"Jangan bicara begitu, An," seru Sari tak tahan lagi. Sejak tadi dia diam saja meski Annie tampak sangat menyalahkan Gina.
Gina masih tetap tenang. Dia tahu bagaimana rasanya menjadi seorang ibu yang putus asa. Tidak ada pikiran jernih, yang ada hanyalah sang anak. Meski harus menukar kewarasan, apapun akan dilakukan asal sang anak kembali seutuhnya."Coba kalau kalian mau lebih sabar. Menunggu hingga Tasya cukup mengerti tentang perpisahan," Annie makin lantang karena Gina diam saja. "Tasya masih kecil. Meski dia bilang dia menyukaimu, melihat papanya menikahi orang lain bukan hal yang mudah,"Annie terus memaki, menyudutkan dan menyalahkan Gina. Ada raut putus asa dan kecemasan di wajahnya. Hingga Gina rasanya tak sanggup untuk memandang langsung wajah Annie."Bagaimana kalau kita bicara sambil duduk?" tawar Gina penuh hati-hati. Dia mengisyaratkan Annie untuk duduk, menghilangkan ketegangan.Annie menolak. Dia justru berdiri makin tegaBeberapa jam sebelumnya …“Oma, Tasya mau main di teras depan, ya?” tanya Tasya, setelah dia dan Sari–beserta Lukman pulang dari membeli kain untuk pesta pernikahan.“Siang-siang gini? Emang nggak kepanasan?”Tasya menggeleng. “Tasya cuman di depan kok, nggak jauh,”“Ya udah, Oma kalau begitu siapin makan siang dulu buat Tasya. Nanti Oma panggil lagi kalau makanan udah siap,”“Siap Oma!” Tasya hormat di depan Sari. Lalu berlari kecil menuju halaman depan, karena kebetulan rumah barunya bersama Damian memiliki halaman depan cukup luas untuk bermain.Awalnya semua baik-baik saja. Tasya bermain sendirian, dengan berbagai kesibukan imajinasinya.Namun tiba-tiba raut wajah gadis kecil itu berubah sedih. Dia menekuk wajah, menunduk dalam dan tanpa terasa mulai terisak pelan.“Kenapa Papa nggak bersama Mama? Kenapa Mama sama adik tinggal sama om itu?” isak Tasya pelan, sembari memainkan batu-batu kecil di bawahnya.“Tasya kangen sama Mama. Tasya juga kangen sama Papa,” isak Tasya lagi. “Kapa
“Terus Tasya maunya gimana? Om nggak bisa terus nemenin Tasya disini,” sahut Wijaya. Dia tidak tahu cara membujuk anak kecil, dan juga tidak mau tahu. Dia ingin segera pergi dari sini tapi tentunya juga bersama Tasya.“Tapi Tasya nggak mau pulang, Om. Papa pasti tetap sama Miss Gina,” lirih Tasya. “Tasya suka sama Miss Gina, tapi Tasya ingin Papa sama Mama kembali kayak dulu,”Ada sedikit rasa senang tergambarkan dari sudut bibir Wijaya yang melengking naik. Dia tersenyum. Seakan memiliki kesempatan lagi untuk membawa Gina kembali–membatalkan pernikahan itu.“Ya udah, Om mau ikut ke tempat Om? Atau … makan siang di tempat kesukaan Tasya?” tawar Wijaya, dengan harapan bisa membuat Tasya berhenti menangis.Tasya diam berpikir, dengan sedikit terisak. “Tasya mau ikut Om aja. Biarin Papa nyari Tasya,”“Oke!” Wijaya bangkit. Lalu mengulurkan tangannya pada Tasya.Meski masih tampak ragu, tapi gadis kecil itu menggenggam tangan Wijaya. Dia bahkan menurut ketika Wijaya menuntunnya untuk masu
“Tasya–” Wijaya bersimpuh, demi menyamakan posisinya dengan Tasya. “Apapun yang terjadi, pasti Papa sayang sama Tasya. Dan selama Papa masih ada belum bersama Tuhan, Papa akan selalu sayang sama Tasya. Keputusan Papa untuk bersama Miss Gina juga tentu sudah dipikirkan Papa untuk kebaikan Tasya,”Air mata Tasya tumpah ruah. “Tapi … tapi kenapa nggak sama Mama? Mama sayang sama Tasya. Mama juga sayang sama Papa,”Wijaya mengelus lembut rambut anak itu. “Papa sama Mama sudah nggak bisa sama-sama. Papa sama Mama … bahagia kalau berpisah,”Tasya menjerit. Dia meraung, menangisi perpisahan kedua orang tuanya yang baru dia pahami sekarang.“Om–” Tasya terisak-isak hingga kesulitan bicara. “Tasya mau tidur boleh? Tasya–” Ucapannya tidak lancar karena saling berburu dengan tangisannya. “Tasya mau tidur disini,”“Tentu boleh. Tasya boleh tidur di kamar Sean,” Wijaya tersenyum hangat. “Nanti Om bangunkan kalau makanannya sudah siap,”Tasya
