“Tasya–” Damian mendekati Tasya, panik. “Tasya ngapain keluar? Tasya di dalam aja, nonton TV, ok?”
Tasya mengerutkan kening bingung. Kemudian memandangi satu persatu orang dewasa yang ada di depannya.“Kenapa Oma Irene nggak masuk ke rumah?” tanya Tasya. “Kenapa Oma Irene teriak?”Bukannya cemas dan berusaha menutupi pertikaian, Irene justru makin maju. Dengan dada membusung tak mau kalah, dia menerobos masuk pagar rumah itu lalu menarik tangan Tasya.“Ayo pulang sama Oma, Tasya! Mama sudah nungguin,” paksa Irene.Damian buru-buru menghadang. “Ibu ini apa-apaan, ya?” sentaknya, tak terima melihat perlakuan Irene pada Tasya.Yang ada Irene justru melotot. “Kamu berani membentakku, hah? Kamu itu siapa? Jangan berani sama aku!” Dia mengacungkan telunjuknya dekat wajah Damian, murka.Melihat pertikaian yang seakan tak berujung itu, membuat Tasya panik. Dia mundur, wajahnya memerah hampir menangis.Untungnya sang nenKeduanya sama-sama terkejut saat menatap satu sama lain, ketika tak sengaja bertemu. Gina refleks berdiri tegak, dan bola mata Annie bergetar tak percaya.Dia kira, Gina sudah pergi ke tempat yang cukup jauh untuk bisa kembali dalam waktu yang tepat. Tapi nyatanya, kini mereka justru bertemu di tempat peristirahatan Sean Wijaya.“B-bagaimana kabarmu, Gin?” tanya Annie, terbata-bata. Sikapnya kikuk saat berhadapan dengan Gina, apalagi kondisinya yang sedang hamil.Gina tersenyum. “Aku baik-baik saja,” jawabnya. “Terima kasih sudah mengunjungi Sean,” Senyumnya tampak tulus, seakan mereka tidak pernah bertikai.Mendapat perlakuan yang baik itu, justru membuat Annie makin kikuk. Dia lalu meletakkan buket mawar putih di atas batu nisan Sean yang berlapiskan marmer hitam.Kemudian Annie menunduk, mulai berdoa. Gina ikut berdiri di belakang Annie, dengan menunduk khidmat.Setelah cukup lama sekitar sepuluh menit mendoakan Sean, mereka berdua kembali saling pandang. Annie tidak punya banyak p
Steve spontan mencengkeram baju Gina dengan kedua tangan besarnya. “Kukira, aku harus menghormatimu sebagai wanita,” ujarnya. “Tapi ternyata kau tidak pantas kuhormati,” Mata Steve melotot lebar, murka luar biasa saat mendengar ucapan Gina tentang Emma.Gina mendorong tubuh Steve, lalu membenarkan kerahnya. Dia tersenyum enteng. “Lihat saja siapa yang akan menyerah nanti,”“Steve, hentikan,” Annie sekali lagi menarik baju Steve, karena merasa risih dengan pertikaian antara Gina dan Steve–yang dia sendiri tidak tahu permasalahannya.Steve menarik tangan Gina, sedikit menjauhi Annie. “Kalau sampai Annie mendengar tentang ini, kubunuh kau,” ancam Steve tak main-main.“Aku pernah mendapat ancaman seperti ini,” timpal Gina, tak gentar. “Dan nyatanya, sampai sekarang aku masih hidup,”“Steve!” Annie berteriak sangat keras.Mau tak mau Steve melepaskan Gina kali ini, meski tatapan tajamnya seakan tidak mau pergi. Dan Gina juga melambai
“Kamu?” Annie berusaha mengingat kembali wajah Emma. Dan tak lama dia bisa mengingatnya, namun lupa pada nama Emma. “Bukankah, kamu asisten Gina yang waktu itu ikut disekap oleh Andrea?”“Ah, Andrea … “ gumam Emma, menganga lebar kembali mengingat peristiwa itu. “Bagaimana kabar dia sekarang?”Annie mengangkat alis. “Sepertinya masih aktif sebagai artis sinetron,” jawabnya. Kemudian Annie beralih pada Gina. “Apa yang kamu lakukan disini?” Seingat Annie, Gina hanya punya Sean sebagai satu-satunya anak. Maka tentu saja dia heran dengan kedatangan Gina ke sekolah Tasya.Gina hanya tersenyum, tak kunjung menjawab. Kemudian salah seorang guru menghampiri Gina dan menunduk hormat padanya.“Bu Gina, sebentar lagi rapat komite akan dimulai,” ucapnya.Gina mengangguk ramah. Lalu mengalihkan pandangan baik pada Annie, Emma maupun Steve. “Aku harus masuk dulu. Sebentar lagi rapatnya dimulai,” pamitnya.Sebagai seorang pengacara cerdas, tak butuh waktu lama bagi Annie untuk menyadari bahwa Gina a
