Damian mengepalkan tangan erat. Sembari menghela nafas, dia berusaha mengumpulkan keberanian untuk lebih dulu meminta maaf pada Gina.“Aku pulang dulu,” pamit Gina, putar badan untuk meninggalkan Damian.Damian ingin mencegah. Tapi tak punya cukup kekuatan untuk memanggil nama Gina. Yang ada dia membiarkan wanita itu berjalan makin jauh, meninggalkannya dalam kesalahpahaman.Di dalam mobil, Gina menangis. Akhirnya dia berhasil bertemu Damian, tapi pria itu bahkan tidak mengucapkan sepatah katapun padanya.Timbul kecemasan, akankah Gina kembali dicampakkan seperti saat dia bersama Wijaya.“Gin, kamu dimana?” tanya Eli, dalam sambungan telepon.“Di rumah, Ma,” Gina berusaha menyembunyikan tangisnya.“Bohong! Mama sekarang ada di depan rumahmu dan kamu nggak ada,” sanggah Eli. “Gin, kamu menangis?” Nadanya naik penuh kekhawatiran.“Sebentar lagi Gina sampai, Ma,” Klik. Gina memutus sambungan. Kemudian lanjut menangis, membayangkan harapannya akan pernikahan indah berdasarkan cinta, pupus
Hari ini adalah hari Sabtu, dan Gina tidak perlu pergi ke sekolah karena libur. Maka dia memutuskan untuk mengunjungi makam Sean di pagi hari, sebelum matahari mulai naik lebih tinggi.Dia membersihkan sisa-sisa buket bunga yang telah mengering dan menggantinya dengan buket mawar putih yang masih segar.Tak lupa dia juga membersihkan tanaman-tanaman liar yang tumbuh di sekitar makam itu.“Sean, Mama kangen sama Sean,” gumam Gina, fokus menatap batu nisan bertuliskan nama Sean Wijaya.Sambil membenarkan letak kacamata hitamnya, Gina mulai menarik nafas. “Apakah memang Mama tidak pantas bahagia? Sepertinya hanya Sean yang bisa Mama cintai setulus hati,”Setitik air mata jatuh mengalir di pipi, namun Gina biarkan. Karena tidak ada siapapun yang sedang melihatnya menangis.“Mama ingin dicintai, seperti Mama mencintai Sean. Tapi sepertinya permintaan Mama terlalu muluk,” Dia mulai memainkan cincin berlian di jari manis.Sembari menatap nanar cincin itu, Gina mantap untuk melepasnya. Dia be
“Kita sudah sampai,” tukas Damian, ketika mobilnya mulai memasuki pelataran hotel bintang lima itu.Gina mendongak, untuk melihat tinggi gedung pencakar langit dari hotelnya. “Sudah sangat lama aku tidak ke sini,”“Maafkan aku, karena hanya bisa membawamu ke hotel papamu,” seloroh Damian, niat bercanda.Gina tertawa lepas. “Apa aku perlu menyamar menjadi Fiona agar tidak ada pegawai yang tahu?”Damian ikut tertawa. Lalu mencolek jahil dagu Gina. “Aku senang melihatmu tertawa. Semuanya menjadi sangat indah untukku,”“Apakah semua penulis segombal ini?” celetuk Gina, tersipu malu.Mereka berdua saling bercanda. Sesekali tertawa, kemudian tersipu seperti pasangan muda yang sedang dimabuk cinta.Ketika mereka memasuki lobi hotel, para pegawai lama yang mengenali Gina otomatis membungkuk hormat.Damian makin mengencangkan genggamannya pada tangan Gina, seakan memberitahu pada semua orang bahwa Gina miliknya.“Kamu masih ingat kamar yang kita tempati, ya?” Gina terpana, karena Damian memilih
