Hari ini adalah hari Sabtu, dan Gina tidak perlu pergi ke sekolah karena libur. Maka dia memutuskan untuk mengunjungi makam Sean di pagi hari, sebelum matahari mulai naik lebih tinggi.Dia membersihkan sisa-sisa buket bunga yang telah mengering dan menggantinya dengan buket mawar putih yang masih segar.Tak lupa dia juga membersihkan tanaman-tanaman liar yang tumbuh di sekitar makam itu.“Sean, Mama kangen sama Sean,” gumam Gina, fokus menatap batu nisan bertuliskan nama Sean Wijaya.Sambil membenarkan letak kacamata hitamnya, Gina mulai menarik nafas. “Apakah memang Mama tidak pantas bahagia? Sepertinya hanya Sean yang bisa Mama cintai setulus hati,”Setitik air mata jatuh mengalir di pipi, namun Gina biarkan. Karena tidak ada siapapun yang sedang melihatnya menangis.“Mama ingin dicintai, seperti Mama mencintai Sean. Tapi sepertinya permintaan Mama terlalu muluk,” Dia mulai memainkan cincin berlian di jari manis.Sembari menatap nanar cincin itu, Gina mantap untuk melepasnya. Dia be
“Kita sudah sampai,” tukas Damian, ketika mobilnya mulai memasuki pelataran hotel bintang lima itu.Gina mendongak, untuk melihat tinggi gedung pencakar langit dari hotelnya. “Sudah sangat lama aku tidak ke sini,”“Maafkan aku, karena hanya bisa membawamu ke hotel papamu,” seloroh Damian, niat bercanda.Gina tertawa lepas. “Apa aku perlu menyamar menjadi Fiona agar tidak ada pegawai yang tahu?”Damian ikut tertawa. Lalu mencolek jahil dagu Gina. “Aku senang melihatmu tertawa. Semuanya menjadi sangat indah untukku,”“Apakah semua penulis segombal ini?” celetuk Gina, tersipu malu.Mereka berdua saling bercanda. Sesekali tertawa, kemudian tersipu seperti pasangan muda yang sedang dimabuk cinta.Ketika mereka memasuki lobi hotel, para pegawai lama yang mengenali Gina otomatis membungkuk hormat.Damian makin mengencangkan genggamannya pada tangan Gina, seakan memberitahu pada semua orang bahwa Gina miliknya.“Kamu masih ingat kamar yang kita tempati, ya?” Gina terpana, karena Damian memilih
Tanpa dia sendiri sadari, Andrea mundur dua langkah. Wijaya terlalu menakutkan untuk dia hadapi terlalu dekat.“Kamu sudah mengganggu ketertiban di gedungku,” ucap Wijaya. “Termasuk membuat kesempatan viral di dalamnya. Apakah kamu tahu, haram bagi siapapun merekam di gedung ini?”“Mereka yang merekam!” Andrea membela diri. “Dan siapa yang memancing mereka untuk merekam?” Wijaya justru membalik pertanyaan.Andrea gelagapan. Seakan dia ingin memutar balik waktu, untuk tidak menyetujui pertemuan empat mata antara dia dan Wijaya.“Kini aku tidak akan melepasmu, Andrea,” simpul Wijaya. “Aku akan memburumu, kemanapun. Termasuk memastikan tidak ada seorang pun yang berani memberimu pekerjaan,”“Dasar iblis!!” umpat Andrea keras. “Jangan karena kau orang kaya, lalu bisa seenaknya padaku!”“Jika aku iblis, kau lebih iblis,” olok Wijaya enteng. “Kalau bukan karenamu, aku tidak akan bercerai dan kehilangan anakku,”Andrea tertawa keras. “Oh, jadi kau menyalahkanku? Siapa suruh kau jadi pria bo
“Steve, kapan kamu mau bawa Annie dan anakmu main ke sini?” tanya Sisca, ketika keluarganya berkumpul di akhir pekan untuk makan siang bersama.“Kapan-kapan, Ma,” jawab Steve singkat. Kembali sibuk dengan hidangan di depannya.“Kapannya itu kapan? Mama sudah nggak sabar pengen gendong cucu,”“Hus!” seru Edo, ayah Steve. “Steve harusnya segera menikah dengan Annie sebelum membawanya ke sini,” Edo melirik Steve, ingin tahu reaksinya. “Kapan kamu akan menikahi Annie?”“Secepatnya,”Brak! Tiba-tiba Edo menggebrak meja, membuat siapapun kaget.“Jangan main-main dengan Papa, Steve! Perjanjian itu sudah ditulis, dan syaratnya hanya jika kamu menikah dengan Annie,”“Aku tahu, Pa! Beri aku waktu, karena Annie juga baru pulih dari operasi,” Steve balas membentak.Padahal dalam hati timbul keraguan. Meskipun dia sangat ingin mewarisi seluruh kekayaan sang ayah, namun jauh di lubuk hatinya, dia ingin bersama anak kandungnya.Dan anak kandung Steve adalah anak Emma Dunn. Sementara Sean, anak Annie
