“Kurang ajar!” Damian sekali lagi menghantam wajah Steve.Gina dan Emma berusaha melerai satu sama lain, sebisa mereka. Namun Steve justru makin buas tiap kali Damian berhasil membogem mentah wajahnya. “Kau berani mengkhianati Annie, hah! Apa yang kau lakukan dengan asisten Gina?!” teriak Damian muntab.Steve malah mengangkat dadanya. “Bukan urusanmu! Annie istrimu, kenapa kau tanya padaku?” tantang Steve.“Brengsek!” Damian hendak melayangkan kembali tinjunya. Namun Gina buru-buru menahan tubuh Damian, dengan memeluk pinggangnya erat.Begitu pula Emma. Wanita itu menarik mundur tubuh Steve yang memar.Steve meraba luka perih di sudut bibirnya, lalu meludah penuh kemarahan. “Kau berlagak jagoan disini. Apa kau tidak sadar, kau sendiri juga berselingkuh dengan pembantumu?” Dia melayangkan pandangan ke arah Gina. “Beruntung, dia bukan benar-benar pembantu. Seleramu cukup bagus, Dam,” seloroh Steve tanpa dosa.Gigi Damian
Gina tak akan gentar. Setelah membuka kaca mobilnya di depan pos satpam kediaman Wijaya, dia menerobos gerbang dengan pandangan keheranan dari para satpam Wijaya.Mereka tentu terkejut. Gina dan Wijaya sudah bercerai hampir setengah tahun lamanya, dan tiba-tiba Gina muncul kembali.“Nyonya Gina?!” teriak salah seorang satpam paling senior di sana, Dia lari kocar-kacir menghampiri Gina. “Nyonya, apa yang Nyonya lakukan disini?” tanyanya cemas.Gina berdiri dengan sedikit mendongak ke pintu utama rumah mewah itu. “Aku ada sedikit urusan dengan Wijaya. Dia pasti ada di rumah, kan?” tebak Gina. Dia tentu masih hafal segala detil aktivitas kapan Wijaya ada di rumah dan kapan pergi ke kantor.Satpam itu mengangguk. “Kalau Andrea sampai tahu, bisa-bisa Nyonya celaka,” bisiknya.Gina tersenyum dan menggeleng pelan. “Dia tidak akan bisa mencelakaiku,” jawabnya berusaha tenang. “Biarkan aku masuk ke dalam, dan laporkan padaku jika Andrea pulang,” p
Gina meringis kesakitan, berusaha melepaskan cekikan Wijaya di lehernya. Wajahnya membiru, dengan mulut megap-megap berusaha memasukkan oksigen ke dalamnya.“Andrea tidak sejahat itu! Dia mencintaiku, dan aku mencintainya!” bentak Wijaya. “Berhenti menghasutku, karena aku tahu kamu iri dengannya!”Gina tidak kuasa untuk menjawab. Seluruh fungsi tubuhnya kini hanya fokus pada lehernya yang kesakitan. Dengan kondisi gawat, otak Gina yang kacau berusaha untuk mencari akal. Dia sadar, kakinya yang berdiri tak terawasi cukup menjadi cara menguntungkan untuk memukul mundur Wijaya.Dia menendang bagian vital Wijaya, dan pria itu seketika menjerit dan mundur melepaskan cengkeramannya di leher Gina.Gina terbatuk keras, dengan tubuh bersimpuh hampir kehabisan nafas.“Kamu tidak seperti ini, Wijaya! Kamu tidak akan membunuh orang, apalagi membunuhku,” sengal Gina, memegangi lehernya yang sakit.“Kamu tidak benar-benar tahu siapa aku,” Sete
