Alfreed bersiap dengan setelan kantornya. Usai menyemprotkan parfum di beberapa bagian, pria berjas itu melangkah keluar dari kamar. Langsung dia dikejutkan dengan Kakeknya yang ternyata sudah berdiri di depan pintu.
“Sudah kuduga, kau hanya membohongi kakekmu.” Sang kakek melihat penampilan cucunya yang sudah rapi dengan setelan kantor. “Membohongi?” Alfreed mengernyit tak mengerti. “Semalam kau berjanji akan membawa calon istrimu padaku,” jawab Kakek. “Astaga ... Iya, aku lupa. Tunda saja hari ini. Besok aku janji akan membawanya padamu.” Dengan enteng Alfreed mengganti janjinya ke hari esok sebab dia juga belum memberitahu Paul prihal ini. “Tidak bisa! Seenaknya saja kau mengganti hari! Aku paling benci yang seperti itu!” Kakek Scott melotot. “Tapi aku ada meeting pagi, Kek, dan ini penting.” “Kau bisa menyuruh Paul untuk mewakilimu di meeting, jadi sekarang kau harus mengantarkan aku bertemu dengannya!” Kakek bersikeras. Jika berdebat dengan sang kakek, Alfreed pasti akan kalah. Jadi mau tidak mau, dia menghubungi Paul, memberitahu bahwa dirinya tak bisa ke kantor hari ini. Alfreed lalu memandang kakeknya, “Titah Tuan Besar sudah selesai dilaksanakan.” Memasukkan ponsel ke saku celana, dia lanjut bicara, “Kakek bisa bersiap-siap sekarang. Tapi sebelum itu, aku beritahu sesuatu. Calon menantumu adalah orang yang tidak menyukai sesuatu yang berbau materi, jadi kusarankan agar Kakek menggunakan pakaian terburukmu.” Sempat mengaga tapi kemudian Kakek Scott tertawa. “Jangan mengada-ada kau, Alfreed. Kau mau menipuku, ya?” “Menipu bagaimana? Aku tidak pernah kursus acting seperti kakek.” Hilang tawa kakek seketika. “Di mana-mana orang mau bertemu calon menantu memakai pakaian terbaik. Kau malah menyuruhku sebaliknya.” “Kakek pikir aku bercanda? Aku sangat serius soal itu. Ini saja aku mau ganti baju,” ucap Alfreed penuh keseriusan. “Oke, aku akan menurut. Aku penasaran apakah ini karanganmu saja, atau memang benar kau sudah memiliki calon istri ” Kakek langsung putar balik pergi untuk berganti baju. “Cih, sialan! Dia meragukanku!” gerutu Alfreed kesal. Alfreed kembali masuk ke kamar. Persis seperti yang dia ucapkan pada sang kakek, dia pun mencari pakaian terburuk miliknya. Namun sampai turun semua isi lemari, tak dia temukan satupun pakaian seperti yang dipinjami Paul kemaren. “Shit! Baru kali ini aku dibuat pusing oleh wanita,” keluh Alfreed. Dia malah menyalahkan Luisa, padahal gadis itu tak tahu apa-apa. Salahnya sendiri yang bersandiwara. Bosan mencari, akhirnya Alfreed memutuskan untuk menelepon Paul. Rupanya asistennya itu sudah mengirim pesan sejak lima menit yang lalu. ‘Tuan, saya sudah mengabari Nona Luisa bahwa anda akan menemuinya. Ini kontak Nona Luisa, anda harus menyimpannya agar Tuan besar tidak curiga.’ Tak membalas pesan Paul, Alfreed langsung saja menelepon asistennya. “Ya, Tuan. Meeting baru saja dimulai, bisakah –“ “Tidak bisa!” Belum selesai Paul bicara, Alfreed memotong. “Aku hanya ingin tahu di mana kau mendapatkan baju jelek yang kemarin? Aku perlu baju dengan jenis yang sama untuk menemui wanita itu hari ini.” “Security hotel.” “Apa?!” Alfreed langsung berteriak. “Maaf, Tuan. Saya akan lanjutkan meeting, saya akan hubungi anda lagi nanti.” Demi keselamatan hidupnya, Paul cepat-cepat mematikan sambungan telepon. “Sialan kau, Paul!” Betapa