“Aku hamil, Damian … “ lirih Annie. Dia menundukkan kepala demi menutupi rasa malunya.
Damian seketika berhenti. Begitu pula Gina yang sejak awal mengintip dari balik daun pintu kamar Tasya. Wanita itu spontan berlari kecil, menghampiri Tasya dan mengajak anak itu pergi meninggalkan Damian dan Annie yang bersitegang.Damian menurut saja saat Gina mengambil alih Tasya, karena dia merasa pertengkarannya dengan Annie memang tidak baik untuk didengar anaknya itu.“Apa kamu bilang?” tanya Damian–setelah memastikan Tasya pergi.Annie terisak. “Aku hamil … Kumohon jangan pergi,” jawab Annie.Damian mengerjapkan mata. Kemudian dia tersenyum tipis. Senyuman penuh kegetiran.“Apakah kamu yakin itu anakku? Bukan anak Steve?” seloroh Damian hampa.“A-apa maksudmu?!” teriak Annie. “Ini tentu anakmu, Dam. Aku istrimu!” pekik Annie sambil memegangi perutnya.“Aku pasti akan berbahagia jika benar itu anakku–” Damian memutus uca“A-apa yang kamu inginkan?!” Gina makin lama makin mundur.Namun dengan isyarat mata, Andrea memerintahkan dua preman itu untuk bergerak maju. Mereka dengan cepat memegangi kedua lengan Gina.“Lepaskan aku!!” teriak Gina, berusaha keras melepaskan diri.“Ikat dia!” perintah Andrea.Lalu salah satu preman itu mengambil tali tambang–yang sengaja telah disiapkan untuk menyekap Gina. Meski terus berontak, sekuat tenaganya hingga menendang ke segala arah, tenaga Gina tentu tidak sebanding dengan dua preman itu. Emma hanya bisa memejamkan mata, tak tega melihat Gina yang dianiaya oleh Andrea.Andrea tertawa sangat keras, penuh kemenangan karena merasa telah di atas angin. Meskipun perutnya makin membesar, semangatnya untuk menganiaya tidak sirna. Dia bahkan lebih bersemangat setelah melihat Gina dan Emma tak berdaya dan bertekuk lutut di depannya.“Permainan kalian kini sudah selesai,” ucap Andrea, duduk bersilang santai di d
Dua jam telah berlalu, semenjak kepergian Damian dan Tasya dari rumah. Suasana menjadi sangat hening, menyisakan Annie yang meratapi segala kesalahannya.Sambil memeluk lutut dan bersimpuh lesu di sudut ruang TV, Annie terus menangis. Segalanya menjadi runyam, ketika dia memutuskan untuk berurusan dengan Wijaya dan keluarganya.Ataukah, segalanya menjadi runyam semenjak kedatangan Gina Duran yang menyamar?Annie menarik rambutnya, menjambak dan mencengkeram seakan ingin segera bangun dari mimpi buruk itu.Dan tiba-tiba ponsel di sampingnya berdering. Ada panggilan dari nomor baru yang tidak dia kenal. Hati kecilnya sangat berharap jika itu adalah Damian.“Halo … “ jawab Annie lemas.“An, segera ke sini. Aku punya kejutan besar untukmu,”“Andrea?” Annie mulai bangkit. “Apa yang terjadi?”“Cepat datang ke sini. Aku sudah kirimkan lokasinya,”Klik. Andrea menutup ponsel dengan cepat, dan menyisakan Annie y
Mata Andrea berbinar girang, saat akhirnya Gina secara terpaksa menuruti permintaannya. Sambil memekik senang, dia tiba-tiba menampar Emma sekerasnya.“Andre, stop!!” sentak Annie–tak suka dengan kekerasan yang dilakukan Andrea. “Kamu sedang hamil, sadarlah!”Andrea menurut. Meski seringaian kejam bak iblis belum luntur dari bibirnya, namun dia mau berhenti memukuli Emma.Annie bergegas melepaskan sumpalan di mulut Emma agar wanita itu bisa bernafas lebih bebas.Cuih! Tiba-tiba Emma meludahi Andrea. Matanya menyulutkan api kemurkaan yang nampak jelas.“Kurang ajar!” Andrea siap menampar Emma sekali lagi, namun Annie mencegah.“Stop, Andre, stop!!” teriak Annie. “Jangan libatkan dirimu yang sedang hamil dalam tindakan seperti ini. Bisa-bisa Emma menuntutmu saat keluar dari sini,”“Oh ya? Aku tidak akan membiarkannya keluar dari sini hidup-hidup,” gertak Andrea.“Tepati janjimu, jalang!” Tiba-tiba Gina mengumpat s
