“Tenanglah, Dam,” Emma tertawa geli, dengan kecemasan Damian.“Tolong jawab dengan jujur,” pinta Damian, masih tak berhenti cemas.Emma menatapnya dengan senyum. “Nyonya baik-baik saja. Syukur aku datang tepat waktu,”“Tepat waktu? Jadi maksudmu, mereka hampir melakukannya?” pekik Damian, terkejut sekaligus marah.“Nyonya Gina setuju untuk pergi bersama Tuan Wijaya, dan sebagai gantinya aku boleh menyelamatkanmu,”Damian mengutuki dirinya sendiri. Yang tak pernah bisa melindungi Gina dari Wijaya. Bukannya senang sudah ditolong, kini dia merasa malu. Harga dirinya sebagai seorang pria terasa telah tercoreng.***Wijaya hampir tersedak, saat perlahan Gina menuruni tangga dengan gaun merah marun pemberiannya. Wanita itu tampak sangat cantik dan anggun, dengan rambut panjang terurai dan riasan minimalis tapi cocok dengan wajahnya.“Emma sudah menemukan Damian,” tukas Gina.Saat mantan istrinya itu justru mengungkit nama pria lain, membuat hati Wijaya dongkol. Perasaan haru sesaatnya hilan
Gina gelagapan dan saling pandang dengan ibunya. Bukannya dia tidak tahu harus beralasan apa, namun Gina cemas Eli tidak dapat menjaga lisannya. Ibunya itu terkenal sering salah bicara dan tidak sadar telah keceplosan.“Tuan Hadi Wijaya?” sapa Emma, yang tiba-tiba hadir dengan pakaian formal dan yang lebih mengejutkan, ada Damian di sampingnya. “Tuan masih ingat saya?”Beruntung Emma datang tepat waktu dan menyelamatkan Gina–serta Eli dari pertanyaan yang akan susah dijawab.Hadi Wijaya spontan merangkul Emma. “Anak asuhku sudah besar sekarang,” serunya, tampak bangga. “Apakah kamu masih bekerja untuk Wijaya?”Senyum di bibir Emma perlahan memudar. “Saya–” Dia bahkan tak sanggup melanjutkan ucapannya. “Saya kini bekerja untuk Nyonya Gina,” jawab Emma lantang.“Untuk Na?” Pria tua itu mengerutkan kening. “Apakah Wijaya takut istrinya celaka hingga menyuruhmu?”Gina spontan tertawa, begitu pula Eli dan Emma. Mereka bertiga sudah harap-harap cemas, tegang menanti jawaban yang akan melunc
“Hentikan, Steve,” gertak Annie pelan, berusaha menjaga sikap karena kini banyak orang-orang kaya berkumpul di sana.Steve tak mau dengar. Dia justru makin bersemangat hendak menghina Damian, karena temannya itu tidak membalas.“An, bagaimana kabarmu? Kamu sudah baik-baik saja, kan?” Damian justru menanyai Annie dan seakan menganggap Steve tak ada.Annie maju, sembari mengelus perutnya. “Terima kasih, Dam. Aku baik-baik saja,” jawabnya, tampak sangat merindukan Damian dari tatapannya. “Bagaimana kabarmu dan Tasya? Kalian sehat, kan?”“Baik,” jawab Damian, sambil mengangguk. “Untung Ibu sama Ayah datang untuk membantuku menjaga Tasya,”“Maafkan kelakuan Mama waktu itu,” sesal Annie. “Kuharap kamu tidak terlalu mengambil hati,”Damian tersenyum getir. Tampak sakit hatinya terpancar dari ekspresi wajah, meskipun dia berusaha tidak menyinggung Annie.“Tapi Dam–” Annie menyentuh lengan Damian, ketika pria itu hendak pergi. “Aku masih sangat berharap, anak ini adalah anak kita,”“Tapi orang
Dua jam penuh, Gina dan Wijaya memainkan peran mereka sebagai sepasang suami istri dengan sangat baik. Hingga tak ada seorang pun yang menyadari–kecuali keluarga inti konflik batin diantara mereka.Kini tibalah saatnya mereka mengucapkan banyak terima kasih kepada para undangan yang hadir, ketika satu persatu dari undangan itu pamit untuk pulang.Dan hanya tersisa keluarga inti Wijaya, serta kenalan dari Gina termasuk Damian dan Eli Duran.Dengan wajah penuh lesu, Gina berjalan lunglai menghampiri ibunya itu yang sejak awal memang sudah berdampingan dengan Damian.“Sudah selesai, Gin?” tanya Eli, berusaha membantu anaknya tegak berdiri. “Kamu mau pulang sekarang?”Gina menggeleng lemah. “Papa masih ada disini, Ma. Aku tidak bisa tiba-tiba pulang sendiri,” tolak Gina, sedikit menyesal. “Mama pulang sendiri?”Eli melirik Damian. “Damian berencana mengantar Mama pulang,”“Kamu sudah mendapatkan barang-barang dan mobilmu?” Pertanyaan Gina dia tujukan untuk Damian.Damian mengangguk mantap
