Pagi hari saat Gina sudah bersiap hendak pergi ke sekolah, Wijaya berdiri menyandarkan tubuh tingginya di samping mobil mewahnya.Gina sampai berhenti, hanya sekedar memastikan bahwa penglihatannya tak salah. Wijaya melambai, berjalan cepat menghampiri Gina berdiri mematung di depan gerbang rumahnya.“Jadi benar, sekarang kamu tinggal disini?” Wijaya mendongak, mengamati rumah yang ditinggali Gina. “Kupikir, kamu akan memilih apartemen,”“Apa urusanmu?” sambar Gina. “Bagaimana bisa kamu tahu tempat ini?”Wijaya tersenyum, sembari menyentil hidungnya. “Kamu lupa siapa aku, Gin?”Gina sama sekali tidak ramah. Dia memasang wajah masam, seakan hendak mengusir Wijaya hanya dengan ekspresinya. Tapi Wijaya juga tidak mudah digoyahkan. Dia justru tersenyum cerah, secerah terik hangat matahari pagi ini.“Mari kuantar,” ajak Wijaya.“Jangan mencoba baik padaku,” ketus Gina. “Aku tahu, tujuanmu mendekatiku kembali adalah karena Papa. Kamu takut Papa mengambil perusahaanmu, kalau sampai Papa tahu
“Na, bagaimana kabar Sean?” ulang Hadi Wijaya, karena Gina diam mematung, sesenggukan.“Pa–” Gina sampai tak sanggup melanjutkan ucapannya. “Sebenarnya … ““Permisi, Tuan?” Asisten Hadi Wijaya tiba-tiba mendongak masuk, membuyarkan perbincangan serius antara Gina dan Hadi Wijaya.“Ada apa, Burhan?” tanya pria tua itu.Sang asisten yang bernama Burhan itu perlahan masuk, dan membungkuk hormat. “Tuan sudah waktunya pergi, karena sebentar lagi akan ada pertemuan keluarga besar Hadi Wijaya,” jelas Burhan.“Oh iya,” Hadi Wijaya mengangguk, lalu menoleh kembali ke arah Gina. “Wijaya sudah memberitahumu, kan?”Gina salah tingkah. “N-Na cukup sibuk, Pa. Jadi Wijaya belum sempat memberitahu,” Sebisa mungkin Gina memberikan alasan yang tidak akan menimbulkan kecurigaan.Pria tua itu memicingkan mata, berusaha menemukan setitik kejujuran dibalik raut Gina. Namun pada akhirnya dia mengangguk.“Jangan lupa hubungi dia untuk menjemputmu. Papa tunggu disana, Na,” Hadi Wijaya beranjak bangkit. Dengan
Gina sampai tak bisa berkata-kata karena ucapan Damian yang meluncur cepat begitu saja tanpa pernah dia duga. Sehingga dia memilih untuk diam dulu, memikirkan jawaban terbaik demi bisa mewakili perasaannya.“Tidak perlu kamu jawab sekarang, Gin,” Akhirnya Damian menengahi. Dia sendiri cukup gugup menunggu reaksi Gina.“Kurasa ini bukan saat yang tepat untuk membahasnya, Dam,” ucap Gina. “Seharusnya kamu lebih memikirkan hubunganmu dengan Annie,”Damian mengangguk. Rona wajahnya kini memerah, menandakan dia malu dan berharap bisa menarik ucapannya kembali.“Tapi aku senang–” Gina berujar lagi. “Setidaknya perasaanmu tidak berubah padaku,” Wanita anggun itu tersenyum. Senyum yang amat manis, hingga rasa percaya diri Damian kembali bangkit.“Apa kamu menyesal, sudah bercerai dari mantan suamimu itu?” tebak Damian, karena kini mereka sedang menuju kediaman Wijaya atas permintaan Gina.“Aku hanya menyesal, kenapa Sean menjadi korban atas semuanya,” timpal Gina. “Andai Sean masih ada, mungk
“Apa kau bilang?” sentak Wijaya. Wajahnya yang semula sendu di depan Gina, berubah beringas saat menatap Damian.Tapi Damian tak terganggu. Dia justru makin keras terkikik. “Dia rela jauh-jauh datang demi menyelamatkan reputasimu. Tapi bukannya berusaha melindunginya, kau malah ingin dia melindungimu. Pria macam apa kau ini?”“Brengsek!” Wijaya maju, meninju wajah Damian sekerasnya.Gina menjerit, tak menyangka pemukulan itu terjadi. Dia berusaha menolong Damian yang jatuh tersungkur dengan sudut bibir berdarah.“Kamu tidak apa-apa?” tanya Gina cemas.Damian mengangguk. Dengan cepat berdiri, tak terima mendapatkan pukulan itu. Dia ganti meninju wajah Wijaya, hingga menimbulkan bekas kebiruan.“Dam!” Gina menjerit lagi. Dia memeluk tubuh Damian, mendorongnya untuk mundur.“Pergi dari sini!” bentak Wijaya. “Kau dilarang datang ke sini, selamanya!”“Aku juga tidak akan sudi datang!” balas Damian tak kalah keras.Wijaya maju hendak kembali meninju Damian, namun Gina menghadang. Dan alhasi