Tasya bergantian memandang Damian dan Wijaya keheranan, kenapa bisa pacar Miss Bidadari mengenali papanya. Dan Damian yang cukup protektif, juga menjauhkan Tasya dari dekat Wijaya, seakan takut anaknya itu akan terkontaminasi racun yang dibawa Wijaya.“Tasya sudah sekolah di sini sejak dia TK,” aku Damian, benar adanya. “Aku sama sekali tidak tahu, bahwa Gina juga bekerja disini,”“Tentu saja kau tidak tahu,” timpal Wijaya cepat. “Dia memang sengaja ingin mendekatimu,”“Lantas kenapa?” tantang Damian, cukup ketus. Meski ekspresi wajahnya datar saja. “Bukankah kalian sudah lama bercerai? Bahkan kau juga sudah punya istri baru,”“Aku juga sudah bercerai–” Wijaya berdehem. “Lagi,” lanjutnya.Damian mengulaskan senyum tipis. “Kenapa? Bukankah kau ngotot ingin bercerai dari Gina karena wanita itu? Kenapa sekarang kau ada disini?” Ada sindiran dalam setiap pertanyaan Damian, yang sengaja dia lontarkan untuk menyinggung Wijaya.Tapi pri
“Apa hubungannya denganku?” tanya Gina.“Tentu saja ada hubungannya!” seru Wijaya. “Papa tidak tahu kita telah bercerai. Papa juga tidak tahu–” Wijaya tak sanggup melanjutkan perkataannya.Gina membelalak lebar. “Jadi selama ini, kamu bertindak semuanya sendirian?” DIa hingga geleng-geleng kepala, tak habis pikir. “Tapi itu semua adalah permasalahanmu, bukan aku,” Dia melengos masuk ke dalam, tak peduli meski Wijaya terus memanggil namanya.Pintu hati Gina untuk luluh akan segala ucapan dan tindakan Wijaya telah sepenuhnya tertutup. Setiap dia menatap wajah Wijaya, ingatannya akan kembali pada momen Sean yang meninggal demi keserakahan Wijaya.***“Tasya, kamu pasti laper, kan?” sambut Sari, ketika Damian dan Tasya pulang.Tasya menajamkan indera penciumannya, untuk mencari tahu apa yang sudah dimasak oleh sang oma.“Oma masak kari ayam, ya?” tebak Tasya.“Ih, kok tahu!” Sari terkikik. “Emang cucu Oma ini pinter banget!”Tasya bersorak girang, karena dia tahu sang oma sangat pandai me
“B-bagaimana bisa?” Sekali lagi Sari meneguk minumannya. Nafasnya terus tersengal. Antara ingin memaki Damian, namun juga tak sabar mendengar lanjutan ceritanya.“Annie tidak sengaja membunuh anak itu, dan ibunya tidak terima. Maka dia memutuskan untuk menyamar sebagai pembantu di rumah kami, demi menghancurkan rumah tanggaku dengan Annie,” cerita Damian.“Jadi, kalian berdua bercerai karena wanita itu?” Damian menggeleng patah-patah. “Sayangnya tidak, Bu,” lirihnya.“Lalu kenapa? Kenapa kamu tega meninggalkan Annie yang sedang hamil?”Giliran Damian yang meneguk minumannya. “Annie juga bermain di belakangku dengan Steve,”“Astaga!” pekik Sari, memegangi keningnya yang nyeri. Begitu pelik rumah tangga Damian, hingga rasanya dia ingin pingsan saja.“Jadi itu alasannya, kenapa Steve datang bersama Bu Irene waktu itu?”Damian hanya menautkan alisnya, tidak mengiyakan. “Lalu sekarang kemana si pembantu it