Wijaya mengerjapkan mata beberapa kali, demi memikirkan jawaban paling bisa diterima oleh papanya.“Siapa, Jay?” ulang Hadi Wijaya karena anaknya tidak segera menjawab.“Dia … kolega Gina selama bekerja di sekolah, Pa,” jawab Wijaya. Jawaban yang sukses membuat Hadi Wijaya mengangguk paham.“Segeralah kamu ajak pulang istrimu, karena sepertinya dia sangat lelah,” saran Hadi Wijaya. “Papa besok akan mampir, ingin sekali menengok Sean,”“B-baik, Pa,” Peluh dingin mengalir dari pelipis Wijaya, atas perwakilan rasa gugupnya.Bagaimana dia tidak gugup? Papanya akan datang demi melihat anaknya–yang sudah tidak ada lagi di dunia.“Gina,” panggil Wijaya, berjalan menghampiri Gina dan Damian.Ketegangan seketika menyelimuti mereka bertiga. Bahkan Eli Duran memilih menjauh, karena tidak ingin ikut campur.“Ayo kuantar pulang,” ajak Wijaya pada Gina, siap menarik tangan mantan istrinya itu.Namun dengan cepat Damian mencegah. “Biar aku saja yang mengantarnya,” ucapnya.Tatapan Wijaya menajam. “S
Burhan berdehem keras. Seakan dia tahu subjek apa yang akan dibawa Emma dalam pembicaraan seriusnya dengan Hadi Wijaya.Namun pria tua itu penasaran lebih dari apapun, jadi dia meminta pada Burhan untuk memberinya ruang berdua saja dengan Emma. Maka Burhan pun terpaksa pergi menjauh, menuruti permintaan tuannya.“Apa yang ingin kamu bicarakan?” tanya Hadi Wijaya–setelah memastikan tidak ada orang di sekitar mereka.Emma mengepalkan kedua tangan erat-erat. Seperti hendak berperang. “Sebenarnya, Tuan dan Nyonya–” Dia menarik nafas panjang, sebelum melanjutkan. “Tuan dan Nyonya sudah lama bercerai,” tandas Emma, lancar.“Apa?” Hadi Wijaya masih berusaha tenang, meski perceraian adalah suatu hal yang paling dia benci.“Saya tahu, setelah ucapan saya ini, Nyonya Gina pasti membenci saya,” aku Emma. “Karena sebenarnya Nyonya meminta saya untuk merahasiakan dari Tuan,”“Kenapa?” Hadi Wijaya masih bertanya dengan pertanyaan-pertanyaan singkat.“Karena Nyonya tidak ingin membuat Anda khawatir,
“Gina,” panggil Eli Duran, dalam perjalanan pulang bersama Gina. Mereka menaiki mobil pribadi Eli dengan sopir di depan.Gina melirik ibunya, tidak menjawab.Eli tampak ragu untuk bicara, hingga dia pun menyentuh punggung tangan Gina–seakan ucapannya akan menyinggung perasaan anaknya.“Gin, Mama rasa, sudah saatnya kamu juga memikirkan kebahagiaanmu sendiri,” ucap Eli penuh hati-hati. “Jangan lagi memikirkan Sean, atau bahkan memikirkan keluarga Wijaya. Kamu juga berhak bahagia, Sayang,”“Gina tidak mungkin tidak memikirkan Sean,”“Maksud Mama–” Eli sekali lagi menyentuh tangan Gina. “Yang sudah terjadi, terima saja. Ikhlaskan. Mama yakin, Sean juga ingin kamu bahagia. Dia pasti sedih melihatmu terus seperti ini,” Eli menjelaskan panjang lebar supaya Gina tidak salah paham.Gina melipat bibir, tampak berpikir. “Apakah Gina boleh bahagia, Ma? Sedangkan Sean kini sendirian disana,”Mata Eli berkaca-kaca. Merasakan kepedihan yang ditanggung anaknya, akibat kehilangan sang buah hati. Seba
“Kurasa itu semua bukan urusanmu, Em,” hardik Annie, tak tahan lagi. Dia merasa Emma terlalu ingin tahu masalah pribadinya.“Memang bukan urusanku,” Emma menautkan alis. “Maaf kalau aku lancang bicara, An,” Dia menunduk sebentar, lalu mengucapkan salam pamit pada Annie, tak lupa memandang Steve cukup lama.Setelah Emma benar-benar pergi, Annie memicingkan mata ke arah Steve. “Apa kamu menyembunyikan sesuatu? Emma hamil bukan karenamu, kan?”“Tentu saja tidak!” sanggah Steve keras. “Kenapa kamu masih saja mempedulikan omongan wanita itu? Kamu tahu dia itu mata-mata, harusnya jangan pernah percaya padanya!” omel Steve, menuding ke arah Emma yang sudah tidak tampak lagi batang hidungnya.Annie hanya diam, sebagai tanda bahwa dia mengalah dan tidak ingin memperpanjang perdebatan.Suasana pun kembali cair, ketika makanan pesanan mereka sudah datang. Mencium aroma makanan yang lezat membuat suasana hati Annie membaik.“Ngomong-ngomong An, bagaimana proses perceraian kalian?” tanya Steve, di