Alfreed bersiap dengan setelan kantornya. Usai menyemprotkan parfum di beberapa bagian, pria berjas itu melangkah keluar dari kamar. Langsung dia dikejutkan dengan Kakek Scott yang ternyata sudah berdiri di depan pintu.
“Sudah kuduga, kau hanya membohongi kakekmu.” Sang kakek melihat penampilan cucunya yang sudah rapi dengan setelan kantor. “Membohongi?” Alfreed mengernyit tak mengerti. “Semalam kau berjanji akan membawa calon istrimu padaku,” jawab Kakek “Astaga ... Iya, aku lupa. Tunda saja hari ini. Besok aku janji akan membawanya padamu.” Dengan enteng Alfreed mengganti janjinya ke hari esok sebab dia juga belum memberitahu Paul prihal ini. “Tidak bisa! Seenaknya saja kau mengganti hari! Aku paling benci yang seperti itu!” Kakek Scott melotot. “Tapi aku ada meeting pagi, Kek, dan ini penting.” “Kau bisa menyuruh Paul untuk mewakilimu di meeting, jadi sekarang kau harus mengantarkan aku bertemu dengannya!” Kakek Scott bersikeras. Sudah jelas jika berdebat dengan sang kakek, Alfreed pasti akan kalah. Jadi mau tidak mau, pria itu menghubungi Paul, memberitahu bahwa dia tak bisa ke kantor hari ini. Alfreed lalu memandang kakeknya, “Titah Tuan Besar sudah selesai dilaksanakan.” Memasukkan ponsel ke saku celana, dia lanjut bicara, “Kakek bisa bersiap-siap sekarang. Tapi sebelum itu, aku beritahu sesuatu. Calon menantumu adalah orang yang tidak menyukai sesuatu yang berbau materi, jadi kusarankan agar Kakek menggunakan pakaian terburukmu.” Sempat mengaga tapi kemudian Kakek Scott tertawa. “Jangan mengada-ada kau, Alfreed. Kau mau menipuku, ya?” “Menipu bagaimana? Aku tidak pernah kursus acting seperti kakek.” Hilang tawa kakek seketika. “Di mana-mana orang mau bertemu calon menantu memakai pakaian terbaik. Kau malah menyuruhku sebaliknya.” “Kakek pikir aku bercanda? Aku sangat serius soal itu. Ini saja aku mau ganti baju,” ucap Alfreed penuh keseriusan. “Ya ya terserah kau saja lah. Aku akan menurut. Aku penasaran apakah ini karanganmu belaka, atau memang benar kau sudah memiliki calon istri ” Kakek Scott langsung putar balik pergi untuk berganti baju. “Cih, sialan! Dia meragukanku!” gerutu Alfreed kesal. Alfreed kembali masuk ke kamar. Persis seperti yang dia ucapkan pada sang kakek, dia pun mencari pakaian terburuk miliknya. Namun sampai turun semua isi lemari, tak dia temukan satupun pakaian seperti yang dipinjami Paul kemaren. “Shit! Baru kali ini aku dibuat pusing oleh wanita,” keluh Alfreed. Dia malah menyalahkan Luisa, padahal gadis itu tak tahu apa-apa. Salahnya sendiri yang bersandiwara. Bosan mencari, akhirnya Alfreed memutuskan untuk menelepon Paul. Rupanya asistennya itu sudah mengirim pesan sejak lima menit yang lalu. ‘Tuan, saya sudah mengabari Nona Luisa bahwa anda akan menemuinya. Ini kontak Nona Luisa, anda harus menyimpannya agar Tuan besar tidak curiga.’ Tak membalas pesan Paul, Alfreed langsung saja menelepon asistennya. “Ya, Tuan. Meeting baru saja dimulai, bisakah –“ “Tidak bisa!” Belum selesai Paul bicara, Alfreed lebih dulu memotong. “Aku hanya ingin tahu di mana kau mendapatkan baju jelek yang kemarin? Aku perlu baju dengan jenis yang sama untuk menemui wanita itu hari ini.” “Security hotel.” “Apa?!” Alfreed langsung berteriak. “Maaf, Tuan. Saya akan lanjutkan meeting, saya akan hubungi anda lagi nanti.” Demi keselamatan hidupnya, Paul cepat-cepat mematikan sambungan telepon. “Sialan kau, Paul!” Betapa kesalnya Alfreed sekarang. Dia sampai meremas ponsel menahan emosi. Belum sempat memarahi Paul, tapi sambungan teleponnya sudah dimatikan. “Bisa-bisanya kau meminjamiku baju security hotel!” Menyibak rambutnya ke belakang, Alfreed berusaha untuk tenang. Tapi dia justru bertanya-tanya soal kemarin, apakah saat dia memakai baju tersebut, security hotel itu sudah melihatnya? Hancur harga dirinya kalau begitu. Alfreed hendak memaki lagi, namun ketukan di pintu membuatnya urung melakukan. “Aku sudah siap. Kenapa kau lama sekali? Tidak sedang pakai lipstik, kan?” Ledek Kakek Scott, sebab sudah setengah jam yang lalu dia menunggu cucunya di bawah tapi tak kunjung turun juga. Alfreed membuka pintu, dan penampilan sang kakek membuatnya menganga, kemeja kotak-kotak dengan celana bahan hitam yang keduanya sudah pudar. ‘Darimana kakek mendapatkan baju jelek seperti itu? Dia benar-benar terlihat seperti kakek-kakek miskin pengangguran.’ “Kau belum ganti baju?” Heran Kakek Scott. “Kakek memakai baju seperti itu, dari mana mendapatkannya?” Bukannya menjawab, Alfreed malah balik bertanya. “Kau sendiri, kan yang menyuruhku memakai pakaian terburukku.” ‘Jangan-jangan itu pakaian yang sengaja dia siapkan untuk beracting lagi di depanku.’ “Kau jangan berpikir macam-macam, ini adalah baju pemberian nenekmu waktu kami baru menikah, jadi aku menyimpannya. Tidak disangka baju ini masih sangat berguna,” terang Kakek Scott. Sekarang, malah Alfreed sendiri yang kebingungan, sebab dia tak punya baju yang seperti itu. Hampir semua bajunya limited edition, itupun setelah dipakai sekali, dia tidak memakainya lagi. “Ck ... Ya sudah, kau tunggu saja di mobil, aku akan turun lima menit lagi.” Tak menunggu jawaban sang kakek, Alfreed langsung berjalan melewatinya. Dia menemui supir kakeknya di belakang untuk meminjam baju. Sayang, bajunya lagi-lagi kesempitan. Tapi tidak ada pilihan. Tukang kebun mansion kakek malah berbadan gemuk yang tidak mungkin pakaiannya dia pakai. Kini, cucu dan kakek itu sudah dalam perjalanan menuju hotel tempat Luisa menginap. “Hahaha ... Baju siapa yang kau pakai itu?” Kakek terkekeh melihat penampilan cucunya. Kaos berkerah yang ketatnya membentuk seluruh lekuk tubuh Alfreed seperti baju senam. Bukan dia yang menjawab, melainkan si pemilik baju. “Maafkan saya, Tuan. Saya tidak punya baju yang lebih besar lagi, dan kaos itu adalah yang terbaik yang saya punya.” “Ooh, jadi itu kaosmu, Robert. Tidak apa-apa. Bagus kok, sangat cocok untuk cucuku.” Sang kakek menjawab dengan sedikit tertawa. ‘Sialan! Kalau bukan kakek kandungku, sudah lama kau kumusnahkan, tua bangka!’ Menggeram Alfreed dalam hati. Daripada dia terus dibikin emosi oleh kakeknya, Alfreed memilih untuk mengirim pesan pada Luisa, menanyakan nomor kamarnya. Namun karena itu dari nomor asing, Luisa tak berani membuka pesan tersebut . Dia khawatir kalau itu adalah pesan dari Selena atau salah satu anak buah Tuan Muda Jose. Bahkan Luisa juga mereject panggilan telepon dari nomor yang sama. ‘Shit ... Apa-apaan, dia ini?!’ Alfreed nyaris memaki, tapi tak mungkin mengingat sang kakek berada di sebelahnya. “Robert ... Nanti turunkan kami agak jauh dari hotel,” titah Kakek Scott. “Baik, Tuan.” “Loh, kenapa? Kakek mau jalan kaki?” Alfreed yang sejak tadi sibuk dengan ponsel, langsung protes. “Kan kau sendiri yang bilang kalau calon istrimu tak suka materi. Ya kita harus totalitas.” Rupanya kakek sungguh-sungguh mengikuti permainan Alfreed. “Oh, iya. Aku lupa.” “Kau sudah pikun padahal masih muda. Itu tandanya kau harus cepat-cepat menikah.” Alfreed mencebikkan bibir. Kakeknya itu memang selalu juara prihal membuatnya kesal. Sampai di lobi hotel, Alfreed berpura-pura ingin ke toilet. “Tunggu dulu di sini, Kek. Aku ingin ke toilet sebentar” Dia berencana menelepon Paul. Dan begitu Alfreed pergi, kakek Scott langsung menghubungi asistennya. “Jordan, apa kau sudah menyiapkan apa yang aku minta tadi malam?” “Bagus ... Langsung bawa saja mereka ke kantor sipil, aku sudah muak bermain-main dengan bocah satu ini. Kali ini jika dia menipuku, akan langsung aku nikahkan dengan salah satu perempuan yang kau bawa nanti.” Kakek Scott menutup telepon begitu melihat Alfreed yang berjalan tergesa ke arahnya. Rupanya niat sang kakek menikahkan cucunya tidak main-main. Dia bahkan akan langsung melakukannya tanpa persetujuan dari Alfreed. “Ayo! Dia sudah menunggu kita.” Alfreed sudah mengetahui nomer kamar Luisa dari Paul. Sekarang, mereka sudah duduk bertiga di dalam kamar Luisa. Usai berkenalan, ketiganya duduk berbincang. Ralat, hanya Luisa dan Kakek Scott yang berbincang, sebab Alfreed hanya diam, seperti tidak peduli dengan calon istrinya. Dia bahkan tidak memandang wanita itu sedikitpun. Tentu sikapnya membuat sang Kakek meragukan hubungan mereka. “Luisa, apa kau benar-benar bersedia menikah dengan cucuku?” Ditanya begitu, Luisa langsung menunduk. Bingung dia harus menjawab apa. Ingin mengatakan yang sebenarnya, tapi dia teringat dengan Paul yang sudah berjasa dan begitu baik padanya. Alhasil, Luisa hanya mengangguk sebagai jawaban. “Jika kau dipaksa oleh cucuku yang bodoh ini, kau bisa mengatakannya padaku sekarang,” ucap sang kakek lugas. “Kek, kau?!” Alfreed hendak menyela, namun tangan kakeknya membuat dia bungkam. Luisa menggeleng pelan lalu menjawab, “Sama sekali tidak, kami memang sudah merencanakannya, Kek.” Kakek Scott sumringah mendengar jawaban Luisa, dia langsung bangkit detik itu. “Baguslah! Kalau begitu, kalian harus ikut denganku sekarang. Aku punya kejutan kecil untuk kalian berdua.” Tidak hanya Luisa, Alfreed pun sama terkejutnya. ‘Mau berulah apalagi dia?’ batin Alfreed. Sampai di lobi, kakek menelepon seseorang. “Kami sudah di lobi. Kita lakukan plan B, dan tunggu kedatangan kami di sana.” Tak berapa lama sebuah mobil sedan tua, Chevrolet Camaro 1967 datang. “Ayo ayo! Ini hanya mobil sewaan. Aku tak punya mobil jadi aku menyewanya dengan sopirnya juga.” Alfreed makin terkejut saja. ‘Dia sungguh totalitas, tapi kemana dia mau membawa kami?’ Pertanyaan Alfreed langsung terjawab begitu mobil yang mereka tumpangi berhenti di depan kantor sipil di kota itu. “Kakek, kau?!” sentaknya. “Ya, kalian harus menikah hari ini. Aku khawatir karena usiaku yang sudah tua, aku tak bisa bangun lagi dan melihat kalian menikah." Kakek Scott bicara seolah dia sudah benar-benar sangat tua dan penyakitan. “Bagaimana, Luisa? Kau bersedia, kan?” Tidak bertanya pada cucunya, dia justru menanyakan pada calon menantu. Melirik Alfreed sesaat, Luisa kemudian menganggukkan kepala. Semua persyaratan surat menyurat sudah disiapkan sang kakek sebelumnya. Hanya tersisa ID card Luisa yang dia butuhkan. Maka setelah itu , pernikahan teramat sederhana keluarga Scott untuk pertama kalinya pun terjadi. Alfreed dan Luisa kini sudah sah menjadi suami istri. “Aaah ...” Menghela napas panjang Alfreed usai menorehkan tanda tangan. Bukan dia yang memberi kejutan untuk kakeknya, justru dia yang terkejut. Tiba-tiba saja sudah menjadi suami dari wanita antah berantah yang tidak dia kenal sama sekali, dan nama lengkapnya pun baru dia ketahui saat ini. Alfreed lalu melirik ke kanan, dan baru saat itulah dia melihat kalau ada bekas goresan kecil di pipi Luisa. Ditatap terus begitu, tentu Luisa jadi salah tingkah. Tapi adegan tatap-tatapan itu buyar sebab suara kakek kembali terdengar. “Maaf, karena kami tak bisa memberikan pernikahan impian untukmu, Luisa.” “Tidak apa-apa, Kek.” Senyum Luisa, tulus. “Dan karena tabungan Alfreed belum cukup untuk menyewa tempat tinggal, jadi kalian masih harus tinggal denganku. Kau tidak apa-apa, kan, Luisa?” sambung kakek lagi. Alfreed melotot, kali ini tidak bisa dibiarkan. Untuk pernikahan, dia bisa terima. Tapi untuk membiarkan kakeknya ikut tinggal bersama, Alfreed akan menentangnya. “Tabunganku sudah cukup, kok.” “Oh ya? Baguslah!” Kakek beralih menatap Luisa, “Nak ... Maaf, jika aku merepotkanmu. Tapi uang yang seharusnya aku pakai untuk membayar uang sewa, sudah aku pakai untuk mendaftarkan pernikahan kalian tadi. Jadi bolehkah aku ikut tinggal dengan kalian?”“Shit! Si tua bangka itu sungguh-sungguh menguji kesabaranku!” Alfreed langsung mengumpat, begitu dia sampai di pintu keluar kantor sipil. Sengaja dia meninggalkan Luisa dan kakeknya lebih dulu sebab sudah tak tahan ingin meledak. Satu-satunya orang yang terpikirkan olehnya sekarang adalah Paul. Langsung dia telepon asistennya itu. “Kau tahu, kesialan sudah menimpaku saat ini. Si tua bangka itu menikahkan kami seperti kilat, dan setelahnya dia malah beracting menjadi orang termiskin di dunia yang tidak punya tempat tinggal selain menumpang di rumahku. Damn it!” Alfreed berteriak di ujung kalimatnya. Dia bahkan menendang ban mobil orang sampai alarmnya berbunyi. Terkejut, buru-buru dia berpindah tempat. Tak mau sampai ada yang tahu kelakuan bodohnya itu. “Suara apa itu, Tuan?” Di ujung telepon Paul juga ikut terkejut. “Tidak perlu kau tanyakan! Sekarang cepat pikirkan solusinya! Sebab kau yang harus bertanggung jawab atas ide bodohmu ini!” hardik Alfreed. Paul menelan