Tanpa sadar Wijaya mengangkat kedua tangannya ketika Annie mengacungkan sebuah pistol. Dia melotot lebar, tak mempercayai tindakan Annie yang terkesan gegabah.“Apa-apaan ini, An?!” murka Wijaya. Lalu dia mengamati lembaran foto yang dilempar Annie ke wajahnya.Tampak foto Andrea sedang bermesraan dengan seorang pria. Wijaya tak bisa mengamati lebih detil. Dia pun memutuskan untuk memungut salah satu foto itu.“Selama ini aku diam, menuruti perintah kalian berdua. Tapi setelah aku berhasil mengumpulkan bukti, aku tidak akan diam lagi,” ujar Annie, setelah diam-diam melepaskan ikatan dasi di kedua tangan Gina.“Ini–” Wijaya mengamati foto itu. “Bagaimana bisa kau menuduh istriku hanya dengan bukti foto-foto ini?”Annie kemudian meraih kembali tasnya. Dan dia mengeluarkan sekeping flashdisk. Dia acungkan ke arah Wijaya.“Semua bukti ada di sini, jika kamu mau tahu lebih,” tegas Annie. “Tapi ini tidak bisa kuberikan secara gratis,”
“Gina, kumohon … “ Wijaya hendak mendekat.Namun Gina sudah lebih dulu mengacungkan kelima jarinya, pertanda tak ingin didekati. Dia berdiri lebih tegap, sambil menggenggam erat tas di kepalan tangannya. “Maafkan aku,” ucapnya pada Wijaya dengan mata berkaca-kaca. “Aku tidak cukup baik, hingga kamu berpaling dan memilih wanita lain,”Langkah kakinya telah mantap sekarang. Dengan satu kali helaan nafas, Gina berjalan cepat meninggalkan kamar Shaan. Dan Wijaya serta Annie masih mematung di tempat masing-masing, berusaha mencerna semuanya.Annie tenggelam dalam segala perkataan Gina. Tentang reputasinya, tentang Tasya hingga Damian. Kemudian pada bayi yang ada dalam kandungannya. Sebuah hasil dari dosa besar yang dia lakukan, namun bisa jadi menjadi anugera. Anugerah indah, jika memang benar bayi itu adalah anak kandung Damian.Masalahnya, Annie sama sekali tidak punya petunjuk, siapakah ayah dari bayi di kandungannya. Apakah Damian? Atau j
Andrea hanya bisa tercengang saat secara tiba-tiba Wijaya sudah berdiri di balik pintu kamar hotel yang sengaja dia pesan malam ini.Pria itu menyeringai, memandang Andrea dengan tatapan menggoda. Namun bagi Andrea tatapan itu justru tampak seperti seseorang yang puas telah memergoki pasangannya berselingkuh.“S-sayang?” seru Andrea terbata-bata. “K-kenapa … ““Kenapa?” potong Wijaya. Dia tidak segera masuk ke dalam kamar, melainkan masing berdiri di ambang pintu. “Kenapa kamu di dalam kamar hotel ini? Menunggu siapa?”Punggung Andrea panas dingin. Dia sudah benar-benar mati sekarang. Tidak ada lagi alasan yang paling masuk untuk Wijaya.“Apakah kamu menungguku?” tebak Wijaya karena Andrea tidak segera angkat bicara.Wanita muda itu buru-buru mengangguk dengan rona muka pucat. “T-tentu saja, Sayang,”“Tapi, aku tidak kamu hubungi?”“Belum!” sambar Andrea cepat. Dia mengacungkan ponselnya pada Wijaya. “Aku sudah berniat menghubungimu, tapi kamu keburu datang,” kilahnya.Wijaya mengangk
Sesekali Annie melirik Damian yang mengemudi di sampingnya, dengan tatapan penuh harap. Meskipun dia tahu jika kedatangan Damian ke rumah Wijaya bukan untuk menjemputnya–tapi menjemput Gina, namun Annie ingin mempercayai sebaliknya.“Dam … “ panggil Annie pelan. “Terima kasih sudah datang menjemputku,” ucapnya, tersenyum tipis. “Bagaimana mobilmu? Bukankah masih tertinggal di rumah Wijaya?”“Aku bisa mengambilnya nanti,” jawab Damian singkat dan terkesan dingin.Annie menunduk. Sambil memainkan jemarinya, dia ingin merangkai pertanyaan selanjutnya agar obrolan itu tidak berakhir.“Bagaimana kabar Tasya? Kalian sekarang tinggal dimana?”Damian menelan ludah, dengan fokus yang masih lurus menatap jalanan. “Dia baik-baik saja. Kamu kan juga baru bertemu dia pagi tadi?”Annie salah tingkah. “M-maksudku, kalian tinggal dimana?” Dia berusaha mengganti topik demi menutupi rasa malunya.“Aku sudah mendapatkan rumah sewa baru. Ti