kesalnya Alfreed sekarang. Dia sampai meremas ponsel menahan emosi. “Bisa-bisanya kau meminjamiku baju security hotel!” Menyibak rambutnya ke belakang, Alfreed berusaha untuk tenang. Tapi dia justru bertanya-tanya soal kemarin, apakah saat dia memakai baju tersebut, security hotel itu sudah melihatnya? Hancur harga dirinya kalau begitu. Alfreed hendak memaki lagi, namun ketukan di pintu membuatnya urung melakukan. “Aku sudah siap. Kenapa kau lama sekali? Tidak sedang pakai lipstik, kan?” Ledek Kakek Scott, sebab sudah setengah jam yang lalu dia menunggu cucunya di bawah tapi tak kunjung turun juga. Alfreed membuka pintu, dan penampilan sang kakek membuatnya menganga, kemeja kotak-kotak dengan celana bahan hitam yang keduanya sudah pudar. ‘Dia benar-benar terlihat seperti kakek-kakek miskin pengangguran,' batin Alfreed. “Kau belum ganti baju?” Heran Kakek Scott. “Dari mana Kakek mendapatkan pakaian ini?” Bukannya menjawab, Alfreed malah balik bertanya. “Kau sendiri 'kan yang menyuruhku memakai pakaian terburukku.” ‘Jangan-jangan itu pakaian yang sengaja dia siapkan untuk beracting lagi di depanku.’ “Kau jangan berpikir macam-macam, ini adalah baju pemberian nenekmu waktu kami baru menikah, jadi aku menyimpannya. Tidak disangka baju ini masih sangat berguna,” terang Kakek. Sekarang, malah Alfreed sendiri yang kebingungan, sebab dia tak punya baju yang seperti itu. Hampir semua bajunya limited edition, itupun setelah dipakai sekali, dia tidak memakainya lagi. “Ck ... Ya sudah, kau tunggu saja di mobil, aku akan turun lima menit lagi.” Tak menunggu jawaban sang kakek, Alfreed langsung berjalan melewatinya. Dia menemui supir kakeknya di belakang untuk meminjam baju. Sayang, bajunya agak kesempitan. Tapi tidak ada pilihan. Tukang kebun mansion kakek malah berbadan gemuk yang tidak mungkin pakaiannya dia pakai. Kini, cucu dan kakek itu sudah dalam perjalanan menuju hotel tempat Luisa menginap. “Hahaha ... Baju siapa yang kau pakai itu?” Kakek terkekeh melihat penampilan cucunya. Kaos berkerah yang ketatnya membentuk seluruh lekuk tubuh Alfreed seperti baju senam. Bukan dia yang menjawab, melainkan si pemilik baju. “Maafkan saya, Tuan. Saya tidak punya baju yang lebih besar lagi, dan kaos itu adalah yang terbaik yang saya punya.” “Ooh, jadi itu kaosmu, Robert. Tidak apa-apa. Bagus kok, sangat cocok untuk cucuku.” Sang kakek menjawab dengan sedikit tertawa. ‘Sialan! Kalau bukan kakek kandungku, sudah kuhajar kau, tua bangka!’ Menggeram Alfreed dalam hati. Daripada terus emosi karena kakeknya, Alfreed memilih untuk mengirim pesan pada Luisa, menanyakan nomor kamarnya. Namun karena itu dari nomor asing, Luisa tak berani membuka pesan tersebut, khawatir kalau itu adalah pesan dari Selena atau salah satu anak buah Tuan Muda Jose. Bahkan Luisa juga mereject panggilan telepon dari nomor yang sama. ‘Shit ... Apa-apaan, dia ini?!’ Alfreed nyaris memaki, tapi dia tahan sebab sang kakek berada di sebelahnya. “Robert ... Nanti turunkan kami agak jauh dari hotel,” titah Kakek Scott. “Baik, Tuan.” “Loh, kenapa? Kakek mau jalan kaki?” Alfreed yang sejak tadi sibuk dengan ponsel, langsung protes. “Kan kau sendiri yang bilang kalau calon istrimu tak suka materi. Ya kita harus totalitas.” Rupanya kakek sungguh-sungguh mengikuti permainan Alfreed. “Oh, iya. Aku lupa.” “Kau sudah pikun padahal masih muda. Itu tandanya kau harus cepat-cepat menikah.” Alfreed mencebikkan bibir. Kakeknya itu memang selalu juara prihal membuatnya kesal. Sampai di lobi hotel, Alfreed berpura-pura ingin ke toilet. “Tunggu dulu di sini, Kek. Aku ingin ke toilet sebentar” Dia berencana menelepon Paul. Dan begitu Alfreed pergi, kakek Scott langsung menghubungi asistennya. “Jordan, apa kau sudah menyiapkan apa yang aku minta tadi malam?” “Bagus ... Langsung bawa saja mereka ke kantor sipil, aku sudah muak bermain-main dengan bocah satu ini. Kali ini jika dia menipuku, akan langsung aku nikahkan dengan salah satu perempuan yang kau bawa nanti.” Kakek Scott menutup telepon begitu melihat Alfreed yang berjalan tergesa ke arahnya. Rupanya niat sang kakek menikahkan cucunya tidak main-main. Dia bahkan akan langsung melakukannya tanpa persetujuan dari Alfreed. “Ayo! Dia sudah menunggu kita.” Alfreed sudah mengetahui nomer kamar Luisa dari Paul. Sekarang, mereka sudah duduk bertiga di dalam kamar Luisa. Usai berkenalan, ketiganya duduk berbincang. Ralat, hanya Luisa dan Kakek Scott yang berbincang, sebab Alfreed hanya diam, seperti tidak peduli dengan calon istrinya, bahkan memandang saja tidak. Tentu sikapnya membuat sang Kakek meragukan hubungan mereka. “Luisa, apa kau benar-benar bersedia menikah dengan cucuku?” Ditanya begitu, Luisa langsung menunduk. Bingung dia harus menjawab apa. Ingin mengatakan yang sebenarnya, tapi dia teringat dengan Paul yang sudah berjasa dan begitu baik padanya. Alhasil, Luisa hanya mengangguk sebagai jawaban. “Jika kau dipaksa oleh cucuku yang bodoh ini, kau bisa mengatakannya padaku sekarang,” ucap sang kakek lugas. “Kek, kau?!” Alfreed hendak menyela, namun tangan kakek membuat dia bungkam. Luisa menggeleng pelan. “Sama sekali tidak, kami memang sudah merencanakannya, Kek.” Kakek Scott langsung sumringah. Bangkit dia detik itu juga. “Baguslah! Kalau begitu, kalian harus ikut denganku sekarang. Aku punya kejutan untuk kalian berdua.” Tidak hanya Luisa, Alfreed pun sama terkejutnya. ‘Mau berulah apalagi dia?’ batin Alfreed. Sampai di lobi, kakek menelepon seseorang. “Kami sudah di lobi. Kita lakukan plan B, dan tunggu kedatangan kami di sana.” Tak berapa lama sebuah mobil sedan tua, datang. “Ayo ayo! Ini hanya mobil sewaan. Aku tak punya mobil jadi aku menyewanya dengan sopirnya juga.” Alfreed makin terkejut saja. ‘Dia sungguh totalitas, tapi kemana dia mau membawa kami?’ Pertanyaan Alfreed langsung terjawab begitu mobil yang mereka tumpangi berhenti di depan kantor sipil. “Kakek, kau?!” sentaknya. “Ya, kalian harus menikah hari ini. Aku khawatir karena usiaku yang sudah tua, aku tak bisa bangun lagi dan melihat kalian menikah." Kakek Scott bicara seolah dia sudah benar-benar sangat tua dan penyakitan. “Bagaimana, Luisa? Kau bersedia, kan?” Tidak bertanya pada cucunya, dia justru menanyakan pada calon menantu. Melirik Alfreed sesaat, Luisa kemudian menganggukkan kepala. Semua persyaratan surat menyurat sudah disiapkan sang kakek sebelumnya. Hanya tersisa ID card Luisa yang dibutuhkan. Maka setelah itu , pernikahan teramat sederhana keluarga Scott untuk pertama kalinya pun terjadi. Alfreed dan Luisa kini sudah sah menjadi suami istri. “Aaah ...” Menghela napas panjang Alfreed usai menorehkan tanda tangan. Bukan dia yang memberi