“Apa?” Gina berseru kaget. “Papa sakit apa? Apa yang terjadi?” “Papa sakit karena memikirkan kita,” jawab Wijaya, lunglai. “Aku tahu kamu baru datang, tapi maukah kamu ikut bersamaku menjenguk Papa?”Gina menarik nafas, lalu menjatuhkan diri di atas sofa besar. “Apa Papa sudah tahu semuanya?”“Sepertinya tidak. Kalau sudah tahu, Papa pasti memarahiku habis-habisan,” jawab Wijaya, dengan tatapan mengambang memikirkan sesuatu.“Lalu kenapa Papa bisa jatuh sakit? Papa tidak akan sakit, kecuali banyak yang dia pikirkan,” Gina tetap menuntut jawaban.“Lebih baik kita langsung ke sana, Gin. Ayo ikut bersamaku,” ajak Wijaya, tak mau makin menerka-nerka hal yang dia sendiri juga tidak tahu jawabannya.Gina menggigit bibir. Dia baru saja sampai di rumah, dan tentu ingin istirahat sejenak. Namun mendengar kondisi Hadi Wijaya yang sedang tidak baik-baik saja, membuatnya cemas.Dia pun bangkit. Lalu mengangguk pada Wijaya sebagai tanda bahwa dia setuju untuk pergi.Wijaya menampilkan senyum sin
“Pa!” Gina memekik. Dia menutup mulutnya, mundur dua langkah.Tak menyangka jika Hadi Wijaya sudah membongkar segala rahasianya dan Wijaya.Hadi Wijaya lalu mengibaskan selimut yang menutupi tubuhnya. Dan beranjak berdiri tanpa kendala.Sama sekali tidak tampak jika dia sedang sakit keras.“Kenapa tidak ada yang bisa menjawab?” tanya Hadi Wijaya, bergantian memandang Gina dan Wijaya.Wijaya menunduk. Dia tahu, jika rahasia itu terbongkar, dialah yang akan paling disalahkan.“Hanya dengan cara seperti ini, aku bisa memancing kalian untuk datang berdua,” aku Hadi Wijaya. “Tapi aku tidak menyangka, kalian tega membohongiku,”“Maafkan Na, Pa!” Gina menangis keras. Dia berusaha untuk meraih tangan Hadi Wijaya. “Na–” Dia berusaha menata bicaranya. “Na tidak tahu jika Wijaya tidak memberitahu segalanya pada Papa,”Tatapan Hadi Wijaya nanar. Dia menatap kosong ke depan, dengan perasaan kecewa teramat dalam.“Harusnya kamu bilang pada Papa, Na … “ lirih Hadi Wijaya. “Harusnya kamu tidak menang
“Maaf, Ndre,” Sang sutradara yang sudah menjalin pertemanan lama dengan Andrea itu tampak penuh sesal. “Tapi kontrak kita tidak bisa dilanjutkan,”“Maksudnya?” Andrea–yang sedang santai membaca naskah seketika berdiri. “Tinggal sebulan lagi kita syuting. Jangan macam-macam, ya,”Sutradara itu melepas topinya, membanting pelan ke atas meja. “Tapi kita tidak bisa, Ndre. Aku tidak mau karirku hancur hanya karenamu,”“Bicara yang jelas,” tuntut Andrea, masih tidak mengerti dengan pembahasan temannya itu.Setelah berjuang sendirian tanpa bayang-bayang Wijaya, akhirnya Andrea berhasil mendapatkan peran penting di sebuah film bertema horor.Dengan penuh kerja keras, dia berusaha menampilkan yang terbaik termasuk saat pembacaan naskah yang rutin diadakan tiap hari.Tapi tiba-tiba sang sutradara mengucapkan kata-kata yang mengecewakan Andrea.“Pemilik rumah produksi tidak ingin kamu terlibat dalam film ini,” aku sang sutradara, lirih.Andrea bisa mendengarnya cukup jelas. Tapi dia tetap tidak
Wijaya masih menunggu di depan rumah sang ayah, ketika Gina keluar dari rumah besar itu.“Sudah selesai? Bagaimana Papa?” tanya Wijaya, cemas.Gina melipat bibir. “Ayo pulang,” ajaknya.Wajah Wijaya tampak tersipu, ketika mantan istri yang masih dicintainya itu mengajak pulang bersama.Dia bergegas mengambil mobil, membukakan pintu untuk Gina seperti saat kencan pertama mereka.“Apa yang Papa bicarakan padamu?” tanya Wijaya, di tengah perjalanan mereka.“Tidak ada,” jawab Gina singkat. “Apa yang akan kamu lakukan setelah mengantarku pulang?”Telinga Wijaya berdiri. Dia spontan menegakkan tubuh, berusaha bersikap normal. Meski kini di dalam hati dia memekik girang karena pertanyaan sepele itu.“Sepertinya tidak ada. Kenapa?”Gina berdehem. Dia melipat kedua tangan, membuang muka memandang ke luar jendela.“Kamu mau makan malam bersamaku?” tawar Wijaya. “Sebelum pulang. Mau makan … ““Boleh,” sambar Gina, memotong ucapan Wijaya.Wijaya mengerjap bahagia, dan hampir salah tingkah seperti
