Tentu tidak ada yang salah. Jika Steve dan Annie memilih nama Sean sebagai anak mereka, karena Gina tidak mematenkan nama Sean untuk dia seorang.Tapi sebagai seorang ibu yang kehilangan putra bernama Sean, tentu dia terkejut. Seakan mendengar nama anaknya sendiri disebut.“Maafkan aku, Gin,” sesal Annie, ketika Steve telah masuk ke dalam kamar Sean. “Aku juga sangat menyesali hari itu. Jika bisa memutar waktu, aku ingin Sean kembali,”“Sudahlah,” Gina menggeleng. “Harusnya kamu bahagia, karena punya dua anak yang cantik dan tampan,” Gina berusaha menghibur, karena bagaimana pun Annie baru saja melahirkan.“Ada sedikit oleh-oleh untuk Sean,” Lalu Gina mengeluarkan sebuah bingkisan kecil dari dalam tasnya.Ketika Gina mengulurkan tangan, mata Annie menangkap cincin berlian di jari manis Gina.Walaupun tidak diucapkan, tapi radar Annie berbunyi nyaring. Dia tahu jika cincin itu adalah cincin pemberian Damian.“Ini apa?” Annie berusaha tetap fokus–meski hatinya berdenyut sakit. Lalu dia
“Papa kenapa kesini?” tegur Tasya, melotot heran menatap Damian.Damian pun maju ke depan, setelah pintu itu dibuka oleh Tasya.“Papa tentu mau menjenguk Mama, dong. Mau jenguk adik kamu juga,” jawab Damian sabar.Hati Annie berdebar. Persis seperti saat dia pertama kali jatuh cinta pada Damian.Kebaikan hati pria itu, selalu bisa menjadi pesona wanita manapun. Senyumnya yang manis, struktur wajah yang lembut nan penyayang.Annie menyesal, kenapa baru sekarang dia menyadari keajaiban Damian. Kenapa dia rela mengganti kekasihnya itu dengan pria brengsek seperti Steve, hanya untuk menuruti nafsunya.“An?” panggil Gina, melirik Annie yang berdiri di sampingnya. Gina sadar jika Annie tengah melamun dengan mata tak berkedip menatap Damian. “Annie?” ulang Gina.Annie tergagap. Dia terbangun dari lamunannya seperti seseorang yang tertangkap basah melakukan sebuah dosa.“Apa yang kau lakukan disini?!” Steve menyalak tak senang. Dia berjalan cepat menghampiri Damian.“Aku datang bukan untuk me
Damian mengerjapkan mata cepat. Dengan isyarat mata, dia meminta Gina untuk membawa Tasya pulang lebih dulu–karena pembicaraan mulai masuk ke ranah dewasa.Setelah Gina dan Tasya berlalu, Damian berjalan mendekati Annie. “Kenapa tiba-tiba, An?” tanyanya.Annie salah tingkah. Sambil mendekap erat bayinya, dia berusaha mencari jawaban paling masuk akal. Untuk menutupi rasa cintanya yang masih kuat pada Damian.“Apakah kamu tidak ingin tahu?” Annie malah balik bertanya.Damian mengernyitkan dahi. “Itu semua tetap terserah kamu, An. Karena kamu ibunya. Kalau kamu yakin Sean anakmu dan Steve, kenapa perlu tes DNA?”“Aku tidak tahu!” sambar Annie, sedikit gugup. “Aku ingin mempercayai bahwa ini anakmu, Dam,” lirihnya, sembari menunduk karena tak sanggup memandang Damian.Damian memejamkan mata. Lalu menarik nafas panjang. “Baiklah,” ucapnya. “Kalau memang itu yang terbaik dan itu maumu. Aku juga akan menyesal seumur hidup jika tidak berusaha mencari tahu,”Ada secercah kelegaan di wajah Ann
