Damian tertegun. Dia sudah lama tidak mendengar seseorang mengutarakan perasaan padanya. Meskipun dia telah lama menikah dengan Annie, namun istrinya itu terlalu keras kepala untuk mengatakan cinta padanya.
“Gina, ayo … “ ajak Leo, lirih. Dia mulai menyadari sikap tegang antara Gina dan Damian, ketika memutuskan untuk mengamati sikap mereka berdua.Damian mengangguk. “Terima kasih, Gina,” jawabnya. “Tapi seperti yang kubilang, sudah tidak ada alasan bagi kita untuk saling berhubungan. Dendammu sudah selesai, dan aku tidak mau menjadi alat pembalasan dendammu,” ungkap Damian panjang.Gina mengangguk, meski hatinya perih. Dengan senyum getir yang dipaksakan, dia mengizinkan Damian melangkah pergi.Gina tidak ingin membuat Damian makin terluka dengan mengejarnya, meskipun hati Gina tetap mencintai Damian tanpa syarat.***Sementara itu, di waktu yang sama, Andrea berteriak murka sambil memukuli jeruji besi yang mengurungnya bersamaAnnie memuntahkan seluruh isi perutnya pagi ini. Dalam keadaan tidak berdaya, dia terkapar lemas di lantai kamar mandi, setelah mengeluarkan seluruh tenaganya untuk berlari ke kamar mandi.Gejala awal kehamilan mulai menyerang tubuhnya, dan naas, sama sekali tidak ada yang menemani. Annie merintih kesakitan dalam isak tangisnya yang kencang.Sekuat tenaga dia berusaha berdiri, ketika bel rumahnya berbunyi.‘Semoga Damian,’ harap Annie dalam hati, dengan secercah semangat.Namun saat dia membuka pintu, bukannya Damian, justru Steve yang menyeringai lebar mengangkat tinggi-tinggi sekotak sarapan.Annie spontan mundur dengan tangan membekap penciumannya.“Apa yang kamu lakukan di sini?!” ketus Annie tak senang.Steve menerobos masuk tanpa was-was. “Aku tahu suamimu sudah pergi. Dia meneleponku semalam,”“Apa?!” teriak Annie. “Apa yang dia bilang padamu?”Steve m
“A-apa maksudmu, Steve? Apakah berarti, kamu menolak untuk menerima anak ini?” tuntut Annie nyaris tercekat saat melihat respon Steve.Pria itu memejamkan mata, sambil menghela nafas panjang.“Kamu mestinya tahu, An,” responnya. “Kamu adalah seorang wanita bersuami, dan aku adalah seorang spesialis bereputasi sekaligus belum pernah menikah,”Meskipun Steve tidak terang-terangan, namun membaca gerak-geriknya saja sudah membuat Annie tahu jawaban Steve.Dengan mata berkaca-kaca dan hati perih, Annie berusaha bangkit. Dia lalu menarik tubuh Steve agar keluar dari rumahnya.“Pergi dari sini,” usir Annie. “Jangan pernah menemuiku lagi, Steve,”“An … kenapa kamu harus berlebihan seperti ini? Kan bisa saja kamu menggugurkan bayi itu jika tidak menginginkannya. Aku bisa membantumu,”Plak! Annie menampar keras pipi Steve saat pria itu dengan enteng berbicara. Wajahnya merah padam, hampir meledak rasanya.“Jangan pernah b
“Damian, kumohon … “ Wajah pucat Annie berbaur dengan kepedihan hatinya, membuat Damian tak sanggup untuk memandang Annie lebih lama.Dia memilih untuk memalingkan muka. Jika dia bersikukuh untuk menatap Annie, pertahanan hatinya yang sakit akan runtuh. “Kenapa harus Steve … “ gumam Damian pelan. “Apakah tidak ada pria lain?” Damian berusaha bersikap normal, demi tidak menimbulkan kegaduhan di depan sekolah Tasya.Bola mata Annie bergetar. Sambil menggigit bibir, dia mulai mencari-cari alasan yang diminta Damian. Namun hingga menit akhir, tidak ada jawaban yang sanggup keluar dari mulutnya.“Harusnya aku sadar, saat Steve tiba-tiba datang ke acara keluarga kita waktu itu. Betapa dia membanggakan dirinya di depan orang tuamu,” tambah Damian. “Aku terlalu naif karena mempercayaimu seutuhnya,”“L-lalu apa bedanya denganmu?” sahut Annie. Dadanya bergemuruh penuh beban yang memaksa untuk keluar. “Kamu juga selingkuh dengan Gina. Bisa-bisanya
