Burhan berdehem keras. Seakan dia tahu subjek apa yang akan dibawa Emma dalam pembicaraan seriusnya dengan Hadi Wijaya.Namun pria tua itu penasaran lebih dari apapun, jadi dia meminta pada Burhan untuk memberinya ruang berdua saja dengan Emma. Maka Burhan pun terpaksa pergi menjauh, menuruti permintaan tuannya.“Apa yang ingin kamu bicarakan?” tanya Hadi Wijaya–setelah memastikan tidak ada orang di sekitar mereka.Emma mengepalkan kedua tangan erat-erat. Seperti hendak berperang. “Sebenarnya, Tuan dan Nyonya–” Dia menarik nafas panjang, sebelum melanjutkan. “Tuan dan Nyonya sudah lama bercerai,” tandas Emma, lancar.“Apa?” Hadi Wijaya masih berusaha tenang, meski perceraian adalah suatu hal yang paling dia benci.“Saya tahu, setelah ucapan saya ini, Nyonya Gina pasti membenci saya,” aku Emma. “Karena sebenarnya Nyonya meminta saya untuk merahasiakan dari Tuan,”“Kenapa?” Hadi Wijaya masih bertanya dengan pertanyaan-pertanyaan singkat.“Karena Nyonya tidak ingin membuat Anda khawatir,
“Gina,” panggil Eli Duran, dalam perjalanan pulang bersama Gina. Mereka menaiki mobil pribadi Eli dengan sopir di depan.Gina melirik ibunya, tidak menjawab.Eli tampak ragu untuk bicara, hingga dia pun menyentuh punggung tangan Gina–seakan ucapannya akan menyinggung perasaan anaknya.“Gin, Mama rasa, sudah saatnya kamu juga memikirkan kebahagiaanmu sendiri,” ucap Eli penuh hati-hati. “Jangan lagi memikirkan Sean, atau bahkan memikirkan keluarga Wijaya. Kamu juga berhak bahagia, Sayang,”“Gina tidak mungkin tidak memikirkan Sean,”“Maksud Mama–” Eli sekali lagi menyentuh tangan Gina. “Yang sudah terjadi, terima saja. Ikhlaskan. Mama yakin, Sean juga ingin kamu bahagia. Dia pasti sedih melihatmu terus seperti ini,” Eli menjelaskan panjang lebar supaya Gina tidak salah paham.Gina melipat bibir, tampak berpikir. “Apakah Gina boleh bahagia, Ma? Sedangkan Sean kini sendirian disana,”Mata Eli berkaca-kaca. Merasakan kepedihan yang ditanggung anaknya, akibat kehilangan sang buah hati. Seba
“Kurasa itu semua bukan urusanmu, Em,” hardik Annie, tak tahan lagi. Dia merasa Emma terlalu ingin tahu masalah pribadinya.“Memang bukan urusanku,” Emma menautkan alis. “Maaf kalau aku lancang bicara, An,” Dia menunduk sebentar, lalu mengucapkan salam pamit pada Annie, tak lupa memandang Steve cukup lama.Setelah Emma benar-benar pergi, Annie memicingkan mata ke arah Steve. “Apa kamu menyembunyikan sesuatu? Emma hamil bukan karenamu, kan?”“Tentu saja tidak!” sanggah Steve keras. “Kenapa kamu masih saja mempedulikan omongan wanita itu? Kamu tahu dia itu mata-mata, harusnya jangan pernah percaya padanya!” omel Steve, menuding ke arah Emma yang sudah tidak tampak lagi batang hidungnya.Annie hanya diam, sebagai tanda bahwa dia mengalah dan tidak ingin memperpanjang perdebatan.Suasana pun kembali cair, ketika makanan pesanan mereka sudah datang. Mencium aroma makanan yang lezat membuat suasana hati Annie membaik.“Ngomong-ngomong An, bagaimana proses perceraian kalian?” tanya Steve, di
Gina sampai berhenti menata hidangan, setelah mendengar pertanyaan dari Damian itu. Kemudian melirik ke arah Tasya yang sedang sibuk menghabiskan cake, memastikan apa gadis kecil itu mendengar semuanya.“Dam, kurasa ini bukan waktu yang tepat,” jawab Gina, sekali lagi melirik Tasya. “Ada Tasya di sini,” bisiknya, mengarahkan pandangan ke arah Tasya.Damian pun mengikuti arah pandangan itu. “Kamu benar, Gin. Aku memang tidak tahu tempat,” Dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal, sedikit grogi.“Annie?” Terdengar Sari berseru cukup lantang, hingga terdengar ke telinga Damian dan Gina yang ada di dalam rumah.Tasya pun sepertinya juga mendengar, karena anak itu kini berlari untuk memastikan pendengarannya masih baik.“Mama?” seru Tasya, girang bukan main saat melihat Annie–dengan perutnya yang makin besar datang sembari membawa bingkisan. Tasya berhamburan memeluk Annie, melepas kangen.Namun saat melihat sosok Steve berdiri di samping mamanya, seketika senyum di wajah Tasya memudar.“H
