Sesekali Annie melirik Damian yang mengemudi di sampingnya, dengan tatapan penuh harap. Meskipun dia tahu jika kedatangan Damian ke rumah Wijaya bukan untuk menjemputnya–tapi menjemput Gina, namun Annie ingin mempercayai sebaliknya.“Dam … “ panggil Annie pelan. “Terima kasih sudah datang menjemputku,” ucapnya, tersenyum tipis. “Bagaimana mobilmu? Bukankah masih tertinggal di rumah Wijaya?”“Aku bisa mengambilnya nanti,” jawab Damian singkat dan terkesan dingin.Annie menunduk. Sambil memainkan jemarinya, dia ingin merangkai pertanyaan selanjutnya agar obrolan itu tidak berakhir.“Bagaimana kabar Tasya? Kalian sekarang tinggal dimana?”Damian menelan ludah, dengan fokus yang masih lurus menatap jalanan. “Dia baik-baik saja. Kamu kan juga baru bertemu dia pagi tadi?”Annie salah tingkah. “M-maksudku, kalian tinggal dimana?” Dia berusaha mengganti topik demi menutupi rasa malunya.“Aku sudah mendapatkan rumah sewa baru. Ti
"Kembalilah, demi anak-anak kalian," pinta Gina dengan tatapan penuh harap.Bukannya terenyuh, Annie malah tersenyum getir. "Anak-anak?" ulangnya. "Kamu yang membongkar perselingkuhanku dengan Steve. Dan aku yakin, kamu pun tahu apa yang sedang menjadi beban pikiranku sekarang," sanggah Annie, sedikit tersinggung. "Meskipun aku berbuat curang dari Damian, tapi aku tidak sejahat itu. Aku tidak akan mungkin menyuruhnya bertanggung jawab atas anak yang belum tentu anaknya,""Tapi aku yakin, Damian pasti akan mengerti," timpal Gina, melepaskan genggamannya di tangan Annie."Tidak, Gin," Annie bangkit berdiri. "Kurasa sampai disini saja pembicaraan kita. Apapun keputusanmu, aku hanya bisa mendoakan semoga itu memang yang terbaik," Dia mengucapkan salam, lalu membalik badan dan pergi dengan langkah cepat.Walaupun Steve sudah menunjukkan penolakan, namun Annie akan terus berjuang demi bisa mendapatkan keadilan yang layak pada anak ya
“Pa, Papa bangun!!” teriak Tasya, mengguncang tubuh Damian sekencang yang dia bisa.Sudah 4 bulan lamanya, dan Damian terus dihantui akan mimpinya tentang Gina. Kepergian wanita itu secara tiba-tiba, menorehkan luka batin di hati Damian, hingga cukup merugikan kehidupannya.Dia berhenti untuk menulis, dan hanya mengandalkan usahanya sebagai penulis lepas demi mencukupi kebutuhan sehari-hari bersama Tasya.Dia telah kehilangan inspirasi terbaiknya. Kehilangan Gina, yang menghilang begitu saja bagai ditelan bumi. Bahkan demi mengenang dan menebus kerinduannya, Damian sering meluangkan diri untuk mengunjungi makam Sean–dengan harapan bisa bertemu kembali dengan Gina.Namun hingga 120 hari, harapan itu hanyalah harapan yang menguap di udara.“Pa, hari ini waktunya berkunjung ke rumah Mama,” tukas Tasya, girang bukan main.Damian mengecek ponselnya malas-malasan. “Ini hari Minggu, ya?”“Mama pasti ada di rumah. Hari Minggu ka
Sehari sebelumnya …“Dokter!” Perawat asisten Steve tiba-tiba membuka pintu ruang kerja Steve begitu saja, ketika Steve sedang dalam kenikmatan birahinya.Steve yang kelabakan, buru-buru mendorong mundur wanita yang sebelumnya dia rengkuh, dan cepat-cepat menutup celana.“Apa yang kau lakukan, hah!” teriak Steve marah.Perawat itu sudah siap membuka mulut, namun tubuhnya tiba-tiba didorong maju dengan keras oleh seorang pria paruh baya.“Apa yang kau lakukan pada istriku?!!” jerit pria itu, menerjang tubuh Steve dengan pisau yang sedang dia genggam.Beruntung, Steve bisa menghindar meski setengah lengannya terserempet sabetan pisau itu.“Argh,” ringkih Steve, merasakan perih.Perawat serta wanita yang ada di dalam ruang kerja Steve, berhamburan keluar mencari pertolongan. Sementara pria paruh baya yang kesetanan itu terus melotot ke arah Steve, siap menebas kapan saja.“Kenapa istriku bisa hamil, hah?? Setelah aku berobat padamu, bukannya menyembuhkanku, kau malah menghamili istriku!”
