Gina meringis kesakitan, berusaha melepaskan cekikan Wijaya di lehernya. Wajahnya membiru, dengan mulut megap-megap berusaha memasukkan oksigen ke dalamnya.
“Andrea tidak sejahat itu! Dia mencintaiku, dan aku mencintainya!” bentak Wijaya. “Berhenti menghasutku, karena aku tahu kamu iri dengannya!”Gina tidak kuasa untuk menjawab. Seluruh fungsi tubuhnya kini hanya fokus pada lehernya yang kesakitan. Dengan kondisi gawat, otak Gina yang kacau berusaha untuk mencari akal. Dia sadar, kakinya yang berdiri tak terawasi cukup menjadi cara menguntungkan untuk memukul mundur Wijaya.Dia menendang bagian vital Wijaya, dan pria itu seketika menjerit dan mundur melepaskan cengkeramannya di leher Gina.Gina terbatuk keras, dengan tubuh bersimpuh hampir kehabisan nafas.“Kamu tidak seperti ini, Wijaya! Kamu tidak akan membunuh orang, apalagi membunuhku,” sengal Gina, memegangi lehernya yang sakit.“Kamu tidak benar-benar tahu siapa aku,” SeteTanpa sadar Wijaya mengangkat kedua tangannya ketika Annie mengacungkan sebuah pistol. Dia melotot lebar, tak mempercayai tindakan Annie yang terkesan gegabah.“Apa-apaan ini, An?!” murka Wijaya. Lalu dia mengamati lembaran foto yang dilempar Annie ke wajahnya.Tampak foto Andrea sedang bermesraan dengan seorang pria. Wijaya tak bisa mengamati lebih detil. Dia pun memutuskan untuk memungut salah satu foto itu.“Selama ini aku diam, menuruti perintah kalian berdua. Tapi setelah aku berhasil mengumpulkan bukti, aku tidak akan diam lagi,” ujar Annie, setelah diam-diam melepaskan ikatan dasi di kedua tangan Gina.“Ini–” Wijaya mengamati foto itu. “Bagaimana bisa kau menuduh istriku hanya dengan bukti foto-foto ini?”Annie kemudian meraih kembali tasnya. Dan dia mengeluarkan sekeping flashdisk. Dia acungkan ke arah Wijaya.“Semua bukti ada di sini, jika kamu mau tahu lebih,” tegas Annie. “Tapi ini tidak bisa kuberikan secara gratis,”
“Gina, kumohon … “ Wijaya hendak mendekat.Namun Gina sudah lebih dulu mengacungkan kelima jarinya, pertanda tak ingin didekati. Dia berdiri lebih tegap, sambil menggenggam erat tas di kepalan tangannya. “Maafkan aku,” ucapnya pada Wijaya dengan mata berkaca-kaca. “Aku tidak cukup baik, hingga kamu berpaling dan memilih wanita lain,”Langkah kakinya telah mantap sekarang. Dengan satu kali helaan nafas, Gina berjalan cepat meninggalkan kamar Shaan. Dan Wijaya serta Annie masih mematung di tempat masing-masing, berusaha mencerna semuanya.Annie tenggelam dalam segala perkataan Gina. Tentang reputasinya, tentang Tasya hingga Damian. Kemudian pada bayi yang ada dalam kandungannya. Sebuah hasil dari dosa besar yang dia lakukan, namun bisa jadi menjadi anugera. Anugerah indah, jika memang benar bayi itu adalah anak kandung Damian.Masalahnya, Annie sama sekali tidak punya petunjuk, siapakah ayah dari bayi di kandungannya. Apakah Damian? Atau j
Andrea hanya bisa tercengang saat secara tiba-tiba Wijaya sudah berdiri di balik pintu kamar hotel yang sengaja dia pesan malam ini.Pria itu menyeringai, memandang Andrea dengan tatapan menggoda. Namun bagi Andrea tatapan itu justru tampak seperti seseorang yang puas telah memergoki pasangannya berselingkuh.“S-sayang?” seru Andrea terbata-bata. “K-kenapa … ““Kenapa?” potong Wijaya. Dia tidak segera masuk ke dalam kamar, melainkan masing berdiri di ambang pintu. “Kenapa kamu di dalam kamar hotel ini? Menunggu siapa?”Punggung Andrea panas dingin. Dia sudah benar-benar mati sekarang. Tidak ada lagi alasan yang paling masuk untuk Wijaya.“Apakah kamu menungguku?” tebak Wijaya karena Andrea tidak segera angkat bicara.Wanita muda itu buru-buru mengangguk dengan rona muka pucat. “T-tentu saja, Sayang,”“Tapi, aku tidak kamu hubungi?”“Belum!” sambar Andrea cepat. Dia mengacungkan ponselnya pada Wijaya. “Aku sudah berniat menghubungimu, tapi kamu keburu datang,” kilahnya.Wijaya mengangk
Sesekali Annie melirik Damian yang mengemudi di sampingnya, dengan tatapan penuh harap. Meskipun dia tahu jika kedatangan Damian ke rumah Wijaya bukan untuk menjemputnya–tapi menjemput Gina, namun Annie ingin mempercayai sebaliknya.“Dam … “ panggil Annie pelan. “Terima kasih sudah datang menjemputku,” ucapnya, tersenyum tipis. “Bagaimana mobilmu? Bukankah masih tertinggal di rumah Wijaya?”“Aku bisa mengambilnya nanti,” jawab Damian singkat dan terkesan dingin.Annie menunduk. Sambil memainkan jemarinya, dia ingin merangkai pertanyaan selanjutnya agar obrolan itu tidak berakhir.“Bagaimana kabar Tasya? Kalian sekarang tinggal dimana?”Damian menelan ludah, dengan fokus yang masih lurus menatap jalanan. “Dia baik-baik saja. Kamu kan juga baru bertemu dia pagi tadi?”Annie salah tingkah. “M-maksudku, kalian tinggal dimana?” Dia berusaha mengganti topik demi menutupi rasa malunya.“Aku sudah mendapatkan rumah sewa baru. Ti
