“Ayo cepetan dimakan, Tasya. Sebentar lagi Papa berangkat,” bujuk Sari, karena Tasya sama sekali tidak menyentuh sarapannya.Anak kecil itu merenung, dengan dua lengan dilipat rapi di atas meja makan.“Kamu kenapa?” Giliran sang kakek, Lukman, yang bertanya. “Nasi goreng buatan Oma nggak enak, ya?”Tasya menggeleng. “Buatan Oma pasti enak,” timpalnya.“Terus? Ayo makan, Papa sebentar lagi siap terus nganterin kamu ke sekolah,”“Tasya nggak mau, Oma,” tolak Tasya, dengan nada lemah. “Tasya kangen sama Mama. Tasya juga pengen ketemu adik,”Lukman dan Sari saling pandang. Keduanya tidak punya jawaban tepat atas permintaan Tasya.“Sudah siap?” celetuk Damian, keluar dari dalam kamar dengan pakaian rapi.Hari ini dia ada rapat bersama Ivan, membahas proyek baru series yang diadaptasi dari karyanya.Tasya masih cemberut. Sementara Lukman dan Sari hanya memandangi Tasya dengan tatapan prihatin.“Kenapa? Kok pada diem?” tanya Damian bingung.“Tasya mau ketemu Mama, katanya. Dia juga kangen ad
Gina terharu. Bukan nilai cincin berlian yang membuatnya hampir menitikkan air mata, tapi cara Damian melamar. Saat masih bersama Wijaya, dia tidak pernah dilamar. Tapi mereka dijodohkan, yang mau tidak mau harus dia terima demi kelangsungan bisnis keluarga masing-masing.Maka saat mendapatkan lamaran yang sederhana namun cukup mengejutkan ini, membuat Gina ingin menangis.Dia bahagia. Sangat bahagia, hingga rasanya dia ingin memeluk Sean dan membagi kebahagiaannya.‘Andaikan kamu masih disini, apakah kamu akan ikut bahagia, Sean?’ jerit Gina dalam hati.“Gina?” Damian kebingungan, karena Gina justru menangis bukannya tersenyum senang. “Kamu tidak suka?” tanyanya memastikan.“Aku bahagia,” Gina menggeleng sambil menangis. “Aku … aku teringat akan Sean. Seandainya dia disini, pasti dia akan menyukaimu,” isaknya pedih.Gina masih menangis keras. Sembari menutup wajah, dia memegang dadanya yang sesak. Penuh beban, atas kerinduannya yang tak pernah padam pada Sean, sang anak.Damian buru
Saking bahagianya, Eli sampai membungkam mulut. Dia benar-benar bahagia untuk sang putri satu-satunya. Apalagi dia sendiri pun juga tidak pernah dilamar dengan cara sangat berani layaknya Damian melamar Gina.“Semuanya tergantung pada Gina,” sahut Leo Duran, mencoba bersikap tenang–dalam hati juga terharu. “Bagaimana menurutmu, Gin? Apa kamu menerima lamarannya?” tanya Leo saat menoleh pada Gina.Gina tersenyum. Meski dia berusaha anggun dan tenang, namun semua orang yang duduk di meja makan tahu jika Gina bahagia.Pelan-pelan wanita itu mengangguk. “Aku bersedia, Pa,” jawabnya lirih.Semua berseru lega. Lamaran yang tidak formal, karena hanya dihadiri dua keluarga inti.Meski begitu, Damian tetap berencana membuat acara lamaran yang baik untuk Gina. Dia ingin memberikan yang terbaik untuk kekasihnya itu.“Miss Bidadari,” panggil Tasya, setelah makan malam usai. Seluruh keluarga kini berkumpul di ruang tengah.Gina menoleh. Lalu sedikit membungkuk untuk menyamakan kedudukan dengan Tas
Tentu tidak ada yang salah. Jika Steve dan Annie memilih nama Sean sebagai anak mereka, karena Gina tidak mematenkan nama Sean untuk dia seorang.Tapi sebagai seorang ibu yang kehilangan putra bernama Sean, tentu dia terkejut. Seakan mendengar nama anaknya sendiri disebut.“Maafkan aku, Gin,” sesal Annie, ketika Steve telah masuk ke dalam kamar Sean. “Aku juga sangat menyesali hari itu. Jika bisa memutar waktu, aku ingin Sean kembali,”“Sudahlah,” Gina menggeleng. “Harusnya kamu bahagia, karena punya dua anak yang cantik dan tampan,” Gina berusaha menghibur, karena bagaimana pun Annie baru saja melahirkan.“Ada sedikit oleh-oleh untuk Sean,” Lalu Gina mengeluarkan sebuah bingkisan kecil dari dalam tasnya.Ketika Gina mengulurkan tangan, mata Annie menangkap cincin berlian di jari manis Gina.Walaupun tidak diucapkan, tapi radar Annie berbunyi nyaring. Dia tahu jika cincin itu adalah cincin pemberian Damian.“Ini apa?” Annie berusaha tetap fokus–meski hatinya berdenyut sakit. Lalu dia
