“Gina,” panggil Eli Duran, dalam perjalanan pulang bersama Gina. Mereka menaiki mobil pribadi Eli dengan sopir di depan.Gina melirik ibunya, tidak menjawab.Eli tampak ragu untuk bicara, hingga dia pun menyentuh punggung tangan Gina–seakan ucapannya akan menyinggung perasaan anaknya.“Gin, Mama rasa, sudah saatnya kamu juga memikirkan kebahagiaanmu sendiri,” ucap Eli penuh hati-hati. “Jangan lagi memikirkan Sean, atau bahkan memikirkan keluarga Wijaya. Kamu juga berhak bahagia, Sayang,”“Gina tidak mungkin tidak memikirkan Sean,”“Maksud Mama–” Eli sekali lagi menyentuh tangan Gina. “Yang sudah terjadi, terima saja. Ikhlaskan. Mama yakin, Sean juga ingin kamu bahagia. Dia pasti sedih melihatmu terus seperti ini,” Eli menjelaskan panjang lebar supaya Gina tidak salah paham.Gina melipat bibir, tampak berpikir. “Apakah Gina boleh bahagia, Ma? Sedangkan Sean kini sendirian disana,”Mata Eli berkaca-kaca. Merasakan kepedihan yang ditanggung anaknya, akibat kehilangan sang buah hati. Seba
“Kurasa itu semua bukan urusanmu, Em,” hardik Annie, tak tahan lagi. Dia merasa Emma terlalu ingin tahu masalah pribadinya.“Memang bukan urusanku,” Emma menautkan alis. “Maaf kalau aku lancang bicara, An,” Dia menunduk sebentar, lalu mengucapkan salam pamit pada Annie, tak lupa memandang Steve cukup lama.Setelah Emma benar-benar pergi, Annie memicingkan mata ke arah Steve. “Apa kamu menyembunyikan sesuatu? Emma hamil bukan karenamu, kan?”“Tentu saja tidak!” sanggah Steve keras. “Kenapa kamu masih saja mempedulikan omongan wanita itu? Kamu tahu dia itu mata-mata, harusnya jangan pernah percaya padanya!” omel Steve, menuding ke arah Emma yang sudah tidak tampak lagi batang hidungnya.Annie hanya diam, sebagai tanda bahwa dia mengalah dan tidak ingin memperpanjang perdebatan.Suasana pun kembali cair, ketika makanan pesanan mereka sudah datang. Mencium aroma makanan yang lezat membuat suasana hati Annie membaik.“Ngomong-ngomong An, bagaimana proses perceraian kalian?” tanya Steve, di
Gina sampai berhenti menata hidangan, setelah mendengar pertanyaan dari Damian itu. Kemudian melirik ke arah Tasya yang sedang sibuk menghabiskan cake, memastikan apa gadis kecil itu mendengar semuanya.“Dam, kurasa ini bukan waktu yang tepat,” jawab Gina, sekali lagi melirik Tasya. “Ada Tasya di sini,” bisiknya, mengarahkan pandangan ke arah Tasya.Damian pun mengikuti arah pandangan itu. “Kamu benar, Gin. Aku memang tidak tahu tempat,” Dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal, sedikit grogi.“Annie?” Terdengar Sari berseru cukup lantang, hingga terdengar ke telinga Damian dan Gina yang ada di dalam rumah.Tasya pun sepertinya juga mendengar, karena anak itu kini berlari untuk memastikan pendengarannya masih baik.“Mama?” seru Tasya, girang bukan main saat melihat Annie–dengan perutnya yang makin besar datang sembari membawa bingkisan. Tasya berhamburan memeluk Annie, melepas kangen.Namun saat melihat sosok Steve berdiri di samping mamanya, seketika senyum di wajah Tasya memudar.“H