kejutan untuk kakeknya, justru dia yang terkejut. Tiba-tiba saja sudah menjadi suami dari wanita antah berantah yang nama lengkapnya pun baru dia ketahui saat ini. Alfreed lalu melirik ke kanan, dan baru saat itulah dia melihat kalau ada bekas goresan kecil di pipi Luisa. Ditatap terus begitu, tentu Luisa jadi salah tingkah. “Maaf, karena kami tak bisa memberikan pernikahan impian untukmu, Luisa." Beruntung suara kakek memecah kecanggungannya. “Tidak apa-apa, Kek.” Senyum Luisa, tulus. “Dan karena tabungan Alfreed belum cukup untuk menyewa tempat tinggal, jadi kalian masih harus tinggal denganku. Kau tidak apa-apa, kan, Luisa?” sambung kakek lagi. Alfreed melotot, kali ini tidak bisa dibiarkan. Untuk pernikahan, dia bisa terima. Tapi untuk membiarkan kakeknya tinggal bersama mereka, Alfreed akan menentangnya. “Tabunganku sudah cukup, Kek.” “Oh ya? Baguslah!” Kakek beralih menatap Luisa, “Nak ... Maaf, jika aku merepotkanmu. Sejujurnya uang yang seharusnya aku pakai untuk membayar uang sewa, sudah kugunakan untuk mendaftarkan pernikahan kalian tadi. Jadi bolehkah aku ikut tinggal dengan kalian?”Tak tahan ingin meledak, Alfreed bergegas keluar dari kantor sipil meninggalkan kakeknya dan Luisa. “Shit! Si tua bangka itu sungguh-sungguh menguji kesabaranku!” Satu-satunya orang yang terpikirkan olehnya sekarang adalah Paul. Langsung dia telepon asistennya itu. “Kau tahu, kesialan sudah menimpaku saat ini. Si tua bangka itu menikahkan kami seperti kilat, dan setelahnya dia malah beracting menjadi orang termiskin di dunia yang tidak punya tempat tinggal selain menumpang di rumahku. Damn it!” Alfreed berteriak di ujung kalimat. Dia bahkan menendang ban mobil orang sampai alarmnya berbunyi. Terkejut, buru-buru dia berpindah tempat. Tak mau sampai ada yang tahu kelakuan bodohnya itu. “Suara apa itu, Tuan?” Di ujung telepon Paul juga ikut terkejut. “Tidak perlu kau tanyakan! Sekarang cepat pikirkan solusinya! Sebab kau yang harus bertanggung jawab atas ide bodohmu ini!” hardik Alfreed. Paul menelan ludah. Dia sendiri tak menyangka kalau Tuan Besar akan bertindak beg
“A-apa yang kau bicarakan, Kek?” Kakek mendecis, muak dia dengan pertanyaan Alfreed. Padahal sejujurnya cucunya itu kalut bukan main. Bagaimana tidak, perusahaan yang sudah susah payah dia pimpin hingga sebesar ini, harus diserahkan ke panti sosial begitu saja. Hal gila yang sungguh menghancurkan hidupnya. “Aku tidak menjanjikan apapun padanya. Dia sungguh wanita yang ingin kunikahi. Kan sudah aku bilang padamu!” Alfreed berusaha mengelak. “Halah ... kau kira aku sebodoh itu untuk tahu mana yang sepasang kekasih sungguhan dan mana yang tidak.” Kakek Scott melotot. “Kapan aku bilang kami sepasang kekasih?” Tercengang Kakek mendengar pernyataan itu. “Lalu apa hubungan kalian sesungguhnya?” “Dia ...” Alfreed bingung harus mengarang cerita apa sekarang. Tatapan kakeknya membuat dia tak bisa berpikir jernih. “Dia wanita yang sudah lama kukenal. Kami memang tidak pernah punya hubungan. Tapi dia menyukaiku dan aku ..., ya, aku juga menyukainya.” Alfreed tidak berani me
