“Annie datang,” bisik Steve panik.Emma melompat bangkit, merapikan busananya dan mencari tempat bersembunyi. Sementara Steve segera mengenakan celana, menata meja kerjanya seperti sediakala.“Steve? Apa kamu di dalam?” Annie terus mengetuk pintu.Setelah memastikan tempat persembunyian Emma aman–di bawah kolong meja Steve maka Steve pun segera membuka pintu itu.“Sabar, An. Aku sedang ke toilet,” ujar Steve, menyeka peluh di keningnya.Annie mengernyit curiga. “Kenapa harus dikunci?”“Bagaimana kalau ada pasien yang menerobos masuk? Kamu lupa, aku pernah hampir ditusuk?”“Apa?”Sadar karena telah keceplosan, Steve melipat bibir. Peristiwa menghebohkan itu memang dia rahasiakan serapat mungkin dari Annie, namun justru dia sendiri yang membukanya.“Kenapa kamu mau ditusuk?” tanya Annie sekali lagi, makin curiga. “Dan juga–” Dia menerobos masuk, dengan pandangan menyelidik ke seluruh ruangan. “Ini sudah tutup, tidak mungkin ada pasien,”Steve menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Meskip
Pagi hari saat Gina sudah bersiap hendak pergi ke sekolah, Wijaya berdiri menyandarkan tubuh tingginya di samping mobil mewahnya.Gina sampai berhenti, hanya sekedar memastikan bahwa penglihatannya tak salah. Wijaya melambai, berjalan cepat menghampiri Gina berdiri mematung di depan gerbang rumahnya.“Jadi benar, sekarang kamu tinggal disini?” Wijaya mendongak, mengamati rumah yang ditinggali Gina. “Kupikir, kamu akan memilih apartemen,”“Apa urusanmu?” sambar Gina. “Bagaimana bisa kamu tahu tempat ini?”Wijaya tersenyum, sembari menyentil hidungnya. “Kamu lupa siapa aku, Gin?”Gina sama sekali tidak ramah. Dia memasang wajah masam, seakan hendak mengusir Wijaya hanya dengan ekspresinya. Tapi Wijaya juga tidak mudah digoyahkan. Dia justru tersenyum cerah, secerah terik hangat matahari pagi ini.“Mari kuantar,” ajak Wijaya.“Jangan mencoba baik padaku,” ketus Gina. “Aku tahu, tujuanmu mendekatiku kembali adalah karena Papa. Kamu takut Papa mengambil perusahaanmu, kalau sampai Papa tahu
“Na, bagaimana kabar Sean?” ulang Hadi Wijaya, karena Gina diam mematung, sesenggukan.“Pa–” Gina sampai tak sanggup melanjutkan ucapannya. “Sebenarnya … ““Permisi, Tuan?” Asisten Hadi Wijaya tiba-tiba mendongak masuk, membuyarkan perbincangan serius antara Gina dan Hadi Wijaya.“Ada apa, Burhan?” tanya pria tua itu.Sang asisten yang bernama Burhan itu perlahan masuk, dan membungkuk hormat. “Tuan sudah waktunya pergi, karena sebentar lagi akan ada pertemuan keluarga besar Hadi Wijaya,” jelas Burhan.“Oh iya,” Hadi Wijaya mengangguk, lalu menoleh kembali ke arah Gina. “Wijaya sudah memberitahumu, kan?”Gina salah tingkah. “N-Na cukup sibuk, Pa. Jadi Wijaya belum sempat memberitahu,” Sebisa mungkin Gina memberikan alasan yang tidak akan menimbulkan kecurigaan.Pria tua itu memicingkan mata, berusaha menemukan setitik kejujuran dibalik raut Gina. Namun pada akhirnya dia mengangguk.“Jangan lupa hubungi dia untuk menjemputmu. Papa tunggu disana, Na,” Hadi Wijaya beranjak bangkit. Dengan