“Damian? Ada apa?” Ajeng kebingungan saat Damian berdiri di depan pintu rumahnya.Tanpa banyak bicara, Ajeng mempersilakan Damian untuk masuk.“Ada perlu apa? Tumben kamu datang sendirian ke sini?” tanya Ajeng heran.Dia mengenal Damian dari Annie. Dan Damian pernah datang sekali ke rumah Ajeng, bersama Annie dan Tasya saat menjenguk papa Ajeng.Damian kikuk. Dia memainkan jari-jemarinya untuk menghilangkan gugup.“Aku sudah tahu siapa Fiona. Dia adalah Gina Duran,” ucap Damian lirih.Ajeng tersentak. Dia tidak bisa menjawab, karena merasa tidak mendapatkan perintah apapun dari Gina. Maka yang bisa dia lakukan hanya diam, tidak menanggapi.Kemudian Damian meletakkan sebuah gelang berwarna putih keperakan, ke atas meja ruang tamu rumah Ajeng.“Apa ini?” tanya Ajeng.“Itu milik Gina Duran, yang tertinggal. Aku titip kembalikan ini padanya,” jawab Damian.Ajeng menggeleng cepat. “Tidak, Dam. Ini bukan urusanku. Aku hanya bekerja sebagai pengacaranya,” tolak Ajeng tegas.Ajeng memungut ge
(1 jam sebelum penggerebekan)Damian mendongakkan kepala, demi mengagumi betapa tingginya kantor milik Leo Duran. Pikirannya mulai sedikit ragu untuk melangkah. Dipenuhi dengan banyaknya kebimbangan, akan baik dan buruknya tindakannya saat ini.‘Apakah Leo Duran akan mempercayai ceritaku?’ batin Damian dalam hati.Ketika dia melihat jam di arloji yang sudah menunjukkan pukul 8 malam, maka Damian tidak punya banyak pilihan. Makin dia ragu, makin lama dia akan pulang menemani Tasya di hotel.“Apakah saya masih bisa bertemu dengan Leo Duran?” Damian memberanikan diri mendekati satpam yang berjaga di depan gedung.Satpam itu saling pandang dengan temannya. “Ada perlu apa mencari Tuan Leo jam segini?”“Saya ingin berbincang, mengenai Gina Duran,” jawab Damian.Satpam itu awalnya bimbang dan hampir tidak mempercayai Damian. Namun akhirnya memilih mengangkat gagang telepon untuk membuat panggilan ke ruangan Leo Duran.Tak lama satpam itu mempersilahkan Damian untuk masuk.“Beruntung, Tuan Le
Damian tertegun. Dia sudah lama tidak mendengar seseorang mengutarakan perasaan padanya. Meskipun dia telah lama menikah dengan Annie, namun istrinya itu terlalu keras kepala untuk mengatakan cinta padanya.“Gina, ayo … “ ajak Leo, lirih. Dia mulai menyadari sikap tegang antara Gina dan Damian, ketika memutuskan untuk mengamati sikap mereka berdua.Damian mengangguk. “Terima kasih, Gina,” jawabnya. “Tapi seperti yang kubilang, sudah tidak ada alasan bagi kita untuk saling berhubungan. Dendammu sudah selesai, dan aku tidak mau menjadi alat pembalasan dendammu,” ungkap Damian panjang.Gina mengangguk, meski hatinya perih. Dengan senyum getir yang dipaksakan, dia mengizinkan Damian melangkah pergi.Gina tidak ingin membuat Damian makin terluka dengan mengejarnya, meskipun hati Gina tetap mencintai Damian tanpa syarat.***Sementara itu, di waktu yang sama, Andrea berteriak murka sambil memukuli jeruji besi yang mengurungnya bersama