Tanpa dia sendiri sadari, Andrea mundur dua langkah. Wijaya terlalu menakutkan untuk dia hadapi terlalu dekat.“Kamu sudah mengganggu ketertiban di gedungku,” ucap Wijaya. “Termasuk membuat kesempatan viral di dalamnya. Apakah kamu tahu, haram bagi siapapun merekam di gedung ini?”“Mereka yang merekam!” Andrea membela diri. “Dan siapa yang memancing mereka untuk merekam?” Wijaya justru membalik pertanyaan.Andrea gelagapan. Seakan dia ingin memutar balik waktu, untuk tidak menyetujui pertemuan empat mata antara dia dan Wijaya.“Kini aku tidak akan melepasmu, Andrea,” simpul Wijaya. “Aku akan memburumu, kemanapun. Termasuk memastikan tidak ada seorang pun yang berani memberimu pekerjaan,”“Dasar iblis!!” umpat Andrea keras. “Jangan karena kau orang kaya, lalu bisa seenaknya padaku!”“Jika aku iblis, kau lebih iblis,” olok Wijaya enteng. “Kalau bukan karenamu, aku tidak akan bercerai dan kehilangan anakku,”Andrea tertawa keras. “Oh, jadi kau menyalahkanku? Siapa suruh kau jadi pria bo
“Steve, kapan kamu mau bawa Annie dan anakmu main ke sini?” tanya Sisca, ketika keluarganya berkumpul di akhir pekan untuk makan siang bersama.“Kapan-kapan, Ma,” jawab Steve singkat. Kembali sibuk dengan hidangan di depannya.“Kapannya itu kapan? Mama sudah nggak sabar pengen gendong cucu,”“Hus!” seru Edo, ayah Steve. “Steve harusnya segera menikah dengan Annie sebelum membawanya ke sini,” Edo melirik Steve, ingin tahu reaksinya. “Kapan kamu akan menikahi Annie?”“Secepatnya,”Brak! Tiba-tiba Edo menggebrak meja, membuat siapapun kaget.“Jangan main-main dengan Papa, Steve! Perjanjian itu sudah ditulis, dan syaratnya hanya jika kamu menikah dengan Annie,”“Aku tahu, Pa! Beri aku waktu, karena Annie juga baru pulih dari operasi,” Steve balas membentak.Padahal dalam hati timbul keraguan. Meskipun dia sangat ingin mewarisi seluruh kekayaan sang ayah, namun jauh di lubuk hatinya, dia ingin bersama anak kandungnya.Dan anak kandung Steve adalah anak Emma Dunn. Sementara Sean, anak Annie
Empat bulan kemudian …“Tasya, kamu mau pakai baju warna apa untuk acaranya nanti?” tanya Sari, ketika mereka sedang berbelanja kain untuk pesta pernikahan Damian dan Gina dua bulan lagi.Tasya sibuk mengamati satu-persatu kain yang disodorkan oleh Sari."Tasya, kamu seneng nggak, Papa mau menikah sama Miss Gina?" Sari mencuri kesempatan untuk bertanya, disela-sela Tasya sedang memilih.Anak kecil itu mengangguk riang. "Miss Gina baik sama Tasya. Miss Gina juga cantik, jadi Tasya suka Papa menikah sama Miss Gina," jelas Tasya panjang lebar.Hari ini mereka berdua hanya berbelanja bersama, karena Gina dan Damian memiliki urusan mendesak yang harus segera diselesaikan. Yaitu mengunjungi Hadi Wijaya. ***Damian sudah bercerita tentang pertemuan singkatnya bersama Hadi Wijaya beberapa bulan lalu, dan sebagai seorang anak yang baik, Gina tidak ingin menutupi kabar gembira ini darinya.“Kenapa kamu sangat peduli
“Apakah aku pernah meragukanmu?” Gina balik bertanya. “Jika aku ragu, aku tidak akan menunggumu. Masalah yang kita hadapi sangat rumit, tapi kita bertahan,”Damian tersenyum simpul. “Tentu saja aku takut, Gin. Karena aku tidak pernah sepadan denganmu,” akunya. “Kamu tahu, saat kamu menyamar, aku selalu diremehkan oleh Annie hingga dia memilih memuaskan dirinya bersama Steve. Kamu tahu betapa menyedihkannya aku,”“Karena itulah aku memilihmu,” sahut Gina. Membuat Damian tertegun. “Kamu memilihku karena menyedihkan?”Gelak tawa Gina tak dapat dibendung. Dia buru-buru menggeleng, meski tetap tak bisa menahan tawanya.“Bahkan sejak aku menjadi Fiona, kamu sudah mencintaiku,” ucap Gina, dengan tatapan lembut pada Damian.Damian pun meraih tangan Gina. “Karena kamulah, aku berani untuk memperjuangkan mimpiku lagi,”Perbincangan romantis itu harus terhenti, karena tak terasa mereka telah sampai di depan rumah Damian.