“A-apa yang kau bicarakan, Kek?” Kakek mendecis, muak dia dengan pertanyaan Alfreed. Padahal sejujurnya cucunya itu kalut bukan main. Bagaimana tidak, perusahaan yang sudah susah payah dia pimpin hingga sebesar ini, harus diserahkan ke panti sosial begitu saja. Hal gila yang sungguh menghancurkan hidupnya. “Aku tidak menjanjikan apapun padanya. Dia sungguh wanita yang ingin kunikahi. Kan sudah aku bilang padamu!” Alfreed berusaha mengelak. “Halah ... kau kira aku sebodoh itu untuk tahu mana yang sepasang kekasih sungguhan dan yang tidak.” Kakek Scott melotot. “Kapan aku bilang kami sepasang kekasih?” Tercengang Kakek mendengar pernyataan itu. “Lalu apa hubungan kalian sesungguhnya?” “Dia ...” Alfreed bingung harus mengarang cerita apa sekarang. Tatapan kakeknya membuat dia tak bisa berpikir jernih. “Dia wanita yang sudah lama kukenal. Kami memang tidak pernah punya hubungan. Tapi dia menyukaiku dan aku ..., ya, aku juga menyukainya.” Alfreed tidak berani menatap mata k
"Kau pikir kau siapa?! Kalau bukan karena kekayaan yang kakek miliki, kau tidak akan jadi sebesar ini, Alfreed! Kau boleh saja menjadi seorang CEO yang hebat, tapi jangan pernah lupa kalau aku adalah owner-nya. Aku yang sesungguhnya pemilik ratusan hotel Scott di seluruh dunia. Namaku yang orang-orang kenal, Scott Ferdinand. Jadi stop mendebatku dengan berbagai macam alasanmu itu! Cukup turuti mauku kalau kau masih ingin menikmati semua yang kumiliki! Jika tidak, aku akan menyerahkan seluruhnya ke panti sosial! Camkan itu!--------Bruak!“Aarrrgh ..., fuck this shit!” Alfreed menendang kursi kebesarannya di kantor saat mengingat kejadian sore tadi. Ancaman sang kakek yang membuat emosinya langsung mendidih.“Sialan! Si tua bangka itu lagi-lagi mengancamku dengan tuntutannya! Kenapa dia tidak mati saja?! Umurnya terlalu panjang menjadi manusia, bahkan ayahku lebih dulu mati daripada dia! Damn it!”“Ini tidak adil! Apa hak dia memaksaku menikah dan punya anak? Ini hidupku! Aku yang men
(Tiga hari sebelumnya)Malam itu Paul bergegas menuju bandara. Tujuannya adalah Mexico, sebab selain karena Bibinya tinggal di sana, Paul yakin kalau tidak akan ada satupun perempuan Mexico yang mengenal siapa keluarga Scott.Menempuh perjalanan udara lebih kurang 6 jam dari Washington DC, akhirnya Paul pun sampai. Tempat pertama yang dia kunjungi setelah dari bandara adalah panti asuhan. Paul mengira bisa menemukan perempuan cantik yang hidup sebatang kara dan mau menikah kontrak dengan bosnya. Tapi sayang pilihannya itu zonk. Enam panti asuhan sudah Paul datangi selama dua hari, tapi tak dia temukan gadis menarik yang cocok bersanding dengan bosnya. Sekalinya ada yang memenuhi kriteria, saat ditanyai cita-citanya justru menjadi biarawati. “Ah, kacau ... Waktuku sudah terbuang sia-sia di sini,” gumam Paul berdecak. Dia pikir bisa dengan mudah menemukan perempuan itu, tapi ternyata sulitnya bukan main. Saat Paul sedang duduk menikmati kopi sembari berpikir, Bibinya datang mendekat.