“Annie!” Steve berteriak, melonjak dari tempat duduknya saat menyadari ketuban Annie merembes tak mau berhenti.“Annie, Annie!” Sari ikut panik. “Dam, panggil ambulans!” teriak Sari membabi-buta.Damian dengan sigap mengambil ponsel, menghubungi ambulans. Sementara Gina berusaha menenangkan Annie dengan duduk di bangku terdekat.“Biar aku tangani!” Steve yang notabene seorang dokter, berusaha unjuk diri.Dia bergegas mengambil bangku lain sebagai penopang kaki Annie agar bisa lurus sejajar.“Apakah kamu merasakan kontraksi, An?” tanya Steve.Annie meringis. “Sepertinya aku akan melahirkan,” ucap Annie, berusaha menahan rasa sakitnya.“Biar aku periksa,” Steve mulai menyibak rok yang dikenakan Annie.“Jangan gila!” teriak Sari, murka. “Ini di tempat terbuka, kamu mau mempermalukannya! Tunggu sampai ambulans datang!” Wanita tua itu mengomel dengan mata melotot hendak keluar.Steve awalnya tak peduli meski diomeli. Dia berniat kembali menyibakkan rok Annie. Tapi kali ini Damianlah yang t
“Kamu baik-baik saja, An?” Gina buru-buru mendekati ranjang Annie.Wanita itu berkali-kali menarik nafas, meringis, dan berkeringat menahan kontraksi yang makin lama makin intens datang menyerang.“Sekarang sudah pembukaan delapan,” tandas si bidan.“Cepat sekali?!” seru Annie, disela-sela rintihannya.Bidan itu perlahan mendekat, dengan wajah kebingungan. “Apakah suami Anda tidak ingin menemani? Kami persilahkan jika ingin menemani,”Annie dan Gina saling pandang. Tapi Annie lebih memilih fokus pada rasa sakitnya, daripada harus menanggapi bidan itu.Justru Gina yang tampak kesal. Dia memberi isyarat mata pada bidan itu, untuk menjauh mengikutinya.“Saya rasa, pertanyaan kamu tadi bukanlah pertanyaan umum,” tandas Gina. “Itu adalah privasi pasien,”“T-tapi Bu Gina … ““Kuharap tidak ada lagi pegawai sepertimu, yang bisa dengan lancang bertanya tanpa berpikir,” ketus Gina, dengan lirikan kesal pada si bidan.Bidan itu hanya menunduk dalam, berkali-kali meminta maaf. Sadar akan posisi
“Apakah perlu kuceritakan semuanya?” Gina makin mendekat, dengan pandangan lurus tak berkedip ke arah Rudi Evan. “Segalanya terjadi tentu ada sebab akibatnya. Termasuk perceraian Annie dan Damian,”Firasat Damian memburuk. Dia yakin, Gina akan mengungkapkan segalanya pada mantan mertuanya itu.“A-apa maksud Anda? K-kenapa bisa Anda tertarik pada pria sepertinya?” Rudi sampai terbata-bata, tak percaya.Gina berdehem. Sebagian besar orang-orang berpengaruh di kota ini–termasuk para pejabat tinggi pemerintah hingga perusahaan negara tahu siapa Gina, apalagi setelah dia menikah dengan konglomerat nomor satu, Wijaya.Jelas saja Rudi Evan tak percaya jika Gina tertarik pada pria macam Damian. Yang tak lebih sebagai pengangguran yang mengandalkan keberuntungan.“Jadi Anda berselingkuh dengan pria macam Damian?” tanya Rudi sekali lagi.Gina mulai berang. Dia tahu, orang seperti Rudi menganggap orang lain hanya dari status kekayaannya. Maka satu-satunya cara mengalahkan Rudi adalah dengan keke
“Papa!” Tasya berteriak, lalu berlari menghampiri Damian yang masih duduk diam sambil memegangi gelas kopinya.Saat menoleh dan melihat Tasya, Damian seketika berdiri. “Tasya, kamu kesini sama siapa?” Karena dia tidak melihat orang lain selain Tasya.Tak lama, Sari dan Lukman muncul. Dengan wajah panik mereka. “Bagaimana kondisi Annie? Apakah anaknya sudah lahir?” tanya Lukman.“Dam, kenapa kamu malah disini? Mana Annie?” Giliran Sari yang mencecarnya.“Tenang, Ayah, Ibu,” Damian menenangkan. “Anak Annie sudah lahir, laki-laki. Dan sekarang Gina sedang mengecek kondisinya,”“Pa, Tasya mau ketemu sama adik Tasya! Ayo anterin, Pa,” bujuk Tasya tak sabar.Damian tampak ragu. Namun demi Tasya, dia pun mengangguk dan berjalan ke arah kamar bersalin.Saat Tasya dan Damian masuk ke dalamnya, mereka berdua melihat Irene, Rudi serta Gina sedang berdiri di depan ruang bayi yang berdindingkan kaca.“Oma, Opa?” panggil Tasya.Irene dan Rudi seketika menoleh. Dan saat melihat Tasya, Irene tak dapa