“Coba katakan sekali lagi,” Damian tidak mau mempercayai pendengarannya.Gina kembali menarik nafas panjang. “Emma melahirkan anak kandung Steve,” ucapnya perlahan.Tubuh Damian tiba-tiba gemetar, dipenuhi emosi yang kini sudah menumpuk di ujung kerongkongannya. Dengan tangan mengepal, dia siap menerjang Steve. Namun Gina buru-buru mencegahnya untuk pergi.“Bukan kekerasan yang kita butuhkan, Dam,” cegah Gina. “Kamu tidak akan bisa menang, dan orang tua Annie tetap akan membela Steve,”“Jadi aku harus membiarkannya?”“Dam!” Tiba-tiba Gina lantang memanggilnya. Hingga mau tak mau Damian berhenti. “Apa kamu masih mencintai Annie?” tanyanya.Damian mengerjap, karena Gina tiba-tiba mengganti topik pembicaraan. “Kenapa kamu begitu marah? Apakah kamu masih mencintai Annie?” ulang Gina, dengan setitik kekecewaan di hati. “Aku tidak menyangka reaksimu akan seperti ini,”“Bukan begitu, Gin. Aku hanya tidak menyangka Steve bisa setega itu,”“Tega pada siapa?” sambar Gina.Dan Damian tak berkut
Gina makin menghadapkan tubuhnya pada Damian. Bola matanya bergetar, berusaha mencerna ucapan Damian yang terus menggema di kepala.“A-apa?” Hanya respon itu yang sanggup Gina beri.Damian maju satu langkah. Matanya teduh, berharap Gina mempercayai ucapannya sekali lagi.“Menikahlah denganku, Gina,” ucap Damian lebih pelan. Dia meraih kedua tangan Gina penuh sayang. “Aku tahu, apapun yang kuucapkan tidak akan membuatmu percaya, bahwa aku benar-benar mencintaimu. Satu-satunya cara untuk membuktikan adalah menikahimu,”“Kenapa tiba-tiba?” Gina tetap kehabisa kata. Dia yang semula ingin cepat-cepat pergi, mendadak kaku tak bergerak. Yang Gina lakukan hanya memandang Damian tanpa kata.“Kamu tidak perlu jawab sekarang,” timpal Damian. “Tapi aku akan terus menunggu jawabanmu, sampai kamu siap,”Damian lalu mengecup punggung tangan Gina. “Pergilah, Gin. Emma pasti menunggumu,” pintanya. “Aku akan mengajak Ayah, Ibu dan Tasya pulang,”Damian balik arah. Dia berjalan masuk ke dalam kawasan r
“Jaga cara bicaramu,” Suara berat itu menggema, yang berasal dari arah pintu.Spontan mereka bertiga menoleh, dan mendapati sosok Wijaya yang tinggi besar sedang berdiri di ambang pintu dengan tatapan tajam.Tatapan pria itu selalu mengintimidasi siapapun. Laju langkahnya yang tegap, membuat gentar lawannya.Begitu pula Steve, yang segera melepaskan cekikannya di leher Gina.Kini giliran Wijaya yang mencekik leher Steve. “Kau apakan Gina, hah?”Dengan nafas megap-megap, Steve berusaha melepaskan tangan Wijaya yang kelewat kuat.Tangan kiri Wijaya tengah membawa keranjang kecil berisi buah, sementara tangan kanannya mencekik leher Steve.“Kau tidak akan kubiarkan lolos,” Wijaya melepaskan cekikannya, memberi kesempatan Steve untuk mengambil nafas banyak-banyak.Wijaya merapikan bajunya–yang memang sudah rapi, dan dengan kepala mendongak angkuh, dia memberikan keranjang buah itu pada Emma.“Darimana Tuan tahu saya disini?” tanya Emma keheranan.“Apa kau meremehkanku?” Wijaya balik berta