“Pergi dari sini, Steve!!” Annie mendorong tubuh Steve sekuatnya. Hingga pria itu terdorong cukup jauh dari Damian.Annie sengaja melakukannya, demi membuyarkan lamunan Damian akan Gina. Steve sepertinya cukup tahu titik kelemahan Damian ada pada Gina.“Apa tujuanmu datang ke sini, hah?! Kamu sendiri yang menolak mengakui anak ini anakmu, tapi kenapa sekarang seperti ini?” seru Annie, kesal setengah mati.Steve mengatur posisinya lebih tegak. “Bukankah sebaiknya kita bicara di dalam? Apa kamu tidak malu dengan tetanggamu?” tanya Steve, mengedarkan pandangan ke sekeliling.“Tidak ada lagi yang perlu dibicarakan,” sentak Damian. Dia mengangkat tinggi-tinggi tangannya, mengusir Steve. “Pergi dari sini,”“An, kumohon, beri aku kesempatan … ““Pergi!!” Damian menghalangi Steve untuk mendekati Annie yang berdiri di belakang punggungnya.Melihat sikap Damian, Steve berdiri makin angkuh. Dia mengangkat dagunya, berusaha menyaingi Damian.“Kamu akan menyesal, karena mempertahankan wanita seper
“Dam … “ Annie berusaha meraih tubuh Damian yang makin menjauh darinya. “Tidakkah kamu memiliki sedikit rasa iba?” rengek Annie, memegangi perutnya dengan wajah pucat pasi.Damian sekali lagi memalingkan muka. “Maafkan aku, An,” sesalnya. “Setiap kali melihatmu, wajah Steve selalu muncul di mataku. Aku tidak bisa hidup dalam bayang-bayang rasa sakit seperi ini,”Annie menelan ludah dengan rasa getir yang menggerogoti kerongkongannya. “Aku … menyesal, Dam. Aku minta maaf,” ucapnya terbata. “Aku tidak akan pernah menemuinya lagi, dan berjanji akan menjadi istri yang baik,”Damian tetap memalingkan muka. Bahkan kini dia terpejam demi meneguhkan diri sendiri. “Aku sudah memaafkanmu, An. Tapi aku tidak bisa menarik keputusanku,” tegas Damian. “Aku sendiri bukan suami yang baik, jadi aku tidak berhak menghakimimu lebih jauh. Tapi semakin aku memaksa diri untuk terus bersamamu, semakin aku merasa sakit. Orang tuamu sendiri juga tidak meny
Damian dan Tasya mengemasi seluruh barang-barang mereka untuk kembali tinggal di rumah Annie. Setelah dirawat selama sehari di rumah sakit, atas izin dokter, Annie sudah diperbolehkan untuk kembali ke rumah. Namun dia masih perlu banyak istirahat demi menjaga kesehatan janin dan dirinya sendiri.“Jangan banyak bergerak. Istirahatlah, An,” Damian membantu Annie berbaring di ranjangnya. Kemudian pria itu mengambil selimut, dan dia selimuti tubuh Annie agar hangat.Annie tersenyum tipis, merasa amat bahagia. Meskipun kandungannya cukup mengkhawatirkan, namun melihat Damian dan Tasya kembali ke sisinya adalah rezeki yang disyukuri Annie.“Terima kasih, Dam. Kamu mau kembali ke rumah kita,” ucap Annie, dengan wajahnya yang lemas.Damian hanya menanggapi dengan raut datar. “Bagaimana pun juga, akulah yang harus memastikan kamu tetap sehat,” timpal Damian. “Karena aku suamimu,”“Mama!” Tasya masuk, sambil membawa segelas susu. Dia berikan susu itu kepada Annie. “Papa suruh Tasya bikinin susu