Annie memuntahkan seluruh isi perutnya pagi ini. Dalam keadaan tidak berdaya, dia terkapar lemas di lantai kamar mandi, setelah mengeluarkan seluruh tenaganya untuk berlari ke kamar mandi.Gejala awal kehamilan mulai menyerang tubuhnya, dan naas, sama sekali tidak ada yang menemani. Annie merintih kesakitan dalam isak tangisnya yang kencang.Sekuat tenaga dia berusaha berdiri, ketika bel rumahnya berbunyi.‘Semoga Damian,’ harap Annie dalam hati, dengan secercah semangat.Namun saat dia membuka pintu, bukannya Damian, justru Steve yang menyeringai lebar mengangkat tinggi-tinggi sekotak sarapan.Annie spontan mundur dengan tangan membekap penciumannya.“Apa yang kamu lakukan di sini?!” ketus Annie tak senang.Steve menerobos masuk tanpa was-was. “Aku tahu suamimu sudah pergi. Dia meneleponku semalam,”“Apa?!” teriak Annie. “Apa yang dia bilang padamu?”Steve m
“A-apa maksudmu, Steve? Apakah berarti, kamu menolak untuk menerima anak ini?” tuntut Annie nyaris tercekat saat melihat respon Steve.Pria itu memejamkan mata, sambil menghela nafas panjang.“Kamu mestinya tahu, An,” responnya. “Kamu adalah seorang wanita bersuami, dan aku adalah seorang spesialis bereputasi sekaligus belum pernah menikah,”Meskipun Steve tidak terang-terangan, namun membaca gerak-geriknya saja sudah membuat Annie tahu jawaban Steve.Dengan mata berkaca-kaca dan hati perih, Annie berusaha bangkit. Dia lalu menarik tubuh Steve agar keluar dari rumahnya.“Pergi dari sini,” usir Annie. “Jangan pernah menemuiku lagi, Steve,”“An … kenapa kamu harus berlebihan seperti ini? Kan bisa saja kamu menggugurkan bayi itu jika tidak menginginkannya. Aku bisa membantumu,”Plak! Annie menampar keras pipi Steve saat pria itu dengan enteng berbicara. Wajahnya merah padam, hampir meledak rasanya.“Jangan pernah b
"Miss Gina?" Sari ternganga lebar, ketika dia membuka pintu depan dan sosok Gina sudah berdiri di sana dengan senyuman manis.Sari spontan memeluk Gina dan tangisnya pecah. "Ibu sangat merindukanmu, Gina! Kemana saja kamu setahun ini?"Gina balas memeluk Sari. Dia tidak bicara apapun, hanya tersenyum lega karena ternyata dia masih diterima cukup hangat di dalam keluarga Damian.Tasya muncul, dengan wajahnya yang kaget luar biasa. Tak menyangka Gina akan datang kembali ke rumahnya."Tasya, gimana kabarmu?" tegur Gina ramah.Tasya masih menganga, dengan mata mengerjap beberapa kali. "T-Tante Gina?" ucapnya terbata-bata. Gina berjalan mendekat. Lalu mendekap gadis yang kini tidak begitu kecil itu."Kamu sudah tambah besar, ya. Miss kangen sama Tasya," ucap Gina dalam dekapannya.Tidak ada reaksi yang keluar dari bibir Tasya. Tapi dia tidak menolak saat Gina memeluk erat tubuhnya. Yang dia lakukan hanya bergantian memandang Damian dan Sari, yang terus tersenyum haru."Tante Gina … " pang
"Terima kasih sudah mengantarku, Dam," tukas Annie saat mobil Damian berhenti tepat di depan pintu masuk kantornya.Damian mengangguk. "Ibu sangat senang menjaga Sean, jadi kamu fokus saja pada kerjaanmu,"Annie tersipu senang. Seakan mereka berdua masih sebagai sepasang suami istri yang bahagia, apalagi dari perlakuan Damian padanya yang sangat sopan."Apakah kamu akan pulang telat hari ini?" tanya Annie. Tampak ragu untuk bicara, tapi dorongan di dalam dirinya kelewat kuat untuk bisa dicegah. "Maukah pulang bersama?" ajaknya.Damian hening beberapa detik. Untuk kemudian mengangguk. "Akan kuusahakan pulang cepat,"Annie berseru bahagia dalam hati. Sangat senang karena Damian menyambut baik segala usahanya untuk kembali dekat itu. Dia berusaha menampik kenyataan, bahwa Damian sedang tidak baik-baik saja.Dia tahu, Damian dan Gina batal menikah. Tapi Annie ingin menuruti egonya sendiri kali ini, karena dia tidak ingin kehilangan Damian untuk kedua kalinya.Sore harinya, Damian benar-be