“Apa?” Gina berseru kaget. “Papa sakit apa? Apa yang terjadi?” “Papa sakit karena memikirkan kita,” jawab Wijaya, lunglai. “Aku tahu kamu baru datang, tapi maukah kamu ikut bersamaku menjenguk Papa?”Gina menarik nafas, lalu menjatuhkan diri di atas sofa besar. “Apa Papa sudah tahu semuanya?”“Sepertinya tidak. Kalau sudah tahu, Papa pasti memarahiku habis-habisan,” jawab Wijaya, dengan tatapan mengambang memikirkan sesuatu.“Lalu kenapa Papa bisa jatuh sakit? Papa tidak akan sakit, kecuali banyak yang dia pikirkan,” Gina tetap menuntut jawaban.“Lebih baik kita langsung ke sana, Gin. Ayo ikut bersamaku,” ajak Wijaya, tak mau makin menerka-nerka hal yang dia sendiri juga tidak tahu jawabannya.Gina menggigit bibir. Dia baru saja sampai di rumah, dan tentu ingin istirahat sejenak. Namun mendengar kondisi Hadi Wijaya yang sedang tidak baik-baik saja, membuatnya cemas.Dia pun bangkit. Lalu mengangguk pada Wijaya sebagai tanda bahwa dia setuju untuk pergi.Wijaya menampilkan senyum sin
“Pa!” Gina memekik. Dia menutup mulutnya, mundur dua langkah.Tak menyangka jika Hadi Wijaya sudah membongkar segala rahasianya dan Wijaya.Hadi Wijaya lalu mengibaskan selimut yang menutupi tubuhnya. Dan beranjak berdiri tanpa kendala.Sama sekali tidak tampak jika dia sedang sakit keras.“Kenapa tidak ada yang bisa menjawab?” tanya Hadi Wijaya, bergantian memandang Gina dan Wijaya.Wijaya menunduk. Dia tahu, jika rahasia itu terbongkar, dialah yang akan paling disalahkan.“Hanya dengan cara seperti ini, aku bisa memancing kalian untuk datang berdua,” aku Hadi Wijaya. “Tapi aku tidak menyangka, kalian tega membohongiku,”“Maafkan Na, Pa!” Gina menangis keras. Dia berusaha untuk meraih tangan Hadi Wijaya. “Na–” Dia berusaha menata bicaranya. “Na tidak tahu jika Wijaya tidak memberitahu segalanya pada Papa,”Tatapan Hadi Wijaya nanar. Dia menatap kosong ke depan, dengan perasaan kecewa teramat dalam.“Harusnya kamu bilang pada Papa, Na … “ lirih Hadi Wijaya. “Harusnya kamu tidak menang
“Maaf, Ndre,” Sang sutradara yang sudah menjalin pertemanan lama dengan Andrea itu tampak penuh sesal. “Tapi kontrak kita tidak bisa dilanjutkan,”“Maksudnya?” Andrea–yang sedang santai membaca naskah seketika berdiri. “Tinggal sebulan lagi kita syuting. Jangan macam-macam, ya,”Sutradara itu melepas topinya, membanting pelan ke atas meja. “Tapi kita tidak bisa, Ndre. Aku tidak mau karirku hancur hanya karenamu,”“Bicara yang jelas,” tuntut Andrea, masih tidak mengerti dengan pembahasan temannya itu.Setelah berjuang sendirian tanpa bayang-bayang Wijaya, akhirnya Andrea berhasil mendapatkan peran penting di sebuah film bertema horor.Dengan penuh kerja keras, dia berusaha menampilkan yang terbaik termasuk saat pembacaan naskah yang rutin diadakan tiap hari.Tapi tiba-tiba sang sutradara mengucapkan kata-kata yang mengecewakan Andrea.“Pemilik rumah produksi tidak ingin kamu terlibat dalam film ini,” aku sang sutradara, lirih.Andrea bisa mendengarnya cukup jelas. Tapi dia tetap tidak
Wijaya masih menunggu di depan rumah sang ayah, ketika Gina keluar dari rumah besar itu.“Sudah selesai? Bagaimana Papa?” tanya Wijaya, cemas.Gina melipat bibir. “Ayo pulang,” ajaknya.Wajah Wijaya tampak tersipu, ketika mantan istri yang masih dicintainya itu mengajak pulang bersama.Dia bergegas mengambil mobil, membukakan pintu untuk Gina seperti saat kencan pertama mereka.“Apa yang Papa bicarakan padamu?” tanya Wijaya, di tengah perjalanan mereka.“Tidak ada,” jawab Gina singkat. “Apa yang akan kamu lakukan setelah mengantarku pulang?”Telinga Wijaya berdiri. Dia spontan menegakkan tubuh, berusaha bersikap normal. Meski kini di dalam hati dia memekik girang karena pertanyaan sepele itu.“Sepertinya tidak ada. Kenapa?”Gina berdehem. Dia melipat kedua tangan, membuang muka memandang ke luar jendela.“Kamu mau makan malam bersamaku?” tawar Wijaya. “Sebelum pulang. Mau makan … ““Boleh,” sambar Gina, memotong ucapan Wijaya.Wijaya mengerjap bahagia, dan hampir salah tingkah seperti
