Steve hanya bisa pasrah, saat plang nama sekaligus jadwal prakteknya dilepas satu persatu oleh sang ayah. Akibat perbuatannya sendiri, yang membuat gaduh hingga menjadi buah bibir di kalangan para dokter spesialis, sang ayah terpaksa memberhentikan izin prakter Steve–demi menjaga reputasi.
Sambil melotot tajam ke arah Steve, Edo melempar plang nama Steve dengan kasar.“Tanggung sendiri semua perbuatanmu!” ketusnya. “Segeralah menikah dan memiliki anak, agar kamu bisa keluar dari lingkaran setan itu,” Edo memberi perintah, dengan tatapan tajam."Tapi, Pa, pria tua itu juga salah karena sudah menyerangku," bela Steve."Dan kamu mau menuntutnya? Lalu kamu rela dia membeberkan segala motifnya di depan polisi? Apa kamu mau karirmu makin hancur?" cecar Edo. "Ingat, Steve. Kita adalah seorang dokter. Mengedepankan moral di atas segalanya. Aku tahu kamu hanya manusia biasa, tapi kalau sampai kasus ini diangkat ke sosial media, habis sudah keluarga kita,"<“Damian!” Annie berseru sambil memegangi perutnya, tepat setelah Damian membuka pintu depan.“An?” Damian bergegas berlari menghampiri Annie yang tampak kepayahan melangkah. “Kenapa kamu tidak berbaring saja?” protesnya cemas.Annie menangis, terdengar sangat pilu ditambah wajahnya yang pucat. “Dam, kumohon–” Suara Annie tercekat. “Kumohon jangan tinggalkan aku,”Damian tidak ingin segera menjawab. Dia hanya fokus menuntun tubuh Annie kembali ke kamar, dan membaringkannya.“Jika Gina tiba-tiba datang, kumohon, tetaplah bersamaku,” rintih Annie.“Apa yang terjadi, An?” Damian berusaha bertanya dengan lembut.“Berjanjilah dulu,” tukas Annie, penuh air mata.Damian menggigit bibir, sebagai respon kebimbangannya. Meskipun dia tidak tega melihat kondisi Annie, namun rasa sakit hatinya terus bangkit bagai bara api tiap kali dia melirik perut buncit istrinya.“Aku tidak bisa berjanji, An,” jawab Damian lirih, tak tega
Buak!Sekali lagi Damian meninju wajah Steve, sekerasnya. “Dari kecil, kau sudah punya segalanya. Materi, kedudukan, bahkan kau juga dikaruniai otak yang lebih cerdas dariku. Tapi kenapa, kenapa kau tega menghancurkan kebahagiaanku?” pekik Damian, tak lagi bisa menahan kesabarannya.Steve membuang ludah, sambil meringis memegangi pipinya yang ngilu. “Kebahagiaanmu? Kau sendiri juga selingkuh dengan Gina! Apa bedanya kau dan aku?” tantang Steve.Damian kini menarik baju Steve, saling berhadapan hingga ujung hidung masing-masing hampir menempel. “Aku tidak mungkin memulai semuanya, jika Annie tidak berubah sikap padaku. Aku yakin, perubahannya itu ada kaitannya denganmu,” geram Damian.Steve tertawa. “Sejak awal, Annie memang tak pernah puas denganmu. Kenapa kau malah menyalahkanku?” ejeknya. Kini gantian Steve yang menarik baju Damian. “Kali ini aku tidak akan diam saja, Dam. Aku akan memperjuangkan anakku, darah dagingku sendiri,” ancamn
“Silahkan duduk, Pak Damian,” ucap Gina sangat tenang, seakan dia telah merancang pertemuan ini.Padahal kini Damian tengah diliputi rasa terkejut hingga jantungnya berdebar tak mau berhenti berpacu.Tentulah Tasya tak bisa mengenali Gina sebagai Fiona, karena tampilan Gina sangatlah berbeda dari saat dia menyamar sebagai Fiona. Penampilan Gina lebih glamor, dengan rambut panjang bergelombang dan riasan tebal. Begitu pula baju yang dia kenakan, meski tak mencolok tapi cukup bisa terbaca jika pakaiannya adalah merk ternama.“Saya lega, akhirnya Tasya Chase sudah dijemput,” Gina membuka percakapan. “Karena sebelumnya, dia menunggu sendirian di depan sekolah. Sebagai kepala komite, saya tentu tidak bisa membiarkannya,” kelakar Gina, tampak tenang dan berwibawa. Namun satu hal, dia menolak untuk saling bertatap muka dengan Damian.“Terima kasih, Gina,” celetuk Damian tanpa sadar. Seketika dia membungkam mulutnya. “Maafkan saya,” sesalnya.Gina terdiam. Tampak jelas dia cukup gugup dengan
