“B-bagaimana bisa?” Sekali lagi Sari meneguk minumannya. Nafasnya terus tersengal. Antara ingin memaki Damian, namun juga tak sabar mendengar lanjutan ceritanya.“Annie tidak sengaja membunuh anak itu, dan ibunya tidak terima. Maka dia memutuskan untuk menyamar sebagai pembantu di rumah kami, demi menghancurkan rumah tanggaku dengan Annie,” cerita Damian.“Jadi, kalian berdua bercerai karena wanita itu?” Damian menggeleng patah-patah. “Sayangnya tidak, Bu,” lirihnya.“Lalu kenapa? Kenapa kamu tega meninggalkan Annie yang sedang hamil?”Giliran Damian yang meneguk minumannya. “Annie juga bermain di belakangku dengan Steve,”“Astaga!” pekik Sari, memegangi keningnya yang nyeri. Begitu pelik rumah tangga Damian, hingga rasanya dia ingin pingsan saja.“Jadi itu alasannya, kenapa Steve datang bersama Bu Irene waktu itu?”Damian hanya menautkan alisnya, tidak mengiyakan. “Lalu sekarang kemana si pembantu it
Gina hanya mengerjapkan mata, tidak paham apa yang sebenarnya terjadi. Dia tertegun memandang ke arah Sari, yang menatapnya dengan tatapan penuh keprihatinan. Seakan Gina adalah wanita paling malang sedunia.“Ibu, sudah, sudah,” Damian berusaha memisahkan mereka.Sari mengangguk, masih dengan tatapan sendu ke arah Gina.Gina menautkan alis, mengisyaratkan tanya pada Damian. Dan setelah Tasya berlari masuk ke dalam tempat les, barulah Damian berani mendekati Gina.Dia berbisik di dekat telinga Gina. “Maafkan ibuku,” bisiknya. “Aku sudah menceritakan semuanya,”Gina manggut-manggut, kini paham apa yang sebenarnya terjadi. Lalu dia kembali fokus pada Sari, berusaha bersikap ramah seperti biasa.“Apa Ibu mau mampir ke kantor saya sebentar?” tawar Gina.“Oh, tidak perlu Miss,” Sari menolak dengan lambaian tangan. “Tapi Miss, sebenarnya saya penasaran,”“Tentang apa, Ibu?” Gina saling pandang sesaat dengan Damian.Sari tampak ragu, namun dia juga lebih penasaran. “Kenapa … Tasya memanggil Mi
“Annie datang,” bisik Steve panik.Emma melompat bangkit, merapikan busananya dan mencari tempat bersembunyi. Sementara Steve segera mengenakan celana, menata meja kerjanya seperti sediakala.“Steve? Apa kamu di dalam?” Annie terus mengetuk pintu.Setelah memastikan tempat persembunyian Emma aman–di bawah kolong meja Steve maka Steve pun segera membuka pintu itu.“Sabar, An. Aku sedang ke toilet,” ujar Steve, menyeka peluh di keningnya.Annie mengernyit curiga. “Kenapa harus dikunci?”“Bagaimana kalau ada pasien yang menerobos masuk? Kamu lupa, aku pernah hampir ditusuk?”“Apa?”Sadar karena telah keceplosan, Steve melipat bibir. Peristiwa menghebohkan itu memang dia rahasiakan serapat mungkin dari Annie, namun justru dia sendiri yang membukanya.“Kenapa kamu mau ditusuk?” tanya Annie sekali lagi, makin curiga. “Dan juga–” Dia menerobos masuk, dengan pandangan menyelidik ke seluruh ruangan. “Ini sudah tutup, tidak mungkin ada pasien,”Steve menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Meskip
Pagi hari saat Gina sudah bersiap hendak pergi ke sekolah, Wijaya berdiri menyandarkan tubuh tingginya di samping mobil mewahnya.Gina sampai berhenti, hanya sekedar memastikan bahwa penglihatannya tak salah. Wijaya melambai, berjalan cepat menghampiri Gina berdiri mematung di depan gerbang rumahnya.“Jadi benar, sekarang kamu tinggal disini?” Wijaya mendongak, mengamati rumah yang ditinggali Gina. “Kupikir, kamu akan memilih apartemen,”“Apa urusanmu?” sambar Gina. “Bagaimana bisa kamu tahu tempat ini?”Wijaya tersenyum, sembari menyentil hidungnya. “Kamu lupa siapa aku, Gin?”Gina sama sekali tidak ramah. Dia memasang wajah masam, seakan hendak mengusir Wijaya hanya dengan ekspresinya. Tapi Wijaya juga tidak mudah digoyahkan. Dia justru tersenyum cerah, secerah terik hangat matahari pagi ini.“Mari kuantar,” ajak Wijaya.“Jangan mencoba baik padaku,” ketus Gina. “Aku tahu, tujuanmu mendekatiku kembali adalah karena Papa. Kamu takut Papa mengambil perusahaanmu, kalau sampai Papa tahu