Papan nisan berbahan marmer hitam itu kini telah tertulis jelas nama Sean Wijaya. Setelah segalanya terungkap, setelah identitas asli Gina ketahuan, maka tidak ada lagi alasan untuk menyembunyikan makam Sean.Dan Gina meletakkan sebuket bunga mawar putih ke atas makam Sean, sambil sesekali terisak. Pilu di hatinya seakan menguar dari tubuhnya, meski Gina memakai kacamata hitam untuk menyembunyikan mata sembabnya.“Maafkan Mama, Sean,” isak Gina. “Mama baru bisa datang hari ini,”Gina mengelus nisan Sean, terus terisak dengan dada sesak tiap kali dia menyentuh nisan itu. Seakan dia tengah mengelus kepala Sean.“Mama sayang sama Sean. Hanya Sean yang penting buat Mama,” Gina bahkan mencium nisan itu, menyandarkan kepala di atasnya.Dia tidak peduli meski panas cukup terik mencapai ubun-ubunnya. Gina terlarut dalam kerinduannya yang dalam pada Sean.“Gina … “ panggil seseorang.Gina mendongak, untuk melihat siapa yang datang. Sosok Damian berdiri tak jauh darinya, dengan sebuket bunga ma
Tak hanya Damian, Gina pun juga cukup terkejut dengan ucapan spontan Damian. Dia segera menegakkan tubuhnya, kembali berdiri kaku saling berhadapan dengan Damian.“Kamu masih belum bisa melupakan Fiona, ya?” tanya Gina getir.Damian kikuk. “Maaf,” balasnya singkat. Memang tidak ada lagi ucapan tepat untuk itu semua.“Harusnya aku yang minta maaf, Damian. Telah memanfaatkanmu untuk urusanku sendiri,” Gina bahkan tak sanggup lurus menatap mata Damian.“Mari,” Damian mengajak Gina untuk segera pergi dari kompleks pemakaman itu, demi mencairkan suasana.Mereka berdua berjalan dalam diam, dengan pikiran masing-masing. Damian dan Gina tahu, hubungan mereka tidak akan bisa kembali sama seperti dulu. Lebih tepatnya, tidak ada cara untuk memulai.“Apa yang akan kamu kerjakan hari ini, Dam?” tanya Gina setelah Damian mengantarnya ke tempat parkir mobil.Damian menautkan alis. “Seperti biasa. Kembali ke rumah, menulis, dan menjempu
“An, jaga bicaramu!” Damian menghardik Annie dengan tatapan tak senang.Dia mendorong tubuh Damian. “Harusnya aku yang bilang, jaga sikapmu, Dam!” balasnya kesal.Setelah memastikan buket mawar itu ada di tangan Gina, tanpa banyak bicara Annie memilih pergi.Namun sebelum masuk ke mobilnya, dia sempat menoleh kembali kepada Gina.“Aku tidak akan diam saja, Gina Duran. Kamu pasti tahu tujuanku kemari,” ucapnya lantang. “Aku datang untuk meminta izin pada Sean, kalau aku akan membunuh ibunya,”“An!” Damian hendak mengejar, namun Annie buru-buru masuk ke dalam mobilnya.“An, buka pintunya!! An!” Damian menggedor kaca mobil Annie, yang tak peduli dan langsung saja menancap gas.Damian mencengkeram kepalanya, panik luar biasa. Annie bertindak diluar perkiraannya.“Sudahlah, Dam. Dia tentu marah padaku dan berhak melakukannya,” tenang Gina.“Bukan cuman itu, Gin. Kalau sampai dia nekat melakukannya, tidak hanya kamu yang bahaya tapi juga Tasya. Aku tidak mau Tasya punya ibu seorang pembunuh