Washington DC. Tak pernah terbayangkan oleh Luisa dia akan menjejakkan kaki di kota ini. Turun dari taksi, Paul membantu Luisa untuk check-in di hotel. “Oke, ini kuncinya.” Paul menyerahkan kunci kamar pada Luisa.“Kau bisa langsung beristirahat di kamar, Luisa. Dan aku harus pergi, ada hal mendesak yang wajib kuselesaikan,” sambung Paul.Luisa tak menjawab. Dia hanya menatap Paul dengan raut wajah khawatir.“Jangan khawatir, aku pasti akan kembali. Aku tidak terpikir sedikitpun untuk menipumu. Sesuai kesepakatan kita tadi, aku akan membantumu dan kau tentu juga akan membantuku ‘kan?” Luisa pun mengangguk.Dua jam lebih setelah kepergian Paul, seseorang tiba-tiba mengetuk pintu kamar Luisa. Reflek gadis itu menyeka air matanya. Ya, kesendiriannya di kamar hotel itu membuat dia kembali teringat dengan nasib malang yang silih berganti menimpanya.“Luisa ..., ini aku, Paul. Aku tunggu kau di lobi sekarang, ya,” ucap Paul dari luar.Sampai di lobi hotel, ternyata Paul memperkenalkan Luis
“A-apa yang kau bicarakan, Kek?” Kakek mendecis, muak dia dengan pertanyaan Alfreed. Padahal sejujurnya cucunya itu kalut bukan main. Bagaimana tidak, perusahaan yang sudah susah payah dia pimpin hingga sebesar ini, harus diserahkan ke panti sosial begitu saja. Hal gila yang sungguh menghancurkan hidupnya. “Aku tidak menjanjikan apapun padanya. Dia sungguh wanita yang ingin kunikahi. Kan sudah aku bilang padamu!” Alfreed berusaha mengelak. “Halah ... kau kira aku sebodoh itu untuk tahu mana yang sepasang kekasih sungguhan dan yang tidak.” Kakek Scott melotot. “Kapan aku bilang kami sepasang kekasih?” Tercengang Kakek mendengar pernyataan itu. “Lalu apa hubungan kalian sesungguhnya?” “Dia ...” Alfreed bingung harus mengarang cerita apa sekarang. Tatapan kakeknya membuat dia tak bisa berpikir jernih. “Dia wanita yang sudah lama kukenal. Kami memang tidak pernah punya hubungan. Tapi dia menyukaiku dan aku ..., ya, aku juga menyukainya.” Alfreed tidak berani menatap mata k
“Shit! Si tua bangka itu sungguh-sungguh menguji kesabaranku!” Alfreed langsung mengumpat, begitu dia sampai di pintu keluar kantor sipil. Sengaja dia meninggalkan Luisa dan kakeknya lebih dulu sebab sudah tak tahan ingin meledak. Satu-satunya orang yang terpikirkan olehnya sekarang adalah Paul. Langsung dia telepon asistennya itu. “Kau tahu, kesialan sudah menimpaku saat ini. Si tua bangka itu menikahkan kami seperti kilat, dan setelahnya dia malah beracting menjadi orang termiskin di dunia yang tidak punya tempat tinggal selain menumpang di rumahku. Damn it!” Alfreed berteriak di ujung kalimatnya. Dia bahkan menendang ban mobil orang sampai alarmnya berbunyi. Terkejut, buru-buru dia berpindah tempat. Tak mau sampai ada yang tahu kelakuan bodohnya itu. “Suara apa itu, Tuan?” Di ujung telepon Paul juga ikut terkejut. “Tidak perlu kau tanyakan! Sekarang cepat pikirkan solusinya! Sebab kau yang harus bertanggung jawab atas ide bodohmu ini!” hardik Alfreed. Paul menelan
Alfreed bersiap dengan setelan kantornya. Usai menyemprotkan parfum di beberapa bagian, pria berjas itu melangkah keluar dari kamar. Langsung dia dikejutkan dengan Kakek Scott yang ternyata sudah berdiri di depan pintu. “Sudah kuduga, kau hanya membohongi kakekmu.” Sang kakek melihat penampilan cucunya yang sudah rapi dengan setelan kantor. “Membohongi?” Alfreed mengernyit tak mengerti. “Semalam kau berjanji akan membawa calon istrimu padaku,” jawab Kakek “Astaga ... Iya, aku lupa. Tunda saja hari ini. Besok aku janji akan membawanya padamu.” Dengan enteng Alfreed mengganti janjinya ke hari esok sebab dia juga belum memberitahu Paul prihal ini. “Tidak bisa! Seenaknya saja kau mengganti hari! Aku paling benci yang seperti itu!” Kakek Scott melotot. “Tapi aku ada meeting pagi, Kek, dan ini penting.” “Kau bisa menyuruh Paul untuk mewakilimu di meeting, jadi sekarang kau harus mengantarkan aku bertemu dengannya!” Kakek Scott bersikeras. Sudah jelas jika berdebat dengan san
