“Kamu baik-baik saja, An?” Gina buru-buru mendekati ranjang Annie.Wanita itu berkali-kali menarik nafas, meringis, dan berkeringat menahan kontraksi yang makin lama makin intens datang menyerang.“Sekarang sudah pembukaan delapan,” tandas si bidan.“Cepat sekali?!” seru Annie, disela-sela rintihannya.Bidan itu perlahan mendekat, dengan wajah kebingungan. “Apakah suami Anda tidak ingin menemani? Kami persilahkan jika ingin menemani,”Annie dan Gina saling pandang. Tapi Annie lebih memilih fokus pada rasa sakitnya, daripada harus menanggapi bidan itu.Justru Gina yang tampak kesal. Dia memberi isyarat mata pada bidan itu, untuk menjauh mengikutinya.“Saya rasa, pertanyaan kamu tadi bukanlah pertanyaan umum,” tandas Gina. “Itu adalah privasi pasien,”“T-tapi Bu Gina … ““Kuharap tidak ada lagi pegawai sepertimu, yang bisa dengan lancang bertanya tanpa berpikir,” ketus Gina, dengan lirikan kesal pada si bidan.Bidan itu hanya menunduk dalam, berkali-kali meminta maaf. Sadar akan posisi
“Apakah perlu kuceritakan semuanya?” Gina makin mendekat, dengan pandangan lurus tak berkedip ke arah Rudi Evan. “Segalanya terjadi tentu ada sebab akibatnya. Termasuk perceraian Annie dan Damian,”Firasat Damian memburuk. Dia yakin, Gina akan mengungkapkan segalanya pada mantan mertuanya itu.“A-apa maksud Anda? K-kenapa bisa Anda tertarik pada pria sepertinya?” Rudi sampai terbata-bata, tak percaya.Gina berdehem. Sebagian besar orang-orang berpengaruh di kota ini–termasuk para pejabat tinggi pemerintah hingga perusahaan negara tahu siapa Gina, apalagi setelah dia menikah dengan konglomerat nomor satu, Wijaya.Jelas saja Rudi Evan tak percaya jika Gina tertarik pada pria macam Damian. Yang tak lebih sebagai pengangguran yang mengandalkan keberuntungan.“Jadi Anda berselingkuh dengan pria macam Damian?” tanya Rudi sekali lagi.Gina mulai berang. Dia tahu, orang seperti Rudi menganggap orang lain hanya dari status kekayaannya. Maka satu-satunya cara mengalahkan Rudi adalah dengan keke
“Papa!” Tasya berteriak, lalu berlari menghampiri Damian yang masih duduk diam sambil memegangi gelas kopinya.Saat menoleh dan melihat Tasya, Damian seketika berdiri. “Tasya, kamu kesini sama siapa?” Karena dia tidak melihat orang lain selain Tasya.Tak lama, Sari dan Lukman muncul. Dengan wajah panik mereka. “Bagaimana kondisi Annie? Apakah anaknya sudah lahir?” tanya Lukman.“Dam, kenapa kamu malah disini? Mana Annie?” Giliran Sari yang mencecarnya.“Tenang, Ayah, Ibu,” Damian menenangkan. “Anak Annie sudah lahir, laki-laki. Dan sekarang Gina sedang mengecek kondisinya,”“Pa, Tasya mau ketemu sama adik Tasya! Ayo anterin, Pa,” bujuk Tasya tak sabar.Damian tampak ragu. Namun demi Tasya, dia pun mengangguk dan berjalan ke arah kamar bersalin.Saat Tasya dan Damian masuk ke dalamnya, mereka berdua melihat Irene, Rudi serta Gina sedang berdiri di depan ruang bayi yang berdindingkan kaca.“Oma, Opa?” panggil Tasya.Irene dan Rudi seketika menoleh. Dan saat melihat Tasya, Irene tak dapa
“Coba katakan sekali lagi,” Damian tidak mau mempercayai pendengarannya.Gina kembali menarik nafas panjang. “Emma melahirkan anak kandung Steve,” ucapnya perlahan.Tubuh Damian tiba-tiba gemetar, dipenuhi emosi yang kini sudah menumpuk di ujung kerongkongannya. Dengan tangan mengepal, dia siap menerjang Steve. Namun Gina buru-buru mencegahnya untuk pergi.“Bukan kekerasan yang kita butuhkan, Dam,” cegah Gina. “Kamu tidak akan bisa menang, dan orang tua Annie tetap akan membela Steve,”“Jadi aku harus membiarkannya?”“Dam!” Tiba-tiba Gina lantang memanggilnya. Hingga mau tak mau Damian berhenti. “Apa kamu masih mencintai Annie?” tanyanya.Damian mengerjap, karena Gina tiba-tiba mengganti topik pembicaraan. “Kenapa kamu begitu marah? Apakah kamu masih mencintai Annie?” ulang Gina, dengan setitik kekecewaan di hati. “Aku tidak menyangka reaksimu akan seperti ini,”“Bukan begitu, Gin. Aku hanya tidak menyangka Steve bisa setega itu,”“Tega pada siapa?” sambar Gina.Dan Damian tak berkut