“Damian?” Rasanya Annie ingin jatuh pingsan, saat Damian berada di balik pintu rumahnya.Wajah pria itu tampak amat cemas, hingga tanpa sadar mengguncang bahu Annie.“Mana Tasya?!” seru Damian.Annie linglung. Dengan dahi berkerut, dia berusaha melepaskan diri. “Apa maksudmu?”“Apa Tasya bersamamu?” Mata Damian melotot seakan ingin keluar. Dengan raut wajah makin cemas, dia menanti jawaban Annie.Tapi sayangnya Annie menggeleng. “Bukankah Tasya bersamamu? Kenapa mencarinya ke sini?” tanyanya bingung.“Sial,” umpat Damian, mencengkeram kepalanya frustasi.“Apa terjadi sesuatu dengan Tasya? Tasya kabur?” cecar Annie. Giliran dia yang memasang wajah cemas.“Tasya–” Damian berusaha mengatur nafas. “Tasya menghilang,” ucapnya lirih.“Apa?!” Annie berseru. “Bagaimana bisa? Bagaimana mungkin kamu lalai mengawasi Tasya? Dia masih 8 tahun, Dam!”Annie yang gantian mengguncang bahu Damian. Justru makin kencang, karena sebagai ibu dia merasa bertanggung jawab. Meskipun Tasya sudah tidak lagi tin
"Miss Gina?" Sari ternganga lebar, ketika dia membuka pintu depan dan sosok Gina sudah berdiri di sana dengan senyuman manis.Sari spontan memeluk Gina dan tangisnya pecah. "Ibu sangat merindukanmu, Gina! Kemana saja kamu setahun ini?"Gina balas memeluk Sari. Dia tidak bicara apapun, hanya tersenyum lega karena ternyata dia masih diterima cukup hangat di dalam keluarga Damian.Tasya muncul, dengan wajahnya yang kaget luar biasa. Tak menyangka Gina akan datang kembali ke rumahnya."Tasya, gimana kabarmu?" tegur Gina ramah.Tasya masih menganga, dengan mata mengerjap beberapa kali. "T-Tante Gina?" ucapnya terbata-bata. Gina berjalan mendekat. Lalu mendekap gadis yang kini tidak begitu kecil itu."Kamu sudah tambah besar, ya. Miss kangen sama Tasya," ucap Gina dalam dekapannya.Tidak ada reaksi yang keluar dari bibir Tasya. Tapi dia tidak menolak saat Gina memeluk erat tubuhnya. Yang dia lakukan hanya bergantian memandang Damian dan Sari, yang terus tersenyum haru."Tante Gina … " pang
"Terima kasih sudah mengantarku, Dam," tukas Annie saat mobil Damian berhenti tepat di depan pintu masuk kantornya.Damian mengangguk. "Ibu sangat senang menjaga Sean, jadi kamu fokus saja pada kerjaanmu,"Annie tersipu senang. Seakan mereka berdua masih sebagai sepasang suami istri yang bahagia, apalagi dari perlakuan Damian padanya yang sangat sopan."Apakah kamu akan pulang telat hari ini?" tanya Annie. Tampak ragu untuk bicara, tapi dorongan di dalam dirinya kelewat kuat untuk bisa dicegah. "Maukah pulang bersama?" ajaknya.Damian hening beberapa detik. Untuk kemudian mengangguk. "Akan kuusahakan pulang cepat,"Annie berseru bahagia dalam hati. Sangat senang karena Damian menyambut baik segala usahanya untuk kembali dekat itu. Dia berusaha menampik kenyataan, bahwa Damian sedang tidak baik-baik saja.Dia tahu, Damian dan Gina batal menikah. Tapi Annie ingin menuruti egonya sendiri kali ini, karena dia tidak ingin kehilangan Damian untuk kedua kalinya.Sore harinya, Damian benar-be
