“Hentikan, Steve,” gertak Annie pelan, berusaha menjaga sikap karena kini banyak orang-orang kaya berkumpul di sana.Steve tak mau dengar. Dia justru makin bersemangat hendak menghina Damian, karena temannya itu tidak membalas.“An, bagaimana kabarmu? Kamu sudah baik-baik saja, kan?” Damian justru menanyai Annie dan seakan menganggap Steve tak ada.Annie maju, sembari mengelus perutnya. “Terima kasih, Dam. Aku baik-baik saja,” jawabnya, tampak sangat merindukan Damian dari tatapannya. “Bagaimana kabarmu dan Tasya? Kalian sehat, kan?”“Baik,” jawab Damian, sambil mengangguk. “Untung Ibu sama Ayah datang untuk membantuku menjaga Tasya,”“Maafkan kelakuan Mama waktu itu,” sesal Annie. “Kuharap kamu tidak terlalu mengambil hati,”Damian tersenyum getir. Tampak sakit hatinya terpancar dari ekspresi wajah, meskipun dia berusaha tidak menyinggung Annie.“Tapi Dam–” Annie menyentuh lengan Damian, ketika pria itu hendak pergi. “Aku masih sangat berharap, anak ini adalah anak kita,”“Tapi orang
Dua jam penuh, Gina dan Wijaya memainkan peran mereka sebagai sepasang suami istri dengan sangat baik. Hingga tak ada seorang pun yang menyadari–kecuali keluarga inti konflik batin diantara mereka.Kini tibalah saatnya mereka mengucapkan banyak terima kasih kepada para undangan yang hadir, ketika satu persatu dari undangan itu pamit untuk pulang.Dan hanya tersisa keluarga inti Wijaya, serta kenalan dari Gina termasuk Damian dan Eli Duran.Dengan wajah penuh lesu, Gina berjalan lunglai menghampiri ibunya itu yang sejak awal memang sudah berdampingan dengan Damian.“Sudah selesai, Gin?” tanya Eli, berusaha membantu anaknya tegak berdiri. “Kamu mau pulang sekarang?”Gina menggeleng lemah. “Papa masih ada disini, Ma. Aku tidak bisa tiba-tiba pulang sendiri,” tolak Gina, sedikit menyesal. “Mama pulang sendiri?”Eli melirik Damian. “Damian berencana mengantar Mama pulang,”“Kamu sudah mendapatkan barang-barang dan mobilmu?” Pertanyaan Gina dia tujukan untuk Damian.Damian mengangguk mantap
Wijaya mengerjapkan mata beberapa kali, demi memikirkan jawaban paling bisa diterima oleh papanya.“Siapa, Jay?” ulang Hadi Wijaya karena anaknya tidak segera menjawab.“Dia … kolega Gina selama bekerja di sekolah, Pa,” jawab Wijaya. Jawaban yang sukses membuat Hadi Wijaya mengangguk paham.“Segeralah kamu ajak pulang istrimu, karena sepertinya dia sangat lelah,” saran Hadi Wijaya. “Papa besok akan mampir, ingin sekali menengok Sean,”“B-baik, Pa,” Peluh dingin mengalir dari pelipis Wijaya, atas perwakilan rasa gugupnya.Bagaimana dia tidak gugup? Papanya akan datang demi melihat anaknya–yang sudah tidak ada lagi di dunia.“Gina,” panggil Wijaya, berjalan menghampiri Gina dan Damian.Ketegangan seketika menyelimuti mereka bertiga. Bahkan Eli Duran memilih menjauh, karena tidak ingin ikut campur.“Ayo kuantar pulang,” ajak Wijaya pada Gina, siap menarik tangan mantan istrinya itu.Namun dengan cepat Damian mencegah. “Biar aku saja yang mengantarnya,” ucapnya.Tatapan Wijaya menajam. “S
Burhan berdehem keras. Seakan dia tahu subjek apa yang akan dibawa Emma dalam pembicaraan seriusnya dengan Hadi Wijaya.Namun pria tua itu penasaran lebih dari apapun, jadi dia meminta pada Burhan untuk memberinya ruang berdua saja dengan Emma. Maka Burhan pun terpaksa pergi menjauh, menuruti permintaan tuannya.“Apa yang ingin kamu bicarakan?” tanya Hadi Wijaya–setelah memastikan tidak ada orang di sekitar mereka.Emma mengepalkan kedua tangan erat-erat. Seperti hendak berperang. “Sebenarnya, Tuan dan Nyonya–” Dia menarik nafas panjang, sebelum melanjutkan. “Tuan dan Nyonya sudah lama bercerai,” tandas Emma, lancar.“Apa?” Hadi Wijaya masih berusaha tenang, meski perceraian adalah suatu hal yang paling dia benci.“Saya tahu, setelah ucapan saya ini, Nyonya Gina pasti membenci saya,” aku Emma. “Karena sebenarnya Nyonya meminta saya untuk merahasiakan dari Tuan,”“Kenapa?” Hadi Wijaya masih bertanya dengan pertanyaan-pertanyaan singkat.“Karena Nyonya tidak ingin membuat Anda khawatir,