Gina sampai tak bisa berkata-kata karena ucapan Damian yang meluncur cepat begitu saja tanpa pernah dia duga. Sehingga dia memilih untuk diam dulu, memikirkan jawaban terbaik demi bisa mewakili perasaannya.“Tidak perlu kamu jawab sekarang, Gin,” Akhirnya Damian menengahi. Dia sendiri cukup gugup menunggu reaksi Gina.“Kurasa ini bukan saat yang tepat untuk membahasnya, Dam,” ucap Gina. “Seharusnya kamu lebih memikirkan hubunganmu dengan Annie,”Damian mengangguk. Rona wajahnya kini memerah, menandakan dia malu dan berharap bisa menarik ucapannya kembali.“Tapi aku senang–” Gina berujar lagi. “Setidaknya perasaanmu tidak berubah padaku,” Wanita anggun itu tersenyum. Senyum yang amat manis, hingga rasa percaya diri Damian kembali bangkit.“Apa kamu menyesal, sudah bercerai dari mantan suamimu itu?” tebak Damian, karena kini mereka sedang menuju kediaman Wijaya atas permintaan Gina.“Aku hanya menyesal, kenapa Sean menjadi korban atas semuanya,” timpal Gina. “Andai Sean masih ada, mungk
“Apa kau bilang?” sentak Wijaya. Wajahnya yang semula sendu di depan Gina, berubah beringas saat menatap Damian.Tapi Damian tak terganggu. Dia justru makin keras terkikik. “Dia rela jauh-jauh datang demi menyelamatkan reputasimu. Tapi bukannya berusaha melindunginya, kau malah ingin dia melindungimu. Pria macam apa kau ini?”“Brengsek!” Wijaya maju, meninju wajah Damian sekerasnya.Gina menjerit, tak menyangka pemukulan itu terjadi. Dia berusaha menolong Damian yang jatuh tersungkur dengan sudut bibir berdarah.“Kamu tidak apa-apa?” tanya Gina cemas.Damian mengangguk. Dengan cepat berdiri, tak terima mendapatkan pukulan itu. Dia ganti meninju wajah Wijaya, hingga menimbulkan bekas kebiruan.“Dam!” Gina menjerit lagi. Dia memeluk tubuh Damian, mendorongnya untuk mundur.“Pergi dari sini!” bentak Wijaya. “Kau dilarang datang ke sini, selamanya!”“Aku juga tidak akan sudi datang!” balas Damian tak kalah keras.Wijaya maju hendak kembali meninju Damian, namun Gina menghadang. Dan alhasi
Brakk!“Nyonya Gina?!” Emma berteriak lantang, menginterupsi Wijaya yang sedang fokus hendak menggerayangi tubuh Gina.Wijaya melotot. “Ngapain kamu disini?!”“Maafkan saya, Tuan,” Emma berjalan cepat mendekati mereka. Lalu menarik tubuh Wijaya menjauhi Gina. “Saya bekerja untuk melindungi Nyonya Gina dari bahaya,”“Bahaya katamu?!” Wijaya memekik. “Aku mantan suaminya, aku tidak akan mencelakainya,”“Tapi pernah mencoba membunuhnya,” timpal Emma, tak kenal takut.Gina buru-buru bangkit. “Aku berusaha bicara baik-baik padamu, tapi balasanmu seperti ini,” Dia merapikan bajunya yang sempat berantakan. “Kemana kamu bawa Damian pergi?”Wijaya kesal setengah mati. Namun demi memberikan kesan yang baik pada Gina, dia berusaha meredam emosinya.“Aku tidak membawanya kemana-mana,”“Jangan bohong,” sahut Gina. “Kenapa dia masih meninggalkan mobilnya di depan?”“Jika aku membawanya pergi, aku juga tidak akan memberitahumu,” Wijaya kini memandang ke arah Emma. Jari telunjuknya mengisyaratkan wan
“Tenanglah, Dam,” Emma tertawa geli, dengan kecemasan Damian.“Tolong jawab dengan jujur,” pinta Damian, masih tak berhenti cemas.Emma menatapnya dengan senyum. “Nyonya baik-baik saja. Syukur aku datang tepat waktu,”“Tepat waktu? Jadi maksudmu, mereka hampir melakukannya?” pekik Damian, terkejut sekaligus marah.“Nyonya Gina setuju untuk pergi bersama Tuan Wijaya, dan sebagai gantinya aku boleh menyelamatkanmu,”Damian mengutuki dirinya sendiri. Yang tak pernah bisa melindungi Gina dari Wijaya. Bukannya senang sudah ditolong, kini dia merasa malu. Harga dirinya sebagai seorang pria terasa telah tercoreng.***Wijaya hampir tersedak, saat perlahan Gina menuruni tangga dengan gaun merah marun pemberiannya. Wanita itu tampak sangat cantik dan anggun, dengan rambut panjang terurai dan riasan minimalis tapi cocok dengan wajahnya.“Emma sudah menemukan Damian,” tukas Gina.Saat mantan istrinya itu justru mengungkit nama pria lain, membuat hati Wijaya dongkol. Perasaan haru sesaatnya hilan