“An, kamu mau makan apa pagi ini?” tanya Irene, pagi hari saat Annie menyusui anaknya.“Sebentar lagi makanan akan diantar,” jawab Annie.“Mungkin kamu lagi ingin makan sesuatu? Mama bisa belikan,” tawar Irene, dengan nada lembut.Annie diam. Yang dia inginkan saat ini bukanlah sarapan dengan menu kesukaan. Yang dia inginkan hanyalah bisa melihat Tasya.Melewati perjuangan proses melahirkan yang melelahkan, membuat Annie menjadi lebih sensitif akan banyak hal.Termasuk kehadiran anaknya Tasya. Dia sedih, karena Tasya menolak mendekatinya saat melihat Steve malam itu.Dan hingga dua hari ini, gadis kecil itu tidak tampak akan datang menjenguknya lagi.“Kamu kenapa, An?” tanya Irene, sadar jika Annie banyak merenung dan diam. “Kalau kamu sedih, bayimu bisa ikut sedih, lho,”“Tentu aku sedih, Ma,” sahut Annie cepat. “Aku merindukan Tasya,”“Tasya?” Irene bangkit. “Biar Mama telepon Steve buat jemput dia di sekolah,”“Bukan,” Annie mencegah. “Lalu?” Irene sudah siap menggenggam ponsel un
“Ayo cepetan dimakan, Tasya. Sebentar lagi Papa berangkat,” bujuk Sari, karena Tasya sama sekali tidak menyentuh sarapannya.Anak kecil itu merenung, dengan dua lengan dilipat rapi di atas meja makan.“Kamu kenapa?” Giliran sang kakek, Lukman, yang bertanya. “Nasi goreng buatan Oma nggak enak, ya?”Tasya menggeleng. “Buatan Oma pasti enak,” timpalnya.“Terus? Ayo makan, Papa sebentar lagi siap terus nganterin kamu ke sekolah,”“Tasya nggak mau, Oma,” tolak Tasya, dengan nada lemah. “Tasya kangen sama Mama. Tasya juga pengen ketemu adik,”Lukman dan Sari saling pandang. Keduanya tidak punya jawaban tepat atas permintaan Tasya.“Sudah siap?” celetuk Damian, keluar dari dalam kamar dengan pakaian rapi.Hari ini dia ada rapat bersama Ivan, membahas proyek baru series yang diadaptasi dari karyanya.Tasya masih cemberut. Sementara Lukman dan Sari hanya memandangi Tasya dengan tatapan prihatin.“Kenapa? Kok pada diem?” tanya Damian bingung.“Tasya mau ketemu Mama, katanya. Dia juga kangen ad
Gina terharu. Bukan nilai cincin berlian yang membuatnya hampir menitikkan air mata, tapi cara Damian melamar. Saat masih bersama Wijaya, dia tidak pernah dilamar. Tapi mereka dijodohkan, yang mau tidak mau harus dia terima demi kelangsungan bisnis keluarga masing-masing.Maka saat mendapatkan lamaran yang sederhana namun cukup mengejutkan ini, membuat Gina ingin menangis.Dia bahagia. Sangat bahagia, hingga rasanya dia ingin memeluk Sean dan membagi kebahagiaannya.‘Andaikan kamu masih disini, apakah kamu akan ikut bahagia, Sean?’ jerit Gina dalam hati.“Gina?” Damian kebingungan, karena Gina justru menangis bukannya tersenyum senang. “Kamu tidak suka?” tanyanya memastikan.“Aku bahagia,” Gina menggeleng sambil menangis. “Aku … aku teringat akan Sean. Seandainya dia disini, pasti dia akan menyukaimu,” isaknya pedih.Gina masih menangis keras. Sembari menutup wajah, dia memegang dadanya yang sesak. Penuh beban, atas kerinduannya yang tak pernah padam pada Sean, sang anak.Damian buru
Saking bahagianya, Eli sampai membungkam mulut. Dia benar-benar bahagia untuk sang putri satu-satunya. Apalagi dia sendiri pun juga tidak pernah dilamar dengan cara sangat berani layaknya Damian melamar Gina.“Semuanya tergantung pada Gina,” sahut Leo Duran, mencoba bersikap tenang–dalam hati juga terharu. “Bagaimana menurutmu, Gin? Apa kamu menerima lamarannya?” tanya Leo saat menoleh pada Gina.Gina tersenyum. Meski dia berusaha anggun dan tenang, namun semua orang yang duduk di meja makan tahu jika Gina bahagia.Pelan-pelan wanita itu mengangguk. “Aku bersedia, Pa,” jawabnya lirih.Semua berseru lega. Lamaran yang tidak formal, karena hanya dihadiri dua keluarga inti.Meski begitu, Damian tetap berencana membuat acara lamaran yang baik untuk Gina. Dia ingin memberikan yang terbaik untuk kekasihnya itu.“Miss Bidadari,” panggil Tasya, setelah makan malam usai. Seluruh keluarga kini berkumpul di ruang tengah.Gina menoleh. Lalu sedikit membungkuk untuk menyamakan kedudukan dengan Tas