Hati Damian terasa amat nyeri, mendengar perkataan secara sepihak itu dari Gina. Bahkan ketika dia mencoba untuk menelan ludah, seperti ada yang mengganjal. Sesuatu yang sangat menyakitkan hingga membuat suaranya tercekat."Aku tidak ingin menjadi trauma untuk Tasya," lanjut Gina, sangat nekat meski suaranya sudah bergetar menahan tangis. "Dia adalah darah dagingmu. Sudah menjadi bagian dalam kehidupanmu. Mengabaikan pendapatnya dalam setiap keputusanmu, akan membuatnya trauma di masa depan,"Damian masih tidak menjawab. Hanya bola matanya yang terus bergetar. Kemudian pelan-pelan Gina melepaskan cincin berlian di jari manisnya, pemberian Damian. Dia serahkan kembali cincin itu, ke dalam genggaman tangan Damian yang terasa amat dingin."Aku menyayangimu, aku juga menyayangi Tasya. Tapi kebahagiaan kalian berdua bukanlah aku," isak Gina. "Aku tidak ingin menjadi mimpi buruk Tasya. Karena setiap kali melihatnya, selalu mengingatkanku akan Sean. Aku ingin menjadi kenangan manis untuknya
Wijaya berulang kali mencuri pandang pada Gina yang duduk di samping kemudi mobilnya. Tampak wanita cantik itu terisak pelan, dengan kepala yang terus menghadap keluar jendela mobil.Wijaya ingin bertanya, tapi lidahnya kelu hingga menahan hasratnya untuk tidak mengeluarkan suara apapun. Dia tahu, Gina sedang terluka. Gina melihat dan mendengar dengan inderanya sendiri, bagaimana sang calon suami bercengkerama dengan si mantan istri."Gina? Sudah sampai," tukas Wijaya, ketika mobilnya berhenti di depan pintu masuk rumah Gina.Bahkan wanita itu juga tidak menyadari jika Wijaya sempat bertukar sapa dengan satpam rumahnya sebelum mobil itu masuk."Terimakasih, Jay," ucapnya pelan."Atas apa?""Karena mengantarku pulang," timpal Gina, dengan wajah lesu.Wijaya hanya diam, terus memandangi Gina dengan tatapan iba. Dia selalu memiliki titik lembut tersendiri di dalam hatinya, hanya untuk Gina.Lantas Gina–dengan gerakan lambat keluar dari dalam mobil Wijaya. Tanpa mengucapkan apapun lagi, w
Gina mengangguk. Lalu mereka berdua kembali kikuk berhadapan satu sama lain. Tak ada kata yang sanggup keluar dari bibir masing-masing, karena ada kesalahpahaman yang muncul di dalam otak Gina dan Damian. "Damian," panggil Rudi, yang baru saja tiba. Kemudian dia cukup terkejut melihat Gina, namun berusaha untuk hanya fokus pada Damian.Damian menyahut dengan senyuman. Sementara Rudi–beserta Irene, masih berdiri di depan Damian dengan ekspresi tegang. Tampak ada sesuatu yang mengganjal."Dam, maafkan Papa dan Mama," tukas Rudi tiba-tiba. Hingga membuat siapa saja yang ada di sana terkejut. "Papa dan Mama selama ini selalu bersikap tak adil padamu," lanjutnya.Bahkan Damian hingga tergagap karena tak menyangka akan mendapatkan ucapan maaf dari Rudi. "Papa … " Annie berkaca-kaca melihat sikap papanya. Dia tanpa sadar berjalan mendekati Damian dan Rudi. "Kenapa Pak Rudi … " Damian kehabisan kata-kata. Bahkan untuk sekedar tersenyum dan memandang Rudi pun dia tak sanggup. Semuanya sungg
“Jay?” panggil Gina.Wijaya hanya menautkan alis sebagai respon.“Bagaimana kamu tahu aku diculik disana?” tanya Gina.Wijaya lalu duduk lebih santai, menikmati perjalanan karena Emma pun juga mengemudi dengan kecepatan sedang.“Aku datang ke sekolah untuk mengajakmu pulang bersama. Tapi kamu malah naik mobil bersama seorang pria asing,” jelas Wijaya. “Kukira itu Damian, tapi aku hafal dengan mobilnya. Jadi aku bisa simpulkan bahwa itu bukan Damina,”“Lalu?” Gina sudah tidak sabar.“Aku membuntuti dari belakang. Saat sadar mobil itu masuk ke jalan yang sempit dan sepi, aku langsung menghubungi Emma,” lanjut Wijaya.“Tuan meminta saya menghubungi polisi. Jadi saya bersama polisi datang. Tapi kami tidak langsung menyergap, karena Tuan ingin mengatur strategi agar semuanya bisa tertangkap,” timpal Emma cukup detail. “Saya juga tidak menyangka, Steve yang menjadi dalang dibalik penculikan ini,” Dia menunduk, merasa menyesal juga bersalah. “Kenapa dia tiba-tiba menculik Nyonya?”Gina angka