Gina gelagapan dan saling pandang dengan ibunya. Bukannya dia tidak tahu harus beralasan apa, namun Gina cemas Eli tidak dapat menjaga lisannya. Ibunya itu terkenal sering salah bicara dan tidak sadar telah keceplosan.“Tuan Hadi Wijaya?” sapa Emma, yang tiba-tiba hadir dengan pakaian formal dan yang lebih mengejutkan, ada Damian di sampingnya. “Tuan masih ingat saya?”Beruntung Emma datang tepat waktu dan menyelamatkan Gina–serta Eli dari pertanyaan yang akan susah dijawab.Hadi Wijaya spontan merangkul Emma. “Anak asuhku sudah besar sekarang,” serunya, tampak bangga. “Apakah kamu masih bekerja untuk Wijaya?”Senyum di bibir Emma perlahan memudar. “Saya–” Dia bahkan tak sanggup melanjutkan ucapannya. “Saya kini bekerja untuk Nyonya Gina,” jawab Emma lantang.“Untuk Na?” Pria tua itu mengerutkan kening. “Apakah Wijaya takut istrinya celaka hingga menyuruhmu?”Gina spontan tertawa, begitu pula Eli dan Emma. Mereka bertiga sudah harap-harap cemas, tegang menanti jawaban yang akan melunc
"Miss Gina?" Sari ternganga lebar, ketika dia membuka pintu depan dan sosok Gina sudah berdiri di sana dengan senyuman manis.Sari spontan memeluk Gina dan tangisnya pecah. "Ibu sangat merindukanmu, Gina! Kemana saja kamu setahun ini?"Gina balas memeluk Sari. Dia tidak bicara apapun, hanya tersenyum lega karena ternyata dia masih diterima cukup hangat di dalam keluarga Damian.Tasya muncul, dengan wajahnya yang kaget luar biasa. Tak menyangka Gina akan datang kembali ke rumahnya."Tasya, gimana kabarmu?" tegur Gina ramah.Tasya masih menganga, dengan mata mengerjap beberapa kali. "T-Tante Gina?" ucapnya terbata-bata. Gina berjalan mendekat. Lalu mendekap gadis yang kini tidak begitu kecil itu."Kamu sudah tambah besar, ya. Miss kangen sama Tasya," ucap Gina dalam dekapannya.Tidak ada reaksi yang keluar dari bibir Tasya. Tapi dia tidak menolak saat Gina memeluk erat tubuhnya. Yang dia lakukan hanya bergantian memandang Damian dan Sari, yang terus tersenyum haru."Tante Gina … " pang
"Terima kasih sudah mengantarku, Dam," tukas Annie saat mobil Damian berhenti tepat di depan pintu masuk kantornya.Damian mengangguk. "Ibu sangat senang menjaga Sean, jadi kamu fokus saja pada kerjaanmu,"Annie tersipu senang. Seakan mereka berdua masih sebagai sepasang suami istri yang bahagia, apalagi dari perlakuan Damian padanya yang sangat sopan."Apakah kamu akan pulang telat hari ini?" tanya Annie. Tampak ragu untuk bicara, tapi dorongan di dalam dirinya kelewat kuat untuk bisa dicegah. "Maukah pulang bersama?" ajaknya.Damian hening beberapa detik. Untuk kemudian mengangguk. "Akan kuusahakan pulang cepat,"Annie berseru bahagia dalam hati. Sangat senang karena Damian menyambut baik segala usahanya untuk kembali dekat itu. Dia berusaha menampik kenyataan, bahwa Damian sedang tidak baik-baik saja.Dia tahu, Damian dan Gina batal menikah. Tapi Annie ingin menuruti egonya sendiri kali ini, karena dia tidak ingin kehilangan Damian untuk kedua kalinya.Sore harinya, Damian benar-be