Gina hanya mengerjapkan mata, tidak paham apa yang sebenarnya terjadi. Dia tertegun memandang ke arah Sari, yang menatapnya dengan tatapan penuh keprihatinan. Seakan Gina adalah wanita paling malang sedunia.“Ibu, sudah, sudah,” Damian berusaha memisahkan mereka.Sari mengangguk, masih dengan tatapan sendu ke arah Gina.Gina menautkan alis, mengisyaratkan tanya pada Damian. Dan setelah Tasya berlari masuk ke dalam tempat les, barulah Damian berani mendekati Gina.Dia berbisik di dekat telinga Gina. “Maafkan ibuku,” bisiknya. “Aku sudah menceritakan semuanya,”Gina manggut-manggut, kini paham apa yang sebenarnya terjadi. Lalu dia kembali fokus pada Sari, berusaha bersikap ramah seperti biasa.“Apa Ibu mau mampir ke kantor saya sebentar?” tawar Gina.“Oh, tidak perlu Miss,” Sari menolak dengan lambaian tangan. “Tapi Miss, sebenarnya saya penasaran,”“Tentang apa, Ibu?” Gina saling pandang sesaat dengan Damian.Sari tampak ragu, namun dia juga lebih penasaran. “Kenapa … Tasya memanggil Mi
“Annie datang,” bisik Steve panik.Emma melompat bangkit, merapikan busananya dan mencari tempat bersembunyi. Sementara Steve segera mengenakan celana, menata meja kerjanya seperti sediakala.“Steve? Apa kamu di dalam?” Annie terus mengetuk pintu.Setelah memastikan tempat persembunyian Emma aman–di bawah kolong meja Steve maka Steve pun segera membuka pintu itu.“Sabar, An. Aku sedang ke toilet,” ujar Steve, menyeka peluh di keningnya.Annie mengernyit curiga. “Kenapa harus dikunci?”“Bagaimana kalau ada pasien yang menerobos masuk? Kamu lupa, aku pernah hampir ditusuk?”“Apa?”Sadar karena telah keceplosan, Steve melipat bibir. Peristiwa menghebohkan itu memang dia rahasiakan serapat mungkin dari Annie, namun justru dia sendiri yang membukanya.“Kenapa kamu mau ditusuk?” tanya Annie sekali lagi, makin curiga. “Dan juga–” Dia menerobos masuk, dengan pandangan menyelidik ke seluruh ruangan. “Ini sudah tutup, tidak mungkin ada pasien,”Steve menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Meskip
"Miss Gina?" Sari ternganga lebar, ketika dia membuka pintu depan dan sosok Gina sudah berdiri di sana dengan senyuman manis.Sari spontan memeluk Gina dan tangisnya pecah. "Ibu sangat merindukanmu, Gina! Kemana saja kamu setahun ini?"Gina balas memeluk Sari. Dia tidak bicara apapun, hanya tersenyum lega karena ternyata dia masih diterima cukup hangat di dalam keluarga Damian.Tasya muncul, dengan wajahnya yang kaget luar biasa. Tak menyangka Gina akan datang kembali ke rumahnya."Tasya, gimana kabarmu?" tegur Gina ramah.Tasya masih menganga, dengan mata mengerjap beberapa kali. "T-Tante Gina?" ucapnya terbata-bata. Gina berjalan mendekat. Lalu mendekap gadis yang kini tidak begitu kecil itu."Kamu sudah tambah besar, ya. Miss kangen sama Tasya," ucap Gina dalam dekapannya.Tidak ada reaksi yang keluar dari bibir Tasya. Tapi dia tidak menolak saat Gina memeluk erat tubuhnya. Yang dia lakukan hanya bergantian memandang Damian dan Sari, yang terus tersenyum haru."Tante Gina … " pang
"Terima kasih sudah mengantarku, Dam," tukas Annie saat mobil Damian berhenti tepat di depan pintu masuk kantornya.Damian mengangguk. "Ibu sangat senang menjaga Sean, jadi kamu fokus saja pada kerjaanmu,"Annie tersipu senang. Seakan mereka berdua masih sebagai sepasang suami istri yang bahagia, apalagi dari perlakuan Damian padanya yang sangat sopan."Apakah kamu akan pulang telat hari ini?" tanya Annie. Tampak ragu untuk bicara, tapi dorongan di dalam dirinya kelewat kuat untuk bisa dicegah. "Maukah pulang bersama?" ajaknya.Damian hening beberapa detik. Untuk kemudian mengangguk. "Akan kuusahakan pulang cepat,"Annie berseru bahagia dalam hati. Sangat senang karena Damian menyambut baik segala usahanya untuk kembali dekat itu. Dia berusaha menampik kenyataan, bahwa Damian sedang tidak baik-baik saja.Dia tahu, Damian dan Gina batal menikah. Tapi Annie ingin menuruti egonya sendiri kali ini, karena dia tidak ingin kehilangan Damian untuk kedua kalinya.Sore harinya, Damian benar-be