“Lalu bagaimana bisa Tasya bertemu dengan Anda? Diantara semua orang, kenapa harus Anda?” Annie tak kenal takut. Padahal dia tahu yang sedang dia hadapi bukanlah orang sembarangan.“Harusnya aku yang mengajukan pertanyaan,” Wijaya makin ketus. “Bagaimana bisa orang sebanyak ini di rumah, tidak sadar dia sudah pergi sejauh itu?” Tangannya mengacung ke dalam rumah, pada orang-orang anggota keluarga Damian.“Kalau bukan aku yang menemukannya, entah apa yang terjadi pada Tasya. Harusnya kau belajar berterima kasih,” tambah Wijaya, dekat ke telinga Annie. “Aku masih bisa menuntutmu atas kematian anakku, jadi sebaiknya kau jangan membuatku marah,” ancam Wijaya.Annie tanpa sadar mundur. Dengan mata membelalak, dia masih memendam kemarahan namun sadar Wijaya tidak akan bisa dia kalahkan.“Miss Gina pergi! Pergi dari rumah Tasya!” teriak Tasya dari dalam rumah.Annie dan Wijaya seketika berhamburan untuk melihat apa yang sedang terjadi.Di ruang tamu rumah Damian, tampak Tasya sedang dipegang
Tasya tertidur pulas, setelah puas menangis dan ditenangkan oleh Annie dan Damian di sisinya. Anak kecil itu setengah mendengkur, tampak kelelahan.Ada sisa mata sembab di wajahnya, dengan tangan yang tanpa sadar memeluk lengan Annie.Sementara Annie terus menitikkan air mata, tak tega memandang Tasya yang begitu menyedihkan. Dia tidak menyangka jika segalanya berakhir seperti ini.Awalnya dia kira, Tasya langsung bisa menerima Gina. Karena anaknya itu tampak sangat akrab dengan Gina. Tapi diluar dugaan, Tasya memendam bebannya sendiri yang baru berani dia keluarkan ketika segalanya sudah terlanjur sejauh ini.“Apa yang harus kita lakukan?” tanya Annie lirih, berharap tidak membangunkan Tasya.“Maksudmu?”“Apakah kamu tetap akan melanjutkan pernikahan?”Damian terdiam. Bukannya dia tidak bisa menjawab, tapi lebih karena ingin menjaga perasaan Annie.“Sebaiknya kamu tidur disini, bersama Tasya,” Damian mengalihkan pembicaraan. “Kasihan Sean jika pulang selarut ini,”Pria itu beranjak b
“Siapa itu malam-malam gini ribut?” seru Lukman, keluar dari dalam kamar dengan lari cepat.Damian–yang masih setengah sadar hampir saja limbung, andai Annie tidak menahan tubuhnya.“Sepertinya itu Steve,” tebak Annie, kesal luar biasa. “Biar aku saja yang keluar. Dam, tolong jaga Sean,”Annie berlari keluar dari dalam rumah Damian. Dan benar, dia mendapati Damian sedang berdiri celingukan di balik pagar tinggi rumah Damian.Pria itu terus menggedor pagar, membuat siapapun mendengarnya dengan nyaring karena suasana yang sunyi.“Kamu apa-apaan, hah?!” seru Annie, meneriaki Steve yang ada dibalik pagar. “Apa tidak bisa, datang dengan cara yang baik?”“Tidak!” sahut Steve keras. “Aku tidak akan membiarkan si brengsek itu membawa pergi calon istriku!”“Jangan membuatku malu, Steve!” bentak Annie. “Kamu juga, bersikaplah seperti dokter spesialis yang punya reputasi!”“Aku tidak peduli,” sambar Steve, murka. “Aku mau