“Annie!” Steve berteriak, melonjak dari tempat duduknya saat menyadari ketuban Annie merembes tak mau berhenti.“Annie, Annie!” Sari ikut panik. “Dam, panggil ambulans!” teriak Sari membabi-buta.Damian dengan sigap mengambil ponsel, menghubungi ambulans. Sementara Gina berusaha menenangkan Annie dengan duduk di bangku terdekat.“Biar aku tangani!” Steve yang notabene seorang dokter, berusaha unjuk diri.Dia bergegas mengambil bangku lain sebagai penopang kaki Annie agar bisa lurus sejajar.“Apakah kamu merasakan kontraksi, An?” tanya Steve.Annie meringis. “Sepertinya aku akan melahirkan,” ucap Annie, berusaha menahan rasa sakitnya.“Biar aku periksa,” Steve mulai menyibak rok yang dikenakan Annie.“Jangan gila!” teriak Sari, murka. “Ini di tempat terbuka, kamu mau mempermalukannya! Tunggu sampai ambulans datang!” Wanita tua itu mengomel dengan mata melotot hendak keluar.Steve awalnya tak peduli meski diomeli. Dia berniat kembali menyibakkan rok Annie. Tapi kali ini Damianlah yang t
“Kamu baik-baik saja, An?” Gina buru-buru mendekati ranjang Annie.Wanita itu berkali-kali menarik nafas, meringis, dan berkeringat menahan kontraksi yang makin lama makin intens datang menyerang.“Sekarang sudah pembukaan delapan,” tandas si bidan.“Cepat sekali?!” seru Annie, disela-sela rintihannya.Bidan itu perlahan mendekat, dengan wajah kebingungan. “Apakah suami Anda tidak ingin menemani? Kami persilahkan jika ingin menemani,”Annie dan Gina saling pandang. Tapi Annie lebih memilih fokus pada rasa sakitnya, daripada harus menanggapi bidan itu.Justru Gina yang tampak kesal. Dia memberi isyarat mata pada bidan itu, untuk menjauh mengikutinya.“Saya rasa, pertanyaan kamu tadi bukanlah pertanyaan umum,” tandas Gina. “Itu adalah privasi pasien,”“T-tapi Bu Gina … ““Kuharap tidak ada lagi pegawai sepertimu, yang bisa dengan lancang bertanya tanpa berpikir,” ketus Gina, dengan lirikan kesal pada si bidan.Bidan itu hanya menunduk dalam, berkali-kali meminta maaf. Sadar akan posisi
“Apakah perlu kuceritakan semuanya?” Gina makin mendekat, dengan pandangan lurus tak berkedip ke arah Rudi Evan. “Segalanya terjadi tentu ada sebab akibatnya. Termasuk perceraian Annie dan Damian,”Firasat Damian memburuk. Dia yakin, Gina akan mengungkapkan segalanya pada mantan mertuanya itu.“A-apa maksud Anda? K-kenapa bisa Anda tertarik pada pria sepertinya?” Rudi sampai terbata-bata, tak percaya.Gina berdehem. Sebagian besar orang-orang berpengaruh di kota ini–termasuk para pejabat tinggi pemerintah hingga perusahaan negara tahu siapa Gina, apalagi setelah dia menikah dengan konglomerat nomor satu, Wijaya.Jelas saja Rudi Evan tak percaya jika Gina tertarik pada pria macam Damian. Yang tak lebih sebagai pengangguran yang mengandalkan keberuntungan.“Jadi Anda berselingkuh dengan pria macam Damian?” tanya Rudi sekali lagi.Gina mulai berang. Dia tahu, orang seperti Rudi menganggap orang lain hanya dari status kekayaannya. Maka satu-satunya cara mengalahkan Rudi adalah dengan keke
“Papa!” Tasya berteriak, lalu berlari menghampiri Damian yang masih duduk diam sambil memegangi gelas kopinya.Saat menoleh dan melihat Tasya, Damian seketika berdiri. “Tasya, kamu kesini sama siapa?” Karena dia tidak melihat orang lain selain Tasya.Tak lama, Sari dan Lukman muncul. Dengan wajah panik mereka. “Bagaimana kondisi Annie? Apakah anaknya sudah lahir?” tanya Lukman.“Dam, kenapa kamu malah disini? Mana Annie?” Giliran Sari yang mencecarnya.“Tenang, Ayah, Ibu,” Damian menenangkan. “Anak Annie sudah lahir, laki-laki. Dan sekarang Gina sedang mengecek kondisinya,”“Pa, Tasya mau ketemu sama adik Tasya! Ayo anterin, Pa,” bujuk Tasya tak sabar.Damian tampak ragu. Namun demi Tasya, dia pun mengangguk dan berjalan ke arah kamar bersalin.Saat Tasya dan Damian masuk ke dalamnya, mereka berdua melihat Irene, Rudi serta Gina sedang berdiri di depan ruang bayi yang berdindingkan kaca.“Oma, Opa?” panggil Tasya.Irene dan Rudi seketika menoleh. Dan saat melihat Tasya, Irene tak dapa