Gina perlahan meraih tangan kanan Wijaya, lalu meletakkan cincin itu ke dalam genggaman tangan sang mantan suami.“Maafkan aku … “ ucapnya lirih, tak sanggup memandang Wijaya.Wijaya tak mau tahu. Dia spontan melempar cincin itu ke segala arah.Gina hanya bisa tertunduk pilu melihatnya, tanpa punya daya untuk menahan. Sekaligus pilu melihat kondisi Wijaya."Tidak akan ada yang bisa memakainya," ujar Wijaya. "Hanya kamu yang boleh memakai cincin itu," tegasnya. Kemudian menatap ke dalam mata Gina yang terus-menerus menghindarinya. "Aku tetap tidak akan menyerah, Gin. Bahkan jika harus menghabiskan sisa hidupku. Ini adalah penebusan dosaku untuk anakku, karena pernah menyia-nyiakan mamanya,"Air mata Gina menetes tak bisa dia hindari lagi. Tak tega hati melihat Wijaya, karena sorot mata pria itu selalu mengingatkannya akan Sean."Jika kamu memang ingin hidup bersama pria itu, aku akan selalu mendoakan kebahagiaanmu, Gin. Tapi jangan memintaku untuk melupakanmu,""Kenapa kamu seperti ini
"Miss Gina?" Sari ternganga lebar, ketika dia membuka pintu depan dan sosok Gina sudah berdiri di sana dengan senyuman manis.Sari spontan memeluk Gina dan tangisnya pecah. "Ibu sangat merindukanmu, Gina! Kemana saja kamu setahun ini?"Gina balas memeluk Sari. Dia tidak bicara apapun, hanya tersenyum lega karena ternyata dia masih diterima cukup hangat di dalam keluarga Damian.Tasya muncul, dengan wajahnya yang kaget luar biasa. Tak menyangka Gina akan datang kembali ke rumahnya."Tasya, gimana kabarmu?" tegur Gina ramah.Tasya masih menganga, dengan mata mengerjap beberapa kali. "T-Tante Gina?" ucapnya terbata-bata. Gina berjalan mendekat. Lalu mendekap gadis yang kini tidak begitu kecil itu."Kamu sudah tambah besar, ya. Miss kangen sama Tasya," ucap Gina dalam dekapannya.Tidak ada reaksi yang keluar dari bibir Tasya. Tapi dia tidak menolak saat Gina memeluk erat tubuhnya. Yang dia lakukan hanya bergantian memandang Damian dan Sari, yang terus tersenyum haru."Tante Gina … " pang
"Terima kasih sudah mengantarku, Dam," tukas Annie saat mobil Damian berhenti tepat di depan pintu masuk kantornya.Damian mengangguk. "Ibu sangat senang menjaga Sean, jadi kamu fokus saja pada kerjaanmu,"Annie tersipu senang. Seakan mereka berdua masih sebagai sepasang suami istri yang bahagia, apalagi dari perlakuan Damian padanya yang sangat sopan."Apakah kamu akan pulang telat hari ini?" tanya Annie. Tampak ragu untuk bicara, tapi dorongan di dalam dirinya kelewat kuat untuk bisa dicegah. "Maukah pulang bersama?" ajaknya.Damian hening beberapa detik. Untuk kemudian mengangguk. "Akan kuusahakan pulang cepat,"Annie berseru bahagia dalam hati. Sangat senang karena Damian menyambut baik segala usahanya untuk kembali dekat itu. Dia berusaha menampik kenyataan, bahwa Damian sedang tidak baik-baik saja.Dia tahu, Damian dan Gina batal menikah. Tapi Annie ingin menuruti egonya sendiri kali ini, karena dia tidak ingin kehilangan Damian untuk kedua kalinya.Sore harinya, Damian benar-be