Tentu tidak ada yang salah. Jika Steve dan Annie memilih nama Sean sebagai anak mereka, karena Gina tidak mematenkan nama Sean untuk dia seorang.Tapi sebagai seorang ibu yang kehilangan putra bernama Sean, tentu dia terkejut. Seakan mendengar nama anaknya sendiri disebut.“Maafkan aku, Gin,” sesal Annie, ketika Steve telah masuk ke dalam kamar Sean. “Aku juga sangat menyesali hari itu. Jika bisa memutar waktu, aku ingin Sean kembali,”“Sudahlah,” Gina menggeleng. “Harusnya kamu bahagia, karena punya dua anak yang cantik dan tampan,” Gina berusaha menghibur, karena bagaimana pun Annie baru saja melahirkan.“Ada sedikit oleh-oleh untuk Sean,” Lalu Gina mengeluarkan sebuah bingkisan kecil dari dalam tasnya.Ketika Gina mengulurkan tangan, mata Annie menangkap cincin berlian di jari manis Gina.Walaupun tidak diucapkan, tapi radar Annie berbunyi nyaring. Dia tahu jika cincin itu adalah cincin pemberian Damian.“Ini apa?” Annie berusaha tetap fokus–meski hatinya berdenyut sakit. Lalu dia
"Miss Gina?" Sari ternganga lebar, ketika dia membuka pintu depan dan sosok Gina sudah berdiri di sana dengan senyuman manis.Sari spontan memeluk Gina dan tangisnya pecah. "Ibu sangat merindukanmu, Gina! Kemana saja kamu setahun ini?"Gina balas memeluk Sari. Dia tidak bicara apapun, hanya tersenyum lega karena ternyata dia masih diterima cukup hangat di dalam keluarga Damian.Tasya muncul, dengan wajahnya yang kaget luar biasa. Tak menyangka Gina akan datang kembali ke rumahnya."Tasya, gimana kabarmu?" tegur Gina ramah.Tasya masih menganga, dengan mata mengerjap beberapa kali. "T-Tante Gina?" ucapnya terbata-bata. Gina berjalan mendekat. Lalu mendekap gadis yang kini tidak begitu kecil itu."Kamu sudah tambah besar, ya. Miss kangen sama Tasya," ucap Gina dalam dekapannya.Tidak ada reaksi yang keluar dari bibir Tasya. Tapi dia tidak menolak saat Gina memeluk erat tubuhnya. Yang dia lakukan hanya bergantian memandang Damian dan Sari, yang terus tersenyum haru."Tante Gina … " pang
"Terima kasih sudah mengantarku, Dam," tukas Annie saat mobil Damian berhenti tepat di depan pintu masuk kantornya.Damian mengangguk. "Ibu sangat senang menjaga Sean, jadi kamu fokus saja pada kerjaanmu,"Annie tersipu senang. Seakan mereka berdua masih sebagai sepasang suami istri yang bahagia, apalagi dari perlakuan Damian padanya yang sangat sopan."Apakah kamu akan pulang telat hari ini?" tanya Annie. Tampak ragu untuk bicara, tapi dorongan di dalam dirinya kelewat kuat untuk bisa dicegah. "Maukah pulang bersama?" ajaknya.Damian hening beberapa detik. Untuk kemudian mengangguk. "Akan kuusahakan pulang cepat,"Annie berseru bahagia dalam hati. Sangat senang karena Damian menyambut baik segala usahanya untuk kembali dekat itu. Dia berusaha menampik kenyataan, bahwa Damian sedang tidak baik-baik saja.Dia tahu, Damian dan Gina batal menikah. Tapi Annie ingin menuruti egonya sendiri kali ini, karena dia tidak ingin kehilangan Damian untuk kedua kalinya.Sore harinya, Damian benar-be