Hati Damian terasa amat nyeri, mendengar perkataan secara sepihak itu dari Gina. Bahkan ketika dia mencoba untuk menelan ludah, seperti ada yang mengganjal. Sesuatu yang sangat menyakitkan hingga membuat suaranya tercekat."Aku tidak ingin menjadi trauma untuk Tasya," lanjut Gina, sangat nekat meski suaranya sudah bergetar menahan tangis. "Dia adalah darah dagingmu. Sudah menjadi bagian dalam kehidupanmu. Mengabaikan pendapatnya dalam setiap keputusanmu, akan membuatnya trauma di masa depan,"Damian masih tidak menjawab. Hanya bola matanya yang terus bergetar. Kemudian pelan-pelan Gina melepaskan cincin berlian di jari manisnya, pemberian Damian. Dia serahkan kembali cincin itu, ke dalam genggaman tangan Damian yang terasa amat dingin."Aku menyayangimu, aku juga menyayangi Tasya. Tapi kebahagiaan kalian berdua bukanlah aku," isak Gina. "Aku tidak ingin menjadi mimpi buruk Tasya. Karena setiap kali melihatnya, selalu mengingatkanku akan Sean. Aku ingin menjadi kenangan manis untuknya
Wijaya berulang kali mencuri pandang pada Gina yang duduk di samping kemudi mobilnya. Tampak wanita cantik itu terisak pelan, dengan kepala yang terus menghadap keluar jendela mobil.Wijaya ingin bertanya, tapi lidahnya kelu hingga menahan hasratnya untuk tidak mengeluarkan suara apapun. Dia tahu, Gina sedang terluka. Gina melihat dan mendengar dengan inderanya sendiri, bagaimana sang calon suami bercengkerama dengan si mantan istri."Gina? Sudah sampai," tukas Wijaya, ketika mobilnya berhenti di depan pintu masuk rumah Gina.Bahkan wanita itu juga tidak menyadari jika Wijaya sempat bertukar sapa dengan satpam rumahnya sebelum mobil itu masuk."Terimakasih, Jay," ucapnya pelan."Atas apa?""Karena mengantarku pulang," timpal Gina, dengan wajah lesu.Wijaya hanya diam, terus memandangi Gina dengan tatapan iba. Dia selalu memiliki titik lembut tersendiri di dalam hatinya, hanya untuk Gina.Lantas Gina–dengan gerakan lambat keluar dari dalam mobil Wijaya. Tanpa mengucapkan apapun lagi, w
Gina mengangguk. Lalu mereka berdua kembali kikuk berhadapan satu sama lain. Tak ada kata yang sanggup keluar dari bibir masing-masing, karena ada kesalahpahaman yang muncul di dalam otak Gina dan Damian. "Damian," panggil Rudi, yang baru saja tiba. Kemudian dia cukup terkejut melihat Gina, namun berusaha untuk hanya fokus pada Damian.Damian menyahut dengan senyuman. Sementara Rudi–beserta Irene, masih berdiri di depan Damian dengan ekspresi tegang. Tampak ada sesuatu yang mengganjal."Dam, maafkan Papa dan Mama," tukas Rudi tiba-tiba. Hingga membuat siapa saja yang ada di sana terkejut. "Papa dan Mama selama ini selalu bersikap tak adil padamu," lanjutnya.Bahkan Damian hingga tergagap karena tak menyangka akan mendapatkan ucapan maaf dari Rudi. "Papa … " Annie berkaca-kaca melihat sikap papanya. Dia tanpa sadar berjalan mendekati Damian dan Rudi. "Kenapa Pak Rudi … " Damian kehabisan kata-kata. Bahkan untuk sekedar tersenyum dan memandang Rudi pun dia tak sanggup. Semuanya sungg
“Jay?” panggil Gina.Wijaya hanya menautkan alis sebagai respon.“Bagaimana kamu tahu aku diculik disana?” tanya Gina.Wijaya lalu duduk lebih santai, menikmati perjalanan karena Emma pun juga mengemudi dengan kecepatan sedang.“Aku datang ke sekolah untuk mengajakmu pulang bersama. Tapi kamu malah naik mobil bersama seorang pria asing,” jelas Wijaya. “Kukira itu Damian, tapi aku hafal dengan mobilnya. Jadi aku bisa simpulkan bahwa itu bukan Damina,”“Lalu?” Gina sudah tidak sabar.“Aku membuntuti dari belakang. Saat sadar mobil itu masuk ke jalan yang sempit dan sepi, aku langsung menghubungi Emma,” lanjut Wijaya.“Tuan meminta saya menghubungi polisi. Jadi saya bersama polisi datang. Tapi kami tidak langsung menyergap, karena Tuan ingin mengatur strategi agar semuanya bisa tertangkap,” timpal Emma cukup detail. “Saya juga tidak menyangka, Steve yang menjadi dalang dibalik penculikan ini,” Dia menunduk, merasa menyesal juga bersalah. “Kenapa dia tiba-tiba menculik Nyonya?”Gina angka