Gina perlahan meraih tangan kanan Wijaya, lalu meletakkan cincin itu ke dalam genggaman tangan sang mantan suami.“Maafkan aku … “ ucapnya lirih, tak sanggup memandang Wijaya.Wijaya tak mau tahu. Dia spontan melempar cincin itu ke segala arah.Gina hanya bisa tertunduk pilu melihatnya, tanpa punya daya untuk menahan. Sekaligus pilu melihat kondisi Wijaya."Tidak akan ada yang bisa memakainya," ujar Wijaya. "Hanya kamu yang boleh memakai cincin itu," tegasnya. Kemudian menatap ke dalam mata Gina yang terus-menerus menghindarinya. "Aku tetap tidak akan menyerah, Gin. Bahkan jika harus menghabiskan sisa hidupku. Ini adalah penebusan dosaku untuk anakku, karena pernah menyia-nyiakan mamanya,"Air mata Gina menetes tak bisa dia hindari lagi. Tak tega hati melihat Wijaya, karena sorot mata pria itu selalu mengingatkannya akan Sean."Jika kamu memang ingin hidup bersama pria itu, aku akan selalu mendoakan kebahagiaanmu, Gin. Tapi jangan memintaku untuk melupakanmu,""Kenapa kamu seperti ini
“Dam, ada yang nyariin,” ujar Ivan, ketika Damian sedang sibuk dengan naskahnya di dalam kantor rumah produksi.Damian menoleh enggan. “Apa lagi?”Ivan mendekat, lalu menepuk pundak Damian. “Kau jangan sampai mengacaukannya, ya. Orang yang ingin bertemu denganmu adalah salah satu konglomerat terkaya dan dia bisa jadi sumber investasi film-film kita,”Radar Damian berbunyi. Seorang konglomerat tidak mungkin ingin bertemu dengannya begitu saja, kecuali mereka memang sudah saling kenal sebelumnya.Dan insting Damian terarah pada satu nama. Dia berdoa semoga instingnya salah.“S-selamat pagi?” Damian keheranan.Yang berdiri menungguinya bukanlah Wijaya–seperti yang dia duga. Orang itu lebih tua, dengan perawakan tegap untuk orang seusianya.“Jadi kamu Damian Chase?” tebak Hadi Wijaya dengan wajah cerah pagi ini.Dua hari setelah pertemuannya dengan Gina sore itu, Hadi Wijaya meminta Burhan untuk mencari tahu tentang pria yang menjadi tunangan Gina.Dan Burhan mendapatkan nama Damian sebag
“Nyonya, maaf saya memanggil Anda tiba-tiba,” ujar Emma, sesaat setelah dia membuka pintu apartemen dan melihat Gina dibalik pintu itu.Gina menerobos masuk dengan tergesa. “Maaf aku baru bisa datang setelah pulang sekolah,”“Tidak apa-apa, Nyonya. Saya tetap senang Nyonya mau datang,” Emma segera menyuguhkan minuman di hadapan Gina.“Dimana Violet?”“Dia sedang tidur. Kenyang setelah menyusu lama,” Emma tersenyum pelan ketika membahas Violet.“Ngomong-ngomong, ada apa, Em? Sepertinya sangat penting,”Emma buru-buru mengambil sebuah berkas. Dan dia serahkan pada Gina. “Saya mendapat informasi ini dari Ajeng,”Gina pun membuka berkas itu. Sebuah dokumen, yang didalamnya berisi perjanjian antara Steve dengan ayahnya.“Ayah Steve berjanji akan memberikan seluruh aset kekayaannya, jika Steve menikah dan memiliki anak dengan Annie,” Emma memperjelas isi dari surat perjanjian itu.“Kenapa sampai membuat hal seperti ini?”“Steve orang yang licik, Nyonya. Dia tentu tidak ingin rugi. Bahkan ay
“Tidak! Itu bohong!” jerit Steve. Dia berlari kencang menyambar kertas yang kini dipegang Annie.Tanpa pertimbangan Steve menyobek kertas itu hingga menjadi serpihan halus. Membuat siapapun ternganga dibuatnya.Steve menunjuk ke arah Gina. “Dia pasti sudah memalsukannya! Dia sengaja melakukan ini!” tudingnya.Gina justru tersenyum enteng, sama sekali tidak cemas. “Kalau benar, apa untungnya buatku? Harusnya aku membuat salinan bahwa anak itu bukan anak Damian,” jelasnya.Dalam hati Annie berseru setuju. Meskipun dia senang dan lega karena Sean adalah anak Damian, namun melihat Gina membuatnya tidak tega.Kemudian Annie melirik ke arah Damian, yang tatapannya terus tertuju pada Gina.Hati Annie berdenyut sakit. Kenyataan bahwa dia melahirkan anak Damian pun tetap tak bisa membuat Damian berpaling dari Gina.“Kau … “ Steve mencengkeram baju Gina.“Hentikan, Steve!” Damian mendorong tubuh Steve menjauhi Gina. Matanya melotot murka. “Jangan berani-beraninya kau menyentuh Gina!” bentaknya.