “Apa yang kau tunggu? Cepat lakukan perintahku!” tegas Alfreed padanya. “Ma-maaf, Tuan. Sebelumnya bolehkah saya mengatakan sesuatu?” Paul meminta ijin untuk bicara. “Apa itu? Katakan ...” “Menurut saya anda tidak perlu mengambil keputusan sampai sejauh itu, Tuan. Jika anda berkenan, saya punya ide untuk mengatasi masalah anda,” ucap Paul. “Ide?” Alfreed menatap asistennya serius. “Pastikan idemu brilian, kalau tidak, aku pecat kau malam ini juga!” Emosi Alfreed sudah kacau, hal kecil pun bisa membuatnya marah. “B-begini, Tuan. Bagaimana jika Tuan menikah kontrak saja?” Paul mengutarakan idenya. Alfreed mengerutkan dahi. 'Idenya lumayan, dan aku yakin tidak akan ada perempuan yang menolak menikah denganku. Tapi masalahnya si tua bangka itu bukan orang bodoh. Dia bisa langsung tahu jika itu hanya pernikahan pura-pura.’ Alfreed lalu menggeleng. “Kau kenal siapa kakekku. Sangat mudah baginya mengetahui kalau aku membayar seseorang untuk itu. Dan lagi aku rasa ini bukan jalan keluar, sebab pernikahan tidak cocok untukku.” “Tapi Tuan, ini hanya pernikahan kontrak. Sama saja seperti anda yang melepas stres dengan perempuan bayaran namun dengan waktu yang sedikit lebih panjang,” terang Paul. “Mengenai Tuan Ferdinand, kita bisa ciptakan situasi pura-pura tersebut menjadi hal yang wajar tanpa harus ada kepura-puraan.” “Beri saya waktu tiga hari Tuan, saya pastikan akan menemukan perempuan yang mau menikah dengan Tuan tanpa kepura-puraan. Dan tentunya juga tanpa dia ketahui siapa sesungguhnya Tuan. Jadi tidak akan ada pertimbangan harta, tahta atau apapun yang dia harapkan dari Tuan.” Sedikit terperangah Alfreed dengan semua kalimat Paul, bahkan dia hampir saja tertawa. Siapa yang tidak mengenal Scoot JR? Memangnya ada? Tapi melihat raut wajah Paul yang serius, Alfreed akan memberikan kesempatan untuk membuktikan itu. “Oke, buktikan ucapanmu, dan jika ini berhasil, sebagai hadiah aku akan berikan dua apartemen di gedung biru untukmu.” Paul tersenyum merekah lalu dia meninggalkan ruangan bos besarnya itu. -------*##*------ Sudah tiga hari sejak ucapan Paul kemarin, tapi dia belum juga kelihatan batang hidungnya di kantor. Alfreed jadi yakin kalau kemarin itu dia hanya omong kosong. Ke lubang semut sekalipun, tidak akan dia temukan perempuan bodoh yang tidak mengenal siapa Alfreed. Artinya pilihan untuk pindah sekaligus keluar dari keluarga Scott adalah satu-satunya jalan agar hidupnya bisa bebas dari ancaman sang kakek. Melirik Patek Philippe di pergelangan tangannya, sudah hampir tengah malam, Alfreed memutuskan untuk pulang. Dia tekan line telepon yang tersambung ke security gedung kantor. “Ya, Tuan,” sahut si security. “Katakan pada Sam, siapkan mobil. Aku akan turun sekarang.” “Baik, Tuan.” Menenteng jas, Alfreed tak lupa memasukkan ponselnya ke dalam saku celana lalu melangkah keluar dari ruangan. Dan saat pintu lift terbuka, orang yang dia tunggu muncul. “Tuan, syukurlah anda ada di sini. Ponsel anda tidak bisa dihubungi, saya sudah menelepon anda berkali-kali.” Orang itu adalah Paul. “Ya, aku memang sengaja mematikan