Hati Damian terasa amat nyeri, mendengar perkataan secara sepihak itu dari Gina. Bahkan ketika dia mencoba untuk menelan ludah, seperti ada yang mengganjal. Sesuatu yang sangat menyakitkan hingga membuat suaranya tercekat."Aku tidak ingin menjadi trauma untuk Tasya," lanjut Gina, sangat nekat meski suaranya sudah bergetar menahan tangis. "Dia adalah darah dagingmu. Sudah menjadi bagian dalam kehidupanmu. Mengabaikan pendapatnya dalam setiap keputusanmu, akan membuatnya trauma di masa depan,"Damian masih tidak menjawab. Hanya bola matanya yang terus bergetar. Kemudian pelan-pelan Gina melepaskan cincin berlian di jari manisnya, pemberian Damian. Dia serahkan kembali cincin itu, ke dalam genggaman tangan Damian yang terasa amat dingin."Aku menyayangimu, aku juga menyayangi Tasya. Tapi kebahagiaan kalian berdua bukanlah aku," isak Gina. "Aku tidak ingin menjadi mimpi buruk Tasya. Karena setiap kali melihatnya, selalu mengingatkanku akan Sean. Aku ingin menjadi kenangan manis untuknya
Wijaya berulang kali mencuri pandang pada Gina yang duduk di samping kemudi mobilnya. Tampak wanita cantik itu terisak pelan, dengan kepala yang terus menghadap keluar jendela mobil.Wijaya ingin bertanya, tapi lidahnya kelu hingga menahan hasratnya untuk tidak mengeluarkan suara apapun. Dia tahu, Gina sedang terluka. Gina melihat dan mendengar dengan inderanya sendiri, bagaimana sang calon suami bercengkerama dengan si mantan istri."Gina? Sudah sampai," tukas Wijaya, ketika mobilnya berhenti di depan pintu masuk rumah Gina.Bahkan wanita itu juga tidak menyadari jika Wijaya sempat bertukar sapa dengan satpam rumahnya sebelum mobil itu masuk."Terimakasih, Jay," ucapnya pelan."Atas apa?""Karena mengantarku pulang," timpal Gina, dengan wajah lesu.Wijaya hanya diam, terus memandangi Gina dengan tatapan iba. Dia selalu memiliki titik lembut tersendiri di dalam hatinya, hanya untuk Gina.Lantas Gina–dengan gerakan lambat keluar dari dalam mobil Wijaya. Tanpa mengucapkan apapun lagi, w
Gina mengangguk. Lalu mereka berdua kembali kikuk berhadapan satu sama lain. Tak ada kata yang sanggup keluar dari bibir masing-masing, karena ada kesalahpahaman yang muncul di dalam otak Gina dan Damian. "Damian," panggil Rudi, yang baru saja tiba. Kemudian dia cukup terkejut melihat Gina, namun berusaha untuk hanya fokus pada Damian.Damian menyahut dengan senyuman. Sementara Rudi–beserta Irene, masih berdiri di depan Damian dengan ekspresi tegang. Tampak ada sesuatu yang mengganjal."Dam, maafkan Papa dan Mama," tukas Rudi tiba-tiba. Hingga membuat siapa saja yang ada di sana terkejut. "Papa dan Mama selama ini selalu bersikap tak adil padamu," lanjutnya.Bahkan Damian hingga tergagap karena tak menyangka akan mendapatkan ucapan maaf dari Rudi. "Papa … " Annie berkaca-kaca melihat sikap papanya. Dia tanpa sadar berjalan mendekati Damian dan Rudi. "Kenapa Pak Rudi … " Damian kehabisan kata-kata. Bahkan untuk sekedar tersenyum dan memandang Rudi pun dia tak sanggup. Semuanya sungg