"Kembalilah, demi anak-anak kalian," pinta Gina dengan tatapan penuh harap.Bukannya terenyuh, Annie malah tersenyum getir. "Anak-anak?" ulangnya. "Kamu yang membongkar perselingkuhanku dengan Steve. Dan aku yakin, kamu pun tahu apa yang sedang menjadi beban pikiranku sekarang," sanggah Annie, sedikit tersinggung. "Meskipun aku berbuat curang dari Damian, tapi aku tidak sejahat itu. Aku tidak akan mungkin menyuruhnya bertanggung jawab atas anak yang belum tentu anaknya,""Tapi aku yakin, Damian pasti akan mengerti," timpal Gina, melepaskan genggamannya di tangan Annie."Tidak, Gin," Annie bangkit berdiri. "Kurasa sampai disini saja pembicaraan kita. Apapun keputusanmu, aku hanya bisa mendoakan semoga itu memang yang terbaik," Dia mengucapkan salam, lalu membalik badan dan pergi dengan langkah cepat.Walaupun Steve sudah menunjukkan penolakan, namun Annie akan terus berjuang demi bisa mendapatkan keadilan yang layak pada anak ya
"Miss Gina?" Sari ternganga lebar, ketika dia membuka pintu depan dan sosok Gina sudah berdiri di sana dengan senyuman manis.Sari spontan memeluk Gina dan tangisnya pecah. "Ibu sangat merindukanmu, Gina! Kemana saja kamu setahun ini?"Gina balas memeluk Sari. Dia tidak bicara apapun, hanya tersenyum lega karena ternyata dia masih diterima cukup hangat di dalam keluarga Damian.Tasya muncul, dengan wajahnya yang kaget luar biasa. Tak menyangka Gina akan datang kembali ke rumahnya."Tasya, gimana kabarmu?" tegur Gina ramah.Tasya masih menganga, dengan mata mengerjap beberapa kali. "T-Tante Gina?" ucapnya terbata-bata. Gina berjalan mendekat. Lalu mendekap gadis yang kini tidak begitu kecil itu."Kamu sudah tambah besar, ya. Miss kangen sama Tasya," ucap Gina dalam dekapannya.Tidak ada reaksi yang keluar dari bibir Tasya. Tapi dia tidak menolak saat Gina memeluk erat tubuhnya. Yang dia lakukan hanya bergantian memandang Damian dan Sari, yang terus tersenyum haru."Tante Gina … " pang
"Terima kasih sudah mengantarku, Dam," tukas Annie saat mobil Damian berhenti tepat di depan pintu masuk kantornya.Damian mengangguk. "Ibu sangat senang menjaga Sean, jadi kamu fokus saja pada kerjaanmu,"Annie tersipu senang. Seakan mereka berdua masih sebagai sepasang suami istri yang bahagia, apalagi dari perlakuan Damian padanya yang sangat sopan."Apakah kamu akan pulang telat hari ini?" tanya Annie. Tampak ragu untuk bicara, tapi dorongan di dalam dirinya kelewat kuat untuk bisa dicegah. "Maukah pulang bersama?" ajaknya.Damian hening beberapa detik. Untuk kemudian mengangguk. "Akan kuusahakan pulang cepat,"Annie berseru bahagia dalam hati. Sangat senang karena Damian menyambut baik segala usahanya untuk kembali dekat itu. Dia berusaha menampik kenyataan, bahwa Damian sedang tidak baik-baik saja.Dia tahu, Damian dan Gina batal menikah. Tapi Annie ingin menuruti egonya sendiri kali ini, karena dia tidak ingin kehilangan Damian untuk kedua kalinya.Sore harinya, Damian benar-be