ponsel sebab si tua bangka itu terus-terusan meneleponku.” Maksud Alfreed adalah kakeknya. “Begini, Tuan. Saya sudah berhasil menemukannya. Perempuan tepat yang bisa menjadi calon istri kontrak untuk anda,” terang Paul antusias. “Ohya, siapa dia?” Walau tidak percaya dengan ucapan asistennya, tapi Alfreed tetap menyahut. “Ayo, Tuan. Ikut saya. Anda harus melihatnya sendiri.” Paul mengambil alih mengemudi mobil Alfreed. Dia membawa bosnya itu ke hotel kecil di sudut kota. “Perempuan itu ada di hotel ini, Tuan. Tapi sebelum itu saya mohon Tuan mau berganti pakaian dengan ini.” Paul menyerahkan satu kemeja lusuh yang dia keluarkan dari ranselnya. “Paul! Kau mau menghinaku, ya?!” hardik Alfreed. “Tidak, Taun. Jangan salah paham dulu. Bukan begitu maksud saya. Ini demi kelancaran rencana kita dan saya jamin seratus persen, perempuan itu tidak akan meminta sepeserpun dari Tuan asalkan Tuan mau berpenampilan sederhana,” jelas Paul. Menimbang-nimbang sebentar, akhirnya Alfreed menurut. Sudah jelas tujuan pernikahan kontrak ini adalah demi harta dan tahta, jadi tidak ada salahnya dia menurunkan sedikit harga dirinya. “Kalau sampai rencana bodohmu ini gagal, aku akan menyiksamu, Paul!” ancam Alfred sembari tangannya sibuk berganti pakaian. Sekarang mereka sudah berada di lobi hotel. Paul meninggalkan Alfreed sebentar, lalu kembali bersama seorang perempuan berkulit eksotis yang matanya terlihat sembab. “Perkenalkan Luisa, ini Alfreed, sepupuku,” ucap Paul yang tentu membuat Alfreed mendelik sempurna. ‘Sialan! Sejak kapan aku menjadi sepupumu, Paul?!!’ batin Alfreed kesal. Berbanding terbalik dengan wajah ketat Alfreed, Luisa justru tampak terkejut dengan pria yang dikenalkan Paul. ‘Benarkah pria ini Alfreed yang sama?’(Tiga hari sebelumnya) Malam itu Paul bergegas menuju bandara. Tujuannya adalah Mexico, sebab selain karena Bibinya tinggal di sana, Paul yakin kalau tidak akan ada satupun perempuan Mexico yang mengenal siapa keluarga Scott. Menempuh perjalanan udara lebih kurang 6 jam dari Washington DC, akhirnya Paul sampai. Tempat pertama yang dia kunjungi adalah panti asuhan. Paul mengira bisa menemukan perempuan cantik yang hidup sebatang kara dan mau menikah kontrak dengan bosnya. Tapi sayang pilihannya itu zonk. Enam panti asuhan sudah Paul datangi, tapi tak dia temukan gadis menarik yang cocok bersanding dengan bosnya. Sekalinya ada yang memenuhi kriteria, saat ditanyai cita-citanya justru menjadi biarawati. “Ah, kacau ... Waktuku sudah terbuang sia-sia di sini,” gumam Paul. Dia pikir bisa dengan mudah menemukan perempuan itu, tapi ternyata sulitnya bukan main. Saat Paul sedang duduk menikmati kopi di teras, Bibinya datang mendekat. “Paul, kau sudah dua tahun tidak datang ke sini, se