Gina makin menghadapkan tubuhnya pada Damian. Bola matanya bergetar, berusaha mencerna ucapan Damian yang terus menggema di kepala.“A-apa?” Hanya respon itu yang sanggup Gina beri.Damian maju satu langkah. Matanya teduh, berharap Gina mempercayai ucapannya sekali lagi.“Menikahlah denganku, Gina,” ucap Damian lebih pelan. Dia meraih kedua tangan Gina penuh sayang. “Aku tahu, apapun yang kuucapkan tidak akan membuatmu percaya, bahwa aku benar-benar mencintaimu. Satu-satunya cara untuk membuktikan adalah menikahimu,”“Kenapa tiba-tiba?” Gina tetap kehabisa kata. Dia yang semula ingin cepat-cepat pergi, mendadak kaku tak bergerak. Yang Gina lakukan hanya memandang Damian tanpa kata.“Kamu tidak perlu jawab sekarang,” timpal Damian. “Tapi aku akan terus menunggu jawabanmu, sampai kamu siap,”Damian lalu mengecup punggung tangan Gina. “Pergilah, Gin. Emma pasti menunggumu,” pintanya. “Aku akan mengajak Ayah, Ibu dan Tasya pulang,”Damian balik arah. Dia berjalan masuk ke dalam kawasan r
“Jaga cara bicaramu,” Suara berat itu menggema, yang berasal dari arah pintu.Spontan mereka bertiga menoleh, dan mendapati sosok Wijaya yang tinggi besar sedang berdiri di ambang pintu dengan tatapan tajam.Tatapan pria itu selalu mengintimidasi siapapun. Laju langkahnya yang tegap, membuat gentar lawannya.Begitu pula Steve, yang segera melepaskan cekikannya di leher Gina.Kini giliran Wijaya yang mencekik leher Steve. “Kau apakan Gina, hah?”Dengan nafas megap-megap, Steve berusaha melepaskan tangan Wijaya yang kelewat kuat.Tangan kiri Wijaya tengah membawa keranjang kecil berisi buah, sementara tangan kanannya mencekik leher Steve.“Kau tidak akan kubiarkan lolos,” Wijaya melepaskan cekikannya, memberi kesempatan Steve untuk mengambil nafas banyak-banyak.Wijaya merapikan bajunya–yang memang sudah rapi, dan dengan kepala mendongak angkuh, dia memberikan keranjang buah itu pada Emma.“Darimana Tuan tahu saya disini?” tanya Emma keheranan.“Apa kau meremehkanku?” Wijaya balik berta
“An, kamu mau makan apa pagi ini?” tanya Irene, pagi hari saat Annie menyusui anaknya.“Sebentar lagi makanan akan diantar,” jawab Annie.“Mungkin kamu lagi ingin makan sesuatu? Mama bisa belikan,” tawar Irene, dengan nada lembut.Annie diam. Yang dia inginkan saat ini bukanlah sarapan dengan menu kesukaan. Yang dia inginkan hanyalah bisa melihat Tasya.Melewati perjuangan proses melahirkan yang melelahkan, membuat Annie menjadi lebih sensitif akan banyak hal.Termasuk kehadiran anaknya Tasya. Dia sedih, karena Tasya menolak mendekatinya saat melihat Steve malam itu.Dan hingga dua hari ini, gadis kecil itu tidak tampak akan datang menjenguknya lagi.“Kamu kenapa, An?” tanya Irene, sadar jika Annie banyak merenung dan diam. “Kalau kamu sedih, bayimu bisa ikut sedih, lho,”“Tentu aku sedih, Ma,” sahut Annie cepat. “Aku merindukan Tasya,”“Tasya?” Irene bangkit. “Biar Mama telepon Steve buat jemput dia di sekolah,”“Bukan,” Annie mencegah. “Lalu?” Irene sudah siap menggenggam ponsel un
“Ayo cepetan dimakan, Tasya. Sebentar lagi Papa berangkat,” bujuk Sari, karena Tasya sama sekali tidak menyentuh sarapannya.Anak kecil itu merenung, dengan dua lengan dilipat rapi di atas meja makan.“Kamu kenapa?” Giliran sang kakek, Lukman, yang bertanya. “Nasi goreng buatan Oma nggak enak, ya?”Tasya menggeleng. “Buatan Oma pasti enak,” timpalnya.“Terus? Ayo makan, Papa sebentar lagi siap terus nganterin kamu ke sekolah,”“Tasya nggak mau, Oma,” tolak Tasya, dengan nada lemah. “Tasya kangen sama Mama. Tasya juga pengen ketemu adik,”Lukman dan Sari saling pandang. Keduanya tidak punya jawaban tepat atas permintaan Tasya.“Sudah siap?” celetuk Damian, keluar dari dalam kamar dengan pakaian rapi.Hari ini dia ada rapat bersama Ivan, membahas proyek baru series yang diadaptasi dari karyanya.Tasya masih cemberut. Sementara Lukman dan Sari hanya memandangi Tasya dengan tatapan prihatin.“Kenapa? Kok pada diem?” tanya Damian bingung.“Tasya mau ketemu Mama, katanya. Dia juga kangen ad