“Pacar? Emang kamu tahu dari mana?” tanya Damian pada Tasya, dengan mata enggan berpaling dari sosok Gina yang tampak masuk ke dalam mobil Wijaya.“Pa, Papa sih, jemput Tasya selalu telat!” tukas Tasya. “Kan Papa jadi nggak tahu soal Miss Bidadari. Padahal Miss sering banget nungguin murid-murid pulang dan pacarnya itu datang ke sini,”“Oh ya?” Hanya itu respon yang keluar dari mulut Damian.Dan kini Gina benar-benar pergi, setelah masuk ke dalam mobil bersama Wijaya. Meskipun ada setitik perasaan kecewa di benak Damian, namun dia teringat akan ucapan Gina di ruangannya tadi.Tentang Gina yang telah berubah, tentang Gina yang bukan lagi Fiona. Kemudian Damian sadar, bahwa dirinya dan Gina bagai bumi yang merindukan langit. Semua orang saja sudah memperoloknya karena berani menikahi Annie, apalagi mencintai Gina Duran. Damian memaksa hatinya untuk mengubur hidup-hidup, perasaan cintanya pada Gina.“Pa, kok kita pulang ke sini lagi?” tanya Tasya heran, saat Damian memarkir mobil di kon
“Turunkan aku disini,” pinta Gina dingin, pada Wijaya yang mengemudi di sampingnya.Wijaya melirik mantan istrinya itu. “Kenapa? Aku ingin mengantarmu pulang,”Gina mendengus kesal. “Tidak perlu bersikap manis padaku. Bukankah kamu sudah mencampakkanku?” tanyanya ketus. “Kenapa kamu tidak cari istri baru saja?”Dengan satu kali tarikan nafas, Wijaya menjawab. “Aku minta maaf,” sesalnya. “Aku salah, karena telah mencampakkan wanita baik sepertimu. Dan sekarang aku ingin memperbaiki semuanya?”Tawa miris terdengar dari bibir Gina. “Memperbaiki? Setelah Sean tiada?” timpalnya. “Kamu tahu, aku tidak akan pernah bisa memaafkanmu,”“Aku tahu, Gina,” Wijaya makin mencengkeram erat kemudi. “Tapi aku akan buktikan, aku berhak mendapat kesempatan kedua,”Gina terus mendengus kesal, merasa muak dengan segala ucapan Wijaya. Lalu dia mengeluarkan ponselnya, hendak menghubungi Emma.“Turunkan aku di depan,” suruhnya. “Emma akan datang
“Tasya–” Damian mendekati Tasya, panik. “Tasya ngapain keluar? Tasya di dalam aja, nonton TV, ok?”Tasya mengerutkan kening bingung. Kemudian memandangi satu persatu orang dewasa yang ada di depannya.“Kenapa Oma Irene nggak masuk ke rumah?” tanya Tasya. “Kenapa Oma Irene teriak?”Bukannya cemas dan berusaha menutupi pertikaian, Irene justru makin maju. Dengan dada membusung tak mau kalah, dia menerobos masuk pagar rumah itu lalu menarik tangan Tasya.“Ayo pulang sama Oma, Tasya! Mama sudah nungguin,” paksa Irene.Damian buru-buru menghadang. “Ibu ini apa-apaan, ya?” sentaknya, tak terima melihat perlakuan Irene pada Tasya.Yang ada Irene justru melotot. “Kamu berani membentakku, hah? Kamu itu siapa? Jangan berani sama aku!” Dia mengacungkan telunjuknya dekat wajah Damian, murka.Melihat pertikaian yang seakan tak berujung itu, membuat Tasya panik. Dia mundur, wajahnya memerah hampir menangis.Untungnya sang nen
Keduanya sama-sama terkejut saat menatap satu sama lain, ketika tak sengaja bertemu. Gina refleks berdiri tegak, dan bola mata Annie bergetar tak percaya.Dia kira, Gina sudah pergi ke tempat yang cukup jauh untuk bisa kembali dalam waktu yang tepat. Tapi nyatanya, kini mereka justru bertemu di tempat peristirahatan Sean Wijaya.“B-bagaimana kabarmu, Gin?” tanya Annie, terbata-bata. Sikapnya kikuk saat berhadapan dengan Gina, apalagi kondisinya yang sedang hamil.Gina tersenyum. “Aku baik-baik saja,” jawabnya. “Terima kasih sudah mengunjungi Sean,” Senyumnya tampak tulus, seakan mereka tidak pernah bertikai.Mendapat perlakuan yang baik itu, justru membuat Annie makin kikuk. Dia lalu meletakkan buket mawar putih di atas batu nisan Sean yang berlapiskan marmer hitam.Kemudian Annie menunduk, mulai berdoa. Gina ikut berdiri di belakang Annie, dengan menunduk khidmat.Setelah cukup lama sekitar sepuluh menit mendoakan Sean, mereka berdua kembali saling pandang. Annie tidak punya banyak p
Steve spontan mencengkeram baju Gina dengan kedua tangan besarnya. “Kukira, aku harus menghormatimu sebagai wanita,” ujarnya. “Tapi ternyata kau tidak pantas kuhormati,” Mata Steve melotot lebar, murka luar biasa saat mendengar ucapan Gina tentang Emma.Gina mendorong tubuh Steve, lalu membenarkan kerahnya. Dia tersenyum enteng. “Lihat saja siapa yang akan menyerah nanti,”“Steve, hentikan,” Annie sekali lagi menarik baju Steve, karena merasa risih dengan pertikaian antara Gina dan Steve–yang dia sendiri tidak tahu permasalahannya.Steve menarik tangan Gina, sedikit menjauhi Annie. “Kalau sampai Annie mendengar tentang ini, kubunuh kau,” ancam Steve tak main-main.“Aku pernah mendapat ancaman seperti ini,” timpal Gina, tak gentar. “Dan nyatanya, sampai sekarang aku masih hidup,”“Steve!” Annie berteriak sangat keras.Mau tak mau Steve melepaskan Gina kali ini, meski tatapan tajamnya seakan tidak mau pergi. Dan Gina juga melambai