Washington DC. Tak pernah terbayangkan oleh Luisa dia akan menjejakkan kaki di kota ini. Turun dari taksi, Paul membantunya untuk check-in di hotel. “Oke, ini kuncinya.” Paul menyerahkan kunci kamar pada Luisa. “Kau bisa langsung beristirahat di kamar, Luisa. Dan aku harus pergi, ada hal mendesak yang wajib kuselesaikan." Luisa tak menjawab. Dia hanya menatap Paul dengan raut wajah khawatir. “Jangan khawatir, aku pasti akan kembali. Aku tidak terpikir sedikitpun untuk menipumu. Sesuai kesepakatan kita tadi, aku akan membantumu dan kau tentu juga akan membantuku ‘kan?” Luisa pun mengangguk. Dua jam lebih setelah kepergian Paul, seseorang tiba-tiba mengetuk pintu kamar Luisa. Reflek gadis itu menyeka air matanya. Ya, kesendiriannya di kamar hotel membuat dia kembali teringat dengan nasib malang yang silih berganti menimpanya. “Luisa ..., ini aku, Paul. Aku tunggu kau di lobi sekarang, ya,” ucap Paul dari luar. Sampai di lobi hotel, ternyata Paul memperkenalkan Luis
Alfreed bersiap dengan setelan kantornya. Usai menyemprotkan parfum di beberapa bagian, pria berjas itu melangkah keluar dari kamar. Langsung dia dikejutkan dengan Kakeknya yang ternyata sudah berdiri di depan pintu. “Sudah kuduga, kau hanya membohongi kakekmu.” Sang kakek melihat penampilan cucunya yang sudah rapi dengan setelan kantor. “Membohongi?” Alfreed mengernyit tak mengerti. “Semalam kau berjanji akan membawa calon istrimu padaku,” jawab Kakek. “Astaga ... Iya, aku lupa. Tunda saja hari ini. Besok aku janji akan membawanya padamu.” Dengan enteng Alfreed mengganti janjinya ke hari esok sebab dia juga belum memberitahu Paul prihal ini. “Tidak bisa! Seenaknya saja kau mengganti hari! Aku paling benci yang seperti itu!” Kakek Scott melotot. “Tapi aku ada meeting pagi, Kek, dan ini penting.” “Kau bisa menyuruh Paul untuk mewakilimu di meeting, jadi sekarang kau harus mengantarkan aku bertemu dengannya!” Kakek bersikeras. Jika berdebat dengan sang kakek, Alfre
Tak tahan ingin meledak, Alfreed bergegas keluar dari kantor sipil meninggalkan kakeknya dan Luisa. “Shit! Si tua bangka itu sungguh-sungguh menguji kesabaranku!” Satu-satunya orang yang terpikirkan olehnya sekarang adalah Paul. Langsung dia telepon asistennya itu. “Kau tahu, kesialan sudah menimpaku saat ini. Si tua bangka itu menikahkan kami seperti kilat, dan setelahnya dia malah beracting menjadi orang termiskin di dunia yang tidak punya tempat tinggal selain menumpang di rumahku. Damn it!” Alfreed berteriak di ujung kalimat. Dia bahkan menendang ban mobil orang sampai alarmnya berbunyi. Terkejut, buru-buru dia berpindah tempat. Tak mau sampai ada yang tahu kelakuan bodohnya itu. “Suara apa itu, Tuan?” Di ujung telepon Paul juga ikut terkejut. “Tidak perlu kau tanyakan! Sekarang cepat pikirkan solusinya! Sebab kau yang harus bertanggung jawab atas ide bodohmu ini!” hardik Alfreed. Paul menelan ludah. Dia sendiri tak menyangka kalau Tuan Besar akan bertindak beg
“A-apa yang kau bicarakan, Kek?” Kakek mendecis, muak dia dengan pertanyaan Alfreed. Padahal sejujurnya cucunya itu kalut bukan main. Bagaimana tidak, perusahaan yang sudah susah payah dia pimpin hingga sebesar ini, harus diserahkan ke panti sosial begitu saja. Hal gila yang sungguh menghancurkan hidupnya. “Aku tidak menjanjikan apapun padanya. Dia sungguh wanita yang ingin kunikahi. Kan sudah aku bilang padamu!” Alfreed berusaha mengelak. “Halah ... kau kira aku sebodoh itu