Hati Damian terasa amat nyeri, mendengar perkataan secara sepihak itu dari Gina. Bahkan ketika dia mencoba untuk menelan ludah, seperti ada yang mengganjal. Sesuatu yang sangat menyakitkan hingga membuat suaranya tercekat."Aku tidak ingin menjadi trauma untuk Tasya," lanjut Gina, sangat nekat meski suaranya sudah bergetar menahan tangis. "Dia adalah darah dagingmu. Sudah menjadi bagian dalam kehidupanmu. Mengabaikan pendapatnya dalam setiap keputusanmu, akan membuatnya trauma di masa depan,"Damian masih tidak menjawab. Hanya bola matanya yang terus bergetar. Kemudian pelan-pelan Gina melepaskan cincin berlian di jari manisnya, pemberian Damian. Dia serahkan kembali cincin itu, ke dalam genggaman tangan Damian yang terasa amat dingin."Aku menyayangimu, aku juga menyayangi Tasya. Tapi kebahagiaan kalian berdua bukanlah aku," isak Gina. "Aku tidak ingin menjadi mimpi buruk Tasya. Karena setiap kali melihatnya, selalu mengingatkanku akan Sean. Aku ingin menjadi kenangan manis untuknya
Wijaya berulang kali mencuri pandang pada Gina yang duduk di samping kemudi mobilnya. Tampak wanita cantik itu terisak pelan, dengan kepala yang terus menghadap keluar jendela mobil.Wijaya ingin bertanya, tapi lidahnya kelu hingga menahan hasratnya untuk tidak mengeluarkan suara apapun. Dia tahu, Gina sedang terluka. Gina melihat dan mendengar dengan inderanya sendiri, bagaimana sang calon suami bercengkerama dengan si mantan istri."Gina? Sudah sampai," tukas Wijaya, ketika mobilnya berhenti di depan pintu masuk rumah Gina.Bahkan wanita itu juga tidak menyadari jika Wijaya sempat bertukar sapa dengan satpam rumahnya sebelum mobil itu masuk."Terimakasih, Jay," ucapnya pelan."Atas apa?""Karena mengantarku pulang," timpal Gina, dengan wajah lesu.Wijaya hanya diam, terus memandangi Gina dengan tatapan iba. Dia selalu memiliki titik lembut tersendiri di dalam hatinya, hanya untuk Gina.Lantas Gina–dengan gerakan lambat keluar dari dalam mobil Wijaya. Tanpa mengucapkan apapun lagi, w
Gina mengangguk. Lalu mereka berdua kembali kikuk berhadapan satu sama lain. Tak ada kata yang sanggup keluar dari bibir masing-masing, karena ada kesalahpahaman yang muncul di dalam otak Gina dan Damian. "Damian," panggil Rudi, yang baru saja tiba. Kemudian dia cukup terkejut melihat Gina, namun berusaha untuk hanya fokus pada Damian.Damian menyahut dengan senyuman. Sementara Rudi–beserta Irene, masih berdiri di depan Damian dengan ekspresi tegang. Tampak ada sesuatu yang mengganjal."Dam, maafkan Papa dan Mama," tukas Rudi tiba-tiba. Hingga membuat siapa saja yang ada di sana terkejut. "Papa dan Mama selama ini selalu bersikap tak adil padamu," lanjutnya.Bahkan Damian hingga tergagap karena tak menyangka akan mendapatkan ucapan maaf dari Rudi. "Papa … " Annie berkaca-kaca melihat sikap papanya. Dia tanpa sadar berjalan mendekati Damian dan Rudi. "Kenapa Pak Rudi … " Damian kehabisan kata-kata. Bahkan untuk sekedar tersenyum dan memandang Rudi pun dia tak sanggup. Semuanya sungg
“Jay?” panggil Gina.Wijaya hanya menautkan alis sebagai respon.“Bagaimana kamu tahu aku diculik disana?” tanya Gina.Wijaya lalu duduk lebih santai, menikmati perjalanan karena Emma pun juga mengemudi dengan kecepatan sedang.“Aku datang ke sekolah untuk mengajakmu pulang bersama. Tapi kamu malah naik mobil bersama seorang pria asing,” jelas Wijaya. “Kukira itu Damian, tapi aku hafal dengan mobilnya. Jadi aku bisa simpulkan bahwa itu bukan Damina,”“Lalu?” Gina sudah tidak sabar.“Aku membuntuti dari belakang. Saat sadar mobil itu masuk ke jalan yang sempit dan sepi, aku langsung menghubungi Emma,” lanjut Wijaya.“Tuan meminta saya menghubungi polisi. Jadi saya bersama polisi datang. Tapi kami tidak langsung menyergap, karena Tuan ingin mengatur strategi agar semuanya bisa tertangkap,” timpal Emma cukup detail. “Saya juga tidak menyangka, Steve yang menjadi dalang dibalik penculikan ini,” Dia menunduk, merasa menyesal juga bersalah. “Kenapa dia tiba-tiba menculik Nyonya?”Gina angka