“Na, bagaimana kabar Sean?” ulang Hadi Wijaya, karena Gina diam mematung, sesenggukan.“Pa–” Gina sampai tak sanggup melanjutkan ucapannya. “Sebenarnya … ““Permisi, Tuan?” Asisten Hadi Wijaya tiba-tiba mendongak masuk, membuyarkan perbincangan serius antara Gina dan Hadi Wijaya.“Ada apa, Burhan?” tanya pria tua itu.Sang asisten yang bernama Burhan itu perlahan masuk, dan membungkuk hormat. “Tuan sudah waktunya pergi, karena sebentar lagi akan ada pertemuan keluarga besar Hadi Wijaya,” jelas Burhan.“Oh iya,” Hadi Wijaya mengangguk, lalu menoleh kembali ke arah Gina. “Wijaya sudah memberitahumu, kan?”Gina salah tingkah. “N-Na cukup sibuk, Pa. Jadi Wijaya belum sempat memberitahu,” Sebisa mungkin Gina memberikan alasan yang tidak akan menimbulkan kecurigaan.Pria tua itu memicingkan mata, berusaha menemukan setitik kejujuran dibalik raut Gina. Namun pada akhirnya dia mengangguk.“Jangan lupa hubungi dia untuk menjemputmu. Papa tunggu disana, Na,” Hadi Wijaya beranjak bangkit. Dengan
Gina sampai tak bisa berkata-kata karena ucapan Damian yang meluncur cepat begitu saja tanpa pernah dia duga. Sehingga dia memilih untuk diam dulu, memikirkan jawaban terbaik demi bisa mewakili perasaannya.“Tidak perlu kamu jawab sekarang, Gin,” Akhirnya Damian menengahi. Dia sendiri cukup gugup menunggu reaksi Gina.“Kurasa ini bukan saat yang tepat untuk membahasnya, Dam,” ucap Gina. “Seharusnya kamu lebih memikirkan hubunganmu dengan Annie,”Damian mengangguk. Rona wajahnya kini memerah, menandakan dia malu dan berharap bisa menarik ucapannya kembali.“Tapi aku senang–” Gina berujar lagi. “Setidaknya perasaanmu tidak berubah padaku,” Wanita anggun itu tersenyum. Senyum yang amat manis, hingga rasa percaya diri Damian kembali bangkit.“Apa kamu menyesal, sudah bercerai dari mantan suamimu itu?” tebak Damian, karena kini mereka sedang menuju kediaman Wijaya atas permintaan Gina.“Aku hanya menyesal, kenapa Sean menjadi korban atas semuanya,” timpal Gina. “Andai Sean masih ada, mungk
“Apa kau bilang?” sentak Wijaya. Wajahnya yang semula sendu di depan Gina, berubah beringas saat menatap Damian.Tapi Damian tak terganggu. Dia justru makin keras terkikik. “Dia rela jauh-jauh datang demi menyelamatkan reputasimu. Tapi bukannya berusaha melindunginya, kau malah ingin dia melindungimu. Pria macam apa kau ini?”“Brengsek!” Wijaya maju, meninju wajah Damian sekerasnya.Gina menjerit, tak menyangka pemukulan itu terjadi. Dia berusaha menolong Damian yang jatuh tersungkur dengan sudut bibir berdarah.“Kamu tidak apa-apa?” tanya Gina cemas.Damian mengangguk. Dengan cepat berdiri, tak terima mendapatkan pukulan itu. Dia ganti meninju wajah Wijaya, hingga menimbulkan bekas kebiruan.“Dam!” Gina menjerit lagi. Dia memeluk tubuh Damian, mendorongnya untuk mundur.“Pergi dari sini!” bentak Wijaya. “Kau dilarang datang ke sini, selamanya!”“Aku juga tidak akan sudi datang!” balas Damian tak kalah keras.Wijaya maju hendak kembali meninju Damian, namun Gina menghadang. Dan alhasi
Brakk!“Nyonya Gina?!” Emma berteriak lantang, menginterupsi Wijaya yang sedang fokus hendak menggerayangi tubuh Gina.Wijaya melotot. “Ngapain kamu disini?!”“Maafkan saya, Tuan,” Emma berjalan cepat mendekati mereka. Lalu menarik tubuh Wijaya menjauhi Gina. “Saya bekerja untuk melindungi Nyonya Gina dari bahaya,”“Bahaya katamu?!” Wijaya memekik. “Aku mantan suaminya, aku tidak akan mencelakainya,”“Tapi pernah mencoba membunuhnya,” timpal Emma, tak kenal takut.Gina buru-buru bangkit. “Aku berusaha bicara baik-baik padamu, tapi balasanmu seperti ini,” Dia merapikan bajunya yang sempat berantakan. “Kemana kamu bawa Damian pergi?”Wijaya kesal setengah mati. Namun demi memberikan kesan yang baik pada Gina, dia berusaha meredam emosinya.“Aku tidak membawanya kemana-mana,”“Jangan bohong,” sahut Gina. “Kenapa dia masih meninggalkan mobilnya di depan?”“Jika aku membawanya pergi, aku juga tidak akan memberitahumu,” Wijaya kini memandang ke arah Emma. Jari telunjuknya mengisyaratkan wan