“Coba katakan sekali lagi,” Damian tidak mau mempercayai pendengarannya.Gina kembali menarik nafas panjang. “Emma melahirkan anak kandung Steve,” ucapnya perlahan.Tubuh Damian tiba-tiba gemetar, dipenuhi emosi yang kini sudah menumpuk di ujung kerongkongannya. Dengan tangan mengepal, dia siap menerjang Steve. Namun Gina buru-buru mencegahnya untuk pergi.“Bukan kekerasan yang kita butuhkan, Dam,” cegah Gina. “Kamu tidak akan bisa menang, dan orang tua Annie tetap akan membela Steve,”“Jadi aku harus membiarkannya?”“Dam!” Tiba-tiba Gina lantang memanggilnya. Hingga mau tak mau Damian berhenti. “Apa kamu masih mencintai Annie?” tanyanya.Damian mengerjap, karena Gina tiba-tiba mengganti topik pembicaraan. “Kenapa kamu begitu marah? Apakah kamu masih mencintai Annie?” ulang Gina, dengan setitik kekecewaan di hati. “Aku tidak menyangka reaksimu akan seperti ini,”“Bukan begitu, Gin. Aku hanya tidak menyangka Steve bisa setega itu,”“Tega pada siapa?” sambar Gina.Dan Damian tak berkut
"Miss Gina?" Sari ternganga lebar, ketika dia membuka pintu depan dan sosok Gina sudah berdiri di sana dengan senyuman manis.Sari spontan memeluk Gina dan tangisnya pecah. "Ibu sangat merindukanmu, Gina! Kemana saja kamu setahun ini?"Gina balas memeluk Sari. Dia tidak bicara apapun, hanya tersenyum lega karena ternyata dia masih diterima cukup hangat di dalam keluarga Damian.Tasya muncul, dengan wajahnya yang kaget luar biasa. Tak menyangka Gina akan datang kembali ke rumahnya."Tasya, gimana kabarmu?" tegur Gina ramah.Tasya masih menganga, dengan mata mengerjap beberapa kali. "T-Tante Gina?" ucapnya terbata-bata. Gina berjalan mendekat. Lalu mendekap gadis yang kini tidak begitu kecil itu."Kamu sudah tambah besar, ya. Miss kangen sama Tasya," ucap Gina dalam dekapannya.Tidak ada reaksi yang keluar dari bibir Tasya. Tapi dia tidak menolak saat Gina memeluk erat tubuhnya. Yang dia lakukan hanya bergantian memandang Damian dan Sari, yang terus tersenyum haru."Tante Gina … " pang
"Terima kasih sudah mengantarku, Dam," tukas Annie saat mobil Damian berhenti tepat di depan pintu masuk kantornya.Damian mengangguk. "Ibu sangat senang menjaga Sean, jadi kamu fokus saja pada kerjaanmu,"Annie tersipu senang. Seakan mereka berdua masih sebagai sepasang suami istri yang bahagia, apalagi dari perlakuan Damian padanya yang sangat sopan."Apakah kamu akan pulang telat hari ini?" tanya Annie. Tampak ragu untuk bicara, tapi dorongan di dalam dirinya kelewat kuat untuk bisa dicegah. "Maukah pulang bersama?" ajaknya.Damian hening beberapa detik. Untuk kemudian mengangguk. "Akan kuusahakan pulang cepat,"Annie berseru bahagia dalam hati. Sangat senang karena Damian menyambut baik segala usahanya untuk kembali dekat itu. Dia berusaha menampik kenyataan, bahwa Damian sedang tidak baik-baik saja.Dia tahu, Damian dan Gina batal menikah. Tapi Annie ingin menuruti egonya sendiri kali ini, karena dia tidak ingin kehilangan Damian untuk kedua kalinya.Sore harinya, Damian benar-be