Hati Damian terasa amat nyeri, mendengar perkataan secara sepihak itu dari Gina. Bahkan ketika dia mencoba untuk menelan ludah, seperti ada yang mengganjal. Sesuatu yang sangat menyakitkan hingga membuat suaranya tercekat."Aku tidak ingin menjadi trauma untuk Tasya," lanjut Gina, sangat nekat meski suaranya sudah bergetar menahan tangis. "Dia adalah darah dagingmu. Sudah menjadi bagian dalam kehidupanmu. Mengabaikan pendapatnya dalam setiap keputusanmu, akan membuatnya trauma di masa depan,"Damian masih tidak menjawab. Hanya bola matanya yang terus bergetar. Kemudian pelan-pelan Gina melepaskan cincin berlian di jari manisnya, pemberian Damian. Dia serahkan kembali cincin itu, ke dalam genggaman tangan Damian yang terasa amat dingin."Aku menyayangimu, aku juga menyayangi Tasya. Tapi kebahagiaan kalian berdua bukanlah aku," isak Gina. "Aku tidak ingin menjadi mimpi buruk Tasya. Karena setiap kali melihatnya, selalu mengingatkanku akan Sean. Aku ingin menjadi kenangan manis untuknya
Wijaya berulang kali mencuri pandang pada Gina yang duduk di samping kemudi mobilnya. Tampak wanita cantik itu terisak pelan, dengan kepala yang terus menghadap keluar jendela mobil.Wijaya ingin bertanya, tapi lidahnya kelu hingga menahan hasratnya untuk tidak mengeluarkan suara apapun. Dia tahu, Gina sedang terluka. Gina melihat dan mendengar dengan inderanya sendiri, bagaimana sang calon suami bercengkerama dengan si mantan istri."Gina? Sudah sampai," tukas Wijaya, ketika mobilnya berhenti di depan pintu masuk rumah Gina.Bahkan wanita itu juga tidak menyadari jika Wijaya sempat bertukar sapa dengan satpam rumahnya sebelum mobil itu masuk."Terimakasih, Jay," ucapnya pelan."Atas apa?""Karena mengantarku pulang," timpal Gina, dengan wajah lesu.Wijaya hanya diam, terus memandangi Gina dengan tatapan iba. Dia selalu memiliki titik lembut tersendiri di dalam hatinya, hanya untuk Gina.Lantas Gina–dengan gerakan lambat keluar dari dalam mobil Wijaya. Tanpa mengucapkan apapun lagi, w
Gina mengangguk. Lalu mereka berdua kembali kikuk berhadapan satu sama lain. Tak ada kata yang sanggup keluar dari bibir masing-masing, karena ada kesalahpahaman yang muncul di dalam otak Gina dan Damian. "Damian," panggil Rudi, yang baru saja tiba. Kemudian dia cukup terkejut melihat Gina, namun berusaha untuk hanya fokus pada Damian.Damian menyahut dengan senyuman. Sementara Rudi–beserta Irene, masih berdiri di depan Damian dengan ekspresi tegang. Tampak ada sesuatu yang mengganjal."Dam, maafkan Papa dan Mama," tukas Rudi tiba-tiba. Hingga membuat siapa saja yang ada di sana terkejut. "Papa dan Mama selama ini selalu bersikap tak adil padamu," lanjutnya.Bahkan Damian hingga tergagap karena tak menyangka akan mendapatkan ucapan maaf dari Rudi. "Papa … " Annie berkaca-kaca melihat sikap papanya. Dia tanpa sadar berjalan mendekati Damian dan Rudi. "Kenapa Pak Rudi … " Damian kehabisan kata-kata. Bahkan untuk sekedar tersenyum dan memandang Rudi pun dia tak sanggup. Semuanya sungg
“Jay?” panggil Gina.Wijaya hanya menautkan alis sebagai respon.“Bagaimana kamu tahu aku diculik disana?” tanya Gina.Wijaya lalu duduk lebih santai, menikmati perjalanan karena Emma pun juga mengemudi dengan kecepatan sedang.“Aku datang ke sekolah untuk mengajakmu pulang bersama. Tapi kamu malah naik mobil bersama seorang pria asing,” jelas Wijaya. “Kukira itu Damian, tapi aku hafal dengan mobilnya. Jadi aku bisa simpulkan bahwa itu bukan Damina,”“Lalu?” Gina sudah tidak sabar.“Aku membuntuti dari belakang. Saat sadar mobil itu masuk ke jalan yang sempit dan sepi, aku langsung menghubungi Emma,” lanjut Wijaya.“Tuan meminta saya menghubungi polisi. Jadi saya bersama polisi datang. Tapi kami tidak langsung menyergap, karena Tuan ingin mengatur strategi agar semuanya bisa tertangkap,” timpal Emma cukup detail. “Saya juga tidak menyangka, Steve yang menjadi dalang dibalik penculikan ini,” Dia menunduk, merasa menyesal juga bersalah. “Kenapa dia tiba-tiba menculik Nyonya?”Gina angka