untuk tahu mana yang sepasang kekasih sungguhan dan mana yang tidak.” Kakek Scott melotot. “Kapan aku bilang kami sepasang kekasih?” Tercengang Kakek mendengar pernyataan itu. “Lalu apa hubungan kalian sesungguhnya?” “Dia ...” Alfreed bingung harus mengarang cerita apa sekarang. Tatapan kakeknya membuat dia tak bisa berpikir jernih. “Dia wanita yang sudah lama kukenal. Kami memang tidak pernah punya hubungan. Tapi dia menyukaiku dan aku ..., ya, aku juga menyukainya.” Alfreed tidak berani me
“Ba-bagaimana kalau .... malam ini anda membuat kejutan makan malam romantis dengan Luisa. Saya yakin Tuan Besar pasti akan berhenti curiga.” Walau takut dengan amarah sang bos, tapi Paul masih bisa memberikan ide. Diam semenit, Alfreed baru bicara, “Hanya makan malam ‘kan? Tidak melakukan yang lain?” Alfreed memastikan lebih dulu. Dia tak mau terperosok makin dalam oleh ide Paul. “Usahakan Tuan basa-basi sedikit dengannya dan tatap matanya sesekali. Pasti rencana ini akan sukses besar, Tuan. Saya jamin!” Paul meyakinkan. “Baiklah, kau atur semuanya.” Akhirnya emosi Alfreed mereda. Sesuai perintah, Paul bergegas mengatur segalanya. Dia mempersiapkan makan malam romantis di rooftop apartemen. Tak lupa dia mampir membawakan sebuah gaun cantik untuk Luisa. Saat dia menekan bel, yang membuka pintu adalah Kakek Scott. “Rupanya kau, Paul.” “Selamat siang, Tuan besar.” Paul membungkuk menyapa Kakek Scott. “Bersikaplah biasa saja jika di sini. Ada apa?” Kakek Scott m
Alfreed melangkah menuju kamar terbaik di hotel yang dia datangi malam itu, namun tiba-tiba manager hotel berlari menyusulnya dari belakang. “Maaf, Tuan Alfreed. Saya bener-benar minta maaf,” ucap manager itu dengan napas ngos-ngosan. “Ada apa ini?” “Saya lupa bilang, kalau seluruh kamar hotel sudah di-booking, Tuan.” Terkejut bukan main Alfreed mendengar ucapan itu. Bagaimana mungkin seluruh hotel sudah di-booking, sementara acces card sudah ada di tangannya, dan apakah mereka lupa kalau dia adalah CEO Scott Corp yang merupakan pemilik dari hotel tersebut. “Saya sungguh-sungguh meminta maaf, Tuan. Tidak ada sedikitpun niat kami untuk membuat anda marah. Ini murni kelalaian pegawai resepsionis.” Sang manager terus menunduk, tak berani mengangkat kepalanya menatap Alfreed. Sejujurnya Alfreed ingin marah tapi perasaan campur aduk usai berciuman dengan Luisa lebih mendominan. Dia memilih pergi menuju apartemen miliknya sendiri, bukan ke apartemen Paul yang belakangan men
“Aku memberimu kesempatan terakhir, tunjukkan padaku bahwa kau benar-benar serius dengan pernikahanmu! Kembali ke kamarmu sekarang, dan besok semuanya akan normal, tidak akan ada lagi yang berani mengusik apalagi menganggapmu tamu di rumahku," ucap Kakek Scott. Alfreed mengepalkan kedua tangan, egonya sangat tinggi sehingga dia memilih untuk pergi sekalipun dia sangat menyayangkan harta dan warisan sang kakek. Masuk ke mobil, Alfreed membanting pintu dan memukul setir kemudi. Otaknya sudah tidak bisa diajak berpikir, hanya ingin marah dan mengamuk sekarang. Satu-satunya orang yang terlintas di kepalanya adalah Paul. “Kau harus bertanggung jawab untuk semua ini, Paul!” Alfreed menelepon asistennya itu, tapi tidak diangkat. “Sialan! Apa kau juga sudah berpaling pada si tua bangka itu?!” Tak puas, Alfreed langsung mengemudikan mobilnya menuju apartemen Paul yang baru. Setiba di sana, dia menggedor kasar pintunya. Tak peduli mau berapa banyak orang yang akan terganggu aka