“Kurang ajar!” Damian sekali lagi menghantam wajah Steve.Gina dan Emma berusaha melerai satu sama lain, sebisa mereka. Namun Steve justru makin buas tiap kali Damian berhasil membogem mentah wajahnya. “Kau berani mengkhianati Annie, hah! Apa yang kau lakukan dengan asisten Gina?!” teriak Damian muntab.Steve malah mengangkat dadanya. “Bukan urusanmu! Annie istrimu, kenapa kau tanya padaku?” tantang Steve.“Brengsek!” Damian hendak melayangkan kembali tinjunya. Namun Gina buru-buru menahan tubuh Damian, dengan memeluk pinggangnya erat.Begitu pula Emma. Wanita itu menarik mundur tubuh Steve yang memar.Steve meraba luka perih di sudut bibirnya, lalu meludah penuh kemarahan. “Kau berlagak jagoan disini. Apa kau tidak sadar, kau sendiri juga berselingkuh dengan pembantumu?” Dia melayangkan pandangan ke arah Gina. “Beruntung, dia bukan benar-benar pembantu. Seleramu cukup bagus, Dam,” seloroh Steve tanpa dosa.Gigi Damian
Gina tak akan gentar. Setelah membuka kaca mobilnya di depan pos satpam kediaman Wijaya, dia menerobos gerbang dengan pandangan keheranan dari para satpam Wijaya.Mereka tentu terkejut. Gina dan Wijaya sudah bercerai hampir setengah tahun lamanya, dan tiba-tiba Gina muncul kembali.“Nyonya Gina?!” teriak salah seorang satpam paling senior di sana, Dia lari kocar-kacir menghampiri Gina. “Nyonya, apa yang Nyonya lakukan disini?” tanyanya cemas.Gina berdiri dengan sedikit mendongak ke pintu utama rumah mewah itu. “Aku ada sedikit urusan dengan Wijaya. Dia pasti ada di rumah, kan?” tebak Gina. Dia tentu masih hafal segala detil aktivitas kapan Wijaya ada di rumah dan kapan pergi ke kantor.Satpam itu mengangguk. “Kalau Andrea sampai tahu, bisa-bisa Nyonya celaka,” bisiknya.Gina tersenyum dan menggeleng pelan. “Dia tidak akan bisa mencelakaiku,” jawabnya berusaha tenang. “Biarkan aku masuk ke dalam, dan laporkan padaku jika Andrea pulang,” p
"Miss Gina?" Sari ternganga lebar, ketika dia membuka pintu depan dan sosok Gina sudah berdiri di sana dengan senyuman manis.Sari spontan memeluk Gina dan tangisnya pecah. "Ibu sangat merindukanmu, Gina! Kemana saja kamu setahun ini?"Gina balas memeluk Sari. Dia tidak bicara apapun, hanya tersenyum lega karena ternyata dia masih diterima cukup hangat di dalam keluarga Damian.Tasya muncul, dengan wajahnya yang kaget luar biasa. Tak menyangka Gina akan datang kembali ke rumahnya."Tasya, gimana kabarmu?" tegur Gina ramah.Tasya masih menganga, dengan mata mengerjap beberapa kali. "T-Tante Gina?" ucapnya terbata-bata. Gina berjalan mendekat. Lalu mendekap gadis yang kini tidak begitu kecil itu."Kamu sudah tambah besar, ya. Miss kangen sama Tasya," ucap Gina dalam dekapannya.Tidak ada reaksi yang keluar dari bibir Tasya. Tapi dia tidak menolak saat Gina memeluk erat tubuhnya. Yang dia lakukan hanya bergantian memandang Damian dan Sari, yang terus tersenyum haru."Tante Gina … " pang
"Terima kasih sudah mengantarku, Dam," tukas Annie saat mobil Damian berhenti tepat di depan pintu masuk kantornya.Damian mengangguk. "Ibu sangat senang menjaga Sean, jadi kamu fokus saja pada kerjaanmu,"Annie tersipu senang. Seakan mereka berdua masih sebagai sepasang suami istri yang bahagia, apalagi dari perlakuan Damian padanya yang sangat sopan."Apakah kamu akan pulang telat hari ini?" tanya Annie. Tampak ragu untuk bicara, tapi dorongan di dalam dirinya kelewat kuat untuk bisa dicegah. "Maukah pulang bersama?" ajaknya.Damian hening beberapa detik. Untuk kemudian mengangguk. "Akan kuusahakan pulang cepat,"Annie berseru bahagia dalam hati. Sangat senang karena Damian menyambut baik segala usahanya untuk kembali dekat itu. Dia berusaha menampik kenyataan, bahwa Damian sedang tidak baik-baik saja.Dia tahu, Damian dan Gina batal menikah. Tapi Annie ingin menuruti egonya sendiri kali ini, karena dia tidak ingin kehilangan Damian untuk kedua kalinya.Sore harinya, Damian benar-be