Hati Damian terasa amat nyeri, mendengar perkataan secara sepihak itu dari Gina. Bahkan ketika dia mencoba untuk menelan ludah, seperti ada yang mengganjal. Sesuatu yang sangat menyakitkan hingga membuat suaranya tercekat."Aku tidak ingin menjadi trauma untuk Tasya," lanjut Gina, sangat nekat meski suaranya sudah bergetar menahan tangis. "Dia adalah darah dagingmu. Sudah menjadi bagian dalam kehidupanmu. Mengabaikan pendapatnya dalam setiap keputusanmu, akan membuatnya trauma di masa depan,"Damian masih tidak menjawab. Hanya bola matanya yang terus bergetar. Kemudian pelan-pelan Gina melepaskan cincin berlian di jari manisnya, pemberian Damian. Dia serahkan kembali cincin itu, ke dalam genggaman tangan Damian yang terasa amat dingin."Aku menyayangimu, aku juga menyayangi Tasya. Tapi kebahagiaan kalian berdua bukanlah aku," isak Gina. "Aku tidak ingin menjadi mimpi buruk Tasya. Karena setiap kali melihatnya, selalu mengingatkanku akan Sean. Aku ingin menjadi kenangan manis untuknya
Wijaya berulang kali mencuri pandang pada Gina yang duduk di samping kemudi mobilnya. Tampak wanita cantik itu terisak pelan, dengan kepala yang terus menghadap keluar jendela mobil.Wijaya ingin bertanya, tapi lidahnya kelu hingga menahan hasratnya untuk tidak mengeluarkan suara apapun. Dia tahu, Gina sedang terluka. Gina melihat dan mendengar dengan inderanya sendiri, bagaimana sang calon suami bercengkerama dengan si mantan istri."Gina? Sudah sampai," tukas Wijaya, ketika mobilnya berhenti di depan pintu masuk rumah Gina.Bahkan wanita itu juga tidak menyadari jika Wijaya sempat bertukar sapa dengan satpam rumahnya sebelum mobil itu masuk."Terimakasih, Jay," ucapnya pelan."Atas apa?""Karena mengantarku pulang," timpal Gina, dengan wajah lesu.Wijaya hanya diam, terus memandangi Gina dengan tatapan iba. Dia selalu memiliki titik lembut tersendiri di dalam hatinya, hanya untuk Gina.Lantas Gina–dengan gerakan lambat keluar dari dalam mobil Wijaya. Tanpa mengucapkan apapun lagi, w
Gina mengangguk. Lalu mereka berdua kembali kikuk berhadapan satu sama lain. Tak ada kata yang sanggup keluar dari bibir masing-masing, karena ada kesalahpahaman yang muncul di dalam otak Gina dan Damian. "Damian," panggil Rudi, yang baru saja tiba. Kemudian dia cukup terkejut melihat Gina, namun berusaha untuk hanya fokus pada Damian.Damian menyahut dengan senyuman. Sementara Rudi–beserta Irene, masih berdiri di depan Damian dengan ekspresi tegang. Tampak ada sesuatu yang mengganjal."Dam, maafkan Papa dan Mama," tukas Rudi tiba-tiba. Hingga membuat siapa saja yang ada di sana terkejut. "Papa dan Mama selama ini selalu bersikap tak adil padamu," lanjutnya.Bahkan Damian hingga tergagap karena tak menyangka akan mendapatkan ucapan maaf dari Rudi. "Papa … " Annie berkaca-kaca melihat sikap papanya. Dia tanpa sadar berjalan mendekati Damian dan Rudi. "Kenapa Pak Rudi … " Damian kehabisan kata-kata. Bahkan untuk sekedar tersenyum dan memandang Rudi pun dia tak sanggup. Semuanya sungg