“KAU!”Suara Jose menggema satu ruangan. Getarannya bahkan terasa hingga mengguncang otak si pendengar. Termasuk Luisa, semuanya jelas ketakutan. Bahkan vas yang berada tak jauh darinya seketika pecah. Refleks Diana melepaskan tangannya dari rambut Luisa. Wanita itu sungguh-sungguh sedang menggali kuburannya sendiri. Tanpa diberi perintah, sepuluh orang anak buah Jose menodongkan senjata ke kepala Diana, Selena dan juga Evan. Sudah jelas hidup mereka akan berakhir di tempat itu.Melangkah cepat, Jose menarik Luisa ke sisinya. Tak akan dia biarkan wanitanya berada dekat dengan si tua gila yang sudah bosan hidup itu.“Sakit?” tanya Jose lembut pada Luisa.Luisa menggeleng. Bukan karena tidak sakit, tapi sudah biasa dia diperlakukan begitu , jadi tak perlu dipermasalahkan.Namun jangan panggil namanya Tuan Muda Jose, jika dia membiarkan hal ini begitu saja. Sambil menahan emosi yang sudah ingin meluap sejak tadi, Jose memberi perintah,“Potong tangannya!”“Aaaaa ... Ampuuuun, Tuan ...
Luisa mengerjapkan mata berulang kali. Ditanya begitu oleh Jose, sungguh membuat dia kebingungan.Bukan bingung antara Jose dan Alfreed, melainkan bingung memilih kalimat yang tepat agar pria masa kecilnya itu tahu bahwa dia sudah bukan Luisa yang dulu. Luisa yang single dan tidak terikat dengan siapapun. Seandainya saja Jose muncul sehari sebelum dia lari dari Meksiko, mungkin keadaannya tidak akan semembingungkan ini. Tapi begitulah takdir, sudah begitu dekatnya Luisa bertemu Jose sebab hendak dijual oleh Selena, namun Tuhan justru membawa langkahnya jauh hingga ke Washington DC. Bertemu dengan pria yang menolongnya saat hampir di lecehkan ketika dia tinggal di Inggris dulu.Perjalanan panjang berliku yang Luisa sendiri pun tak menyangka akan seperti ini."A-aku tidak bisa, Nando.” Menyebut nama Nando serta melihat penampilan pria dihadapannya, Luisa jadi sadar kalau dia bukan Nando-nya yang dulu, tapi Tuan Muda Jose Fernando Chavez.“Maksudku, Tuan Muda Jose ...” Luisa meralat ka
“Maafkan aku, Lu.... “ Sekali lagi Jose hendak memeluk Luisa, tapi wanita itu terus mendorong tubuhnya menjauh. Dia bahkan menggeleng, seperti tak ingin berada di dekat Jose. “Di hari yang sama ... nenek dan kau pergi meninggalkan aku ... “ Masih Luisa bicara sambil terisak-isak. Kesedihan yang dialaminya enam belas tahun yang lalu seakan terekam ulang. Flashback on “Sepertinya aku akan pergi,” ucap Nando, anak lelaki yang bernama lengkap Jose Fernando Chavez, sore itu di tepi pantai yang tidak jauh dari rumah Nenek Angel. “Kau mau pergi mana?” tanya Lulu, alias Luisa kecil. “Entahlah, aku juga tidak tahu, karena orang-orang itu terus berdatangan setiap hari ke rumah bibiku.” Jose melihat ada sekumpulan orang berbaju hitam yang setiap hari datang mencarinya dan bibinya selalu mengatakan dia tidak ada. Tapi entah kenapa Jose merasa cepat atau lambat dirinya pasti akan dibawa oleh orang-orang itu. “Lalu bagaimana denganku ...? Jangan bilang kau akan meninggalkan aku, N