Empat bulan kemudian …“Tasya, kamu mau pakai baju warna apa untuk acaranya nanti?” tanya Sari, ketika mereka sedang berbelanja kain untuk pesta pernikahan Damian dan Gina dua bulan lagi.Tasya sibuk mengamati satu-persatu kain yang disodorkan oleh Sari."Tasya, kamu seneng nggak, Papa mau menikah sama Miss Gina?" Sari mencuri kesempatan untuk bertanya, disela-sela Tasya sedang memilih.Anak kecil itu mengangguk riang. "Miss Gina baik sama Tasya. Miss Gina juga cantik, jadi Tasya suka Papa menikah sama Miss Gina," jelas Tasya panjang lebar.Hari ini mereka berdua hanya berbelanja bersama, karena Gina dan Damian memiliki urusan mendesak yang harus segera diselesaikan. Yaitu mengunjungi Hadi Wijaya. ***Damian sudah bercerita tentang pertemuan singkatnya bersama Hadi Wijaya beberapa bulan lalu, dan sebagai seorang anak yang baik, Gina tidak ingin menutupi kabar gembira ini darinya.“Kenapa kamu sangat peduli
“Apakah aku pernah meragukanmu?” Gina balik bertanya. “Jika aku ragu, aku tidak akan menunggumu. Masalah yang kita hadapi sangat rumit, tapi kita bertahan,”Damian tersenyum simpul. “Tentu saja aku takut, Gin. Karena aku tidak pernah sepadan denganmu,” akunya. “Kamu tahu, saat kamu menyamar, aku selalu diremehkan oleh Annie hingga dia memilih memuaskan dirinya bersama Steve. Kamu tahu betapa menyedihkannya aku,”“Karena itulah aku memilihmu,” sahut Gina. Membuat Damian tertegun. “Kamu memilihku karena menyedihkan?”Gelak tawa Gina tak dapat dibendung. Dia buru-buru menggeleng, meski tetap tak bisa menahan tawanya.“Bahkan sejak aku menjadi Fiona, kamu sudah mencintaiku,” ucap Gina, dengan tatapan lembut pada Damian.Damian pun meraih tangan Gina. “Karena kamulah, aku berani untuk memperjuangkan mimpiku lagi,”Perbincangan romantis itu harus terhenti, karena tak terasa mereka telah sampai di depan rumah Damian.
“Damian?” Rasanya Annie ingin jatuh pingsan, saat Damian berada di balik pintu rumahnya.Wajah pria itu tampak amat cemas, hingga tanpa sadar mengguncang bahu Annie.“Mana Tasya?!” seru Damian.Annie linglung. Dengan dahi berkerut, dia berusaha melepaskan diri. “Apa maksudmu?”“Apa Tasya bersamamu?” Mata Damian melotot seakan ingin keluar. Dengan raut wajah makin cemas, dia menanti jawaban Annie.Tapi sayangnya Annie menggeleng. “Bukankah Tasya bersamamu? Kenapa mencarinya ke sini?” tanyanya bingung.“Sial,” umpat Damian, mencengkeram kepalanya frustasi.“Apa terjadi sesuatu dengan Tasya? Tasya kabur?” cecar Annie. Giliran dia yang memasang wajah cemas.“Tasya–” Damian berusaha mengatur nafas. “Tasya menghilang,” ucapnya lirih.“Apa?!” Annie berseru. “Bagaimana bisa? Bagaimana mungkin kamu lalai mengawasi Tasya? Dia masih 8 tahun, Dam!”Annie yang gantian mengguncang bahu Damian. Justru makin kencang, karena sebagai ibu dia merasa bertanggung jawab. Meskipun Tasya sudah tidak lagi tin
"Jangan bicara begitu, An," seru Sari tak tahan lagi. Sejak tadi dia diam saja meski Annie tampak sangat menyalahkan Gina.Gina masih tetap tenang. Dia tahu bagaimana rasanya menjadi seorang ibu yang putus asa. Tidak ada pikiran jernih, yang ada hanyalah sang anak. Meski harus menukar kewarasan, apapun akan dilakukan asal sang anak kembali seutuhnya."Coba kalau kalian mau lebih sabar. Menunggu hingga Tasya cukup mengerti tentang perpisahan," Annie makin lantang karena Gina diam saja. "Tasya masih kecil. Meski dia bilang dia menyukaimu, melihat papanya menikahi orang lain bukan hal yang mudah,"Annie terus memaki, menyudutkan dan menyalahkan Gina. Ada raut putus asa dan kecemasan di wajahnya. Hingga Gina rasanya tak sanggup untuk memandang langsung wajah Annie."Bagaimana kalau kita bicara sambil duduk?" tawar Gina penuh hati-hati. Dia mengisyaratkan Annie untuk duduk, menghilangkan ketegangan.Annie menolak. Dia justru berdiri makin tega