“Apakah aku pernah meragukanmu?” Gina balik bertanya. “Jika aku ragu, aku tidak akan menunggumu. Masalah yang kita hadapi sangat rumit, tapi kita bertahan,”
Damian tersenyum simpul. “Tentu saja aku takut, Gin. Karena aku tidak pernah sepadan denganmu,” akunya. “Kamu tahu, saat kamu menyamar, aku selalu diremehkan oleh Annie hingga dia memilih memuaskan dirinya bersama Steve. Kamu tahu betapa menyedihkannya aku,”“Karena itulah aku memilihmu,” sahut Gina. Membuat Damian tertegun.“Kamu memilihku karena menyedihkan?”Gelak tawa Gina tak dapat dibendung. Dia buru-buru menggeleng, meski tetap tak bisa menahan tawanya.“Bahkan sejak aku menjadi Fiona, kamu sudah mencintaiku,” ucap Gina, dengan tatapan lembut pada Damian.Damian pun meraih tangan Gina. “Karena kamulah, aku berani untuk memperjuangkan mimpiku lagi,”Perbincangan romantis itu harus terhenti, karena tak terasa mereka telah sampai di depan rumah Damian.“Damian?” Rasanya Annie ingin jatuh pingsan, saat Damian berada di balik pintu rumahnya.Wajah pria itu tampak amat cemas, hingga tanpa sadar mengguncang bahu Annie.“Mana Tasya?!” seru Damian.Annie linglung. Dengan dahi berkerut, dia berusaha melepaskan diri. “Apa maksudmu?”“Apa Tasya bersamamu?” Mata Damian melotot seakan ingin keluar. Dengan raut wajah makin cemas, dia menanti jawaban Annie.Tapi sayangnya Annie menggeleng. “Bukankah Tasya bersamamu? Kenapa mencarinya ke sini?” tanyanya bingung.“Sial,” umpat Damian, mencengkeram kepalanya frustasi.“Apa terjadi sesuatu dengan Tasya? Tasya kabur?” cecar Annie. Giliran dia yang memasang wajah cemas.“Tasya–” Damian berusaha mengatur nafas. “Tasya menghilang,” ucapnya lirih.“Apa?!” Annie berseru. “Bagaimana bisa? Bagaimana mungkin kamu lalai mengawasi Tasya? Dia masih 8 tahun, Dam!”Annie yang gantian mengguncang bahu Damian. Justru makin kencang, karena sebagai ibu dia merasa bertanggung jawab. Meskipun Tasya sudah tidak lagi tin
"Jangan bicara begitu, An," seru Sari tak tahan lagi. Sejak tadi dia diam saja meski Annie tampak sangat menyalahkan Gina.Gina masih tetap tenang. Dia tahu bagaimana rasanya menjadi seorang ibu yang putus asa. Tidak ada pikiran jernih, yang ada hanyalah sang anak. Meski harus menukar kewarasan, apapun akan dilakukan asal sang anak kembali seutuhnya."Coba kalau kalian mau lebih sabar. Menunggu hingga Tasya cukup mengerti tentang perpisahan," Annie makin lantang karena Gina diam saja. "Tasya masih kecil. Meski dia bilang dia menyukaimu, melihat papanya menikahi orang lain bukan hal yang mudah,"Annie terus memaki, menyudutkan dan menyalahkan Gina. Ada raut putus asa dan kecemasan di wajahnya. Hingga Gina rasanya tak sanggup untuk memandang langsung wajah Annie."Bagaimana kalau kita bicara sambil duduk?" tawar Gina penuh hati-hati. Dia mengisyaratkan Annie untuk duduk, menghilangkan ketegangan.Annie menolak. Dia justru berdiri makin tega
Beberapa jam sebelumnya …“Oma, Tasya mau main di teras depan, ya?” tanya Tasya, setelah dia dan Sari–beserta Lukman pulang dari membeli kain untuk pesta pernikahan.“Siang-siang gini? Emang nggak kepanasan?”Tasya menggeleng. “Tasya cuman di depan kok, nggak jauh,”“Ya udah, Oma kalau begitu siapin makan siang dulu buat Tasya. Nanti Oma panggil lagi kalau makanan udah siap,”“Siap Oma!” Tasya hormat di depan Sari. Lalu berlari kecil menuju halaman depan, karena kebetulan rumah barunya bersama Damian memiliki halaman depan cukup luas untuk bermain.Awalnya semua baik-baik saja. Tasya bermain sendirian, dengan berbagai kesibukan imajinasinya.Namun tiba-tiba raut wajah gadis kecil itu berubah sedih. Dia menekuk wajah, menunduk dalam dan tanpa terasa mulai terisak pelan.“Kenapa Papa nggak bersama Mama? Kenapa Mama sama adik tinggal sama om itu?” isak Tasya pelan, sembari memainkan batu-batu kecil di bawahnya.“Tasya kangen sama Mama. Tasya juga kangen sama Papa,” isak Tasya lagi. “Kapa