“Apa? Kenapa Tasya tiba-tiba bilang begitu?” Damian mengernyitkan dahi. “Apa Om Wijaya bilang sesuatu pada Tasya?” Dia langsung menaruh curiga pada Wijaya. Karena Tasya tidak mungkin terpikirkan hal itu, kecuali ada orang yang menghasutnya.Tasya mengangguk polos.“Dia bilang apa?” Damian tak sabar. Dia tersulut emosi.“Om bilang … Sean sudah bersama Tuhan. Sudah meninggal,” jawab Tasya. “Kalau Sean sudah meninggal, terus Om Wijaya siapa temannya? Biar Miss Gina menemani Om, Pa,”“Sudah, sudah,” potong Sari. Membuyarkan emosi yang sempat menggebu di dada Damian. “Nanti telat nganter Tasya, lho. Sudah sana berangkat!” pinta Sari.Sesampainya sekolah, Tasya segera berlari masuk ke dalam kelas karena satu menit lagi bel masuk akan segera berbunyi.Sementara Damian masih berdiri di samping mobilnya, sedikit mendongak berharap bisa melihat sosok Gina meski dari kejauhan.Namun wanita itu tidak tampak batang hidungnya. Padahal setiap pagi Gina selalu berdiri rapi di depan ruangannya, menyap
Telinga Annie berdiri. “Dengar dari mana?”“Kabar itu sudah seperti konsumsi umum disini, An,” kata Nina, sembari mempersiapkan berkas-berkas yang hendak dia pelajari. “Kamu masih ingat Ajeng?”Mendengar nama Ajeng, membuat suasana hati Annie berubah buruk. Tentu dia ingat, karena Ajenglah yang membantu Damian dalam proses perceraian mereka.“Katanya sih, dia yang nyebarin berita itu ke semua orang,” bisik Nina. “Sepertinya dia masih dendam padamu,”Annie hanya menautkan alis, tampak tak minat. Dia sama sekali tidak menyahut, dan mencoba untuk menyibukkan diri dengan meja kerjanya yang masih cukup berantakan dengan pekerjaan lama.“An!” seru Nina, tiba-tiba nadanya meninggi. “Kamu ingat artis Andrea itu? Yang pernah menikah diam-diam dengan Tuan Wijaya,”“Nin!” Annie melotot. “Andrea yang mengenalkanku pada Wijaya! Kamu lupa, ya?” ketusnya, karena sejak tadi Nina bertanya seakan dia telah melupakan banyak hal di dunia kerjanya.Nina nyengir. “Kamu tahu gimana kondisi dia sekarang?”An
"Miss Gina?" Sari ternganga lebar, ketika dia membuka pintu depan dan sosok Gina sudah berdiri di sana dengan senyuman manis.Sari spontan memeluk Gina dan tangisnya pecah. "Ibu sangat merindukanmu, Gina! Kemana saja kamu setahun ini?"Gina balas memeluk Sari. Dia tidak bicara apapun, hanya tersenyum lega karena ternyata dia masih diterima cukup hangat di dalam keluarga Damian.Tasya muncul, dengan wajahnya yang kaget luar biasa. Tak menyangka Gina akan datang kembali ke rumahnya."Tasya, gimana kabarmu?" tegur Gina ramah.Tasya masih menganga, dengan mata mengerjap beberapa kali. "T-Tante Gina?" ucapnya terbata-bata. Gina berjalan mendekat. Lalu mendekap gadis yang kini tidak begitu kecil itu."Kamu sudah tambah besar, ya. Miss kangen sama Tasya," ucap Gina dalam dekapannya.Tidak ada reaksi yang keluar dari bibir Tasya. Tapi dia tidak menolak saat Gina memeluk erat tubuhnya. Yang dia lakukan hanya bergantian memandang Damian dan Sari, yang terus tersenyum haru."Tante Gina … " pang
"Terima kasih sudah mengantarku, Dam," tukas Annie saat mobil Damian berhenti tepat di depan pintu masuk kantornya.Damian mengangguk. "Ibu sangat senang menjaga Sean, jadi kamu fokus saja pada kerjaanmu,"Annie tersipu senang. Seakan mereka berdua masih sebagai sepasang suami istri yang bahagia, apalagi dari perlakuan Damian padanya yang sangat sopan."Apakah kamu akan pulang telat hari ini?" tanya Annie. Tampak ragu untuk bicara, tapi dorongan di dalam dirinya kelewat kuat untuk bisa dicegah. "Maukah pulang bersama?" ajaknya.Damian hening beberapa detik. Untuk kemudian mengangguk. "Akan kuusahakan pulang cepat,"Annie berseru bahagia dalam hati. Sangat senang karena Damian menyambut baik segala usahanya untuk kembali dekat itu. Dia berusaha menampik kenyataan, bahwa Damian sedang tidak baik-baik saja.Dia tahu, Damian dan Gina batal menikah. Tapi Annie ingin menuruti egonya sendiri kali ini, karena dia tidak ingin kehilangan Damian untuk kedua kalinya.Sore harinya, Damian benar-be