Dengan cepat Steve membuka lakban yang menutup mulut Gina. Membuat Gina meringis merasakan rekatan kuat itu ditarik paksa dari kulitnya.“Kamu terlalu meremehkanku, Gina. Kamu pikir, selama ini aku hanya diam dan menontonmu terus melakukan hal-hal licik,” ujar Steve.Gina balas menatapnya dengan perasaan tenang. “Apa kamu sadar perbuatanmu ini hanya akan makin merugikanmu? Kamu lupa siapa aku?”Plak!Tiba-tiba Steve menampar pipi Gina sekerasnya. Ada kilatan murka di kedua matanya yang menyala.“Kamu kira, kamulah pusat dunia? Kamulah penguasa dunia ini?” bentak Steve. “Jangan lupakan statusmu yang hanya seorang janda, Gina Duran. Seberapa kaya dirimu, kamu hanyalah janda menyedihkan di mata semua orang,” olok Steve, lalu tertawa terbahak-bahak penuh kemenangan.Gina tidak menanggapi. Selain karena tubuhnya masih terikat, dia juga tidak ingin menggunakan banyak tenaganya hanya untuk meladeni bualan Steve.Tiba-tiba Steve mencengkeram pipi Gina. “Aku akan menghancurkan hidupmu. Setidak
“Masuk!” seru Steve, ketika pintu ruang kerjanya diketuk.Brak!Annie mendobrak pintu cukup keras, dan masuk dengan langkah tegap ke dalam ruang kerja Steve.Steve yang saat itu sedang fokus pada lembar dokumen di depannya, hanya bisa terbelalak. Namun untungnya sang perawat buru-buru menutup pintu kembali, agar pasien tidak dapat melihat keributan itu.“An, ada apa?” tanya Steve heran. “Kamu sadar nggak, kamu sedang marah-marah di rumah sakit?”“Aku tidak peduli!” sentak Annie. Dia kemudian melempar dokumen-dokumen tentang Steve yang telah dikumpulkan Nina untuknya.“Sudah berapa kali kubilang padamu? Jangan coba-coba membodohiku!” maki Annie. “Kamu sengaja mendekatiku, mempertahankan Sean, karena kamu ingin menyelamatkan reputasi dan klinik pribadimu, kan?”Steve tidak mau membuka dokumen itu, karena sadar jika dia sudah tertangkap basah. Yang bisa dia lakukan kini adalah berusaha menenangkan Annie.“An, tenang dulu. Akan kujelaskan semuanya,” pinta Steve, berusaha meraih tubuh Anni
“Silahkan Bu Gina,” Rudi mempersilahkan dengan sikapnya yang terus saja pongah.Gina menegakkan posisi duduknya. Dengan mata lebih tajam, dia melipat kedua tangan di atas meja demi saling berhadapan dengan lebih fokus pada Rudi Evan.“Apakah Anda tahu, bagaimana anak saya bisa meninggal?” tanya Gina.“Kenapa Anda … ““Jawab saja, Pak Rudi,” potong Gina. “Apakah Anda tahu, siapa yang menyebabkan anak saya meninggal?”Nafas Rudi tercekat. “J-jadi Anda mengancam saya?”Gina menggeleng. “Saya tidak pernah mengancam siapapun, selama orang itu tidak mengusik saya. Tapi mencampuri urusan pribadi saya, sudah menjadi hal yang tidak akan saya biarkan begitu saja,” terang Gina. “Sepertinya Anda harus tahu tentang itu,”“Jika Damian tahu Sean anak kandungnya, bukankah dia menyesal sudah berpisah dengan Annie?”“Siapa yang meminta mereka berpisah, Pak Rudi? Bukankah, anda sendiri?”Sekali lagi Rudi tercekat. Tidak m