“Ba-bagaimana kalau .... malam ini anda membuat kejutan makan malam romantis dengan Luisa. Saya yakin Tuan Besar pasti akan berhenti curiga.” Walau takut dengan amarah sang bos, tapi Paul masih bisa memberikan ide. Diam semenit, Alfreed baru bicara, “Hanya makan malam ‘kan? Tidak melakukan yang lain?” Alfreed memastikan lebih dulu. Dia tak mau terperosok makin dalam oleh ide Paul. “Usahakan Tuan basa-basi sedikit dengannya dan tatap matanya sesekali. Pasti rencana ini akan sukses besar, Tuan. Saya jamin!” Paul meyakinkan. “Baiklah, kau atur semuanya.” Akhirnya emosi Alfreed mereda. Sesuai perintah, Paul bergegas mengatur segalanya. Dia mempersiapkan makan malam romantis di rooftop apartemen. Tak lupa dia mampir membawakan sebuah gaun cantik untuk Luisa. Saat dia menekan bel, yang membuka pintu adalah Kakek Scott. “Rupanya kau, Paul.” “Selamat siang, Tuan besar.” Paul membungkuk menyapa Kakek Scott. “Bersikaplah biasa saja jika di sini. Ada apa?” Kakek Scott m
Alfreed melangkah menuju kamar terbaik di hotel yang dia datangi malam itu, namun tiba-tiba manager hotel berlari menyusulnya dari belakang. “Maaf, Tuan Alfreed. Saya bener-benar minta maaf,” ucap manager itu dengan napas ngos-ngosan. “Ada apa ini?” “Saya lupa bilang, kalau seluruh kamar hotel sudah di-booking, Tuan.” Terkejut bukan main Alfreed mendengar ucapan itu. Bagaimana mungkin seluruh hotel sudah di-booking, sementara acces card sudah ada di tangannya, dan apakah mereka lupa kalau dia adalah CEO Scott Corp yang merupakan pemilik dari hotel tersebut. “Saya sungguh-sungguh meminta maaf, Tuan. Tidak ada sedikitpun niat kami untuk membuat anda marah. Ini murni kelalaian pegawai resepsionis.” Sang manager terus menunduk, tak berani mengangkat kepalanya menatap Alfreed. Sejujurnya Alfreed ingin marah tapi perasaan campur aduk usai berciuman dengan Luisa lebih mendominan. Dia memilih pergi menuju apartemen miliknya sendiri, bukan ke apartemen Paul yang belakangan men
“Aku memberimu kesempatan terakhir, tunjukkan padaku bahwa kau benar-benar serius dengan pernikahanmu! Kembali ke kamarmu sekarang, dan besok semuanya akan normal, tidak akan ada lagi yang berani mengusik apalagi menganggapmu tamu di rumahku," ucap Kakek Scott. Alfreed mengepalkan kedua tangan, egonya sangat tinggi sehingga dia memilih untuk pergi sekalipun dia sangat menyayangkan harta dan warisan sang kakek. Masuk ke mobil, Alfreed membanting pintu dan memukul setir kemudi. Otaknya sudah tidak bisa diajak berpikir, hanya ingin marah dan mengamuk sekarang. Satu-satunya orang yang terlintas di kepalanya adalah Paul. “Kau harus bertanggung jawab untuk semua ini, Paul!” Alfreed menelepon asistennya itu, tapi tidak diangkat. “Sialan! Apa kau juga sudah berpaling pada si tua bangka itu?!” Tak puas, Alfreed langsung mengemudikan mobilnya menuju apartemen Paul yang baru. Setiba di sana, dia menggedor kasar pintunya. Tak peduli mau berapa banyak orang yang akan terganggu aka
Alfreed menghela napas panjang. Dia usap seluruh wajahnya hingga ke kepala, berusaha menerima kenyataan yang telah terjadi. Ini bukan tentang kenikmatan tadi malam, melainkan dengan siapa dia melakukannya. Kembali Alfreed menatap wanita di balik selimut itu. ‘Luisa Juarez. Siapa sebenarnya kau ini? Aku hanya tahu namamu, selebihnya tidak. Maka tak masuk di akal kalau aku tertarik padamu,’ batin Alfreed. Matanya memandang wajah Luisa yang masih tertidur pulas. Kulit sawo matang, rambut ikal dan almond eyes berwarna hazel yang dimiliki Luisa, sungguh bukan tipenya. ‘Yang pasti kau bukan tipeku!’ ucap Alfreed lagi dalam hati. Alfreed bukan lah pria yang mudah jatuh cinta. Sekalipun sudah berbagi ranjang dengan banyak wanita, namun untuk melabuhkan hati adalah hal yang tak akan mungkin dia lakukan. Traumanya dikhianati begitu besar, hingga tak berminat lagi punya hubungan. Tapi sejak ciuman terpaksa yang dia lakukan dengan Luisa di rooftop apartemen kemarin, membuatnya tak henti