Hati Damian terasa amat nyeri, mendengar perkataan secara sepihak itu dari Gina. Bahkan ketika dia mencoba untuk menelan ludah, seperti ada yang mengganjal. Sesuatu yang sangat menyakitkan hingga membuat suaranya tercekat."Aku tidak ingin menjadi trauma untuk Tasya," lanjut Gina, sangat nekat meski suaranya sudah bergetar menahan tangis. "Dia adalah darah dagingmu. Sudah menjadi bagian dalam kehidupanmu. Mengabaikan pendapatnya dalam setiap keputusanmu, akan membuatnya trauma di masa depan,"Damian masih tidak menjawab. Hanya bola matanya yang terus bergetar. Kemudian pelan-pelan Gina melepaskan cincin berlian di jari manisnya, pemberian Damian. Dia serahkan kembali cincin itu, ke dalam genggaman tangan Damian yang terasa amat dingin."Aku menyayangimu, aku juga menyayangi Tasya. Tapi kebahagiaan kalian berdua bukanlah aku," isak Gina. "Aku tidak ingin menjadi mimpi buruk Tasya. Karena setiap kali melihatnya, selalu mengingatkanku akan Sean. Aku ingin menjadi kenangan manis untuknya
Wijaya berulang kali mencuri pandang pada Gina yang duduk di samping kemudi mobilnya. Tampak wanita cantik itu terisak pelan, dengan kepala yang terus menghadap keluar jendela mobil.Wijaya ingin bertanya, tapi lidahnya kelu hingga menahan hasratnya untuk tidak mengeluarkan suara apapun. Dia tahu, Gina sedang terluka. Gina melihat dan mendengar dengan inderanya sendiri, bagaimana sang calon suami bercengkerama dengan si mantan istri."Gina? Sudah sampai," tukas Wijaya, ketika mobilnya berhenti di depan pintu masuk rumah Gina.Bahkan wanita itu juga tidak menyadari jika Wijaya sempat bertukar sapa dengan satpam rumahnya sebelum mobil itu masuk."Terimakasih, Jay," ucapnya pelan."Atas apa?""Karena mengantarku pulang," timpal Gina, dengan wajah lesu.Wijaya hanya diam, terus memandangi Gina dengan tatapan iba. Dia selalu memiliki titik lembut tersendiri di dalam hatinya, hanya untuk Gina.Lantas Gina–dengan gerakan lambat keluar dari dalam mobil Wijaya. Tanpa mengucapkan apapun lagi, w
Gina mengangguk. Lalu mereka berdua kembali kikuk berhadapan satu sama lain. Tak ada kata yang sanggup keluar dari bibir masing-masing, karena ada kesalahpahaman yang muncul di dalam otak Gina dan Damian. "Damian," panggil Rudi, yang baru saja tiba. Kemudian dia cukup terkejut melihat Gina, namun berusaha untuk hanya fokus pada Damian.Damian menyahut dengan senyuman. Sementara Rudi–beserta Irene, masih berdiri di depan Damian dengan ekspresi tegang. Tampak ada sesuatu yang mengganjal."Dam, maafkan Papa dan Mama," tukas Rudi tiba-tiba. Hingga membuat siapa saja yang ada di sana terkejut. "Papa dan Mama selama ini selalu bersikap tak adil padamu," lanjutnya.Bahkan Damian hingga tergagap karena tak menyangka akan mendapatkan ucapan maaf dari Rudi. "Papa … " Annie berkaca-kaca melihat sikap papanya. Dia tanpa sadar berjalan mendekati Damian dan Rudi. "Kenapa Pak Rudi … " Damian kehabisan kata-kata. Bahkan untuk sekedar tersenyum dan memandang Rudi pun dia tak sanggup. Semuanya sungg