“Tidak, Tuan. Demi Tuhan, tidak! Mana berani saya punya pikiran seperti itu pada orang yang akan saya ajukan untuk Tuan.” Panik Paul dituduh begitu.Tapi memang benar, tak sedikitpun ada niat lebih di otak Paul tentang Luisa. Murni hanya ingin menolong, sebab dia tahu betul kalau Kartel El Salvador adalah yang paling kejam di Meksiko. Semua yang berurusan dengan mereka taruhannya nyawa jika tidak menurut.Dan kalaupun saat itu Luisa menurut untuk berhubungan dengan Jose, setelah itu dia pasti akan digilir ke anak buahnya. Hal lumrah bagi kumpulan penjahat bajingan seperti mereka.Ditambah lagi pertemuan Paul dengan Luisa tepat di detik-detik terakhir deadline-nya menemukan calon istri kontrak untuk sang bos.“Tapi gara-gara kau membawanya, nyawaku hampir melayang, kau tahu!” Alfreed menarik kerah baju Paul. Geram dia kalau ingat kejadian saat di Meksiko kemarin.“Sa-saya minta maaf, Tuan. Saya benar-benar minta maaf.”Alfreed lalu melepas sembari mendorong Paul menjauh darinya.“Tapi
“Lepaskan dia. Dia tidak ada hubungannya dengan masalah ini,” pinta Luisa yang seketika itu Jose melirik pada Alfreed. Diperhatikannya pria itu dari ujung kepala hingga ujung kaki. Walau dia belum tahu apa hubungan Luisa dengan pria tersebut tapi dia langsung tidak suka. “Siapa kau?” tanya Jose pada Alfreed. “Bukan siapa-siapa.” Luisa yang menjawab. Sengaja, agar Jose bisa langsung melepaskan Alfreed. Tapi pengakuan tersebut malah membuat Alfreed makin salah paham. Otaknya berkesimpulan kalau Luisa punya hubungan spesial dengan Jose dan hanya menjadikannya sebagai pelarian. ‘Wanita licik! Kau jelas takut mengakui siapa aku! Benar-benar sialan! Bisa-bisanya Paul mengenalkan manusia sepertimu padaku!’ gerutu Alfreed. “Siapa kau?!” tanya Jose sekali lagi yang kali ini tepat di hadapan Alfreed. Bukannya takut Alfreed justru tersenyum. “Aku suaminya.” Sontak pengakuan itu membuat semua yang mendengar terkejut. Termasuk anak buah Jose yang tak menyangka kalau sang
“Kalian dibayar berapa? Aku bisa membayar sepuluh kali lipat asal kalian membiarkan kami pergi.” Melirik satu sama lain beberapa orang yang sudah mengepung Luisa dan Alfreed, kemudian mereka tertawa. “Hahaha ... Kau sudah bosan hidup rupanya.” Salah seorang dari mereka bicara. Ini bukan tentang uang, tapi nyawa mereka yang akan jadi taruhan jika sampai berani mengkhianati Tuan Muda Jose. “Apakah mereka sudah ditemukan?” Suara berat terdengar, diiringi suara langkah. Luisa dan Alfred menoleh ke asal suara. Pria tinggi tegap dengan sekujur badan di penuhi tatoo. Matanya memperlihatkan warna iris yang berbeda, hitam di kanan dan grey di kiri, membuat penampilannya sepuluh kali lebih menakutkan walau sesungguhnya dia sudah begitu menakutkan. Tapi tak bisa dipungkiri, dibalik wajahnya yang seram dengan garis rahang yang tegas, dia adalah salah satu dari lima orang tertampan di Meksiko. ‘J-ja-jadi dia yang mereka panggil Tuan Muda Jose.’ Sedikit gemetar Luisa melihatnya untuk