“Gina,” panggil Eli Duran, dalam perjalanan pulang bersama Gina. Mereka menaiki mobil pribadi Eli dengan sopir di depan.Gina melirik ibunya, tidak menjawab.Eli tampak ragu untuk bicara, hingga dia pun menyentuh punggung tangan Gina–seakan ucapannya akan menyinggung perasaan anaknya.“Gin, Mama rasa, sudah saatnya kamu juga memikirkan kebahagiaanmu sendiri,” ucap Eli penuh hati-hati. “Jangan lagi memikirkan Sean, atau bahkan memikirkan keluarga Wijaya. Kamu juga berhak bahagia, Sayang,”“Gina tidak mungkin tidak memikirkan Sean,”“Maksud Mama–” Eli sekali lagi menyentuh tangan Gina. “Yang sudah terjadi, terima saja. Ikhlaskan. Mama yakin, Sean juga ingin kamu bahagia. Dia pasti sedih melihatmu terus seperti ini,” Eli menjelaskan panjang lebar supaya Gina tidak salah paham.Gina melipat bibir, tampak berpikir. “Apakah Gina boleh bahagia, Ma? Sedangkan Sean kini sendirian disana,”Mata Eli berkaca-kaca. Merasakan kepedihan yang ditanggung anaknya, akibat kehilangan sang buah hati. Seba
“Kurasa itu semua bukan urusanmu, Em,” hardik Annie, tak tahan lagi. Dia merasa Emma terlalu ingin tahu masalah pribadinya.“Memang bukan urusanku,” Emma menautkan alis. “Maaf kalau aku lancang bicara, An,” Dia menunduk sebentar, lalu mengucapkan salam pamit pada Annie, tak lupa memandang Steve cukup lama.Setelah Emma benar-benar pergi, Annie memicingkan mata ke arah Steve. “Apa kamu menyembunyikan sesuatu? Emma hamil bukan karenamu, kan?”“Tentu saja tidak!” sanggah Steve keras. “Kenapa kamu masih saja mempedulikan omongan wanita itu? Kamu tahu dia itu mata-mata, harusnya jangan pernah percaya padanya!” omel Steve, menuding ke arah Emma yang sudah tidak tampak lagi batang hidungnya.Annie hanya diam, sebagai tanda bahwa dia mengalah dan tidak ingin memperpanjang perdebatan.Suasana pun kembali cair, ketika makanan pesanan mereka sudah datang. Mencium aroma makanan yang lezat membuat suasana hati Annie membaik.“Ngomong-ngomong An, bagaimana proses perceraian kalian?” tanya Steve, di
Gina sampai berhenti menata hidangan, setelah mendengar pertanyaan dari Damian itu. Kemudian melirik ke arah Tasya yang sedang sibuk menghabiskan cake, memastikan apa gadis kecil itu mendengar semuanya.“Dam, kurasa ini bukan waktu yang tepat,” jawab Gina, sekali lagi melirik Tasya. “Ada Tasya di sini,” bisiknya, mengarahkan pandangan ke arah Tasya.Damian pun mengikuti arah pandangan itu. “Kamu benar, Gin. Aku memang tidak tahu tempat,” Dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal, sedikit grogi.“Annie?” Terdengar Sari berseru cukup lantang, hingga terdengar ke telinga Damian dan Gina yang ada di dalam rumah.Tasya pun sepertinya juga mendengar, karena anak itu kini berlari untuk memastikan pendengarannya masih baik.“Mama?” seru Tasya, girang bukan main saat melihat Annie–dengan perutnya yang makin besar datang sembari membawa bingkisan. Tasya berhamburan memeluk Annie, melepas kangen.Namun saat melihat sosok Steve berdiri di samping mamanya, seketika senyum di wajah Tasya memudar.“H
“Annie!” Steve berteriak, melonjak dari tempat duduknya saat menyadari ketuban Annie merembes tak mau berhenti.“Annie, Annie!” Sari ikut panik. “Dam, panggil ambulans!” teriak Sari membabi-buta.Damian dengan sigap mengambil ponsel, menghubungi ambulans. Sementara Gina berusaha menenangkan Annie dengan duduk di bangku terdekat.“Biar aku tangani!” Steve yang notabene seorang dokter, berusaha unjuk diri.Dia bergegas mengambil bangku lain sebagai penopang kaki Annie agar bisa lurus sejajar.“Apakah kamu merasakan kontraksi, An?” tanya Steve.Annie meringis. “Sepertinya aku akan melahirkan,” ucap Annie, berusaha menahan rasa sakitnya.“Biar aku periksa,” Steve mulai menyibak rok yang dikenakan Annie.“Jangan gila!” teriak Sari, murka. “Ini di tempat terbuka, kamu mau mempermalukannya! Tunggu sampai ambulans datang!” Wanita tua itu mengomel dengan mata melotot hendak keluar.Steve awalnya tak peduli meski diomeli. Dia berniat kembali menyibakkan rok Annie. Tapi kali ini Damianlah yang t