Terkejut dengan respon Alfreed yang mendadak perhatian, Luisa seketika membisu. Dia hanya mengangguk sebagai jawaban. Langsung pria itu meraih tubuh Luisa dan kembali membaringkannya di ranjang. “Aku tidak akan minta maaf, tapi aku akan bertanggungjawab,” ucap Alfreed. Matanya memandang Luisa serius. ‘Apa iya jatuh sedikit saja harus ditanggungjawabi? Lagipula kan ini salahku sendiri,’ pikir Luisa. Dia belum tahu kalau tanggung jawab yang Alfreed maksud bukan perkara jatuhnya. Tapi dipandang terus seperti itu, membuat Luisa gugup dan hanya bisa membisu. “Tetaplah di sini. Aku akan belikan sarapan.” Alfreed hendak bangkit, tapi Luisa sigap menarik tangannya. “Jangan! Biar aku yang siapkan sarapan. Tapi sebelum itu beri aku waktu lima menit saja untuk mandi.” Luisa tak bisa lagi terus membisu. Tanggung jawab akan tugasnya di rumah itu tidak boleh lalai, pikirnya. Alfreed melirik tangannya yang dipegang Luisa, lalu beralih memandang wanita itu. “Lakukan saja apa yang k
Meksiko “Sudah kukatakan aku paling benci pengkhianat.” Seorang pria dengan lengan dan dada yang dipenuhi tato berdiri di hadapan orang yang berlutut padanya, disebuah ruangan yang dipenuhi lima orang yang memegang senjata. Pria itu adalah Jose Fernando Chavez. Anak pertama dari pemimpin Kartel El Salvador, kelompok mafia paling berbahaya di Meksiko. “Maafkan saya, Tuan, saya sungguh-sungguh minta maaf ...” Orang yang berlutut itu, memohon ampunan. Beberapa bagian tubuhnya mengucur darah, sebab sudah dipukuli lebih dulu. Jose lalu menjambak rambut orang itu hingga terdongak. Dihisapnya dalam cerutu yang berada di tangannya lalu dia hembuskan perlahan seperti menikmati, kemudian dia padamkan cerutu tersebut tepat di mata orang itu. “Aaaarrrrgh ...” Menjerit histeris, menggelupur orang itu memegangi matanya. “Selesaikan, aku tidak mau melihat wajahnya lagi,” perintah Jose pada anak buahnya sembari dia melangkah pergi. Kejam, sadis dan tanpa ampun, begitulah seorang Tua
“KAU!”Suara Jose menggema satu ruangan. Getarannya bahkan terasa hingga mengguncang otak si pendengar. Termasuk Luisa, semuanya jelas ketakutan. Bahkan vas yang berada tak jauh darinya seketika pecah. Refleks Diana melepaskan tangannya dari rambut Luisa. Wanita itu sungguh-sungguh sedang menggali kuburannya sendiri. Tanpa diberi perintah, sepuluh orang anak buah Jose menodongkan senjata ke kepala Diana, Selena dan juga Evan. Sudah jelas hidup mereka akan berakhir di tempat itu.Melangkah cepat, Jose menarik Luisa ke sisinya. Tak akan dia biarkan wanitanya berada dekat dengan si tua gila yang sudah bosan hidup itu.“Sakit?” tanya Jose lembut pada Luisa.Luisa menggeleng. Bukan karena tidak sakit, tapi sudah biasa dia diperlakukan begitu , jadi tak perlu dipermasalahkan.Namun jangan panggil namanya Tuan Muda Jose, jika dia membiarkan hal ini begitu saja. Sambil menahan emosi yang sudah ingin meluap sejak tadi, Jose memberi perintah,“Potong tangannya!”“Aaaaa ... Ampuuuun, Tuan ...