Washington DC. Tak pernah terbayangkan oleh Luisa dia akan menjejakkan kaki di kota ini. Turun dari taksi, Paul membantu Luisa untuk check-in di hotel. “Oke, ini kuncinya.” Paul menyerahkan kunci kamar pada Luisa.“Kau bisa langsung beristirahat di kamar, Luisa. Dan aku harus pergi, ada hal mendesak yang wajib kuselesaikan,” sambung Paul.Luisa tak menjawab. Dia hanya menatap Paul dengan raut wajah khawatir.“Jangan khawatir, aku pasti akan kembali. Aku tidak terpikir sedikitpun untuk menipumu. Sesuai kesepakatan kita tadi, aku akan membantumu dan kau tentu juga akan membantuku ‘kan?” Luisa pun mengangguk.Dua jam lebih setelah kepergian Paul, seseorang tiba-tiba mengetuk pintu kamar Luisa. Reflek gadis itu menyeka air matanya. Ya, kesendiriannya di kamar hotel itu membuat dia kembali teringat dengan nasib malang yang silih berganti menimpanya.“Luisa ..., ini aku, Paul. Aku tunggu kau di lobi sekarang, ya,” ucap Paul dari luar.Sampai di lobi hotel, ternyata Paul memperkenalkan Luis
(Tiga hari sebelumnya)Malam itu Paul bergegas menuju bandara. Tujuannya adalah Mexico, sebab selain karena Bibinya tinggal di sana, Paul yakin kalau tidak akan ada satupun perempuan Mexico yang mengenal siapa keluarga Scott.Menempuh perjalanan udara lebih kurang 6 jam dari Washington DC, akhirnya Paul pun sampai. Tempat pertama yang dia kunjungi setelah dari bandara adalah panti asuhan. Paul mengira bisa menemukan perempuan cantik yang hidup sebatang kara dan mau menikah kontrak dengan bosnya. Tapi sayang pilihannya itu zonk. Enam panti asuhan sudah Paul datangi selama dua hari, tapi tak dia temukan gadis menarik yang cocok bersanding dengan bosnya. Sekalinya ada yang memenuhi kriteria, saat ditanyai cita-citanya justru menjadi biarawati. “Ah, kacau ... Waktuku sudah terbuang sia-sia di sini,” gumam Paul berdecak. Dia pikir bisa dengan mudah menemukan perempuan itu, tapi ternyata sulitnya bukan main. Saat Paul sedang duduk menikmati kopi sembari berpikir, Bibinya datang mendekat.
"Kau pikir kau siapa?! Kalau bukan karena kekayaan yang kakek miliki, kau tidak akan jadi sebesar ini, Alfreed! Kau boleh saja menjadi seorang CEO yang hebat, tapi jangan pernah lupa kalau aku adalah owner-nya. Aku yang sesungguhnya pemilik ratusan hotel Scott di seluruh dunia. Namaku yang orang-orang kenal, Scott Ferdinand. Jadi stop mendebatku dengan berbagai macam alasanmu itu! Cukup turuti mauku kalau kau masih ingin menikmati semua yang kumiliki! Jika tidak, aku akan menyerahkan seluruhnya ke panti sosial! Camkan itu!--------Bruak!“Aarrrgh ..., fuck this shit!” Alfreed menendang kursi kebesarannya di kantor saat mengingat kejadian sore tadi. Ancaman sang kakek yang membuat emosinya langsung mendidih.“Sialan! Si tua bangka itu lagi-lagi mengancamku dengan tuntutannya! Kenapa dia tidak mati saja?! Umurnya terlalu panjang menjadi manusia, bahkan ayahku lebih dulu mati daripada dia! Damn it!”“Ini tidak adil! Apa hak dia memaksaku menikah dan punya anak? Ini hidupku! Aku yang men