Hati Damian terasa amat nyeri, mendengar perkataan secara sepihak itu dari Gina. Bahkan ketika dia mencoba untuk menelan ludah, seperti ada yang mengganjal. Sesuatu yang sangat menyakitkan hingga membuat suaranya tercekat."Aku tidak ingin menjadi trauma untuk Tasya," lanjut Gina, sangat nekat meski suaranya sudah bergetar menahan tangis. "Dia adalah darah dagingmu. Sudah menjadi bagian dalam kehidupanmu. Mengabaikan pendapatnya dalam setiap keputusanmu, akan membuatnya trauma di masa depan,"Damian masih tidak menjawab. Hanya bola matanya yang terus bergetar. Kemudian pelan-pelan Gina melepaskan cincin berlian di jari manisnya, pemberian Damian. Dia serahkan kembali cincin itu, ke dalam genggaman tangan Damian yang terasa amat dingin."Aku menyayangimu, aku juga menyayangi Tasya. Tapi kebahagiaan kalian berdua bukanlah aku," isak Gina. "Aku tidak ingin menjadi mimpi buruk Tasya. Karena setiap kali melihatnya, selalu mengingatkanku akan Sean. Aku ingin menjadi kenangan manis untuknya
Wijaya berulang kali mencuri pandang pada Gina yang duduk di samping kemudi mobilnya. Tampak wanita cantik itu terisak pelan, dengan kepala yang terus menghadap keluar jendela mobil.Wijaya ingin bertanya, tapi lidahnya kelu hingga menahan hasratnya untuk tidak mengeluarkan suara apapun. Dia tahu, Gina sedang terluka. Gina melihat dan mendengar dengan inderanya sendiri, bagaimana sang calon suami bercengkerama dengan si mantan istri."Gina? Sudah sampai," tukas Wijaya, ketika mobilnya berhenti di depan pintu masuk rumah Gina.Bahkan wanita itu juga tidak menyadari jika Wijaya sempat bertukar sapa dengan satpam rumahnya sebelum mobil itu masuk."Terimakasih, Jay," ucapnya pelan."Atas apa?""Karena mengantarku pulang," timpal Gina, dengan wajah lesu.Wijaya hanya diam, terus memandangi Gina dengan tatapan iba. Dia selalu memiliki titik lembut tersendiri di dalam hatinya, hanya untuk Gina.Lantas Gina–dengan gerakan lambat keluar dari dalam mobil Wijaya. Tanpa mengucapkan apapun lagi, w
Gina mengangguk. Lalu mereka berdua kembali kikuk berhadapan satu sama lain. Tak ada kata yang sanggup keluar dari bibir masing-masing, karena ada kesalahpahaman yang muncul di dalam otak Gina dan Damian. "Damian," panggil Rudi, yang baru saja tiba. Kemudian dia cukup terkejut melihat Gina, namun berusaha untuk hanya fokus pada Damian.Damian menyahut dengan senyuman. Sementara Rudi–beserta Irene, masih berdiri di depan Damian dengan ekspresi tegang. Tampak ada sesuatu yang mengganjal."Dam, maafkan Papa dan Mama," tukas Rudi tiba-tiba. Hingga membuat siapa saja yang ada di sana terkejut. "Papa dan Mama selama ini selalu bersikap tak adil padamu," lanjutnya.Bahkan Damian hingga tergagap karena tak menyangka akan mendapatkan ucapan maaf dari Rudi. "Papa … " Annie berkaca-kaca melihat sikap papanya. Dia tanpa sadar berjalan mendekati Damian dan Rudi. "Kenapa Pak Rudi … " Damian kehabisan kata-kata. Bahkan untuk sekedar tersenyum dan memandang Rudi pun dia tak sanggup. Semuanya sungg
“Jay?” panggil Gina.Wijaya hanya menautkan alis sebagai respon.“Bagaimana kamu tahu aku diculik disana?” tanya Gina.Wijaya lalu duduk lebih santai, menikmati perjalanan karena Emma pun juga mengemudi dengan kecepatan sedang.“Aku datang ke sekolah untuk mengajakmu pulang bersama. Tapi kamu malah naik mobil bersama seorang pria asing,” jelas Wijaya. “Kukira itu Damian, tapi aku hafal dengan mobilnya. Jadi aku bisa simpulkan bahwa itu bukan Damina,”“Lalu?” Gina sudah tidak sabar.“Aku membuntuti dari belakang. Saat sadar mobil itu masuk ke jalan yang sempit dan sepi, aku langsung menghubungi Emma,” lanjut Wijaya.“Tuan meminta saya menghubungi polisi. Jadi saya bersama polisi datang. Tapi kami tidak langsung menyergap, karena Tuan ingin mengatur strategi agar semuanya bisa tertangkap,” timpal Emma cukup detail. “Saya juga tidak menyangka, Steve yang menjadi dalang dibalik penculikan ini,” Dia menunduk, merasa menyesal juga bersalah. “Kenapa dia tiba-tiba menculik Nyonya?”Gina angka