Hati Damian terasa amat nyeri, mendengar perkataan secara sepihak itu dari Gina. Bahkan ketika dia mencoba untuk menelan ludah, seperti ada yang mengganjal. Sesuatu yang sangat menyakitkan hingga membuat suaranya tercekat."Aku tidak ingin menjadi trauma untuk Tasya," lanjut Gina, sangat nekat meski suaranya sudah bergetar menahan tangis. "Dia adalah darah dagingmu. Sudah menjadi bagian dalam kehidupanmu. Mengabaikan pendapatnya dalam setiap keputusanmu, akan membuatnya trauma di masa depan,"Damian masih tidak menjawab. Hanya bola matanya yang terus bergetar. Kemudian pelan-pelan Gina melepaskan cincin berlian di jari manisnya, pemberian Damian. Dia serahkan kembali cincin itu, ke dalam genggaman tangan Damian yang terasa amat dingin."Aku menyayangimu, aku juga menyayangi Tasya. Tapi kebahagiaan kalian berdua bukanlah aku," isak Gina. "Aku tidak ingin menjadi mimpi buruk Tasya. Karena setiap kali melihatnya, selalu mengingatkanku akan Sean. Aku ingin menjadi kenangan manis untuknya
Wijaya berulang kali mencuri pandang pada Gina yang duduk di samping kemudi mobilnya. Tampak wanita cantik itu terisak pelan, dengan kepala yang terus menghadap keluar jendela mobil.Wijaya ingin bertanya, tapi lidahnya kelu hingga menahan hasratnya untuk tidak mengeluarkan suara apapun. Dia tahu, Gina sedang terluka. Gina melihat dan mendengar dengan inderanya sendiri, bagaimana sang calon suami bercengkerama dengan si mantan istri."Gina? Sudah sampai," tukas Wijaya, ketika mobilnya berhenti di depan pintu masuk rumah Gina.Bahkan wanita itu juga tidak menyadari jika Wijaya sempat bertukar sapa dengan satpam rumahnya sebelum mobil itu masuk."Terimakasih, Jay," ucapnya pelan."Atas apa?""Karena mengantarku pulang," timpal Gina, dengan wajah lesu.Wijaya hanya diam, terus memandangi Gina dengan tatapan iba. Dia selalu memiliki titik lembut tersendiri di dalam hatinya, hanya untuk Gina.Lantas Gina–dengan gerakan lambat keluar dari dalam mobil Wijaya. Tanpa mengucapkan apapun lagi, w
Gina mengangguk. Lalu mereka berdua kembali kikuk berhadapan satu sama lain. Tak ada kata yang sanggup keluar dari bibir masing-masing, karena ada kesalahpahaman yang muncul di dalam otak Gina dan Damian. "Damian," panggil Rudi, yang baru saja tiba. Kemudian dia cukup terkejut melihat Gina, namun berusaha untuk hanya fokus pada Damian.Damian menyahut dengan senyuman. Sementara Rudi–beserta Irene, masih berdiri di depan Damian dengan ekspresi tegang. Tampak ada sesuatu yang mengganjal."Dam, maafkan Papa dan Mama," tukas Rudi tiba-tiba. Hingga membuat siapa saja yang ada di sana terkejut. "Papa dan Mama selama ini selalu bersikap tak adil padamu," lanjutnya.Bahkan Damian hingga tergagap karena tak menyangka akan mendapatkan ucapan maaf dari Rudi. "Papa … " Annie berkaca-kaca melihat sikap papanya. Dia tanpa sadar berjalan mendekati Damian dan Rudi. "Kenapa Pak Rudi … " Damian kehabisan kata-kata. Bahkan untuk sekedar tersenyum dan memandang Rudi pun dia tak sanggup. Semuanya sungg
“Jay?” panggil Gina.Wijaya hanya menautkan alis sebagai respon.“Bagaimana kamu tahu aku diculik disana?” tanya Gina.Wijaya lalu duduk lebih santai, menikmati perjalanan karena Emma pun juga mengemudi dengan kecepatan sedang.“Aku datang ke sekolah untuk mengajakmu pulang bersama. Tapi kamu malah naik mobil bersama seorang pria asing,” jelas Wijaya. “Kukira itu Damian, tapi aku hafal dengan mobilnya. Jadi aku bisa simpulkan bahwa itu bukan Damina,”“Lalu?” Gina sudah tidak sabar.“Aku membuntuti dari belakang. Saat sadar mobil itu masuk ke jalan yang sempit dan sepi, aku langsung menghubungi Emma,” lanjut Wijaya.“Tuan meminta saya menghubungi polisi. Jadi saya bersama polisi datang. Tapi kami tidak langsung menyergap, karena Tuan ingin mengatur strategi agar semuanya bisa tertangkap,” timpal Emma cukup detail. “Saya juga tidak menyangka, Steve yang menjadi dalang dibalik penculikan ini,” Dia menunduk, merasa menyesal juga bersalah. “Kenapa dia tiba-tiba menculik Nyonya?”Gina angka