Luisa mengerjapkan mata berulang kali. Ditanya begitu oleh Jose, sungguh membuat dia kebingungan.Bukan bingung antara Jose dan Alfreed, melainkan bingung memilih kalimat yang tepat agar pria masa kecilnya itu tahu bahwa dia sudah bukan Luisa yang dulu. Luisa yang single dan tidak terikat dengan siapapun. Seandainya saja Jose muncul sehari sebelum dia lari dari Meksiko, mungkin keadaannya tidak akan semembingungkan ini. Tapi begitulah takdir, sudah begitu dekatnya Luisa bertemu Jose sebab hendak dijual oleh Selena, namun Tuhan justru membawa langkahnya jauh hingga ke Washington DC. Bertemu dengan pria yang menolongnya saat hampir di lecehkan ketika dia tinggal di Inggris dulu.Perjalanan panjang berliku yang Luisa sendiri pun tak menyangka akan seperti ini."A-aku tidak bisa, Nando.” Menyebut nama Nando serta melihat penampilan pria dihadapannya, Luisa jadi sadar kalau dia bukan Nando-nya yang dulu, tapi Tuan Muda Jose Fernando Chavez.“Maksudku, Tuan Muda Jose ...” Luisa meralat ka
“Maafkan aku, Lu.... “ Sekali lagi Jose hendak memeluk Luisa, tapi wanita itu terus mendorong tubuhnya menjauh. Dia bahkan menggeleng, seperti tak ingin berada di dekat Jose. “Di hari yang sama ... nenek dan kau pergi meninggalkan aku ... “ Masih Luisa bicara sambil terisak-isak. Kesedihan yang dialaminya enam belas tahun yang lalu seakan terekam ulang. Flashback on “Sepertinya aku akan pergi,” ucap Nando, anak lelaki yang bernama lengkap Jose Fernando Chavez, sore itu di tepi pantai yang tidak jauh dari rumah Nenek Angel. “Kau mau pergi mana?” tanya Lulu, alias Luisa kecil. “Entahlah, aku juga tidak tahu, karena orang-orang itu terus berdatangan setiap hari ke rumah bibiku.” Jose melihat ada sekumpulan orang berbaju hitam yang setiap hari datang mencarinya dan bibinya selalu mengatakan dia tidak ada. Tapi entah kenapa Jose merasa cepat atau lambat dirinya pasti akan dibawa oleh orang-orang itu. “Lalu bagaimana denganku ...? Jangan bilang kau akan meninggalkan aku, N
“Tidak, Tuan. Demi Tuhan, tidak! Mana berani saya punya pikiran seperti itu pada orang yang akan saya ajukan untuk Tuan.” Panik Paul dituduh begitu.Tapi memang benar, tak sedikitpun ada niat lebih di otak Paul tentang Luisa. Murni hanya ingin menolong, sebab dia tahu betul kalau Kartel El Salvador adalah yang paling kejam di Meksiko. Semua yang berurusan dengan mereka taruhannya nyawa jika tidak menurut.Dan kalaupun saat itu Luisa menurut untuk berhubungan dengan Jose, setelah itu dia pasti akan digilir ke anak buahnya. Hal lumrah bagi kumpulan penjahat bajingan seperti mereka.Ditambah lagi pertemuan Paul dengan Luisa tepat di detik-detik terakhir deadline-nya menemukan calon istri kontrak untuk sang bos.“Tapi gara-gara kau membawanya, nyawaku hampir melayang, kau tahu!” Alfreed menarik kerah baju Paul. Geram dia kalau ingat kejadian saat di Meksiko kemarin.“Sa-saya minta maaf, Tuan. Saya benar-benar minta maaf.”Alfreed lalu melepas sembari mendorong Paul menjauh darinya.“Tapi
“Lepaskan dia. Dia tidak ada hubungannya dengan masalah ini,” pinta Luisa yang seketika itu Jose melirik pada Alfreed. Diperhatikannya pria itu dari ujung kepala hingga ujung kaki. Walau dia belum tahu apa hubungan Luisa dengan pria tersebut tapi dia langsung tidak suka. “Siapa kau?” tanya Jose pada Alfreed. “Bukan siapa-siapa.” Luisa yang menjawab. Sengaja, agar Jose bisa langsung melepaskan Alfreed. Tapi pengakuan tersebut malah membuat Alfreed makin salah paham. Otaknya berkesimpulan kalau Luisa punya hubungan spesial dengan Jose dan hanya menjadikannya sebagai pelarian. ‘Wanita licik! Kau jelas takut mengakui siapa aku! Benar-benar sialan! Bisa-bisanya Paul mengenalkan manusia sepertimu padaku!’ gerutu Alfreed. “Siapa kau?!” tanya Jose sekali lagi yang kali ini tepat di hadapan Alfreed. Bukannya takut Alfreed justru tersenyum. “Aku suaminya.” Sontak pengakuan itu membuat semua yang mendengar terkejut. Termasuk anak buah Jose yang tak menyangka kalau sang