K-kau!” Selena nyaris kehilangan kesabaran, namun dia cukup pandai mengelola emosi dengan berpura-pura tersenyum menutupinya. “Haih ... Kau pasti bertemu dengannya, tapi daripada menunggu sambil berdiri, lebih baik kau dan pria di sebelahmu itu menunggu di ruang tamu saja. Kalian pasti capek kalau berdiri terlalu lama.” “Sejak tadi kalian hanya banyak bicara, tapi pintu kamar ini tak kunjung dibuka. Kalian sengaja mempermainkan kami, ya?!” Alfred sudah mulai curiga. Ocehan Diana yang berbelit-belit sejak awal, ditambah kemunculan Selena membuat dia paham kalau ibu dan anak itu adalah dua ular berbisa. “Hei ... seenaknya saja kau menuduh begitu!” Dicurigai, Diana berlagak tidak bersalah. “Apa untungnya kami mempermainkan kalian? Aku hanya lupa- lupa ingat di mana meletakkan kunci kamar itu. Kan wajar, aku sudah tua,” lanjut Diana. Tersenyum Selena mendengar jawaban itu. Memang tak salah kalau dia jago ber-acting, sebab diturunkan langsung oleh ibunya. “Selena! Kau jang
“Maafkan aku, Bi. Aku datang ke sini hanya untuk menjemput ayah. Aku ingin membawa ayah untuk tinggal bersamaku.” “Tidak akan kubiarkan suamiku ikut denganmu, kau jelas tidak peduli dengannya! Jika kau peduli, kau tidak mungkin pergi saat kami membutuhkan pertolonganmu dari ancaman Tuan muda Jose.” Luisa menghela napas. Bahkan setelah dua minggu berlalu pun Diana tetap berbohong, pura-pura butuh pertolongan padahal tujuannya hanya ingin menjual Luisa. “Aku sudah tahu semuanya, Bi. Aku tahu Selena hendak menjualku. Kalian tidak benar-benar sedang diancam saat itu.” “A-apa apaan yang kau katakan itu?” Diana seketika gagap ketahuan berbohong. “Sekarang kumohon, biarkan aku membawa ayah dan mengurusnya hingga sembuh, Bi,” pinta Luisa. Panik, Diana melempar gelas yang kebetulan sejak tadi dia pegang. Prank! Pecah gelas tersebut tepat di depan Luisa berdiri. Bertepatan dengan itu Alfreed muncul, dia bosan hanya menunggu sendirian di dalam mobil. Tentu Alfreed berta
‘Well, finally she knows . Mau tidak mau dia memang harus tahu siapa aku sebenarnya,’ batin Alfreed. Dia yakin sekali Luisa akhirnya bisa menebak kalau sesungguhnya dia adalah Tuan Muda kaya raya penerus Scott Corp. “Kau menjual ginjalmu, ya?!” Mengejutkan, tebakan Luisa justru lari begitu jauh. Entah pikiran dari mana dia bisa menebak Alfreed menjual ginjalnya. Beradu rahang Alfreed jadinya. ‘Terlampau polos atau bodoh sih, dia ini!’ “Bukan, tapi ginjal Paul,” jawab Alfreed asal tapi sukses membuat Luisa menelan ludah ketakutan. “Sudah, stop berpikir yang macam-macam. Aku hanya salah lihat, kupikir harganya 150 dolar,” lanjut Alfreed lagi. Tersenyum lega, Luisa pada akhirnya memilih pakaian dalam yang harganya jauh lebih murah. Sesuai perintah Alfreed, dia memesan 10 pasang yang hanya memakan biaya 500 dolar. Bahkan tidak melebihi harga sepasang kaos kaki Alfreed. ‘Terbuat dari apa pakaian dalam yang dia pilih itu?’ Heran Alfreed dibuatnya. Beres dengan pesanan, A