Dengan cepat Steve membuka lakban yang menutup mulut Gina. Membuat Gina meringis merasakan rekatan kuat itu ditarik paksa dari kulitnya.“Kamu terlalu meremehkanku, Gina. Kamu pikir, selama ini aku hanya diam dan menontonmu terus melakukan hal-hal licik,” ujar Steve.Gina balas menatapnya dengan perasaan tenang. “Apa kamu sadar perbuatanmu ini hanya akan makin merugikanmu? Kamu lupa siapa aku?”Plak!Tiba-tiba Steve menampar pipi Gina sekerasnya. Ada kilatan murka di kedua matanya yang menyala.“Kamu kira, kamulah pusat dunia? Kamulah penguasa dunia ini?” bentak Steve. “Jangan lupakan statusmu yang hanya seorang janda, Gina Duran. Seberapa kaya dirimu, kamu hanyalah janda menyedihkan di mata semua orang,” olok Steve, lalu tertawa terbahak-bahak penuh kemenangan.Gina tidak menanggapi. Selain karena tubuhnya masih terikat, dia juga tidak ingin menggunakan banyak tenaganya hanya untuk meladeni bualan Steve.Tiba-tiba Steve mencengkeram pipi Gina. “Aku akan menghancurkan hidupmu. Setidak
“Masuk!” seru Steve, ketika pintu ruang kerjanya diketuk.Brak!Annie mendobrak pintu cukup keras, dan masuk dengan langkah tegap ke dalam ruang kerja Steve.Steve yang saat itu sedang fokus pada lembar dokumen di depannya, hanya bisa terbelalak. Namun untungnya sang perawat buru-buru menutup pintu kembali, agar pasien tidak dapat melihat keributan itu.“An, ada apa?” tanya Steve heran. “Kamu sadar nggak, kamu sedang marah-marah di rumah sakit?”“Aku tidak peduli!” sentak Annie. Dia kemudian melempar dokumen-dokumen tentang Steve yang telah dikumpulkan Nina untuknya.“Sudah berapa kali kubilang padamu? Jangan coba-coba membodohiku!” maki Annie. “Kamu sengaja mendekatiku, mempertahankan Sean, karena kamu ingin menyelamatkan reputasi dan klinik pribadimu, kan?”Steve tidak mau membuka dokumen itu, karena sadar jika dia sudah tertangkap basah. Yang bisa dia lakukan kini adalah berusaha menenangkan Annie.“An, tenang dulu. Akan kujelaskan semuanya,” pinta Steve, berusaha meraih tubuh Anni
“Silahkan Bu Gina,” Rudi mempersilahkan dengan sikapnya yang terus saja pongah.Gina menegakkan posisi duduknya. Dengan mata lebih tajam, dia melipat kedua tangan di atas meja demi saling berhadapan dengan lebih fokus pada Rudi Evan.“Apakah Anda tahu, bagaimana anak saya bisa meninggal?” tanya Gina.“Kenapa Anda … ““Jawab saja, Pak Rudi,” potong Gina. “Apakah Anda tahu, siapa yang menyebabkan anak saya meninggal?”Nafas Rudi tercekat. “J-jadi Anda mengancam saya?”Gina menggeleng. “Saya tidak pernah mengancam siapapun, selama orang itu tidak mengusik saya. Tapi mencampuri urusan pribadi saya, sudah menjadi hal yang tidak akan saya biarkan begitu saja,” terang Gina. “Sepertinya Anda harus tahu tentang itu,”“Jika Damian tahu Sean anak kandungnya, bukankah dia menyesal sudah berpisah dengan Annie?”“Siapa yang meminta mereka berpisah, Pak Rudi? Bukankah, anda sendiri?”Sekali lagi Rudi tercekat. Tidak m