Dengan cepat Steve membuka lakban yang menutup mulut Gina. Membuat Gina meringis merasakan rekatan kuat itu ditarik paksa dari kulitnya.“Kamu terlalu meremehkanku, Gina. Kamu pikir, selama ini aku hanya diam dan menontonmu terus melakukan hal-hal licik,” ujar Steve.Gina balas menatapnya dengan perasaan tenang. “Apa kamu sadar perbuatanmu ini hanya akan makin merugikanmu? Kamu lupa siapa aku?”Plak!Tiba-tiba Steve menampar pipi Gina sekerasnya. Ada kilatan murka di kedua matanya yang menyala.“Kamu kira, kamulah pusat dunia? Kamulah penguasa dunia ini?” bentak Steve. “Jangan lupakan statusmu yang hanya seorang janda, Gina Duran. Seberapa kaya dirimu, kamu hanyalah janda menyedihkan di mata semua orang,” olok Steve, lalu tertawa terbahak-bahak penuh kemenangan.Gina tidak menanggapi. Selain karena tubuhnya masih terikat, dia juga tidak ingin menggunakan banyak tenaganya hanya untuk meladeni bualan Steve.Tiba-tiba Steve mencengkeram pipi Gina. “Aku akan menghancurkan hidupmu. Setidak
“Masuk!” seru Steve, ketika pintu ruang kerjanya diketuk.Brak!Annie mendobrak pintu cukup keras, dan masuk dengan langkah tegap ke dalam ruang kerja Steve.Steve yang saat itu sedang fokus pada lembar dokumen di depannya, hanya bisa terbelalak. Namun untungnya sang perawat buru-buru menutup pintu kembali, agar pasien tidak dapat melihat keributan itu.“An, ada apa?” tanya Steve heran. “Kamu sadar nggak, kamu sedang marah-marah di rumah sakit?”“Aku tidak peduli!” sentak Annie. Dia kemudian melempar dokumen-dokumen tentang Steve yang telah dikumpulkan Nina untuknya.“Sudah berapa kali kubilang padamu? Jangan coba-coba membodohiku!” maki Annie. “Kamu sengaja mendekatiku, mempertahankan Sean, karena kamu ingin menyelamatkan reputasi dan klinik pribadimu, kan?”Steve tidak mau membuka dokumen itu, karena sadar jika dia sudah tertangkap basah. Yang bisa dia lakukan kini adalah berusaha menenangkan Annie.“An, tenang dulu. Akan kujelaskan semuanya,” pinta Steve, berusaha meraih tubuh Anni
“Silahkan Bu Gina,” Rudi mempersilahkan dengan sikapnya yang terus saja pongah.Gina menegakkan posisi duduknya. Dengan mata lebih tajam, dia melipat kedua tangan di atas meja demi saling berhadapan dengan lebih fokus pada Rudi Evan.“Apakah Anda tahu, bagaimana anak saya bisa meninggal?” tanya Gina.“Kenapa Anda … ““Jawab saja, Pak Rudi,” potong Gina. “Apakah Anda tahu, siapa yang menyebabkan anak saya meninggal?”Nafas Rudi tercekat. “J-jadi Anda mengancam saya?”Gina menggeleng. “Saya tidak pernah mengancam siapapun, selama orang itu tidak mengusik saya. Tapi mencampuri urusan pribadi saya, sudah menjadi hal yang tidak akan saya biarkan begitu saja,” terang Gina. “Sepertinya Anda harus tahu tentang itu,”“Jika Damian tahu Sean anak kandungnya, bukankah dia menyesal sudah berpisah dengan Annie?”“Siapa yang meminta mereka berpisah, Pak Rudi? Bukankah, anda sendiri?”Sekali lagi Rudi tercekat. Tidak m