Steve hanya bisa pasrah, saat plang nama sekaligus jadwal prakteknya dilepas satu persatu oleh sang ayah. Akibat perbuatannya sendiri, yang membuat gaduh hingga menjadi buah bibir di kalangan para dokter spesialis, sang ayah terpaksa memberhentikan izin prakter Steve–demi menjaga reputasi.Sambil melotot tajam ke arah Steve, Edo melempar plang nama Steve dengan kasar.“Tanggung sendiri semua perbuatanmu!” ketusnya. “Segeralah menikah dan memiliki anak, agar kamu bisa keluar dari lingkaran setan itu,” Edo memberi perintah, dengan tatapan tajam."Tapi, Pa, pria tua itu juga salah karena sudah menyerangku," bela Steve."Dan kamu mau menuntutnya? Lalu kamu rela dia membeberkan segala motifnya di depan polisi? Apa kamu mau karirmu makin hancur?" cecar Edo. "Ingat, Steve. Kita adalah seorang dokter. Mengedepankan moral di atas segalanya. Aku tahu kamu hanya manusia biasa, tapi kalau sampai kasus ini diangkat ke sosial media, habis sudah keluarga kita,"
"Miss Gina?" Sari ternganga lebar, ketika dia membuka pintu depan dan sosok Gina sudah berdiri di sana dengan senyuman manis.Sari spontan memeluk Gina dan tangisnya pecah. "Ibu sangat merindukanmu, Gina! Kemana saja kamu setahun ini?"Gina balas memeluk Sari. Dia tidak bicara apapun, hanya tersenyum lega karena ternyata dia masih diterima cukup hangat di dalam keluarga Damian.Tasya muncul, dengan wajahnya yang kaget luar biasa. Tak menyangka Gina akan datang kembali ke rumahnya."Tasya, gimana kabarmu?" tegur Gina ramah.Tasya masih menganga, dengan mata mengerjap beberapa kali. "T-Tante Gina?" ucapnya terbata-bata. Gina berjalan mendekat. Lalu mendekap gadis yang kini tidak begitu kecil itu."Kamu sudah tambah besar, ya. Miss kangen sama Tasya," ucap Gina dalam dekapannya.Tidak ada reaksi yang keluar dari bibir Tasya. Tapi dia tidak menolak saat Gina memeluk erat tubuhnya. Yang dia lakukan hanya bergantian memandang Damian dan Sari, yang terus tersenyum haru."Tante Gina … " pang
"Terima kasih sudah mengantarku, Dam," tukas Annie saat mobil Damian berhenti tepat di depan pintu masuk kantornya.Damian mengangguk. "Ibu sangat senang menjaga Sean, jadi kamu fokus saja pada kerjaanmu,"Annie tersipu senang. Seakan mereka berdua masih sebagai sepasang suami istri yang bahagia, apalagi dari perlakuan Damian padanya yang sangat sopan."Apakah kamu akan pulang telat hari ini?" tanya Annie. Tampak ragu untuk bicara, tapi dorongan di dalam dirinya kelewat kuat untuk bisa dicegah. "Maukah pulang bersama?" ajaknya.Damian hening beberapa detik. Untuk kemudian mengangguk. "Akan kuusahakan pulang cepat,"Annie berseru bahagia dalam hati. Sangat senang karena Damian menyambut baik segala usahanya untuk kembali dekat itu. Dia berusaha menampik kenyataan, bahwa Damian sedang tidak baik-baik saja.Dia tahu, Damian dan Gina batal menikah. Tapi Annie ingin menuruti egonya sendiri kali ini, karena dia tidak ingin kehilangan Damian untuk kedua kalinya.Sore harinya, Damian benar-be
Hati Damian terasa amat nyeri, mendengar perkataan secara sepihak itu dari Gina. Bahkan ketika dia mencoba untuk menelan ludah, seperti ada yang mengganjal. Sesuatu yang sangat menyakitkan hingga membuat suaranya tercekat."Aku tidak ingin menjadi trauma untuk Tasya," lanjut Gina, sangat nekat meski suaranya sudah bergetar menahan tangis. "Dia adalah darah dagingmu. Sudah menjadi bagian dalam kehidupanmu. Mengabaikan pendapatnya dalam setiap keputusanmu, akan membuatnya trauma di masa depan,"Damian