Dengan cepat Steve membuka lakban yang menutup mulut Gina. Membuat Gina meringis merasakan rekatan kuat itu ditarik paksa dari kulitnya.“Kamu terlalu meremehkanku, Gina. Kamu pikir, selama ini aku hanya diam dan menontonmu terus melakukan hal-hal licik,” ujar Steve.Gina balas menatapnya dengan perasaan tenang. “Apa kamu sadar perbuatanmu ini hanya akan makin merugikanmu? Kamu lupa siapa aku?”Plak!Tiba-tiba Steve menampar pipi Gina sekerasnya. Ada kilatan murka di kedua matanya yang menyala.“Kamu kira, kamulah pusat dunia? Kamulah penguasa dunia ini?” bentak Steve. “Jangan lupakan statusmu yang hanya seorang janda, Gina Duran. Seberapa kaya dirimu, kamu hanyalah janda menyedihkan di mata semua orang,” olok Steve, lalu tertawa terbahak-bahak penuh kemenangan.Gina tidak menanggapi. Selain karena tubuhnya masih terikat, dia juga tidak ingin menggunakan banyak tenaganya hanya untuk meladeni bualan Steve.Tiba-tiba Steve mencengkeram pipi Gina. “Aku akan menghancurkan hidupmu. Setidak
“Masuk!” seru Steve, ketika pintu ruang kerjanya diketuk.Brak!Annie mendobrak pintu cukup keras, dan masuk dengan langkah tegap ke dalam ruang kerja Steve.Steve yang saat itu sedang fokus pada lembar dokumen di depannya, hanya bisa terbelalak. Namun untungnya sang perawat buru-buru menutup pintu kembali, agar pasien tidak dapat melihat keributan itu.“An, ada apa?” tanya Steve heran. “Kamu sadar nggak, kamu sedang marah-marah di rumah sakit?”“Aku tidak peduli!” sentak Annie. Dia kemudian melempar dokumen-dokumen tentang Steve yang telah dikumpulkan Nina untuknya.“Sudah berapa kali kubilang padamu? Jangan coba-coba membodohiku!” maki Annie. “Kamu sengaja mendekatiku, mempertahankan Sean, karena kamu ingin menyelamatkan reputasi dan klinik pribadimu, kan?”Steve tidak mau membuka dokumen itu, karena sadar jika dia sudah tertangkap basah. Yang bisa dia lakukan kini adalah berusaha menenangkan Annie.“An, tenang dulu. Akan kujelaskan semuanya,” pinta Steve, berusaha meraih tubuh Anni
“Silahkan Bu Gina,” Rudi mempersilahkan dengan sikapnya yang terus saja pongah.Gina menegakkan posisi duduknya. Dengan mata lebih tajam, dia melipat kedua tangan di atas meja demi saling berhadapan dengan lebih fokus pada Rudi Evan.“Apakah Anda tahu, bagaimana anak saya bisa meninggal?” tanya Gina.“Kenapa Anda … ““Jawab saja, Pak Rudi,” potong Gina. “Apakah Anda tahu, siapa yang menyebabkan anak saya meninggal?”Nafas Rudi tercekat. “J-jadi Anda mengancam saya?”Gina menggeleng. “Saya tidak pernah mengancam siapapun, selama orang itu tidak mengusik saya. Tapi mencampuri urusan pribadi saya, sudah menjadi hal yang tidak akan saya biarkan begitu saja,” terang Gina. “Sepertinya Anda harus tahu tentang itu,”“Jika Damian tahu Sean anak kandungnya, bukankah dia menyesal sudah berpisah dengan Annie?”“Siapa yang meminta mereka berpisah, Pak Rudi? Bukankah, anda sendiri?”Sekali lagi Rudi tercekat. Tidak m