Hati Damian terasa amat nyeri, mendengar perkataan secara sepihak itu dari Gina. Bahkan ketika dia mencoba untuk menelan ludah, seperti ada yang mengganjal. Sesuatu yang sangat menyakitkan hingga membuat suaranya tercekat."Aku tidak ingin menjadi trauma untuk Tasya," lanjut Gina, sangat nekat meski suaranya sudah bergetar menahan tangis. "Dia adalah darah dagingmu. Sudah menjadi bagian dalam kehidupanmu. Mengabaikan pendapatnya dalam setiap keputusanmu, akan membuatnya trauma di masa depan,"Damian masih tidak menjawab. Hanya bola matanya yang terus bergetar. Kemudian pelan-pelan Gina melepaskan cincin berlian di jari manisnya, pemberian Damian. Dia serahkan kembali cincin itu, ke dalam genggaman tangan Damian yang terasa amat dingin."Aku menyayangimu, aku juga menyayangi Tasya. Tapi kebahagiaan kalian berdua bukanlah aku," isak Gina. "Aku tidak ingin menjadi mimpi buruk Tasya. Karena setiap kali melihatnya, selalu mengingatkanku akan Sean. Aku ingin menjadi kenangan manis untuknya
Wijaya berulang kali mencuri pandang pada Gina yang duduk di samping kemudi mobilnya. Tampak wanita cantik itu terisak pelan, dengan kepala yang terus menghadap keluar jendela mobil.Wijaya ingin bertanya, tapi lidahnya kelu hingga menahan hasratnya untuk tidak mengeluarkan suara apapun. Dia tahu, Gina sedang terluka. Gina melihat dan mendengar dengan inderanya sendiri, bagaimana sang calon suami bercengkerama dengan si mantan istri."Gina? Sudah sampai," tukas Wijaya, ketika mobilnya berhenti di depan pintu masuk rumah Gina.Bahkan wanita itu juga tidak menyadari jika Wijaya sempat bertukar sapa dengan satpam rumahnya sebelum mobil itu masuk."Terimakasih, Jay," ucapnya pelan."Atas apa?""Karena mengantarku pulang," timpal Gina, dengan wajah lesu.Wijaya hanya diam, terus memandangi Gina dengan tatapan iba. Dia selalu memiliki titik lembut tersendiri di dalam hatinya, hanya untuk Gina.Lantas Gina–dengan gerakan lambat keluar dari dalam mobil Wijaya. Tanpa mengucapkan apapun lagi, w
Gina mengangguk. Lalu mereka berdua kembali kikuk berhadapan satu sama lain. Tak ada kata yang sanggup keluar dari bibir masing-masing, karena ada kesalahpahaman yang muncul di dalam otak Gina dan Damian. "Damian," panggil Rudi, yang baru saja tiba. Kemudian dia cukup terkejut melihat Gina, namun berusaha untuk hanya fokus pada Damian.Damian menyahut dengan senyuman. Sementara Rudi–beserta Irene, masih berdiri di depan Damian dengan ekspresi tegang. Tampak ada sesuatu yang mengganjal."Dam, maafkan Papa dan Mama," tukas Rudi tiba-tiba. Hingga membuat siapa saja yang ada di sana terkejut. "Papa dan Mama selama ini selalu bersikap tak adil padamu," lanjutnya.Bahkan Damian hingga tergagap karena tak menyangka akan mendapatkan ucapan maaf dari Rudi. "Papa … " Annie berkaca-kaca melihat sikap papanya. Dia tanpa sadar berjalan mendekati Damian dan Rudi. "Kenapa Pak Rudi … " Damian kehabisan kata-kata. Bahkan untuk sekedar tersenyum dan memandang Rudi pun dia tak sanggup. Semuanya sungg
