“Pergi dari sini, Steve!!” Annie mendorong tubuh Steve sekuatnya. Hingga pria itu terdorong cukup jauh dari Damian.Annie sengaja melakukannya, demi membuyarkan lamunan Damian akan Gina. Steve sepertinya cukup tahu titik kelemahan Damian ada pada Gina.“Apa tujuanmu datang ke sini, hah?! Kamu sendiri yang menolak mengakui anak ini anakmu, tapi kenapa sekarang seperti ini?” seru Annie, kesal setengah mati.Steve mengatur posisinya lebih tegak. “Bukankah sebaiknya kita bicara di dalam? Apa kamu tidak malu dengan tetanggamu?” tanya Steve, mengedarkan pandangan ke sekeliling.“Tidak ada lagi yang perlu dibicarakan,” sentak Damian. Dia mengangkat tinggi-tinggi tangannya, mengusir Steve. “Pergi dari sini,”“An, kumohon, beri aku kesempatan … ““Pergi!!” Damian menghalangi Steve untuk mendekati Annie yang berdiri di belakang punggungnya.Melihat sikap Damian, Steve berdiri makin angkuh. Dia mengangkat dagunya, berusaha menyaingi Damian.“Kamu akan menyesal, karena mempertahankan wanita seper
“Dam … “ Annie berusaha meraih tubuh Damian yang makin menjauh darinya. “Tidakkah kamu memiliki sedikit rasa iba?” rengek Annie, memegangi perutnya dengan wajah pucat pasi.Damian sekali lagi memalingkan muka. “Maafkan aku, An,” sesalnya. “Setiap kali melihatmu, wajah Steve selalu muncul di mataku. Aku tidak bisa hidup dalam bayang-bayang rasa sakit seperi ini,”Annie menelan ludah dengan rasa getir yang menggerogoti kerongkongannya. “Aku … menyesal, Dam. Aku minta maaf,” ucapnya terbata. “Aku tidak akan pernah menemuinya lagi, dan berjanji akan menjadi istri yang baik,”Damian tetap memalingkan muka. Bahkan kini dia terpejam demi meneguhkan diri sendiri. “Aku sudah memaafkanmu, An. Tapi aku tidak bisa menarik keputusanku,” tegas Damian. “Aku sendiri bukan suami yang baik, jadi aku tidak berhak menghakimimu lebih jauh. Tapi semakin aku memaksa diri untuk terus bersamamu, semakin aku merasa sakit. Orang tuamu sendiri juga tidak meny
Damian dan Tasya mengemasi seluruh barang-barang mereka untuk kembali tinggal di rumah Annie. Setelah dirawat selama sehari di rumah sakit, atas izin dokter, Annie sudah diperbolehkan untuk kembali ke rumah. Namun dia masih perlu banyak istirahat demi menjaga kesehatan janin dan dirinya sendiri.“Jangan banyak bergerak. Istirahatlah, An,” Damian membantu Annie berbaring di ranjangnya. Kemudian pria itu mengambil selimut, dan dia selimuti tubuh Annie agar hangat.Annie tersenyum tipis, merasa amat bahagia. Meskipun kandungannya cukup mengkhawatirkan, namun melihat Damian dan Tasya kembali ke sisinya adalah rezeki yang disyukuri Annie.“Terima kasih, Dam. Kamu mau kembali ke rumah kita,” ucap Annie, dengan wajahnya yang lemas.Damian hanya menanggapi dengan raut datar. “Bagaimana pun juga, akulah yang harus memastikan kamu tetap sehat,” timpal Damian. “Karena aku suamimu,”“Mama!” Tasya masuk, sambil membawa segelas susu. Dia berikan susu itu kepada Annie. “Papa suruh Tasya bikinin susu
Steve hanya bisa pasrah, saat plang nama sekaligus jadwal prakteknya dilepas satu persatu oleh sang ayah. Akibat perbuatannya sendiri, yang membuat gaduh hingga menjadi buah bibir di kalangan para dokter spesialis, sang ayah terpaksa memberhentikan izin prakter Steve–demi menjaga reputasi.Sambil melotot tajam ke arah Steve, Edo melempar plang nama Steve dengan kasar.“Tanggung sendiri semua perbuatanmu!” ketusnya. “Segeralah menikah dan memiliki anak, agar kamu bisa keluar dari lingkaran setan itu,” Edo memberi perintah, dengan tatapan tajam."Tapi, Pa, pria tua itu juga salah karena sudah menyerangku," bela Steve."Dan kamu mau menuntutnya? Lalu kamu rela dia membeberkan segala motifnya di depan polisi? Apa kamu mau karirmu makin hancur?" cecar Edo. "Ingat, Steve. Kita adalah seorang dokter. Mengedepankan moral di atas segalanya. Aku tahu kamu hanya manusia biasa, tapi kalau sampai kasus ini diangkat ke sosial media, habis sudah keluarga kita,"