masih tidak menjawab. Hanya bola matanya yang terus bergetar. Kemudian pelan-pelan Gina melepaskan cincin berlian di jari manisnya, pemberian Damian. Dia serahkan kembali cincin itu, ke dalam genggaman tangan Damian yang terasa amat dingin."Aku menyayangimu, aku juga menyayangi Tasya. Tapi kebahagiaan kalian berdua bukanlah aku," isak Gina. "Aku tidak ingin menjadi mimpi buruk Tasya. Karena setiap kali melihatnya, selalu mengingatkanku akan Sean. Aku ingin menjadi kenangan manis untuknya
Wijaya berulang kali mencuri pandang pada Gina yang duduk di samping kemudi mobilnya. Tampak wanita cantik itu terisak pelan, dengan kepala yang terus menghadap keluar jendela mobil.Wijaya ingin bertanya, tapi lidahnya kelu hingga menahan hasratnya untuk tidak mengeluarkan suara apapun. Dia tahu, Gina sedang terluka. Gina melihat dan mendengar dengan inderanya sendiri, bagaimana sang calon suami bercengkerama dengan si mantan istri."Gina? Sudah sampai," tukas Wijaya, ketika mobilnya berhenti di depan pintu masuk rumah Gina.Bahkan wanita itu juga tidak menyadari jika Wijaya sempat bertukar sapa dengan satpam rumahnya sebelum mobil itu masuk."Terimakasih, Jay," ucapnya pelan."Atas apa?""Karena mengantarku pulang," timpal Gina, dengan wajah lesu.Wijaya hanya diam, terus memandangi Gina dengan tatapan iba. Dia selalu memiliki titik lembut tersendiri di dalam hatinya, hanya untuk Gina.Lantas Gina–dengan gerakan lambat keluar dari dalam mobil Wijaya. Tanpa mengucapkan apapun lagi, w
Gina mengangguk. Lalu mereka berdua kembali kikuk berhadapan satu sama lain. Tak ada kata yang sanggup keluar dari bibir masing-masing, karena ada kesalahpahaman yang muncul di dalam otak Gina dan Damian. "Damian," panggil Rudi, yang baru saja tiba. Kemudian dia cukup terkejut melihat Gina, namun berusaha untuk hanya fokus pada Damian.Damian menyahut dengan senyuman. Sementara Rudi–beserta Irene, masih berdiri di depan Damian dengan ekspresi tegang. Tampak ada sesuatu yang mengganjal."Dam, maafkan Papa dan Mama," tukas Rudi tiba-tiba. Hingga membuat siapa saja yang ada di sana terkejut. "Papa dan Mama selama ini selalu bersikap tak adil padamu," lanjutnya.Bahkan Damian hingga tergagap karena tak menyangka akan mendapatkan ucapan maaf dari Rudi. "Papa … " Annie berkaca-kaca melihat sikap papanya. Dia tanpa sadar berjalan mendekati Damian dan Rudi. "Kenapa Pak Rudi … " Damian kehabisan kata-kata. Bahkan untuk sekedar tersenyum dan memandang Rudi pun dia tak sanggup. Semuanya sungg
“Jay?” panggil Gina.Wijaya hanya menautkan alis sebagai respon.“Bagaimana kamu tahu aku diculik disana?” tanya Gina.Wijaya lalu duduk lebih santai, menikmati perjalanan karena Emma pun juga mengemudi dengan kecepatan sedang.“Aku datang ke sekolah untuk mengajakmu pulang bersama. Tapi kamu malah naik mobil bersama seorang pria asing,” jelas Wijaya. “Kukira itu Damian, tapi aku hafal dengan mobilnya. Jadi aku bisa simpulkan bahwa itu bukan Damina,”“Lalu?” Gina sudah tidak sabar.“Aku membuntuti dari belakang. Saat sadar mobil itu masuk ke jalan yang sempit dan sepi, aku langsung menghubungi Emma,” lanjut Wijaya.“Tuan meminta saya menghubungi polisi. Jadi saya bersama polisi datang. Tapi kami tidak langsung menyergap, karena Tuan ingin mengatur strategi agar semuanya bisa tertangkap,” timpal Emma cukup detail. “Saya juga tidak menyangka, Steve yang menjadi dalang dibalik penculikan ini,” Dia menunduk, merasa menyesal juga bersalah. “Kenapa dia tiba-tiba menculik Nyonya?”Gina angka