Dengan cepat Steve membuka lakban yang menutup mulut Gina. Membuat Gina meringis merasakan rekatan kuat itu ditarik paksa dari kulitnya.“Kamu terlalu meremehkanku, Gina. Kamu pikir, selama ini aku hanya diam dan menontonmu terus melakukan hal-hal licik,” ujar Steve.Gina balas menatapnya dengan perasaan tenang. “Apa kamu sadar perbuatanmu ini hanya akan makin merugikanmu? Kamu lupa siapa aku?”Plak!Tiba-tiba Steve menampar pipi Gina sekerasnya. Ada kilatan murka di kedua matanya yang menyala.“Kamu kira, kamulah pusat dunia? Kamulah penguasa dunia ini?” bentak Steve. “Jangan lupakan statusmu yang hanya seorang janda, Gina Duran. Seberapa kaya dirimu, kamu hanyalah janda menyedihkan di mata semua orang,” olok Steve, lalu tertawa terbahak-bahak penuh kemenangan.Gina tidak menanggapi. Selain karena tubuhnya masih terikat, dia juga tidak ingin menggunakan banyak tenaganya hanya untuk meladeni bualan Steve.Tiba-tiba Steve mencengkeram pipi Gina. “Aku akan menghancurkan hidupmu. Setidak
“Masuk!” seru Steve, ketika pintu ruang kerjanya diketuk.Brak!Annie mendobrak pintu cukup keras, dan masuk dengan langkah tegap ke dalam ruang kerja Steve.Steve yang saat itu sedang fokus pada lembar dokumen di depannya, hanya bisa terbelalak. Namun untungnya sang perawat buru-buru menutup pintu kembali, agar pasien tidak dapat melihat keributan itu.“An, ada apa?” tanya Steve heran. “Kamu sadar nggak, kamu sedang marah-marah di rumah sakit?”“Aku tidak peduli!” sentak Annie. Dia kemudian melempar dokumen-dokumen tentang Steve yang telah dikumpulkan Nina untuknya.“Sudah berapa kali kubilang padamu? Jangan coba-coba membodohiku!” maki Annie. “Kamu sengaja mendekatiku, mempertahankan Sean, karena kamu ingin menyelamatkan reputasi dan klinik pribadimu, kan?”Steve tidak mau membuka dokumen itu, karena sadar jika dia sudah tertangkap basah. Yang bisa dia lakukan kini adalah berusaha menenangkan Annie.“An, tenang dulu. Akan kujelaskan semuanya,” pinta Steve, berusaha meraih tubuh Anni
“Silahkan Bu Gina,” Rudi mempersilahkan dengan sikapnya yang terus saja pongah.Gina menegakkan posisi duduknya. Dengan mata lebih tajam, dia melipat kedua tangan di atas meja demi saling berhadapan dengan lebih fokus pada Rudi Evan.“Apakah Anda tahu, bagaimana anak saya bisa meninggal?” tanya Gina.“Kenapa Anda … ““Jawab saja, Pak Rudi,” potong Gina. “Apakah Anda tahu, siapa yang menyebabkan anak saya meninggal?”Nafas Rudi tercekat. “J-jadi Anda mengancam saya?”Gina menggeleng. “Saya tidak pernah mengancam siapapun, selama orang itu tidak mengusik saya. Tapi mencampuri urusan pribadi saya, sudah menjadi hal yang tidak akan saya biarkan begitu saja,” terang Gina. “Sepertinya Anda harus tahu tentang itu,”“Jika Damian tahu Sean anak kandungnya, bukankah dia menyesal sudah berpisah dengan Annie?”“Siapa yang meminta mereka berpisah, Pak Rudi? Bukankah, anda sendiri?”Sekali lagi Rudi tercekat. Tidak m