“Jay?” panggil Gina.Wijaya hanya menautkan alis sebagai respon.“Bagaimana kamu tahu aku diculik disana?” tanya Gina.Wijaya lalu duduk lebih santai, menikmati perjalanan karena Emma pun juga mengemudi dengan kecepatan sedang.“Aku datang ke sekolah untuk mengajakmu pulang bersama. Tapi kamu malah naik mobil bersama seorang pria asing,” jelas Wijaya. “Kukira itu Damian, tapi aku hafal dengan mobilnya. Jadi aku bisa simpulkan bahwa itu bukan Damina,”“Lalu?” Gina sudah tidak sabar.“Aku membuntuti dari belakang. Saat sadar mobil itu masuk ke jalan yang sempit dan sepi, aku langsung menghubungi Emma,” lanjut Wijaya.“Tuan meminta saya menghubungi polisi. Jadi saya bersama polisi datang. Tapi kami tidak langsung menyergap, karena Tuan ingin mengatur strategi agar semuanya bisa tertangkap,” timpal Emma cukup detail. “Saya juga tidak menyangka, Steve yang menjadi dalang dibalik penculikan ini,” Dia menunduk, merasa menyesal juga bersalah. “Kenapa dia tiba-tiba menculik Nyonya?”Gina angka
Dengan cepat Steve membuka lakban yang menutup mulut Gina. Membuat Gina meringis merasakan rekatan kuat itu ditarik paksa dari kulitnya.“Kamu terlalu meremehkanku, Gina. Kamu pikir, selama ini aku hanya diam dan menontonmu terus melakukan hal-hal licik,” ujar Steve.Gina balas menatapnya dengan perasaan tenang. “Apa kamu sadar perbuatanmu ini hanya akan makin merugikanmu? Kamu lupa siapa aku?”Plak!Tiba-tiba Steve menampar pipi Gina sekerasnya. Ada kilatan murka di kedua matanya yang menyala.“Kamu kira, kamulah pusat dunia? Kamulah penguasa dunia ini?” bentak Steve. “Jangan lupakan statusmu yang hanya seorang janda, Gina Duran. Seberapa kaya dirimu, kamu hanyalah janda menyedihkan di mata semua orang,” olok Steve, lalu tertawa terbahak-bahak penuh kemenangan.Gina tidak menanggapi. Selain karena tubuhnya masih terikat, dia juga tidak ingin menggunakan banyak tenaganya hanya untuk meladeni bualan Steve.Tiba-tiba Steve mencengkeram pipi Gina. “Aku akan menghancurkan hidupmu. Setidak
“Masuk!” seru Steve, ketika pintu ruang kerjanya diketuk.Brak!Annie mendobrak pintu cukup keras, dan masuk dengan langkah tegap ke dalam ruang kerja Steve.Steve yang saat itu sedang fokus pada lembar dokumen di depannya, hanya bisa terbelalak. Namun untungnya sang perawat buru-buru menutup pintu kembali, agar pasien tidak dapat melihat keributan itu.“An, ada apa?” tanya Steve heran. “Kamu sadar nggak, kamu sedang marah-marah di rumah sakit?”“Aku tidak peduli!” sentak Annie. Dia kemudian melempar dokumen-dokumen tentang Steve yang telah dikumpulkan Nina untuknya.“Sudah berapa kali kubilang padamu? Jangan coba-coba membodohiku!” maki Annie. “Kamu sengaja mendekatiku, mempertahankan Sean, karena kamu ingin menyelamatkan reputasi dan klinik pribadimu, kan?”Steve tidak mau membuka dokumen itu, karena sadar jika dia sudah tertangkap basah. Yang bisa dia lakukan kini adalah berusaha menenangkan Annie.“An, tenang dulu. Akan kujelaskan semuanya,” pinta Steve, berusaha meraih tubuh Anni
“Silahkan Bu Gina,” Rudi mempersilahkan dengan sikapnya yang terus saja pongah.Gina menegakkan posisi duduknya. Dengan mata lebih tajam, dia melipat kedua tangan di atas meja demi saling berhadapan dengan lebih fokus pada Rudi Evan.“Apakah Anda tahu, bagaimana anak saya bisa meninggal?” tanya Gina.“Kenapa Anda … ““Jawab saja, Pak Rudi,” potong Gina. “Apakah Anda tahu, siapa yang menyebabkan anak saya meninggal?”Nafas Rudi tercekat. “J-jadi Anda mengancam saya?”Gina menggeleng. “Saya tidak pernah mengancam siapapun, selama orang itu tidak mengusik saya. Tapi mencampuri urusan pribadi saya, sudah menjadi hal yang tidak akan saya biarkan begitu saja,” terang Gina. “Sepertinya Anda harus tahu tentang itu,”“Jika Damian tahu Sean anak kandungnya, bukankah dia menyesal sudah berpisah dengan Annie?”“Siapa yang meminta mereka berpisah, Pak Rudi? Bukankah, anda sendiri?”Sekali lagi Rudi tercekat. Tidak m