“Jay?” panggil Gina.Wijaya hanya menautkan alis sebagai respon.“Bagaimana kamu tahu aku diculik disana?” tanya Gina.Wijaya lalu duduk lebih santai, menikmati perjalanan karena Emma pun juga mengemudi dengan kecepatan sedang.“Aku datang ke sekolah untuk mengajakmu pulang bersama. Tapi kamu malah naik mobil bersama seorang pria asing,” jelas Wijaya. “Kukira itu Damian, tapi aku hafal dengan mobilnya. Jadi aku bisa simpulkan bahwa itu bukan Damina,”“Lalu?” Gina sudah tidak sabar.“Aku membuntuti dari belakang. Saat sadar mobil itu masuk ke jalan yang sempit dan sepi, aku langsung menghubungi Emma,” lanjut Wijaya.“Tuan meminta saya menghubungi polisi. Jadi saya bersama polisi datang. Tapi kami tidak langsung menyergap, karena Tuan ingin mengatur strategi agar semuanya bisa tertangkap,” timpal Emma cukup detail. “Saya juga tidak menyangka, Steve yang menjadi dalang dibalik penculikan ini,” Dia menunduk, merasa menyesal juga bersalah. “Kenapa dia tiba-tiba menculik Nyonya?”Gina angka
Dengan cepat Steve membuka lakban yang menutup mulut Gina. Membuat Gina meringis merasakan rekatan kuat itu ditarik paksa dari kulitnya.“Kamu terlalu meremehkanku, Gina. Kamu pikir, selama ini aku hanya diam dan menontonmu terus melakukan hal-hal licik,” ujar Steve.Gina balas menatapnya dengan perasaan tenang. “Apa kamu sadar perbuatanmu ini hanya akan makin merugikanmu? Kamu lupa siapa aku?”Plak!Tiba-tiba Steve menampar pipi Gina sekerasnya. Ada kilatan murka di kedua matanya yang menyala.“Kamu kira, kamulah pusat dunia? Kamulah penguasa dunia ini?” bentak Steve. “Jangan lupakan statusmu yang hanya seorang janda, Gina Duran. Seberapa kaya dirimu, kamu hanyalah janda menyedihkan di mata semua orang,” olok Steve, lalu tertawa terbahak-bahak penuh kemenangan.Gina tidak menanggapi. Selain karena tubuhnya masih terikat, dia juga tidak ingin menggunakan banyak tenaganya hanya untuk meladeni bualan Steve.Tiba-tiba Steve mencengkeram pipi Gina. “Aku akan menghancurkan hidupmu. Setidak
“Masuk!” seru Steve, ketika pintu ruang kerjanya diketuk.Brak!Annie mendobrak pintu cukup keras, dan masuk dengan langkah tegap ke dalam ruang kerja Steve.Steve yang saat itu sedang fokus pada lembar dokumen di depannya, hanya bisa terbelalak. Namun untungnya sang perawat buru-buru menutup pintu kembali, agar pasien tidak dapat melihat keributan itu.“An, ada apa?” tanya Steve heran. “Kamu sadar nggak, kamu sedang marah-marah di rumah sakit?”“Aku tidak peduli!” sentak Annie. Dia kemudian melempar dokumen-dokumen tentang Steve yang telah dikumpulkan Nina untuknya.“Sudah berapa kali kubilang padamu? Jangan coba-coba membodohiku!” maki Annie. “Kamu sengaja mendekatiku, mempertahankan Sean, karena kamu ingin menyelamatkan reputasi dan klinik pribadimu, kan?”Steve tidak mau membuka dokumen itu, karena sadar jika dia sudah tertangkap basah. Yang bisa dia lakukan kini adalah berusaha menenangkan Annie.“An, tenang dulu. Akan kujelaskan semuanya,” pinta Steve, berusaha meraih tubuh Anni
“Silahkan Bu Gina,” Rudi mempersilahkan dengan sikapnya yang terus saja pongah.Gina menegakkan posisi duduknya. Dengan mata lebih tajam, dia melipat kedua tangan di atas meja demi saling berhadapan dengan lebih fokus pada Rudi Evan.“Apakah Anda tahu, bagaimana anak saya bisa meninggal?” tanya Gina.“Kenapa Anda … ““Jawab saja, Pak Rudi,” potong Gina. “Apakah Anda tahu, siapa yang menyebabkan anak saya meninggal?”Nafas Rudi tercekat. “J-jadi Anda mengancam saya?”Gina menggeleng. “Saya tidak pernah mengancam siapapun, selama orang itu tidak mengusik saya. Tapi mencampuri urusan pribadi saya, sudah menjadi hal yang tidak akan saya biarkan begitu saja,” terang Gina. “Sepertinya Anda harus tahu tentang itu,”“Jika Damian tahu Sean anak kandungnya, bukankah dia menyesal sudah berpisah dengan Annie?”“Siapa yang meminta mereka berpisah, Pak Rudi? Bukankah, anda sendiri?”Sekali lagi Rudi tercekat. Tidak m