“Jay?” panggil Gina.Wijaya hanya menautkan alis sebagai respon.“Bagaimana kamu tahu aku diculik disana?” tanya Gina.Wijaya lalu duduk lebih santai, menikmati perjalanan karena Emma pun juga mengemudi dengan kecepatan sedang.“Aku datang ke sekolah untuk mengajakmu pulang bersama. Tapi kamu malah naik mobil bersama seorang pria asing,” jelas Wijaya. “Kukira itu Damian, tapi aku hafal dengan mobilnya. Jadi aku bisa simpulkan bahwa itu bukan Damina,”“Lalu?” Gina sudah tidak sabar.“Aku membuntuti dari belakang. Saat sadar mobil itu masuk ke jalan yang sempit dan sepi, aku langsung menghubungi Emma,” lanjut Wijaya.“Tuan meminta saya menghubungi polisi. Jadi saya bersama polisi datang. Tapi kami tidak langsung menyergap, karena Tuan ingin mengatur strategi agar semuanya bisa tertangkap,” timpal Emma cukup detail. “Saya juga tidak menyangka, Steve yang menjadi dalang dibalik penculikan ini,” Dia menunduk, merasa menyesal juga bersalah. “Kenapa dia tiba-tiba menculik Nyonya?”Gina angka
Dengan cepat Steve membuka lakban yang menutup mulut Gina. Membuat Gina meringis merasakan rekatan kuat itu ditarik paksa dari kulitnya.“Kamu terlalu meremehkanku, Gina. Kamu pikir, selama ini aku hanya diam dan menontonmu terus melakukan hal-hal licik,” ujar Steve.Gina balas menatapnya dengan perasaan tenang. “Apa kamu sadar perbuatanmu ini hanya akan makin merugikanmu? Kamu lupa siapa aku?”Plak!Tiba-tiba Steve menampar pipi Gina sekerasnya. Ada kilatan murka di kedua matanya yang menyala.“Kamu kira, kamulah pusat dunia? Kamulah penguasa dunia ini?” bentak Steve. “Jangan lupakan statusmu yang hanya seorang janda, Gina Duran. Seberapa kaya dirimu, kamu hanyalah janda menyedihkan di mata semua orang,” olok Steve, lalu tertawa terbahak-bahak penuh kemenangan.Gina tidak menanggapi. Selain karena tubuhnya masih terikat, dia juga tidak ingin menggunakan banyak tenaganya hanya untuk meladeni bualan Steve.Tiba-tiba Steve mencengkeram pipi Gina. “Aku akan menghancurkan hidupmu. Setidak
“Masuk!” seru Steve, ketika pintu ruang kerjanya diketuk.Brak!Annie mendobrak pintu cukup keras, dan masuk dengan langkah tegap ke dalam ruang kerja Steve.Steve yang saat itu sedang fokus pada lembar dokumen di depannya, hanya bisa terbelalak. Namun untungnya sang perawat buru-buru menutup pintu kembali, agar pasien tidak dapat melihat keributan itu.“An, ada apa?” tanya Steve heran. “Kamu sadar nggak, kamu sedang marah-marah di rumah sakit?”“Aku tidak peduli!” sentak Annie. Dia kemudian melempar dokumen-dokumen tentang Steve yang telah dikumpulkan Nina untuknya.“Sudah berapa kali kubilang padamu? Jangan coba-coba membodohiku!” maki Annie. “Kamu sengaja mendekatiku, mempertahankan Sean, karena kamu ingin menyelamatkan reputasi dan klinik pribadimu, kan?”Steve tidak mau membuka dokumen itu, karena sadar jika dia sudah tertangkap basah. Yang bisa dia lakukan kini adalah berusaha menenangkan Annie.“An, tenang dulu. Akan kujelaskan semuanya,” pinta Steve, berusaha meraih tubuh Anni
“Silahkan Bu Gina,” Rudi mempersilahkan dengan sikapnya yang terus saja pongah.Gina menegakkan posisi duduknya. Dengan mata lebih tajam, dia melipat kedua tangan di atas meja demi saling berhadapan dengan lebih fokus pada Rudi Evan.“Apakah Anda tahu, bagaimana anak saya bisa meninggal?” tanya Gina.“Kenapa Anda … ““Jawab saja, Pak Rudi,” potong Gina. “Apakah Anda tahu, siapa yang menyebabkan anak saya meninggal?”Nafas Rudi tercekat. “J-jadi Anda mengancam saya?”Gina menggeleng. “Saya tidak pernah mengancam siapapun, selama orang itu tidak mengusik saya. Tapi mencampuri urusan pribadi saya, sudah menjadi hal yang tidak akan saya biarkan begitu saja,” terang Gina. “Sepertinya Anda harus tahu tentang itu,”“Jika Damian tahu Sean anak kandungnya, bukankah dia menyesal sudah berpisah dengan Annie?”“Siapa yang meminta mereka berpisah, Pak Rudi? Bukankah, anda sendiri?”Sekali lagi Rudi tercekat. Tidak m