“Terus Tasya maunya gimana? Om nggak bisa terus nemenin Tasya disini,” sahut Wijaya. Dia tidak tahu cara membujuk anak kecil, dan juga tidak mau tahu. Dia ingin segera pergi dari sini tapi tentunya juga bersama Tasya.“Tapi Tasya nggak mau pulang, Om. Papa pasti tetap sama Miss Gina,” lirih Tasya. “Tasya suka sama Miss Gina, tapi Tasya ingin Papa sama Mama kembali kayak dulu,”Ada sedikit rasa senang tergambarkan dari sudut bibir Wijaya yang melengking naik. Dia tersenyum. Seakan memiliki kesempatan lagi untuk membawa Gina kembali–membatalkan pernikahan itu.“Ya udah, Om mau ikut ke tempat Om? Atau … makan siang di tempat kesukaan Tasya?” tawar Wijaya, dengan harapan bisa membuat Tasya berhenti menangis.Tasya diam berpikir, dengan sedikit terisak. “Tasya mau ikut Om aja. Biarin Papa nyari Tasya,”“Oke!” Wijaya bangkit. Lalu mengulurkan tangannya pada Tasya.Meski masih tampak ragu, tapi gadis kecil itu menggenggam tangan Wijaya. Dia bahkan menurut ketika Wijaya menuntunnya untuk masu
“Tasya–” Wijaya bersimpuh, demi menyamakan posisinya dengan Tasya. “Apapun yang terjadi, pasti Papa sayang sama Tasya. Dan selama Papa masih ada belum bersama Tuhan, Papa akan selalu sayang sama Tasya. Keputusan Papa untuk bersama Miss Gina juga tentu sudah dipikirkan Papa untuk kebaikan Tasya,”Air mata Tasya tumpah ruah. “Tapi … tapi kenapa nggak sama Mama? Mama sayang sama Tasya. Mama juga sayang sama Papa,”Wijaya mengelus lembut rambut anak itu. “Papa sama Mama sudah nggak bisa sama-sama. Papa sama Mama … bahagia kalau berpisah,”Tasya menjerit. Dia meraung, menangisi perpisahan kedua orang tuanya yang baru dia pahami sekarang.“Om–” Tasya terisak-isak hingga kesulitan bicara. “Tasya mau tidur boleh? Tasya–” Ucapannya tidak lancar karena saling berburu dengan tangisannya. “Tasya mau tidur disini,”“Tentu boleh. Tasya boleh tidur di kamar Sean,” Wijaya tersenyum hangat. “Nanti Om bangunkan kalau makanannya sudah siap,”Tasya
“Lalu bagaimana bisa Tasya bertemu dengan Anda? Diantara semua orang, kenapa harus Anda?” Annie tak kenal takut. Padahal dia tahu yang sedang dia hadapi bukanlah orang sembarangan.“Harusnya aku yang mengajukan pertanyaan,” Wijaya makin ketus. “Bagaimana bisa orang sebanyak ini di rumah, tidak sadar dia sudah pergi sejauh itu?” Tangannya mengacung ke dalam rumah, pada orang-orang anggota keluarga Damian.“Kalau bukan aku yang menemukannya, entah apa yang terjadi pada Tasya. Harusnya kau belajar berterima kasih,” tambah Wijaya, dekat ke telinga Annie. “Aku masih bisa menuntutmu atas kematian anakku, jadi sebaiknya kau jangan membuatku marah,” ancam Wijaya.Annie tanpa sadar mundur. Dengan mata membelalak, dia masih memendam kemarahan namun sadar Wijaya tidak akan bisa dia kalahkan.“Miss Gina pergi! Pergi dari rumah Tasya!” teriak Tasya dari dalam rumah.Annie dan Wijaya seketika berhamburan untuk melihat apa yang sedang terjadi.Di ruang tamu rumah Damian, tampak Tasya sedang dipegang
Tasya tertidur pulas, setelah puas menangis dan ditenangkan oleh Annie dan Damian di sisinya. Anak kecil itu setengah mendengkur, tampak kelelahan.Ada sisa mata sembab di wajahnya, dengan tangan yang tanpa sadar memeluk lengan Annie.Sementara Annie terus menitikkan air mata, tak tega memandang Tasya yang begitu menyedihkan. Dia tidak menyangka jika segalanya berakhir seperti ini.Awalnya dia kira, Tasya langsung bisa menerima Gina. Karena anaknya itu tampak sangat akrab dengan Gina. Tapi diluar dugaan, Tasya memendam bebannya sendiri yang baru berani dia keluarkan ketika segalanya sudah terlanjur sejauh ini.“Apa yang harus kita lakukan?” tanya Annie lirih, berharap tidak membangunkan Tasya.“Maksudmu?”“Apakah kamu tetap akan melanjutkan pernikahan?”Damian terdiam. Bukannya dia tidak bisa menjawab, tapi lebih karena ingin menjaga perasaan Annie.“Sebaiknya kamu tidur disini, bersama Tasya,” Damian mengalihkan pembicaraan. “Kasihan Sean jika pulang selarut ini,”Pria itu beranjak b
“Siapa itu malam-malam gini ribut?” seru Lukman, keluar dari dalam kamar dengan lari cepat.Damian–yang masih setengah sadar hampir saja limbung, andai Annie tidak menahan tubuhnya.“Sepertinya itu Steve,” tebak Annie, kesal luar biasa. “Biar aku saja yang keluar. Dam, tolong jaga Sean,”Annie berlari keluar dari dalam rumah Damian. Dan benar, dia mendapati Damian sedang berdiri celingukan di balik pagar tinggi rumah Damian.Pria itu terus menggedor pagar, membuat siapapun mendengarnya dengan nyaring karena suasana yang sunyi.“Kamu apa-apaan, hah?!” seru Annie, meneriaki Steve yang ada dibalik pagar. “Apa tidak bisa, datang dengan cara yang baik?”“Tidak!” sahut Steve keras. “Aku tidak akan membiarkan si brengsek itu membawa pergi calon istriku!”“Jangan membuatku malu, Steve!” bentak Annie. “Kamu juga, bersikaplah seperti dokter spesialis yang punya reputasi!”“Aku tidak peduli,” sambar Steve, murka. “Aku mau