“Nyonya, maaf saya memanggil Anda tiba-tiba,” ujar Emma, sesaat setelah dia membuka pintu apartemen dan melihat Gina dibalik pintu itu.Gina menerobos masuk dengan tergesa. “Maaf aku baru bisa datang setelah pulang sekolah,”“Tidak apa-apa, Nyonya. Saya tetap senang Nyonya mau datang,” Emma segera menyuguhkan minuman di hadapan Gina.“Dimana Violet?”“Dia sedang tidur. Kenyang setelah menyusu lama,” Emma tersenyum pelan ketika membahas Violet.“Ngomong-ngomong, ada apa, Em? Sepertinya sangat penting,”Emma buru-buru mengambil sebuah berkas. Dan dia serahkan pada Gina. “Saya mendapat informasi ini dari Ajeng,”Gina pun membuka berkas itu. Sebuah dokumen, yang didalamnya berisi perjanjian antara Steve dengan ayahnya.“Ayah Steve berjanji akan memberikan seluruh aset kekayaannya, jika Steve menikah dan memiliki anak dengan Annie,” Emma memperjelas isi dari surat perjanjian itu.“Kenapa sampai membuat hal seperti ini?”“Steve orang yang licik, Nyonya. Dia tentu tidak ingin rugi. Bahkan ay
“Tidak! Itu bohong!” jerit Steve. Dia berlari kencang menyambar kertas yang kini dipegang Annie.Tanpa pertimbangan Steve menyobek kertas itu hingga menjadi serpihan halus. Membuat siapapun ternganga dibuatnya.Steve menunjuk ke arah Gina. “Dia pasti sudah memalsukannya! Dia sengaja melakukan ini!” tudingnya.Gina justru tersenyum enteng, sama sekali tidak cemas. “Kalau benar, apa untungnya buatku? Harusnya aku membuat salinan bahwa anak itu bukan anak Damian,” jelasnya.Dalam hati Annie berseru setuju. Meskipun dia senang dan lega karena Sean adalah anak Damian, namun melihat Gina membuatnya tidak tega.Kemudian Annie melirik ke arah Damian, yang tatapannya terus tertuju pada Gina.Hati Annie berdenyut sakit. Kenyataan bahwa dia melahirkan anak Damian pun tetap tak bisa membuat Damian berpaling dari Gina.“Kau … “ Steve mencengkeram baju Gina.“Hentikan, Steve!” Damian mendorong tubuh Steve menjauhi Gina. Matanya melotot murka. “Jangan berani-beraninya kau menyentuh Gina!” bentaknya.
Damian mengepalkan tangan erat. Sembari menghela nafas, dia berusaha mengumpulkan keberanian untuk lebih dulu meminta maaf pada Gina.“Aku pulang dulu,” pamit Gina, putar badan untuk meninggalkan Damian.Damian ingin mencegah. Tapi tak punya cukup kekuatan untuk memanggil nama Gina. Yang ada dia membiarkan wanita itu berjalan makin jauh, meninggalkannya dalam kesalahpahaman.Di dalam mobil, Gina menangis. Akhirnya dia berhasil bertemu Damian, tapi pria itu bahkan tidak mengucapkan sepatah katapun padanya.Timbul kecemasan, akankah Gina kembali dicampakkan seperti saat dia bersama Wijaya.“Gin, kamu dimana?” tanya Eli, dalam sambungan telepon.“Di rumah, Ma,” Gina berusaha menyembunyikan tangisnya.“Bohong! Mama sekarang ada di depan rumahmu dan kamu nggak ada,” sanggah Eli. “Gin, kamu menangis?” Nadanya naik penuh kekhawatiran.“Sebentar lagi Gina sampai, Ma,” Klik. Gina memutus sambungan. Kemudian lanjut menangis, membayangkan harapannya akan pernikahan indah berdasarkan cinta, pupus
Hari ini adalah hari Sabtu, dan Gina tidak perlu pergi ke sekolah karena libur. Maka dia memutuskan untuk mengunjungi makam Sean di pagi hari, sebelum matahari mulai naik lebih tinggi.Dia membersihkan sisa-sisa buket bunga yang telah mengering dan menggantinya dengan buket mawar putih yang masih segar.Tak lupa dia juga membersihkan tanaman-tanaman liar yang tumbuh di sekitar makam itu.“Sean, Mama kangen sama Sean,” gumam Gina, fokus menatap batu nisan bertuliskan nama Sean Wijaya.Sambil membenarkan letak kacamata hitamnya, Gina mulai menarik nafas. “Apakah memang Mama tidak pantas bahagia? Sepertinya hanya Sean yang bisa Mama cintai setulus hati,”Setitik air mata jatuh mengalir di pipi, namun Gina biarkan. Karena tidak ada siapapun yang sedang melihatnya menangis.“Mama ingin dicintai, seperti Mama mencintai Sean. Tapi sepertinya permintaan Mama terlalu muluk,” Dia mulai memainkan cincin berlian di jari manis.Sembari menatap nanar cincin itu, Gina mantap untuk melepasnya. Dia be