Dengan cepat Steve membuka lakban yang menutup mulut Gina. Membuat Gina meringis merasakan rekatan kuat itu ditarik paksa dari kulitnya.“Kamu terlalu meremehkanku, Gina. Kamu pikir, selama ini aku hanya diam dan menontonmu terus melakukan hal-hal licik,” ujar Steve.Gina balas menatapnya dengan perasaan tenang. “Apa kamu sadar perbuatanmu ini hanya akan makin merugikanmu? Kamu lupa siapa aku?”Plak!Tiba-tiba Steve menampar pipi Gina sekerasnya. Ada kilatan murka di kedua matanya yang menyala.“Kamu kira, kamulah pusat dunia? Kamulah penguasa dunia ini?” bentak Steve. “Jangan lupakan statusmu yang hanya seorang janda, Gina Duran. Seberapa kaya dirimu, kamu hanyalah janda menyedihkan di mata semua orang,” olok Steve, lalu tertawa terbahak-bahak penuh kemenangan.Gina tidak menanggapi. Selain karena tubuhnya masih terikat, dia juga tidak ingin menggunakan banyak tenaganya hanya untuk meladeni bualan Steve.Tiba-tiba Steve mencengkeram pipi Gina. “Aku akan menghancurkan hidupmu. Setidak
“Masuk!” seru Steve, ketika pintu ruang kerjanya diketuk.Brak!Annie mendobrak pintu cukup keras, dan masuk dengan langkah tegap ke dalam ruang kerja Steve.Steve yang saat itu sedang fokus pada lembar dokumen di depannya, hanya bisa terbelalak. Namun untungnya sang perawat buru-buru menutup pintu kembali, agar pasien tidak dapat melihat keributan itu.“An, ada apa?” tanya Steve heran. “Kamu sadar nggak, kamu sedang marah-marah di rumah sakit?”“Aku tidak peduli!” sentak Annie. Dia kemudian melempar dokumen-dokumen tentang Steve yang telah dikumpulkan Nina untuknya.“Sudah berapa kali kubilang padamu? Jangan coba-coba membodohiku!” maki Annie. “Kamu sengaja mendekatiku, mempertahankan Sean, karena kamu ingin menyelamatkan reputasi dan klinik pribadimu, kan?”Steve tidak mau membuka dokumen itu, karena sadar jika dia sudah tertangkap basah. Yang bisa dia lakukan kini adalah berusaha menenangkan Annie.“An, tenang dulu. Akan kujelaskan semuanya,” pinta Steve, berusaha meraih tubuh Anni
“Silahkan Bu Gina,” Rudi mempersilahkan dengan sikapnya yang terus saja pongah.Gina menegakkan posisi duduknya. Dengan mata lebih tajam, dia melipat kedua tangan di atas meja demi saling berhadapan dengan lebih fokus pada Rudi Evan.“Apakah Anda tahu, bagaimana anak saya bisa meninggal?” tanya Gina.“Kenapa Anda … ““Jawab saja, Pak Rudi,” potong Gina. “Apakah Anda tahu, siapa yang menyebabkan anak saya meninggal?”Nafas Rudi tercekat. “J-jadi Anda mengancam saya?”Gina menggeleng. “Saya tidak pernah mengancam siapapun, selama orang itu tidak mengusik saya. Tapi mencampuri urusan pribadi saya, sudah menjadi hal yang tidak akan saya biarkan begitu saja,” terang Gina. “Sepertinya Anda harus tahu tentang itu,”“Jika Damian tahu Sean anak kandungnya, bukankah dia menyesal sudah berpisah dengan Annie?”“Siapa yang meminta mereka berpisah, Pak Rudi? Bukankah, anda sendiri?”Sekali lagi Rudi tercekat. Tidak m