“Jay?” panggil Gina.Wijaya hanya menautkan alis sebagai respon.“Bagaimana kamu tahu aku diculik disana?” tanya Gina.Wijaya lalu duduk lebih santai, menikmati perjalanan karena Emma pun juga mengemudi dengan kecepatan sedang.“Aku datang ke sekolah untuk mengajakmu pulang bersama. Tapi kamu malah naik mobil bersama seorang pria asing,” jelas Wijaya. “Kukira itu Damian, tapi aku hafal dengan mobilnya. Jadi aku bisa simpulkan bahwa itu bukan Damina,”“Lalu?” Gina sudah tidak sabar.“Aku membuntuti dari belakang. Saat sadar mobil itu masuk ke jalan yang sempit dan sepi, aku langsung menghubungi Emma,” lanjut Wijaya.“Tuan meminta saya menghubungi polisi. Jadi saya bersama polisi datang. Tapi kami tidak langsung menyergap, karena Tuan ingin mengatur strategi agar semuanya bisa tertangkap,” timpal Emma cukup detail. “Saya juga tidak menyangka, Steve yang menjadi dalang dibalik penculikan ini,” Dia menunduk, merasa menyesal juga bersalah. “Kenapa dia tiba-tiba menculik Nyonya?”Gina angka
Dengan cepat Steve membuka lakban yang menutup mulut Gina. Membuat Gina meringis merasakan rekatan kuat itu ditarik paksa dari kulitnya.“Kamu terlalu meremehkanku, Gina. Kamu pikir, selama ini aku hanya diam dan menontonmu terus melakukan hal-hal licik,” ujar Steve.Gina balas menatapnya dengan perasaan tenang. “Apa kamu sadar perbuatanmu ini hanya akan makin merugikanmu? Kamu lupa siapa aku?”Plak!Tiba-tiba Steve menampar pipi Gina sekerasnya. Ada kilatan murka di kedua matanya yang menyala.“Kamu kira, kamulah pusat dunia? Kamulah penguasa dunia ini?” bentak Steve. “Jangan lupakan statusmu yang hanya seorang janda, Gina Duran. Seberapa kaya dirimu, kamu hanyalah janda menyedihkan di mata semua orang,” olok Steve, lalu tertawa terbahak-bahak penuh kemenangan.Gina tidak menanggapi. Selain karena tubuhnya masih terikat, dia juga tidak ingin menggunakan banyak tenaganya hanya untuk meladeni bualan Steve.Tiba-tiba Steve mencengkeram pipi Gina. “Aku akan menghancurkan hidupmu. Setidak
“Masuk!” seru Steve, ketika pintu ruang kerjanya diketuk.Brak!Annie mendobrak pintu cukup keras, dan masuk dengan langkah tegap ke dalam ruang kerja Steve.Steve yang saat itu sedang fokus pada lembar dokumen di depannya, hanya bisa terbelalak. Namun untungnya sang perawat buru-buru menutup pintu kembali, agar pasien tidak dapat melihat keributan itu.“An, ada apa?” tanya Steve heran. “Kamu sadar nggak, kamu sedang marah-marah di rumah sakit?”“Aku tidak peduli!” sentak Annie. Dia kemudian melempar dokumen-dokumen tentang Steve yang telah dikumpulkan Nina untuknya.“Sudah berapa kali kubilang padamu? Jangan coba-coba membodohiku!” maki Annie. “Kamu sengaja mendekatiku, mempertahankan Sean, karena kamu ingin menyelamatkan reputasi dan klinik pribadimu, kan?”Steve tidak mau membuka dokumen itu, karena sadar jika dia sudah tertangkap basah. Yang bisa dia lakukan kini adalah berusaha menenangkan Annie.“An, tenang dulu. Akan kujelaskan semuanya,” pinta Steve, berusaha meraih tubuh Anni
“Silahkan Bu Gina,” Rudi mempersilahkan dengan sikapnya yang terus saja pongah.Gina menegakkan posisi duduknya. Dengan mata lebih tajam, dia melipat kedua tangan di atas meja demi saling berhadapan dengan lebih fokus pada Rudi Evan.“Apakah Anda tahu, bagaimana anak saya bisa meninggal?” tanya Gina.“Kenapa Anda … ““Jawab saja, Pak Rudi,” potong Gina. “Apakah Anda tahu, siapa yang menyebabkan anak saya meninggal?”Nafas Rudi tercekat. “J-jadi Anda mengancam saya?”Gina menggeleng. “Saya tidak pernah mengancam siapapun, selama orang itu tidak mengusik saya. Tapi mencampuri urusan pribadi saya, sudah menjadi hal yang tidak akan saya biarkan begitu saja,” terang Gina. “Sepertinya Anda harus tahu tentang itu,”“Jika Damian tahu Sean anak kandungnya, bukankah dia menyesal sudah berpisah dengan Annie?”“Siapa yang meminta mereka berpisah, Pak Rudi? Bukankah, anda sendiri?”Sekali lagi Rudi tercekat. Tidak m