“Kita sudah sampai,” tukas Damian, ketika mobilnya mulai memasuki pelataran hotel bintang lima itu.Gina mendongak, untuk melihat tinggi gedung pencakar langit dari hotelnya. “Sudah sangat lama aku tidak ke sini,”“Maafkan aku, karena hanya bisa membawamu ke hotel papamu,” seloroh Damian, niat bercanda.Gina tertawa lepas. “Apa aku perlu menyamar menjadi Fiona agar tidak ada pegawai yang tahu?”Damian ikut tertawa. Lalu mencolek jahil dagu Gina. “Aku senang melihatmu tertawa. Semuanya menjadi sangat indah untukku,”“Apakah semua penulis segombal ini?” celetuk Gina, tersipu malu.Mereka berdua saling bercanda. Sesekali tertawa, kemudian tersipu seperti pasangan muda yang sedang dimabuk cinta.Ketika mereka memasuki lobi hotel, para pegawai lama yang mengenali Gina otomatis membungkuk hormat.Damian makin mengencangkan genggamannya pada tangan Gina, seakan memberitahu pada semua orang bahwa Gina miliknya.“Kamu masih ingat kamar yang kita tempati, ya?” Gina terpana, karena Damian memilih
Tanpa dia sendiri sadari, Andrea mundur dua langkah. Wijaya terlalu menakutkan untuk dia hadapi terlalu dekat.“Kamu sudah mengganggu ketertiban di gedungku,” ucap Wijaya. “Termasuk membuat kesempatan viral di dalamnya. Apakah kamu tahu, haram bagi siapapun merekam di gedung ini?”“Mereka yang merekam!” Andrea membela diri. “Dan siapa yang memancing mereka untuk merekam?” Wijaya justru membalik pertanyaan.Andrea gelagapan. Seakan dia ingin memutar balik waktu, untuk tidak menyetujui pertemuan empat mata antara dia dan Wijaya.“Kini aku tidak akan melepasmu, Andrea,” simpul Wijaya. “Aku akan memburumu, kemanapun. Termasuk memastikan tidak ada seorang pun yang berani memberimu pekerjaan,”“Dasar iblis!!” umpat Andrea keras. “Jangan karena kau orang kaya, lalu bisa seenaknya padaku!”“Jika aku iblis, kau lebih iblis,” olok Wijaya enteng. “Kalau bukan karenamu, aku tidak akan bercerai dan kehilangan anakku,”Andrea tertawa keras. “Oh, jadi kau menyalahkanku? Siapa suruh kau jadi pria bo
“Steve, kapan kamu mau bawa Annie dan anakmu main ke sini?” tanya Sisca, ketika keluarganya berkumpul di akhir pekan untuk makan siang bersama.“Kapan-kapan, Ma,” jawab Steve singkat. Kembali sibuk dengan hidangan di depannya.“Kapannya itu kapan? Mama sudah nggak sabar pengen gendong cucu,”“Hus!” seru Edo, ayah Steve. “Steve harusnya segera menikah dengan Annie sebelum membawanya ke sini,” Edo melirik Steve, ingin tahu reaksinya. “Kapan kamu akan menikahi Annie?”“Secepatnya,”Brak! Tiba-tiba Edo menggebrak meja, membuat siapapun kaget.“Jangan main-main dengan Papa, Steve! Perjanjian itu sudah ditulis, dan syaratnya hanya jika kamu menikah dengan Annie,”“Aku tahu, Pa! Beri aku waktu, karena Annie juga baru pulih dari operasi,” Steve balas membentak.Padahal dalam hati timbul keraguan. Meskipun dia sangat ingin mewarisi seluruh kekayaan sang ayah, namun jauh di lubuk hatinya, dia ingin bersama anak kandungnya.Dan anak kandung Steve adalah anak Emma Dunn. Sementara Sean, anak Annie
Empat bulan kemudian …“Tasya, kamu mau pakai baju warna apa untuk acaranya nanti?” tanya Sari, ketika mereka sedang berbelanja kain untuk pesta pernikahan Damian dan Gina dua bulan lagi.Tasya sibuk mengamati satu-persatu kain yang disodorkan oleh Sari."Tasya, kamu seneng nggak, Papa mau menikah sama Miss Gina?" Sari mencuri kesempatan untuk bertanya, disela-sela Tasya sedang memilih.Anak kecil itu mengangguk riang. "Miss Gina baik sama Tasya. Miss Gina juga cantik, jadi Tasya suka Papa menikah sama Miss Gina," jelas Tasya panjang lebar.Hari ini mereka berdua hanya berbelanja bersama, karena Gina dan Damian memiliki urusan mendesak yang harus segera diselesaikan. Yaitu mengunjungi Hadi Wijaya. ***Damian sudah bercerita tentang pertemuan singkatnya bersama Hadi Wijaya beberapa bulan lalu, dan sebagai seorang anak yang baik, Gina tidak ingin menutupi kabar gembira ini darinya.“Kenapa kamu sangat peduli