“Papa kenapa kesini?” tegur Tasya, melotot heran menatap Damian.Damian pun maju ke depan, setelah pintu itu dibuka oleh Tasya.“Papa tentu mau menjenguk Mama, dong. Mau jenguk adik kamu juga,” jawab Damian sabar.Hati Annie berdebar. Persis seperti saat dia pertama kali jatuh cinta pada Damian.Kebaikan hati pria itu, selalu bisa menjadi pesona wanita manapun. Senyumnya yang manis, struktur wajah yang lembut nan penyayang.Annie menyesal, kenapa baru sekarang dia menyadari keajaiban Damian. Kenapa dia rela mengganti kekasihnya itu dengan pria brengsek seperti Steve, hanya untuk menuruti nafsunya.“An?” panggil Gina, melirik Annie yang berdiri di sampingnya. Gina sadar jika Annie tengah melamun dengan mata tak berkedip menatap Damian. “Annie?” ulang Gina.Annie tergagap. Dia terbangun dari lamunannya seperti seseorang yang tertangkap basah melakukan sebuah dosa.“Apa yang kau lakukan disini?!” Steve menyalak tak senang. Dia berjalan cepat menghampiri Damian.“Aku datang bukan untuk me
Damian mengerjapkan mata cepat. Dengan isyarat mata, dia meminta Gina untuk membawa Tasya pulang lebih dulu–karena pembicaraan mulai masuk ke ranah dewasa.Setelah Gina dan Tasya berlalu, Damian berjalan mendekati Annie. “Kenapa tiba-tiba, An?” tanyanya.Annie salah tingkah. Sambil mendekap erat bayinya, dia berusaha mencari jawaban paling masuk akal. Untuk menutupi rasa cintanya yang masih kuat pada Damian.“Apakah kamu tidak ingin tahu?” Annie malah balik bertanya.Damian mengernyitkan dahi. “Itu semua tetap terserah kamu, An. Karena kamu ibunya. Kalau kamu yakin Sean anakmu dan Steve, kenapa perlu tes DNA?”“Aku tidak tahu!” sambar Annie, sedikit gugup. “Aku ingin mempercayai bahwa ini anakmu, Dam,” lirihnya, sembari menunduk karena tak sanggup memandang Damian.Damian memejamkan mata. Lalu menarik nafas panjang. “Baiklah,” ucapnya. “Kalau memang itu yang terbaik dan itu maumu. Aku juga akan menyesal seumur hidup jika tidak berusaha mencari tahu,”Ada secercah kelegaan di wajah Ann
“Apa?” Gina berseru kaget. “Papa sakit apa? Apa yang terjadi?” “Papa sakit karena memikirkan kita,” jawab Wijaya, lunglai. “Aku tahu kamu baru datang, tapi maukah kamu ikut bersamaku menjenguk Papa?”Gina menarik nafas, lalu menjatuhkan diri di atas sofa besar. “Apa Papa sudah tahu semuanya?”“Sepertinya tidak. Kalau sudah tahu, Papa pasti memarahiku habis-habisan,” jawab Wijaya, dengan tatapan mengambang memikirkan sesuatu.“Lalu kenapa Papa bisa jatuh sakit? Papa tidak akan sakit, kecuali banyak yang dia pikirkan,” Gina tetap menuntut jawaban.“Lebih baik kita langsung ke sana, Gin. Ayo ikut bersamaku,” ajak Wijaya, tak mau makin menerka-nerka hal yang dia sendiri juga tidak tahu jawabannya.Gina menggigit bibir. Dia baru saja sampai di rumah, dan tentu ingin istirahat sejenak. Namun mendengar kondisi Hadi Wijaya yang sedang tidak baik-baik saja, membuatnya cemas.Dia pun bangkit. Lalu mengangguk pada Wijaya sebagai tanda bahwa dia setuju untuk pergi.Wijaya menampilkan senyum sin
“Pa!” Gina memekik. Dia menutup mulutnya, mundur dua langkah.Tak menyangka jika Hadi Wijaya sudah membongkar segala rahasianya dan Wijaya.Hadi Wijaya lalu mengibaskan selimut yang menutupi tubuhnya. Dan beranjak berdiri tanpa kendala.Sama sekali tidak tampak jika dia sedang sakit keras.“Kenapa tidak ada yang bisa menjawab?” tanya Hadi Wijaya, bergantian memandang Gina dan Wijaya.Wijaya menunduk. Dia tahu, jika rahasia itu terbongkar, dialah yang akan paling disalahkan.“Hanya dengan cara seperti ini, aku bisa memancing kalian untuk datang berdua,” aku Hadi Wijaya. “Tapi aku tidak menyangka, kalian tega membohongiku,”“Maafkan Na, Pa!” Gina menangis keras. Dia berusaha untuk meraih tangan Hadi Wijaya. “Na–” Dia berusaha menata bicaranya. “Na tidak tahu jika Wijaya tidak memberitahu segalanya pada Papa,”Tatapan Hadi Wijaya nanar. Dia menatap kosong ke depan, dengan perasaan kecewa teramat dalam.“Harusnya kamu bilang pada Papa, Na … “ lirih Hadi Wijaya. “Harusnya kamu tidak menang