Brakk!“Nyonya Gina?!” Emma berteriak lantang, menginterupsi Wijaya yang sedang fokus hendak menggerayangi tubuh Gina.Wijaya melotot. “Ngapain kamu disini?!”“Maafkan saya, Tuan,” Emma berjalan cepat mendekati mereka. Lalu menarik tubuh Wijaya menjauhi Gina. “Saya bekerja untuk melindungi Nyonya Gina dari bahaya,”“Bahaya katamu?!” Wijaya memekik. “Aku mantan suaminya, aku tidak akan mencelakainya,”“Tapi pernah mencoba membunuhnya,” timpal Emma, tak kenal takut.Gina buru-buru bangkit. “Aku berusaha bicara baik-baik padamu, tapi balasanmu seperti ini,” Dia merapikan bajunya yang sempat berantakan. “Kemana kamu bawa Damian pergi?”Wijaya kesal setengah mati. Namun demi memberikan kesan yang baik pada Gina, dia berusaha meredam emosinya.“Aku tidak membawanya kemana-mana,”“Jangan bohong,” sahut Gina. “Kenapa dia masih meninggalkan mobilnya di depan?”“Jika aku membawanya pergi, aku juga tidak akan memberitahumu,” Wijaya kini memandang ke arah Emma. Jari telunjuknya mengisyaratkan wan
“Tenanglah, Dam,” Emma tertawa geli, dengan kecemasan Damian.“Tolong jawab dengan jujur,” pinta Damian, masih tak berhenti cemas.Emma menatapnya dengan senyum. “Nyonya baik-baik saja. Syukur aku datang tepat waktu,”“Tepat waktu? Jadi maksudmu, mereka hampir melakukannya?” pekik Damian, terkejut sekaligus marah.“Nyonya Gina setuju untuk pergi bersama Tuan Wijaya, dan sebagai gantinya aku boleh menyelamatkanmu,”Damian mengutuki dirinya sendiri. Yang tak pernah bisa melindungi Gina dari Wijaya. Bukannya senang sudah ditolong, kini dia merasa malu. Harga dirinya sebagai seorang pria terasa telah tercoreng.***Wijaya hampir tersedak, saat perlahan Gina menuruni tangga dengan gaun merah marun pemberiannya. Wanita itu tampak sangat cantik dan anggun, dengan rambut panjang terurai dan riasan minimalis tapi cocok dengan wajahnya.“Emma sudah menemukan Damian,” tukas Gina.Saat mantan istrinya itu justru mengungkit nama pria lain, membuat hati Wijaya dongkol. Perasaan haru sesaatnya hilan
Gina gelagapan dan saling pandang dengan ibunya. Bukannya dia tidak tahu harus beralasan apa, namun Gina cemas Eli tidak dapat menjaga lisannya. Ibunya itu terkenal sering salah bicara dan tidak sadar telah keceplosan.“Tuan Hadi Wijaya?” sapa Emma, yang tiba-tiba hadir dengan pakaian formal dan yang lebih mengejutkan, ada Damian di sampingnya. “Tuan masih ingat saya?”Beruntung Emma datang tepat waktu dan menyelamatkan Gina–serta Eli dari pertanyaan yang akan susah dijawab.Hadi Wijaya spontan merangkul Emma. “Anak asuhku sudah besar sekarang,” serunya, tampak bangga. “Apakah kamu masih bekerja untuk Wijaya?”Senyum di bibir Emma perlahan memudar. “Saya–” Dia bahkan tak sanggup melanjutkan ucapannya. “Saya kini bekerja untuk Nyonya Gina,” jawab Emma lantang.“Untuk Na?” Pria tua itu mengerutkan kening. “Apakah Wijaya takut istrinya celaka hingga menyuruhmu?”Gina spontan tertawa, begitu pula Eli dan Emma. Mereka bertiga sudah harap-harap cemas, tegang menanti jawaban yang akan melunc
“Hentikan, Steve,” gertak Annie pelan, berusaha menjaga sikap karena kini banyak orang-orang kaya berkumpul di sana.Steve tak mau dengar. Dia justru makin bersemangat hendak menghina Damian, karena temannya itu tidak membalas.“An, bagaimana kabarmu? Kamu sudah baik-baik saja, kan?” Damian justru menanyai Annie dan seakan menganggap Steve tak ada.Annie maju, sembari mengelus perutnya. “Terima kasih, Dam. Aku baik-baik saja,” jawabnya, tampak sangat merindukan Damian dari tatapannya. “Bagaimana kabarmu dan Tasya? Kalian sehat, kan?”“Baik,” jawab Damian, sambil mengangguk. “Untung Ibu sama Ayah datang untuk membantuku menjaga Tasya,”“Maafkan kelakuan Mama waktu itu,” sesal Annie. “Kuharap kamu tidak terlalu mengambil hati,”Damian tersenyum getir. Tampak sakit hatinya terpancar dari ekspresi wajah, meskipun dia berusaha tidak menyinggung Annie.“Tapi Dam–” Annie menyentuh lengan Damian, ketika pria itu hendak pergi. “Aku masih sangat berharap, anak ini adalah anak kita,”“Tapi orang