"Kembalilah, demi anak-anak kalian," pinta Gina dengan tatapan penuh harap.Bukannya terenyuh, Annie malah tersenyum getir. "Anak-anak?" ulangnya. "Kamu yang membongkar perselingkuhanku dengan Steve. Dan aku yakin, kamu pun tahu apa yang sedang menjadi beban pikiranku sekarang," sanggah Annie, sedikit tersinggung. "Meskipun aku berbuat curang dari Damian, tapi aku tidak sejahat itu. Aku tidak akan mungkin menyuruhnya bertanggung jawab atas anak yang belum tentu anaknya,""Tapi aku yakin, Damian pasti akan mengerti," timpal Gina, melepaskan genggamannya di tangan Annie."Tidak, Gin," Annie bangkit berdiri. "Kurasa sampai disini saja pembicaraan kita. Apapun keputusanmu, aku hanya bisa mendoakan semoga itu memang yang terbaik," Dia mengucapkan salam, lalu membalik badan dan pergi dengan langkah cepat.Walaupun Steve sudah menunjukkan penolakan, namun Annie akan terus berjuang demi bisa mendapatkan keadilan yang layak pada anak ya
“Pa, Papa bangun!!” teriak Tasya, mengguncang tubuh Damian sekencang yang dia bisa.Sudah 4 bulan lamanya, dan Damian terus dihantui akan mimpinya tentang Gina. Kepergian wanita itu secara tiba-tiba, menorehkan luka batin di hati Damian, hingga cukup merugikan kehidupannya.Dia berhenti untuk menulis, dan hanya mengandalkan usahanya sebagai penulis lepas demi mencukupi kebutuhan sehari-hari bersama Tasya.Dia telah kehilangan inspirasi terbaiknya. Kehilangan Gina, yang menghilang begitu saja bagai ditelan bumi. Bahkan demi mengenang dan menebus kerinduannya, Damian sering meluangkan diri untuk mengunjungi makam Sean–dengan harapan bisa bertemu kembali dengan Gina.Namun hingga 120 hari, harapan itu hanyalah harapan yang menguap di udara.“Pa, hari ini waktunya berkunjung ke rumah Mama,” tukas Tasya, girang bukan main.Damian mengecek ponselnya malas-malasan. “Ini hari Minggu, ya?”“Mama pasti ada di rumah. Hari Minggu ka
Sehari sebelumnya …“Dokter!” Perawat asisten Steve tiba-tiba membuka pintu ruang kerja Steve begitu saja, ketika Steve sedang dalam kenikmatan birahinya.Steve yang kelabakan, buru-buru mendorong mundur wanita yang sebelumnya dia rengkuh, dan cepat-cepat menutup celana.“Apa yang kau lakukan, hah!” teriak Steve marah.Perawat itu sudah siap membuka mulut, namun tubuhnya tiba-tiba didorong maju dengan keras oleh seorang pria paruh baya.“Apa yang kau lakukan pada istriku?!!” jerit pria itu, menerjang tubuh Steve dengan pisau yang sedang dia genggam.Beruntung, Steve bisa menghindar meski setengah lengannya terserempet sabetan pisau itu.“Argh,” ringkih Steve, merasakan perih.Perawat serta wanita yang ada di dalam ruang kerja Steve, berhamburan keluar mencari pertolongan. Sementara pria paruh baya yang kesetanan itu terus melotot ke arah Steve, siap menebas kapan saja.“Kenapa istriku bisa hamil, hah?? Setelah aku berobat padamu, bukannya menyembuhkanku, kau malah menghamili istriku!”
“Pergi dari sini, Steve!!” Annie mendorong tubuh Steve sekuatnya. Hingga pria itu terdorong cukup jauh dari Damian.Annie sengaja melakukannya, demi membuyarkan lamunan Damian akan Gina. Steve sepertinya cukup tahu titik kelemahan Damian ada pada Gina.“Apa tujuanmu datang ke sini, hah?! Kamu sendiri yang menolak mengakui anak ini anakmu, tapi kenapa sekarang seperti ini?” seru Annie, kesal setengah mati.Steve mengatur posisinya lebih tegak. “Bukankah sebaiknya kita bicara di dalam? Apa kamu tidak malu dengan tetanggamu?” tanya Steve, mengedarkan pandangan ke sekeliling.“Tidak ada lagi yang perlu dibicarakan,” sentak Damian. Dia mengangkat tinggi-tinggi tangannya, mengusir Steve. “Pergi dari sini,”“An, kumohon, beri aku kesempatan … ““Pergi!!” Damian menghalangi Steve untuk mendekati Annie yang berdiri di belakang punggungnya.Melihat sikap Damian, Steve berdiri makin angkuh. Dia mengangkat dagunya, berusaha menyaingi Damian.“Kamu akan menyesal, karena mempertahankan wanita seper