“Kalian dibayar berapa? Aku bisa membayar sepuluh kali lipat asal kalian membiarkan kami pergi.” Melirik satu sama lain beberapa orang yang sudah mengepung Luisa dan Alfreed, kemudian mereka tertawa. “Hahaha ... Kau sudah bosan hidup rupanya.” Salah seorang dari mereka bicara. Ini bukan tentang uang, tapi nyawa mereka yang akan jadi taruhan jika sampai berani mengkhianati Tuan Muda Jose. “Apakah mereka sudah ditemukan?” Suara berat terdengar, diiringi suara langkah. Luisa dan Alfred menoleh ke asal suara. Pria tinggi tegap dengan sekujur badan di penuhi tatoo. Matanya memperlihatkan warna iris yang berbeda, hitam di kanan dan grey di kiri, membuat penampilannya sepuluh kali lebih menakutkan walau sesungguhnya dia sudah begitu menakutkan. Tapi tak bisa dipungkiri, dibalik wajahnya yang seram dengan garis rahang yang tegas, dia adalah salah satu dari lima orang tertampan di Meksiko. ‘J-ja-jadi dia yang mereka panggil Tuan Muda Jose.’ Sedikit gemetar Luisa melihatnya untuk
K-kau!” Selena nyaris kehilangan kesabaran, namun dia cukup pandai mengelola emosi dengan berpura-pura tersenyum menutupinya. “Haih ... Kau pasti bertemu dengannya, tapi daripada menunggu sambil berdiri, lebih baik kau dan pria di sebelahmu itu menunggu di ruang tamu saja. Kalian pasti capek kalau berdiri terlalu lama.” “Sejak tadi kalian hanya banyak bicara, tapi pintu kamar ini tak kunjung dibuka. Kalian sengaja mempermainkan kami, ya?!” Alfred sudah mulai curiga. Ocehan Diana yang berbelit-belit sejak awal, ditambah kemunculan Selena membuat dia paham kalau ibu dan anak itu adalah dua ular berbisa. “Hei ... seenaknya saja kau menuduh begitu!” Dicurigai, Diana berlagak tidak bersalah. “Apa untungnya kami mempermainkan kalian? Aku hanya lupa- lupa ingat di mana meletakkan kunci kamar itu. Kan wajar, aku sudah tua,” lanjut Diana. Tersenyum Selena mendengar jawaban itu. Memang tak salah kalau dia jago ber-acting, sebab diturunkan langsung oleh ibunya. “Selena! Kau jang
“Maafkan aku, Bi. Aku datang ke sini hanya untuk menjemput ayah. Aku ingin membawa ayah untuk tinggal bersamaku.” “Tidak akan kubiarkan suamiku ikut denganmu, kau jelas tidak peduli dengannya! Jika kau peduli, kau tidak mungkin pergi saat kami membutuhkan pertolonganmu dari ancaman Tuan muda Jose.” Luisa menghela napas. Bahkan setelah dua minggu berlalu pun Diana tetap berbohong, pura-pura butuh pertolongan padahal tujuannya hanya ingin menjual Luisa. “Aku sudah tahu semuanya, Bi. Aku tahu Selena hendak menjualku. Kalian tidak benar-benar sedang diancam saat itu.” “A-apa apaan yang kau katakan itu?” Diana seketika gagap ketahuan berbohong. “Sekarang kumohon, biarkan aku membawa ayah dan mengurusnya hingga sembuh, Bi,” pinta Luisa. Panik, Diana melempar gelas yang kebetulan sejak tadi dia pegang. Prank! Pecah gelas tersebut tepat di depan Luisa berdiri. Bertepatan dengan itu Alfreed muncul, dia bosan hanya menunggu sendirian di dalam mobil. Tentu Alfreed berta
‘Well, finally she knows . Mau tidak mau dia memang harus tahu siapa aku sebenarnya,’ batin Alfreed. Dia yakin sekali Luisa akhirnya bisa menebak kalau sesungguhnya dia adalah Tuan Muda kaya raya penerus Scott Corp. “Kau menjual ginjalmu, ya?!” Mengejutkan, tebakan Luisa justru lari begitu jauh. Entah pikiran dari mana dia bisa menebak Alfreed menjual ginjalnya. Beradu rahang Alfreed jadinya. ‘Terlampau polos atau bodoh sih, dia ini!’ “Bukan, tapi ginjal Paul,” jawab Alfreed asal tapi sukses membuat Luisa menelan ludah ketakutan. “Sudah, stop berpikir yang macam-macam. Aku hanya salah lihat, kupikir harganya 150 dolar,” lanjut Alfreed lagi. Tersenyum lega, Luisa pada akhirnya memilih pakaian dalam yang harganya jauh lebih murah. Sesuai perintah Alfreed, dia memesan 10 pasang yang hanya memakan biaya 500 dolar. Bahkan tidak melebihi harga sepasang kaos kaki Alfreed. ‘Terbuat dari apa pakaian dalam yang dia pilih itu?’ Heran Alfreed dibuatnya. Beres dengan pesanan, A