Dengan cepat Steve membuka lakban yang menutup mulut Gina. Membuat Gina meringis merasakan rekatan kuat itu ditarik paksa dari kulitnya.“Kamu terlalu meremehkanku, Gina. Kamu pikir, selama ini aku hanya diam dan menontonmu terus melakukan hal-hal licik,” ujar Steve.Gina balas menatapnya dengan perasaan tenang. “Apa kamu sadar perbuatanmu ini hanya akan makin merugikanmu? Kamu lupa siapa aku?”Plak!Tiba-tiba Steve menampar pipi Gina sekerasnya. Ada kilatan murka di kedua matanya yang menyala.“Kamu kira, kamulah pusat dunia? Kamulah penguasa dunia ini?” bentak Steve. “Jangan lupakan statusmu yang hanya seorang janda, Gina Duran. Seberapa kaya dirimu, kamu hanyalah janda menyedihkan di mata semua orang,” olok Steve, lalu tertawa terbahak-bahak penuh kemenangan.Gina tidak menanggapi. Selain karena tubuhnya masih terikat, dia juga tidak ingin menggunakan banyak tenaganya hanya untuk meladeni bualan Steve.Tiba-tiba Steve mencengkeram pipi Gina. “Aku akan menghancurkan hidupmu. Setidak
“Masuk!” seru Steve, ketika pintu ruang kerjanya diketuk.Brak!Annie mendobrak pintu cukup keras, dan masuk dengan langkah tegap ke dalam ruang kerja Steve.Steve yang saat itu sedang fokus pada lembar dokumen di depannya, hanya bisa terbelalak. Namun untungnya sang perawat buru-buru menutup pintu kembali, agar pasien tidak dapat melihat keributan itu.“An, ada apa?” tanya Steve heran. “Kamu sadar nggak, kamu sedang marah-marah di rumah sakit?”“Aku tidak peduli!” sentak Annie. Dia kemudian melempar dokumen-dokumen tentang Steve yang telah dikumpulkan Nina untuknya.“Sudah berapa kali kubilang padamu? Jangan coba-coba membodohiku!” maki Annie. “Kamu sengaja mendekatiku, mempertahankan Sean, karena kamu ingin menyelamatkan reputasi dan klinik pribadimu, kan?”Steve tidak mau membuka dokumen itu, karena sadar jika dia sudah tertangkap basah. Yang bisa dia lakukan kini adalah berusaha menenangkan Annie.“An, tenang dulu. Akan kujelaskan semuanya,” pinta Steve, berusaha meraih tubuh Anni
“Silahkan Bu Gina,” Rudi mempersilahkan dengan sikapnya yang terus saja pongah.Gina menegakkan posisi duduknya. Dengan mata lebih tajam, dia melipat kedua tangan di atas meja demi saling berhadapan dengan lebih fokus pada Rudi Evan.“Apakah Anda tahu, bagaimana anak saya bisa meninggal?” tanya Gina.“Kenapa Anda … ““Jawab saja, Pak Rudi,” potong Gina. “Apakah Anda tahu, siapa yang menyebabkan anak saya meninggal?”Nafas Rudi tercekat. “J-jadi Anda mengancam saya?”Gina menggeleng. “Saya tidak pernah mengancam siapapun, selama orang itu tidak mengusik saya. Tapi mencampuri urusan pribadi saya, sudah menjadi hal yang tidak akan saya biarkan begitu saja,” terang Gina. “Sepertinya Anda harus tahu tentang itu,”“Jika Damian tahu Sean anak kandungnya, bukankah dia menyesal sudah berpisah dengan Annie?”“Siapa yang meminta mereka berpisah, Pak Rudi? Bukankah, anda sendiri?”Sekali lagi Rudi tercekat. Tidak m