“Damian!” Annie berseru sambil memegangi perutnya, tepat setelah Damian membuka pintu depan.“An?” Damian bergegas berlari menghampiri Annie yang tampak kepayahan melangkah. “Kenapa kamu tidak berbaring saja?” protesnya cemas.Annie menangis, terdengar sangat pilu ditambah wajahnya yang pucat. “Dam, kumohon–” Suara Annie tercekat. “Kumohon jangan tinggalkan aku,”Damian tidak ingin segera menjawab. Dia hanya fokus menuntun tubuh Annie kembali ke kamar, dan membaringkannya.“Jika Gina tiba-tiba datang, kumohon, tetaplah bersamaku,” rintih Annie.“Apa yang terjadi, An?” Damian berusaha bertanya dengan lembut.“Berjanjilah dulu,” tukas Annie, penuh air mata.Damian menggigit bibir, sebagai respon kebimbangannya. Meskipun dia tidak tega melihat kondisi Annie, namun rasa sakit hatinya terus bangkit bagai bara api tiap kali dia melirik perut buncit istrinya.“Aku tidak bisa berjanji, An,” jawab Damian lirih, tak tega
Buak!Sekali lagi Damian meninju wajah Steve, sekerasnya. “Dari kecil, kau sudah punya segalanya. Materi, kedudukan, bahkan kau juga dikaruniai otak yang lebih cerdas dariku. Tapi kenapa, kenapa kau tega menghancurkan kebahagiaanku?” pekik Damian, tak lagi bisa menahan kesabarannya.Steve membuang ludah, sambil meringis memegangi pipinya yang ngilu. “Kebahagiaanmu? Kau sendiri juga selingkuh dengan Gina! Apa bedanya kau dan aku?” tantang Steve.Damian kini menarik baju Steve, saling berhadapan hingga ujung hidung masing-masing hampir menempel. “Aku tidak mungkin memulai semuanya, jika Annie tidak berubah sikap padaku. Aku yakin, perubahannya itu ada kaitannya denganmu,” geram Damian.Steve tertawa. “Sejak awal, Annie memang tak pernah puas denganmu. Kenapa kau malah menyalahkanku?” ejeknya. Kini gantian Steve yang menarik baju Damian. “Kali ini aku tidak akan diam saja, Dam. Aku akan memperjuangkan anakku, darah dagingku sendiri,” ancamn
“Silahkan duduk, Pak Damian,” ucap Gina sangat tenang, seakan dia telah merancang pertemuan ini.Padahal kini Damian tengah diliputi rasa terkejut hingga jantungnya berdebar tak mau berhenti berpacu.Tentulah Tasya tak bisa mengenali Gina sebagai Fiona, karena tampilan Gina sangatlah berbeda dari saat dia menyamar sebagai Fiona. Penampilan Gina lebih glamor, dengan rambut panjang bergelombang dan riasan tebal. Begitu pula baju yang dia kenakan, meski tak mencolok tapi cukup bisa terbaca jika pakaiannya adalah merk ternama.“Saya lega, akhirnya Tasya Chase sudah dijemput,” Gina membuka percakapan. “Karena sebelumnya, dia menunggu sendirian di depan sekolah. Sebagai kepala komite, saya tentu tidak bisa membiarkannya,” kelakar Gina, tampak tenang dan berwibawa. Namun satu hal, dia menolak untuk saling bertatap muka dengan Damian.“Terima kasih, Gina,” celetuk Damian tanpa sadar. Seketika dia membungkam mulutnya. “Maafkan saya,” sesalnya.Gina terdiam. Tampak jelas dia cukup gugup dengan
“Pacar? Emang kamu tahu dari mana?” tanya Damian pada Tasya, dengan mata enggan berpaling dari sosok Gina yang tampak masuk ke dalam mobil Wijaya.“Pa, Papa sih, jemput Tasya selalu telat!” tukas Tasya. “Kan Papa jadi nggak tahu soal Miss Bidadari. Padahal Miss sering banget nungguin murid-murid pulang dan pacarnya itu datang ke sini,”“Oh ya?” Hanya itu respon yang keluar dari mulut Damian.Dan kini Gina benar-benar pergi, setelah masuk ke dalam mobil bersama Wijaya. Meskipun ada setitik perasaan kecewa di benak Damian, namun dia teringat akan ucapan Gina di ruangannya tadi.Tentang Gina yang telah berubah, tentang Gina yang bukan lagi Fiona. Kemudian Damian sadar, bahwa dirinya dan Gina bagai bumi yang merindukan langit. Semua orang saja sudah memperoloknya karena berani menikahi Annie, apalagi mencintai Gina Duran. Damian memaksa hatinya untuk mengubur hidup-hidup, perasaan cintanya pada Gina.“Pa, kok kita pulang ke sini lagi?” tanya Tasya heran, saat Damian memarkir mobil di kon